Thursday, January 17, 2008

VJ#20/I/2008 : Regulasi Emosi


Pembuka

Salah satu karakteristik yang menunjukkan bahwa kita adalah manusia normal adalah adanya kemampuan untuk mengekspresikan, menerima, dan merasakan emosi. Untuk dikategorikan normal, tentu saja, emosi-emosi tersebut harus ditunjukkan dalam situasi dan kondisi yang sesuai. Apabila anda senang dan bahagia saat mendengar suatu berita buruk, atau menangis kesal dan tersedu-sedu ketika mendapat kabar bahwa anda memenangkan hadiah sebuah rumah mewah, berarti mungkin saja ada sesuatu yang abnormal pada diri anda.

Orang awam lebih mengenal "emosi" dengan kata-kata seperti marah, sedih, senang, bahagia, takut, dan lain sebagainya. Saya yakin, bila diminta untuk menyebutkan emosi-emosi lain selain yang telah saya sebutkan, maka anda dapat melakukannya dengan mudah. Namun, sebenarnya bagaimanakan emosi tersebut "terbentuk" dan faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh?.

Pada tulisan ini, saya mencoba menjelaskan mengenai apa dan bagaimana emosi tersebut terbentuk. Selain itu, saya memilih untuk memfokuskan kepada emosi "marah". Kenapa? Tidak lain, karena "marah" menjadi suatu emosi yang sulit sekali untuk dikontrol, meskipun norma, budaya, dan agama telah mengajarkan kita untuk tidak mengumbar emosi tersebut. Nyatanya, "marah" masih saja menjadi salah satu emosi "populer" di lingkungan kita.

Regulasi Emosi

Tahap-tahap proses terjadinya emosi yang melatari pengalaman dan perilaku emosional menurut Frijda (1986) adalah sebagai berikut :

1. Stimulus: stimulus diterima dan dikodekan

2. Komparator: terjadi penilaian relevansi stimulus, yang dinamakan penilaian primer dan merupakan hasil perbandingan antara peristiwa sebagaimana dipersepsi oleh individu dengan kepedulian individu.

3. Pendiagnosis: melakukan evaluasi selanjutnya dari stimulus sebagai keseluruhan dalam kaitannya dengan apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan individu, yang disebut evaluasi konteks atau penilaian sekunder.

4. Evaluator: melakukan evaluasi atas semua masukan dibandingkan dengan informasi yang telah ada sebelumnya. Perbandingan tersebut menjadi isyarat untuk terjadinya interupsi perilaku yang sedang berlangsung atau terpecahnyaperhatian individu dari perilaku tersebut, yang disebut juga control precedence.

5. Perubahan Kesiapan Aksi: merupakan ciri utama dari control precedence, yang dapat terjadi suatu rencana tindakan atau terjadi modus aktivasi tertentu.

6. Timbulnya Perubahan Faali: masukan dari tahap perubahan kesiapan aksi menimbulkan perubahan faal dan seleksi aksi yang dapat dilakukan, yang ditentukan oleh modus aktivasi dan regulasi.

Regulasi terjadi karena ada norma-norma yang sudah diinternalisasi individu, dan norma-norma lain yang ada pada saat itu.

Frijda (1986) mengatakan bahwa pengalaman emosi dapat disadari melalui dua cara, yaitu :

1. Reflektif (Penilaian Sekunder)

Pengalaman reflektif adalah hasil intropeksi dari suatu yang telah berlangsung, dimana yang menjadi pusat perhatian aedalah kesadaran itu sendiri dan obyek pengalaman direduksi menjadi penginderaan.

2. Irreflektif (Penilaian Primer)

Dalam pengalaman irreflektif yang menjadi fokus adalah kegiatan kesadaran yang terarah pada obyek. Misalnya pada situasi yang menimbulkan emosi takut, subyek memandang situasi secara langsung atau intuitif sebagai sesuatu yang mengancam kesejahteraan dirinya tanpa melakukan penalaran sistematik.

Dapat dikatakan bahwa pengalaman reflektif lebih disadari oleh subyek dibandingkan dengan pengalaman irreflektif.

Selanjutnya Frijda (1986) mengatakan bahwa terdapat tiga jenis komponen penilaian situasi yang berkaitan dengan jenis-jenis pengalaman emosi, yaitu :

1. Komponen Inti

Merupakan komponen yang dapat menjelaskan apakah situasi merupakan situasi emosional atau tidak, yang menyangkut relevansi emosional dan menjadi bagian pengalaman emosi itu sendiri.

2. Komponen Konteks

Komponen ini memberi ciri pada struktur arti situasi yang menentukan sifat emosi, yaitu emosi apa yang akan muncul dan seberapa kuat intensitasnya. Selain itu, komponen ini juga menyangkut apa yang menurut subyek dapat ia lakukan atau tidak dapat dilakukan terhadap situasi.

3. Komponen Obyek

Komponen ini berkaitan dengan sifat obyek yang menimbulkan emosi. Contoh komponen obyek yang diberikan oleh Frijda (1986) antara lain adalah :

a. ego sebagai obyek

Misalnya dalam emosi malu, yaitu subyek menilai dirinya sendiri dan bagaimana orang lain memandang dirinya.

b. obyek fate vs subject fate

Yang dinilai adalah apakah emosi tersebut mempengaruhi kesejahteraan diri sendiri atau kesejahteraan orang lain

MARAH

Marah, menurut Izard dalam Plutchik (1994), termasuk ke dalam 8 emosi dasar, yaitu takut marah, bahagia, menarik (interest), jijik, terkejut (surprise), malu, terhina (contempt), distress, dan guilt. Selain itu Plutchik (1994) juga menyatakan bahwa yang termasuk 8 emosi dasar, marah, takut, sedih, bahagia, jijik, antisipasi (anticipation), dan terkejut (surprise). Sedangkan menurut Epstein dalam Plutchik (1994), terdapat 5 emosi dasar, takut, marah, sedih, bahagia, dan cinta. Melalui penjelasan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa marah merupakan salah satu dari beberapa emosi dasar.

Marah menimbulkan dorongan untuk menyerang menurut Lazarus & Lazarus (1984). Emosi marah ini dapat ditimbulkan karena adanya penghinaan terhadap diri sendiri serta hal-hal yang dimiliki oleh diri. Namun, keadaan yang dianggap sebagai penghinaan tidak selalu merupakan kejadian yang dialami sendiri oleh individu.

