Wednesday, December 26, 2007

VJ#15/XII/2007 : Analisis Kepribadian Kenji Goh dengan Teori Jung

Post ini, dan juga post sebelumnya, adalah tulisan yang saya buat untuk memenuhi salah satu mata kuliah saat kuliah S1. Sengaja saya post di Verdi's Journals untuk membaginya dengan para pembaca (terlepas apakah analisis saya salah atau benar). Tokoh yang dianalisis adalah Kenji Goh, seorang tokoh rekaan dari komik terkenal Jepang berjudul Kenji, dengan menggunakan teori Carl G. Jung.

RIWAYAT HIDUP TOKOH

Kenji Goh adalah seorang remaja Jepang yang sejak kecil sangat menyukai kungfu yang berasal dari Cina. Kesukaannya ini ditularkan oleh kakeknya yang seorang ahli kungfu yang terkenal dengan aliran “kungfu delapan mata angin”. Alasan kakeknya menurunkan ilmu kungfu tersebut kepada Kenji adalah karena ia mau Kenji tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat, pemberani, jujur, dan tidak cengeng. Oleh karena itu, dalam mengajarkan kungfu, ia tidak hanya sekedar mengajarkan gerakan-gerakan atau kuda-kuda untuk berkelahi, tetapi juga mengajarkan berbagai sifat yang harus dimiliki oleh seseorang bila ingin menjadi seorang pendekar kungfu sejati.

Kesukaan Kenji akan kungfu ini awalnya tidak didukung oleh kedua orangtuanya, khususnya sang ibu. Selain karena mereka beranggapan bahwa zaman sekarang adalah zaman pendidikan, mereka juga beranggapan bahwa kungfu adalah sesuatu yang tidak berguna dan hanya mendatangkan kesulitan dan kekerasan. Pendapat mereka tersebut seakan-akan diperkuat dengan semakin seringnya Kenji mendapat masalah sejak ia belajar kungfu. Masalah pertama muncul ketika Kenji kecil menghajar Koh, teman sekolahnya yang terkenal dengan kenakalannya. Kenji saat itu merasa kesal karena ia memandang bahwa tingkah laku Koh yang sering mengganggu teman-teman lainnya yang lebih lemah, sudah sangat keterlaluan. Kejadian itu membuat orangtua Kenji harus berhadapan dengan pihak sekolah dan pihak orangtua Koh.

Sejak kejadian itu, orangtua Kenji semakin melarangnya untuk belajar kungfu, yang memaksa Kenji harus melupakan kungfu untuk sejenak dan kembali ke jalurnya sebagai seorang anak yang harus turut kepada perintah orangtua. Hal ini diperkuat dengan perginya sang kakek, yang merupakan guru kungfunya, untuk mengelana ke tempat yang dirahasiakan. Ketika beranjak remaja, masalah tetap seperti tidak mau pergi dari kehidupan Kenji. Puncaknya adalah ketika ia terlibat dalam perang antar “geng”, yang mengakibatkan ia di skors dari sekolahnya selama waktu yang tidak ditentukan. Semenjak kejadian ini, orangtua Kenji menjadi menyerah untuk membuat Kenji belajar kungfu, karena merasa bahwa kungfu sudah menjadi jalan kehidupan dari anak mereka.

Untuk mengisi waktu skorsnya tersebut, Kenji memutuskan untuk mengelana dengan tujuan mencari kakeknya yang sudah bertahun-tahun tidak memberi kabar. Dalam perjalanannya tersebut, Kenji melewati banyak negara, seperti Taiwan, Cina, dan Hong Kong, dimana ia mengalami banyak kejadian yang penuh dengan pelajaran sehingga membuatnya semakin dewasa dan matang dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, ilmu kungfu Kenji juga semakin matang, karena ia menemui banyak ahli kungfu dengan berbagai macam aliran yang dengan senang hati mengajarkan ilmu mereka tersebut kepada Kenji.

Setelah cukup lama Kenji berkelana dan telah berhasil menemukan kakeknya, ia pun kembali ke negara kelahirannya, Jepang. Semenjak ia kembali, teman-temannya merasa bahwa Kenji bertingkah laku aneh dan tidak seperti biasanya. Setelah ditelusuri, ternyata Kenji merasa bahwa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Kenji menyadari bahwa setelah berkelana ia mendapatkan banyak hal, seperti ilmu kungfu yang menjadikan ia seorang pendekar yang hebat dan juga berbagai pelajaran hidup, tetapi ia tetap merasa ada yang kurang lengkap. Sang kakek menyadarkan Kenji bahwa selama ini ia akan lupa satu hal, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan spiritual. Dengan bantuan sang kakek, Kenji akhirnya merasa dirinya telah lengkap dengan menyadari bahwa tidak peduli hebatnya seseorang, ia tetaplah seorang makhluk yang sangat kecil dihadapan penciptanya.