Persepsi terhadap suatu keadaan sebagai penghinaan atau bukan tergantung pada beberapa hal, yaitu orang lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut dan perasaan aman akan identitas diri. (Lazarus & Lazarus, 1994). Realisasi emosi marah ke dalam bentuk perilaku dapat dipengaruhi oleh adanya pandangan mengenai keadaan diri dan lingkungan sosialnya. Hal tersebut berkaitan dengan standar sosial yang telah diinternalisasikannya.

Ekman dan Friesen (1975) menjelaskan berbagai hal yang dapat merangsang timbulnya emosi marah, diantaranya gangguan terhadap aktivitas atau pencapaian tujuan. Selain itu, marah juga dapat ditimbulkan oleh ancaman fisik dan tingkah laku atau perkataan orang lain yang menyakiti secara psikologis. Emosi marah berkaitan dengan kegagalan seseorang untuk memenuhi harapan yang kita inginkan dan kemarahan orang lain ditujukan kepada kita.

Emosi marah, menurut Frijda, Kuipers, dkk (1989) merupakan suatu emosi yang didominasi kesiapan untuk beraksi. Dari penelitian yang mereka lakukan, disimpulkan bahwa ada dua unsur dalam emosi marah, yaitu unsur bergerak melawan atau moving against (kecenderungan untuk antagonis seperti menyerang atau beroposisi) dan boiling inwardly (mendidih di dalam).

Pengaruh Peran Gender (Gender-Role) Terhadap Regulasi Emosi Marah

Peran gender adalah tingkah laku, minat, sikap, kemampuan, dan sifat yang dalam kebudayaan tertentu dianggap sesuai dengan jenis kelamin seseorang (Papalia, Olds, & Feldman). Dalam masyarakat, perempuan mendapat peran yang bersifat ekspresif, yaitu peran yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan hubungan dengan orang lain (Wrightsman, dalam Indryastuti, 1998). Menurut Gershung (dalam Indryastuti, 1998), perempuan dianggap memiliki sifat-sifat feminin, yang sebagian di antaranya adalah inkompeten, submisif, tergantung, dan ragu-ragu/malu-malu.

Dalam pembuatan Bem Sex-Role Inventory (dalam Baron & Byrne, 2000), partisipan penelitian menyebutkan lebih dari 400 sifat yang menurut mereka sesuai (socially desirable) masing-masing bagi perempuan dan laki-laki. Di antara 20 karakter perempuan tersebut terdapat karakter-karakter seperti “tidak menggunakan kata-kata kasar”, “berbicara dengan halus”, “lembut”, “simpatik”, dan “penuh pengertian”.

Dengan karakter demikian yang dianggap sesuai bagi perempuan di masyarakat, sangat mungkin bahwa perempuan mengalami kesulitan dalam mengekspresikan kemarahannya. Menurut Lerner (dalam Indryastuti, 1998), kebanyakan perempuan takut mengekspresikan kemarahan mereka secara efektif dan langsung. Ekspresi kemarahan yang terbuka dan langsung membuat seorang perempuan terlihat bertingkah laku tidak pantas bagi perempuan terhormat, tidak feminin, tidak keibuan, dan tidak menarik secara seksual (Tavris, dalam Indryastuti, 1998).

Dengan demikian, regulasi emosi marah yang terjadi pada seorang perempuan hanya akan terjadi sampai tahap generator kesiapan aksi. Jika kemarahan tersebut diregulasi sampai pada tingkah laku overt, amat mungkin tingkah laku tersebut telah dikurangi atau dipalsukan.

Pengalaman emosi (kasus teman wanita penulis) :

Pengalaman emosi marah, saya alami kira-kira pada saat ujian tengah semester kedua. Kejadiannya; ada dua orang sahabat saya sedang main ke rumah dan memang hari sudah malam. Kedatangan mereka membuat saya senang karena menjadi hiburan setelah penat belajar untuk ujian. Bingung memilih tempat ngobrol karena di bawah masih ada orang tua tetapi karena pertimbangan tidak ada tempat yang private lagi, maka saya tetap mengajak keduanya ke kamar saya. Sempat terpikir apakah sopan mengajak mereka masuk ke kamar karena salah satu teman saya yang datang adalah laki-laki, maka pintu kamar pun tidak ditutup.

Namun, malam itu kakak tertua saya yang telah menikah sedang mengalami maasalah dan menginap sementara di rumah kami. Dengan emosi dan perasaan yang mungkin sedang kalut, ia mudah sekali marah. Ketika sedang asyiknya mengobrol di kamar, teman saya yang laki-laki permisi keluar sebentar untuk menelepon. Tiba- tiba kakak saya memanggil saya keluar, dan mengatakan bahwa ia telah menegur teman laki-laki saya agar tidak masuk ke dalam kamar saya. Saya mungkin setuju dengannya, tetapi yang sangat saya sayangkan adalah ia menegur teman laki-laki saya dengan nada yang tidak sopan dan sepertinya menyinggung perasaan teman saya.

Merasa kesal, saya langsung menanyakan hal tersebut baik-baik kepadanya, tetapi ia membalasnya dengan nada marah dan langsung menghampiri saya. Saya tidak marah ia memperingatkan seperti itu, tetapi kenapa ia tidak bicara dahulu dengan saya. Mungkin dalam pengaruh stress menghadapi UTS, emosi marah saya juga ikut terpancing, sehingga pintu kamar pun saya pukul sebagai tindakan protes. Selanjutnya, kami pun saling berteriak menyalahkan, tidak berlangsung lama saya pun akhirnya menangis sejadi-jadinya. Teman-teman saya yang pada saat itu masih ada langsung menghampiri dan menenangkan saya. Perasaan yang ada dalam hati saya adalah marah, lega, sedih, sekaligus yang terutama malu.

Analisis Kasus

Pada ilustrasi kasus di atas, subyek yang mengalami emosi marah adalah wanita, dapat dilihat bahwa pada diri subyek telah terjadi regulasi emosi, yaitu :

Stimulus: Sang kakak menegur teman subyek dengan cara yang kurang baik.

Komparator: Subyek menilai situasi tresebut tidak sepantasnya dilakukan oleh sang

kakak, dan karena subyek merasa sngat tidak enak dengan temannya

tersebut.

Pendiagnosis : Pada tahap ini, subyek melakukan evaluasi terhadap stimulus, dalam

kaitannya dengan apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilakukan

oleh subyek.

Evaluator: melakukan evaluasi atas semua masukan dibandingkan dengan informasi yang telah ada sebelumnya, yang kemudian memunculkan emosi marah pada diri subyek

Perubahan Kesiapan Aksi: mendorong subyek untuk berteriak, mengeluarkan air mata,

dan memukul pintu.

Timbulnya Perubahan Faali : -

Dari uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa regulasi emosi marah yang terjadi pada diri subyek hanya terjadi sampai tahap generator kesiapan aksi. Jika kemarahan tersebut diregulasi sampai pada tingkah laku overt, amat mungkin tingkah laku tersebut telah dikurangi atau dipalsukan. Hal tersebut terjadi karena menurut Lerner (dalam Indryastuti, 1998), kebanyakan perempuan takut mengekspresikan kemarahan mereka secara efektif dan langsung. Ekspresi kemarahan yang terbuka dan langsung membuat seorang perempuan terlihat bertingkah laku tidak pantas bagi perempuan terhormat, tidak feminin, tidak keibuan, dan tidak menarik secara seksual (Tavris, dalam Indryastuti, 1998). Dalam kasus ini, mungkin subyek merasa takut dipandang buruk oleh teman-temannya apabila ia mengekpresikan emosi marahnya secara berlebihan.

Saturday, January 5, 2008

VJ#19/I/2008 : Analisis Kepribadian diri Sendiri dengan Existential Psychology

Saya adalah seseorang yang dapat dikategorikan sebagai seorang yang memiliki tindakan atau tingkah laku yang tidak konsisten, melainkan lebih dikendalikan oleh bagaimana situasi dan kondisi mood saya di saat melakukan tindakan tersebut. Menurut Boss (dalam Hall&Lindsey, 1985) mood adalah bagian penting dari existential, yang menunjukkan derajat keterbukaan kita terhadap dunia dan dalam mempersepsikan atau berespon terhadap suatu hal. Keterbukaan tersebutlah yang dapat menunjukkan fenomena yang berbeda dari waktu ke waktu. Misalnya, apabila seseorang merasa cemas, maka ia akan lebih terbiasa dengan keadaan yang penuh ancaman atau bahaya, dan apabila ia merasa bahagia, maka ia lebih terbiasa dengan keadaan yang menyenangkan (Boss, dalam Hall&Lindsey, 1985).

Memahami teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa saya adalah seseorang yang “moody”. Suatu ketika, apabila suasana hati saya sedang baik atau sedang dalam mood yang menyenangkan, maka segala hal tampak menyenangkan di mata saya. Sehingga segala hal yang merupakan kewajiban saya, seperti berkuliah, merapikan kamar, dan lain-lain, dapat saya kerjakan dengan baik dan tidak ditunda-tunda. Akan tetapi, apabila saya sedang dalam kondisi mood yang kurang baik, maka hal-hal yang seharusnya menyenangkan, akan tampak menyebalkan di mata saya. Hal tersebut akhirnya berpengaruh terhadap kinerja saya dalam segala hal, misalnya menunda-nunda dalam mengerjakan tugas, mengerjakan tugas dengan kurang serius, tidak dapat berpikir jernih, dan mudah marah. Banyak faktor yang menjadi penyebab dari buruknya mood, seperti faktor kelelahan, lapar, atau terlalu banyak masalah yang belum terselesaikan.

BEING-IN-THE-WORLD

Keberadaan seorang manusia di dunia tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan konsep yang diberikan oleh Heidegger (dalam Hall&Lindsey, 1985), yang ia sebut Dasein, yaitu keseluruhan dari keberadaan manusia di dunia. Dasein, yang juga dikenal dengan istilah being-in-the-world dan merupakan konsep dasar dari psikologi eksistensi, bukanlah atribut atau bagian dari seseorang, melainkan keseluruhan dari keberadaan orang tersebut (Hall&Lindsey, 1985). Being-in-the-world menyatakan bahwa seorang individu dan lingkungannya adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Selain itu being-in-the-world juga menjelaskan cara atau tingkah laku seseorang dalam tetap “berada” di dunia, dengan menggunakan tiga world-regions, yaitu umwelt, mitwelt, dan eigenwelt.

Sebagai seorang manusia biasa, yang bertumbuh dan berkembang, maka kepribadian saya juga dipengaruhi oleh tiga hal di atas, Umwelt, yaitu lingkungan sekitar, dapat tercermin dari pola asuh keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan tempat tinggal. Mitwelt adalah hubungan interpersonal seseorang dengan orang lain, sedangkan Eigenwelt adalah cara pandang kita terhadap diri sendiri baik segi psikologis (though-world), maupun segi fisik (body-world).

Oleh karena semenjak kecil saya telah diajarkan mengenai arti kebebasan yang bertanggung jawab oleh kedua orang tua yang humoris, maka saya tumbuh menjadi seseorang yang mandiri, optimis, humoris dan berani mencoba hal-hal yang baru. Hal tersebut juga tercermin dalam pergaulan saya dengan orang-orang sekitar, yaitu saya tidak membatasi dalam pergaulan, tetapi juga mengetahui batasan-batasan yang tidak boleh saya lewati. Dalam memandang diri sendiri, saya selalu berusaha melihat sebagai diri saya dengan positif, seperti cerdas, rajin, dan menyukai tantangan, sedangkan dalam memandang fisik diri, saya memiliki pandangan yang negatif, yaitu tidak pernah merasa puas dengan kondisi fisik saya yang terlalu kurus. Hal tersebut terkadang mempengaruhi kepercayaan diri saya dalam mengahadapi lingkungan.

Menurut teori yang diberikan oleh Binswanger, 1963 (dalam Hall&Lindsey, 1985), ada beberapa cara yang dapat digunakan oleh seseorang individu dalam mengekspresikan being-in-the-world, yang sebagian besar dari individu memiliki lebih dari satu cara. Dari teori tersebut, saya mengetahui bahwa saya adalah seseorang yang mengkspresikan keberadaan diri di dunia dengan menggunakan cara plural, yaitu dengan berkompetisi, berusaha, dan hubungan formal dengan orang lain. Hal tersebut terlihat pada saat saya mengikuti jenjang pendidikan dari sekolah dasar hingga perkuliahan, dimana atmosfer persaingan amat terasa, yang tidak mampu bertahan maka akan tersingkir. Oleh karena perasaan tidak mau tersingkir itulah yang membuat saya menjadi seseorang yang pantang menyerah dan menikmati kompetisi. Bagi saya, hal tersebut adalah sesuatu yang positif karena dapat membuat diri menjadi maju dan lebih baik dari yang lain. Selain plural, saya adalah seseorang yang juga mengekspresikan keberadaan dengan cara singular, yaitu menikmati kesendirian dan jauh dari keramaian. Akan tetapi, cara singular ini tidak mendominasi diri saya, melainkan hanya muncul di saat-saat tertentu.

Apabila dilihat dari pendapat Biswanger (dalam Hall&Lindsey, 1985), maka saya dapat menyebut diri saya sebagai “healthy people”, karena menurut Biswanger, healthy people adalah orang-orang yang dapat mengekpresikan aspek-aspek yang berbeda dalam dirinya pada situasi yang berbeda-beda. Saat sedang mengikuti perkuliahan, maka saya bersikap serius dan berusaha penuh untuk memusatkan perhatian pada pelajaran yang diberikan. Akan tetapi, ketika saya sedang bersama teman-teman yang mempunyai hobi serupa, yaitu bermain sepak bola, maka saya akan menunjukkan aspek dalam diri saya yang humoris, penuh canda, dan dapat menikmati suasana.

Selain dapat menunjukkan aspek yang berbeda pada situasi yang berbeda, saya juga telah dapat mengaktualisasikan, walau belum sepenuhnya, potensi-potensi yang terdapat dalam diri saya. Hal ini disebut oleh psikologi eksistensi sebagai authenticity (Hall&Lindsey, 1985). Menurut psikologi eksistensi, seseorang dapat hidup dalam authentic life hanya ketika ia telah menyadari dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang terdapat di dalam dirinya. Sebaliknya apabila seseorang tidak mengakui kemungkinan dari keberadaan kita atau membiarkan diri dikuasai oleh lingkungan atau oleh orang lain, maka orang tersebut akan hidup dalam inauthentic existence. Seorang manusia memiliki kebebasan dalam memilih hidup mana yang akan dijalani.

Oleh karena telah menyadari dan berusaha mengaktualisasikan potensi-potensi yang saya punyai, walau belum sepenuhnya, maka dapat dikatakan bahwa saya memilih menjalani authentic life. Ketika saya menyadari bahwa saya memiliki kemampuan dalam bermain bola, maka saya bergabung dengan suatu klub sepakbola dan mengikuti berbagai pertandingan. Ketika saya menyadari bahwa saya menyukai berhubungan dengan orang banyak, maka saya bergabung dengan organisasi senat, dan ketika saya mengetahui bahwa saya memiliki bakat kepemimpinan, maka saya mencoba untuk menjadi seorang ketua dalam berbagai acara.

Potensi-potensi yang terdapat dalam sorang individu dapat diaktualisasikan dengan tetap memperhatikan batasan-batasan, atau oleh Hall&Lindsey, 1985, disebut ground of existence. Batasan-batasan tersebut antara lain adalah keterbatasan fisik dan mental seseorang, pola asuh orang tua, posisi sosial keluarga, dan lain-lain. Dalam kaitan dengan diri saya, maka batasan tersebut menjadi kenyataan ketika timbul keinginan untuk menjadi seorang atlet sepakbola. Akan tetapi, oleh karena profesi atlet sepakbola di Indonesia belum dapat membuat diri mapan secara ekonomi dan juga karena keterbatasan fisik, maka aktualisasi diri menjadi terhambat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa authentic existence harus berdasarkan pada pengenalan seseorang terhadap ground of eexistence.

Referensi : Hall, Calvin S.; Lindzey, Gardner.1985. Introduction to Theories of

Personality. John Wiley & Sons. USA.


VJ#19/I/2008 : Kekerasan di Sekolah : Studi Kasus di SMUN 70, Jakarta

"sebuah kisah pribadi "

Di dalam kehidupan sehari-hari dan dalam segala bidang, manusia tidak bisa lepas dari pembagian-pembagian lapisan masyarakat yang didasarkan oleh klasifikasi-klasifikasi tertentu. Pembagian-pembagian tersebut, yang lebih kita kenal dengan sebutan strata, sedikit banyak akan mempengaruhi cara-cara seseorang untuk bersikap serta bertingkah laku di dalam lingkungannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, strata mempunyai pengertian lapisan, tingkat masyarakat, dan sebagainya. Ada beberapa contoh yang dapat saya berikan untuk lebih menjelaskan kata ini. Misalnya pembagian lapisan sosial yang terdapat di masyarakat Bali, pangkat-pangkat pada bidang kemiliteran, tingkat jabatan pada sebuah kantor, dan lain-lain. Pembagian strata ini dapat terbentuk oleh beragai hal, misalnya karena diberikan oleh masyarakat seperti gelar pendidikan seseorang (dokter, insinyur, dan sebagainya) dan pangkat pada bidang kemiliteran, atau yang diperoleh sejak lahir (tanpa memerlukan usaha) seperti pada pembagian lapisan sosial pada masyarakat Bali (tingkat kebangsawanan) atau India. Pembagian strata tidak hanya dapat terjadi di lingkungan yang besar dan tidak harus secara resmi diakui oleh masyarakat luas. Ini terbukti dengan melihat sebuah fenomena unik yang terjadi di sebuah sekolah menengah, yaitu SMUN 70.

SMUN 70, sebuah sekolah unggulan di Jakarta Selatan, ternyata juga memberlakukan pembagian-pembagian sosial di kalangan siswa-siswanya, tanpa melibatkan guru-guru maupun sekolah. Hal tersebut bahkan telah menjadi sebuah tradisi unik yang telah berlangsung lama dan membedakan mereka dari sekolah-sekolah menengah lainnya. Tradisi tersebut menentukan bahwa siswa yang telah duduk di kelas 3 menduduki strata tertinggi, siswa kelas 2 menduduki strata menengah, sedangkan siswa kelas 1, yang termuda, tentu saja menduduki strata terendah. Sesuai dengan strata-strata lain yang berlaku di masyarakat, bahwa orang-orang di strata yang lebih rendah harus menghargai dan menghormati orang-orang yang berada di strata yang lebih tinggi, maka begitu pula yang terjadi di sekolah ini. Siswa-siswa kelas 1 diharuskan menghormati (sangat menghormati bahkan) dan harus menuruti hal-hal yang diperintahkan oleh siswa-siswa yang lebih tua daripada mereka (dalam hal ini adalah siswa-siswa kelas 3), baik suka maupun tidak suka tanpa boleh melakukan perlawanan. Sebaliknya, siswa-siswa kelas 3 dapat berbuat serta memerintahkan apa saja dan kapan saja kepada siswa-siswa kelas 1 tersebut, bahkan perbuatan-perbuatan mereka telah menjurus ke hal-hal yang kasar, berhubungan dengan fisik (seperti menampar), dan bersifat intimidasi (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, intimidasi mempunyai pengertian suatu tindakan menakut-nakuti, memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu; gertakan; ancaman). Tindakan-tindakan intimidasi tersebut dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan dilakukan di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Contoh-contoh intimidasi tersebut misalnya melakukan pengambilan uang atau barang secara paksa, memaksa siswa-siswa kelas 1 untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat melecehkan harga diri mereka, dan melakukan tindakan-tindakan kasar yang bersifat fisik (seperti memukul, menampar, menendang, dan sebagainya). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh siswa-siswa kelas 3 hampir setiap hari sekolah, sepanjang tahun ajaran, dan sepertinya tidak akan berhenti sampai mereka telah dinyatakan lulus dari SMUN 70.

Hal-hal seperti di atas tentu saja, sedikit banyak, berpengaruh terhadap kondisi psikologis siswa-siswa kelas 1, yang menjadi korban tindakan-tindakan intimidasi tersebut, karena sekuat apapun mental seseorang apabila terus menerus dikenai tindakan-tindakan seperti contoh-contoh di atas, maka tentu saja akan goyah juga. Salah satu gangguan psikologis yang dapat muncul pada diri mereka adalah gangguan-gangguan karena kecemasan (anxiety disorders), yaitu gangguan yang didapat apabila seseorang setiap saat dalam hidupnya selalu merasakan tegangan psikologis yang cukup tinggi. Inilah yang membedakannya dari individu normal, karena seorang individu normal dengan mudah dapat menyesuaikan diri dan mengatasi kecemasannya. Sedangkan, seseorang yang terkena gangguan ini akan sangat berlebihan kekhawatirannya terhadap segala hal, sehingga ia akan menjadi seseorang yang pelupa, tidak teratur, dan susah berkonsentrasi terhadap hal-hal lain. (Barlow et al, 1986; Rapee & Barlow, 1993).

Selain itu, tindakan-tindakan intimidasi tersebut, juga dapat membuat lingkungan belajar para siswa kelas 1 menjadi tidak nyaman serta membuat mereka tidak tertarik untuk belajar. Hal yang terakhir ini akan berpengaruh terhadap menurunnya motivasi seseorang untuk berprestasi karena menurut D. C. McClelland dalam bukunya yang berjudul Human Motivation, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi adalah lingkungan belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, memberi semangat dan sikap optimisme bagi siswa dalam belajar. Dengan adanya hal-hal tersebut maka sangat besar kemungkinan siswa-siswa kelas 1 tersebut akan sulit untuk memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh guru-guru mereka, karena setiap mereka mencoba untuk berkonsentrasi terhadap pelajaran-pelajaran tersebut, pikiran mereka akan terganggu dan selalu dibayang-bayangi ketakutan terhadap tindakan-tindakan intimidasi siswa-siswa kelas 3. Apalagi ditambah dengan adaptasi yang harus mereka lakukan terhadap pelajaran-pelajaran serta lingkungan baru, yang mungkin sangat berbeda dengan sebelum mereka bersekolah di SMUN 70.

Melihat penjelasan-penjelasan tersebut maka ada kemungkinan terjadinya penurunan nilai akademis siswa-siswa kelas 1 tersebut akan amat besar apabila dibandingkan dengan prestasi-prestasi nilai akademis yang pernah mereka dapatkan di lembaga-lembaga pendidikan lain yang lebih rendah tingkatannya apabila dibandingkan dengan smu, dimana tidak terdapat tindakan-tindakan intimidasi (seperti smp, sd, dan sebagainya. Sbagai manusia normal, para siswa kelas 1 tersebut membutuhkan suasana yang mendukung dan tidak mengancam untuk dapat mengembangkan kemampuan akademis dan kreatifitas mereka, dan hal tersebut akan dapat lebih sempurna dicapai apabila tindakan-tindakan yang bersifat intimidasi dapat dihentikan dan dhilangkan dari lingkungan mereka.

Sudah siapkah kita untuk menghilangkan perilaku intimidasi atas nama senioritas di lingkungan kita?

VJ#18/I/2008 : Generasi Tua VS Generasi Muda : Mana Yang Lebih Baik?

Ingatkah anda dengan peristiwa yang terjadi pada saat zaman penjajahan dulu yang terkenal dengan sebutan peristiwa Rengasdengklok? Ingat jugakah anda dengan peristiwa penurunan Presiden Soeharto pada tahun 1998 lalu yang kita sebut sebagai reformasi? Apakah yang sebenarnya terjadi pada kedua peristiwa berbeda zaman tersebut? Apa pula persamaannya? Hal yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah adanya perbedaan pendapat dan pendirian diantara dua generasi yang berbeda, yaitu generasi muda yang diwakili orang-orang yang berusia antara 17-30 tahun dan generasi tua yang diwakili orang-orang yang berusia 50 tahun ke atas.

Apabila anda tahu dan ingat dengan peristiwa Rengasdengklok, maka anda tentu telah mengetahui bahwa kejadian tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan pendapat diantara dua generasi yang berbeda. Orang-orang yang saat itu mewakili generasi muda memutuskan untuk menculik tokoh-tokoh politik dan membawanya ke suatu daerah yang bernama Rengasdengklok. Di sana mereka memaksa tokoh-tokoh politik tersebut untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Manusia-manusia muda usia tersebut terpaksa melakukan perbuatan itu karena mereka tidak dapat lagi menahan kesabaran untuk memperoleh kemerdekaan dan tidak setuju dengan pendapat orang-orang yang mewakili generasi tua yang lebih memilih “jalan santai” dan tidak terburu-buru untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan pada peristiwa reformasi pada tahun 1998, jalan cerita yang terjadi tidak jauh berbeda dengan peristiwa Rengasdengklok, perbedaannya hanyalah pada tujuan yang ingin dicapai , yaitu menurunkan Presiden Soeharto dan menegakkan reformasi.

Apabila anda jeli, maka anda akan menemukan suatu hal yang unik, yaitu orang-orang yang mewakili generasi muda pada peristiwa Rengasdengklok mengalami hal yang serupa pada peristiwa tahun 1998. Hanya saja, mereka tidak lagi berperan sebagai generasi muda, melainkan mewakili generasi tua. Sebenarnya siapakah pihak yang benar dan siapakah pihak yang salah pada kedua peristiwa tersebut? Manakah yang lebih baik diantara generasi muda dan generasi tua?

Pasangan Hidup di Mata Dua Generasi

Dua pertanyaan terakhir yang diajukan di atas merupakan suatu pertanyaan yang sangat sulit untuk mendapat jawaban yang benar-benar tepat. Alasannya karena pertanyaan tersebut memancing seseorang yang menjawabnya untuk berpikir secara subjektif. Maksudnya, apabila kita menanyakan kedua pertanyaan tersebut pada orang-orang yang mewakili generasi muda, kemungkinan besar mereka akan menjawab dengan sebuah pernyataan yang mendukung dan membela generasi mereka. Begitu pula sebaliknya, apabila kita menanyakannya kepada generasi yang lebih tua, tentu mereka akan mengeluarkan suatu pendapat yang lebih membela “kaum” mereka. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku secara mutlak, karena tidak tertutup pula suatu kemungkinan bila suatu saat ada orang yang memberikan jawaban yang tidak bersifat pro dengan generasi yang mereka wakilkan.

Apakah tidak ada cara-cara yang benar tepat untuk mendapatkan jawabannya? Sebenarnya, kita bisa mendapatkan jawaban yang benar dan tepat, hanya saja hal tersebut tergantung sudut pandang dan tema yang kita pakai. Misalnya, kita ingin membedakan dua generasi tersebut dengan menggunakan tema cara pandang mereka terhadap politik dan ekonomi. Apabila tema tersebut kita anggap belum mewakili, maka kita dapat menggunakan tema-tema yang lebih “ringan”, seperti dalam perbedaan kedua generasi tersebut dalam memperlakukan keluarga, pandangan terhadap cinta, atau tentang gaya hidup sehari-hari. Salah satu tema yang berkategorikan ringan dan juga dapat dipakai untuk membedakan kedua generasi tersebut adalah mengenai pandangan terhadap pasangan hidup, baik yang sudah resmi (menikah) maupun yang masih dalam tahap penjajakan (berpacaran).

Pasangan hidup mengandung pengertian seseorang yang mempunyai hubungan yang spesial dengan kita, dimana dalam menjalin hubungan dengan pasangan hidup tersebut ada aturan-aturan yang harus dijalani dan mengandung sebuah komitmen. Pasangan hidup yang telah resmi (menikah) maka akan menjadi partner seumur hidup kita dalam melewati jalan kehidupan baik disaat senang maupun susah. Bagi sebagian orang, pasangan hidup merupakan suatu hal yang mutlak untuk dimiliki. Sedangkan sebagian lagi menganggap bahwa mempunyai pasangan hidup adalah sesuatu yang tidak begitu penting dan mereka lebih merasa nyaman dengan hidup melajang.

Menggunakan pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara, penulis menemukan pebedaan yang cukup jelas pada cara pandang generasi tua dan generasi muda terhadap menjalin hubungan dengan pasangan hidup mereka. Beberapa hal yang sangat menunjukkan perbedaan adalah dalam hal kesetiaan dan komitmen dalam menjalin hubungan. Pada generasi tua yang umumnya telah mempunyai pasangan hidup yang resmi (menikah), akan lebih bijaksana dan “berhati-hati” dalam memperlakukan pasangan hidup dan menjalin hubungan mereka. Alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang mewakili generasi tua adalah karena mereka telah terikat dan berkomitmen secara agama maupun hukum. Bagi mereka, ikatan yang telah diakui secara hukum dan agama harus dipertahankan dan dijalani secara serius dan sepenuh hati, karena hal itu berhubungan dengan peran mereka sebagai manusia yang taat hukum dan sebagai makhluk Tuhan. Alasan lain yang mereka berikan adalah bahwa mempertahankan suatu hubungan dengan pasangan hidup adalah suatu bagian dari perjalanan hidup mereka dan tantangan tersendiri untuk dapat melewatinya. Apabila mereka gagal melewati tantangan tersebut, misalnya bercerai, maka mereka menganggap bahwa hal itu adalah sebuah aib dan beban yang akan mereka tanggung seumur hidup mereka. Melihat alasan-alasan tersebut maka sangatlah wajar apabila mereka tidak henti-hentinya melakukan perbuatan-perbuatan yang bertujuan mempertahankan hubungan mereka. Seperti berusaha untuk setia, saling percaya satu sama lain, tidak pernah berhenti menyayangi di saat apapun, dan yang paling penting berusaha keras untuk menjalani komitmen mereka untuk hidup bersama.

Bagi generasi muda, yang umumnya menjalin hubungan yang tidak resmi dengan pasangan mereka (tidak menikah atau berpacaran), cenderung lebih “santai” dan tanpa beban dalam menghadapi pasangan hidup mereka. Hal ini disebabkan karena hubungan yang mereka jalani tidak terikat secara hukum yang resmi dan agama, melainkan hanya dengan ikatan lisan dan aturan yang mengatakan “tahu sama tahu”. Dengan melihat penjelasan yang terakhir, maka merupakan suatu hal yang wajar apabila orang-orang yang mewakili generasi muda dapat dengan seenaknya berganti-ganti pasangan hidup. Alasan utama yang mereka pakai adalah dengan berganti-ganti pasangan, maka mereka dapat menilai dan melihat siapakah yang tepat untuk menjadi pasangan hidup resmi mereka yang nantinya akan menjalani kehidupan bersama seumur hidup mereka. Walaupun begitu, mereka tetap menganggap bahwa komitmen adalah suatu hal yang penting dan harus dijunjung tinggi dalam suatu hubungan.

Mereka berpendapat bahwa dengan adanya komitmen maka mereka dapat menentukan arah yang tepat terhadap hubungan mereka. Selain itu, bagi mereka komitmen adalah suatu hal yang menjadi kunci kelancaran suatu hubungan. Akan tetapi, umumnya mereka tidak suka dengan suatu hubungan yang memiliki komitmen yang terlalu serius dan bersifat mengekang gerak mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka lebih menyukai suatu hubungan yang bersifat fleksibel dan mempunyai komitmen yang bersifat fleksibel pula. Misalnya dengan mengatakan “kita jalani hubungan ini dengan serius, tetapi apabila kita harus putus maka kita akan putus secara baik-baik”, pada saat awal akan menjalin suatu hubungan.

Dengan melihat penjelasan serta alasan-alasan yang dikemukakan oleh masing-masing generasi, maka dapat dilihat bahwa generasi tua lebih baik apabila dibandingkan dengan generasi muda dalam hal memandang pasangan hidup. Hal ini dapat terjadi karena generasi tua mempunyai pandangan-pandangan serta pemikiran-pemikiran yang jauh lebih matang dan bijaksana dalam memandang kehidupan, yang disebabkan oleh faktor usia dan pengalaman-pengalaman kehidupan yang lebih luas dibandingkan dengan para generasi muda. Selain itu, generasi tua umumnya memandang segala sesuatu dengan serius, daripada generasi muda yang biasanya memandang sesuatu dari segi “mencari pengalaman” dan segi fun-nya.

Sebagi penutup, penulis kembali mengingatkan bahwa kesimpulan di atas tidak berlaku secara mutlak. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, apabila kita ingin melihat siapakah yang lebih baik di antara generasi muda dan generasi tua, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada sudut pandang dan tema apa yang kita pakai untuk membandingkannya.

VJ#17/I/2008 : Resensi Pohon Kepribadian Anda

Keingintahuan, merupakan salah satu sifat yang selalu ada dalam diri kita. Rasa ingin tahu mendorong kita untuk belajar agar mampu untuk terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sekitar. Sebagai mahkluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dan dengan sendirinya akan terjadi hubungan/ interaksi. Dalam interaksi ini sering terjadi masalah dan timbul rasa ingin tahu dalam diri kita untuk memahami orang lain agar hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik, apalagi bila hubungan yang telah dibina sangat penting atau punya arti khusus seperti; pacaran atau hubungan dalam keluarga misalnya. Berkaitan dengan itu buku Pohon Kepribadian Anda ini sedikit banyak berusaha untuk menjawab rasa ingin tahu kita dalam memahami orang lain yang juga dapat berguna untuk memahami diri kita sendiri.

Bagian pertama dari buku ini menjabarkan empat tipe kepribadian yaitu:
Sanguinis

Tipe kepribadian: menyenangkan dan selalu ingin bersenang-senang.

Tipe dan arah tindakan: bertindak dengan cara-cara yang mentenangkan.

Yang disukai: diberi perhatian, didengarkan dan disetujui pikirannya oleh orang lain.

Yang tidak disukai: jika ia tidak mendapat pujian dan humornya tidak ditanggapi oleh

teman hidupnya dan jika ia terlalu banyak dikritik dan hidup tidak

lagi menyenangkan.

Topeng kepribadian: memakai topeng kepribadian badut.


Koleris

Tipe kepribadian: ketat dengan aturan, selalu ingin memegang kendali, dan

suka memimpin.

Tipe dan arah tindakan: bertindak dengan caranya sendiri.

Yang disukai: memegang kendali dan berhasil untuk meraih penghargaan.

Yang tidak disukai: jika teman hidupnya tidak menyelesaikan pekerjaan dan keberhasilan

yang diraihnya tidak dihargai dan jika kehidupan berada diluar

pengendaliannya dan tidak ada penghargaan yang diperoleh.

Topeng kepribadian: memakai kekuatan kemarahan.


Melankolis

Tipe kepribadian: teratur dan menuntut kesempurnaan.

Yang disukai: suka keteraturan dan kesempurnaan serta perhatian atas apa yang

dilakukan tanpa banyak perubahan dalam hidupnya.

Yang tidak disukai: jika teman hidupnya tidak peka terhadap kebutuhannya dan hidupnya

tidak teratur dan jika hidup berantakan dan tidak ada harapan.

Topeng kepribadian: menuntut kesempurnaan dengan rasa sakit.


Phlegmatis

Tipe kepribadian: mencari dan mencintai kedamaian.

Yang disukai: akrab dengan kedamaian tidak suka diusik tapi dihormati dan timbul rasa

diri berharga.

Yang tidak disukai: jika teman hidupnya menganggap ia sebagai hal yang sudah

semestinya (memang begitu adanya) dan jika hidup penuh masalah

dan tidak ada kedamaian.

Topeng kepribadian: mencari kedamaian dengan apatis.

Bagian dua membahas pengertian pohon kepribadian yang dijelaskan pengarang lewat silsilah keluarganya dan beberapa kerabatnya. Ia hendak menunjukkan bahwa ada kelanjutan/ kesamaan kepribadian yang diturunkan dalam hubungan keluarga. Pohon kepribadian tersebut juga memberikan penjelasan mengenai asal-usul kepribadian kita, apa yang diturunkan oleh orang tua, dan yang akan kita turunkan pada anak-anak. Bagian ini juga menjelaskan kepribadian anak-anak dan orang tua lewat penjelasan empat jenis kepribadian, hanya saja pada bagian ini empat perilaku kepribadian tersebut diaplikasikan dalam kehidupan kanak-kanak atau orang dewasa sebagai orang tua. Bagian ketiga berisi tiga buah bab yang menjelaskan bahwa kepribadian yang terluka dapat dipulihkan kembali, akar kepribadian mampu kita cari dan temukan, dan bab terakhir berisikan pertanyaan-pertanaan mengenai manfaat yang dapat dipetik serta renungan-renungan menarik untuk masa depan para pembacanya.


VJ#16/I/2008 : Sekali Berarti Sudah Itu Mati….. : Kreativitas Chairil Anwar


AKU

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi


“Aku mau hidup seribu tahun lagi”, tulis salah seorang seniman besar Indonesia dalam sajak yang berjudul “Aku” pada tahun 1943, ketika ia berumur 20 tahun. Siapakah seniman tersebut?

Seniman tersebut bernama Chairil Anwar. Seorang seniman yang bagi sebagian besar orang yang menekuni dunia sastra dianggap sangat mewakili ciri-ciri seniman, yaitu tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Sejumlah anekdot telah lahir dari ciri-ciri tersebut. Tampaknya masyarakat menganggap bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya, dan lebih sering tergoda oleh khayalannya. Lepas dari benar tidaknya gambaran mengenai penyair ini, sebenarnya penggambaran itu sendiri membuktikan adanya sikap mendua terhadap seniman dalam masyarakat. Ia dikagumi sekaligus diejek. Keinginan untuk menjalani hidup dengan cara tersendiri itulah, yang sering tidak sesuai dengan masyarakat umum, yang menyebabkan kebanyakan orang sulit memahami sikapnya. Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sosok kepahlawanan. Salah satu bukti yang dapat diajukan untuk membuktikan bahwa dia adalah salah seorang penyair yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa adalah dengan adanya sebuah puisi yang sangat terkenal yang berjudul “Krawang-Bekasi”. Hal inilah yang membuat saya memilih dia sebagai salah seorang tokoh yang kreatif.

Definisi Kreativitas :

Kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir baru dan cara yang tidak biasa serta menghasilkan solusi yang unik untuk memecahkan suatu masalah (Santorock, 2002). Pengertian kreativitas yang lain juga diutarakan oleh S.C. Utami Munandar (1999) sebagai :

  1. kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada.
  2. kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah yang ditekankan kepada kuantitas, ketepat gunaan dan keragaman jawaban.
  3. kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasikan ( mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan . (Munandar, S.C.U., 1977)

Termasuk juga dalam kreativitas cirri aptitude dan nonaptitude (Williams, 1977) :

  1. Ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif (aptitude)
    1. Ketrampilan berpikir lancar : ia mampu mencetuskan banyak ide, yang mayoritas dituangkan ke dalam sajak-sajak dan puisi-puisinya
    2. Fleksibel
    3. Orisinal : semua sajak-sajak dan puisi-puisinya adalah buah asli pikirannya
    4. Mengelaborasi
    5. Mengevaluasi : ia dapat memberikan pertimbangan akan masalah-masalah yang terjadi pada zaman ia hidup, yaitu ketika keadaan politik negara sedang mengalami pergeseran
  2. Ciri-ciri afektif (nonaptitude)
    1. Rasa ingin tahu
    2. Imajinatif : dalam pembuatan sajak dan puisinya ia menggunakan imajinasinya.
    3. Merasa tertantang oleh kemajemukan
    4. Sifat berani mengambil resiko : ia berani terang-terangan mengakui bahwa ia adalah pendukung Bung Karno, dengan mengatakan bahwa ia merasa dirinya dan Bung Karno adalah “satu zat satu urat”, meskipun pada saat itu banyak orang yang ingin menyingkirkan Bung Karno dari bidang perpolitikan
    5. Sifat menghargai : Ia menghargai kehidupan dan lingkungannya dengan cara yang berbeda pada umumnya, yaitu dengan menuangkannya pada sajak dan puisinya.

Melihat penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Chairil Anwar adalah termasuk seorang yang kreatif. Pembuktian lain adalah sebuah teori yang diajukan oleh Meichen baum tahun 1975, yang mengatakan bahwa kreativitas mampu merangsang manusia untuk berpikir berbeda dari biasanya. Hal ini dilakukan oleh Chairil Anwar, yaitu ia tidak pernah menyatakan “perjuangannya” dan keterlibatannya dalam bidang politik secara “blak-blakan”, seperti layaknya para pejuang politik, melainkan ia melakukannya dengan cara yang lebih halus, yaitu dengan menciptakan sebuah sajak atau pusi yang isinya sarat dengan ajakan perjuangan.

Untuk lebih menguatkan pendapat di atas maka dapat diajukan pula teori dari seorang tokoh, yaitu Abraham Harold Maslow, yang disebut teori hirarki kebutuhan. Dalam teori ini ia mengatakan bahwa ada lima macam kebutuhan manusia yang berjenjang ke atas, seperti spiral yang semakin melebar ke atas dimana kebutuhan yang lebih tinggi akan timbul jika kebutuhan yang lebih rendah terpenuhi.

Lima hirarki kebutuhan (dari tingkat yang paling bawah) itu adalah sebagai berikut:

  1. Kebutuhan fisiologis, seperti kebutuhan akan makan, minum, udara, dan sebagainya. Kebutuhan ini juga dinamakan kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim, manusia yang bersangkutan dapat kehilangan kendali atas perilakunya. Jika kebutuhan ini rlatif sudah tercukupi, maka muncullah kebutuhan yang lebih tinggi.
  2. Kebutuhan akan rasa aman (safety needs) berhubungan dengan jaminan keamanan, stabilitas, perlindungan, bebas dari rasa takut dan cemas, dan sebagainya.
  3. Kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai (belongingness and love needs). Bentuknya dapat berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai, memiliki kelompok, dan menjadi bagian dari sebuah keluarga, dan sebagainya.
  4. Kebutuhan akan harga diri (esteem needs) yang terdiri dari dua macam yaitu pertama, kebutuhan akan kekuatan, penguasaan, kompetensi, percaya diri dan kemandirian; kedua, kebutuhan akan penghargaan dari orang lain seperti status dan jabatan.

5. Kebutuhan tertinggi adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri (need for self-actualization) yaitu kebutuhan untuk menunjukkan diri pada orang lain.

Chairil Anwar adalah termasuk orang yang sudah mengaktualisasikan dirinya. Ini terbukti dengan banyak dari karyanya yang menjadi terkenal. Tidak hanya di kalangan orang-orang yang menggemari sastra, tetapi juga masyarakat awam.

Akan tetapi, tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar karya Chairil Anwar mungkin sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para satrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa dia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bagi penyair masa kini, taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.

Sumber :

Sumber :

-Munandar, S.C. Utami. 1999. Mengembangakan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah : Petunjuk bagi Para Guru dan Orang Tua. Ed. Ke-3. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

-Santrock, John W. 2002. Life-Span Developmen.8th ed. New York : McGraw Hill

-Shebilske, Wayne & Stephen Worchel. 1995. Principles and Applications Psychology. 5th ed. New Jersey : Prentice Hall.

- Enesek, Pamusuk. 2000. Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: PT. Sun.