ANALISIS TOKOH

Dalam serial komik Kenji, digambarkan dengan jelas bahwa tokoh-tokohnya memiliki katakter dan sifat khasnya masing-masing. Dalam komik ini, Kenji Goh digambarkan sebagai seorang yang cerdas, mudah bersosialisasi, ramah, pemberani, jujur, dan tidak suka apabila melihat suatu kejahatan dibiarkan begitu saja. Dalam hubungannya dengan kedua orang tuanya, setelah Kenji merasa bahwa ia telah sering menyusahkan orang tuanya, Kenji lebih bersifat mengalah dan berusaha untuk menyenangkan mereka, walaupun hal tersebut harus dilakukan dengan cara meninggalkan kecintaannya terhadap kungfu

Menurut teori Psikoanalisa dari Jung, Kenjii termasuk tipe orang dengan sikap extravert dengan fungsi intuiting yang dominan, yaitu orang-orang yang selalu mencari sesuatu yang baru. Mereka tidak dapat bertahan pada satu ide atau lingkungan karena sesuatu yang baru adalah tujuan hidup mereka. Hal ini dicerminkan dengan sifat Kenji yang tidak puas hanya dengan satu ilmu kungfu. Segala hal yang ia anggap dapat memperkaya ilmu bela dirinya, maka ia akan berusaha keras untuk menguasainya. Ini dibuktikan dengan salah satu cerita dimana Kenji berusaha untuk menguasai karate dan tinju demi memuaskan kehausannya akan bela diri. Hal lain yang cukup mendukung teori di atas adalah saat Kenji memutuskan untuk berkelana dengan tujuan mencari kakeknya. Ia berpikir bahwa dengan berkelana maka ia tidak akan terjebak dalam satu lingkungan dan dapat melihat berbagai lingkungan lain yang selama ini belum pernah ia temui.

Kadang Kenji menggunakan persona nya untuk menutupi sifat dasarnya karena tuntutan lingkungan. Pada suatu episode Kenji memutuskan untuk meninggalkan kungfu dan mulai mengikuti keinginan dari kedua orang tuanya. Keputusan tersebut diawali oleh sebuah kejadian dimana ia menyadari bahwa akibat dari keras kepalanya untuk tidak meninggalkan kungfu, ia telah menyusahkan orang tuanya. Orangtua Kenji beranggapan bahwa telah banyak hal yang dikorbankan demi kungfu, salah satunya adalah hilangnya kesempatan Kenji untuk bersekolah di sekolah unggulan karena ia berkelahi dengan “geng” setempat. Oleh karena itulah, Kenji berusaha menutupi sifat dasarnya sebagai seorang anak yang tidak menyukai kehidupan yang statis dan menyukai pengalaman-pengalaman unik yang ia dapatkan dari belajar kungfu dan mulai berusaha memenuhi tuntutan orangtuanya untuk menjadi pelajar yang baik.

Hal tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Kenji melakukan repression terhadap pengalaman masa lalu, dimana ia mengalami masa-masa yang menyenangkan ketika ia belajar kungfu dengan berbagai kejadian yang mengikutinya.. Ia me-repress rasa cintanya pada kungfu karena ia ingin membuktikan kepada orangtuanya bahwa ia adalah seorang anak yang baik dan taat kepada perintah mereka

Walaupun Kenji belum mencapai tahap perkembangan middle age dari Jung, tetapi Kenji dapat dikatakan telah mencapai individuation. Kenji melakukan individuation dengan melepaskan diri dari orang tua yang selama ini tidak mendukungnya dalam mempelajari kungfu dan memutuskan untuk berkelana demi menemukan seperti apa dirinya yang sebenarnya. Walaupun Kenji sempat berusaha untuk menuruti keinginan orangtuanya untuk belajar dengan baik, ia akhirnya lebih memilih untuk mengembangkan ilmu kungfunya dengan berguru pada ahli-ahli kungfu di penjuru dunia. Ia terus mengembangkan kepribadiannya dengan mengoptimalkan seluruh struktur dari kepribadiannya. Dalam serial terakhir, tampak jelas individuation dari kebutuhan material ke kebutuhan spiritual pada diri Kenji, yaitu dengan adanya ajaran sang kakek untuk tidak pernah berpuas diri dan selalu ingat kepada Sang Pencipta.

Transcendent function juga telah dilakukan oleh Kenji, ia dapat mengolah segala kecenderungan yang ia miliki dan saling berlawanan menjadi kesatuan yang ideal. Hal ini diperlihatkan dalam sifat Kenji yang sebenarnya tidak menyukai kekerasan tetapi juga merasa tidak senang apabila ada suatu kejahatan dibiarkan begitu saja. Sifat yang berlawanan tersebut dapat ia wujudkan menjadi satu kesatuan yang ideal dengan mendalami kungfu. Kungfu mengajari Kenji bahwa seorang pendekar kungfu sejati akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam menghadapi suatu masalah dan juga berusaha untuk memilih jalan yang lebih baik. Transcendent function ini dilakukan oleh Kenji dengan tujuan untuk realisasi dan aktualisasi dari aspek yang tersembunyi dalam ketidaksadarannya. Rasa cintanya akan kungfu yang teramat besar membuat ia berani mengambil resiko untuk meninggalkan negara dan orangtuanya demi memenuhi kecintaannya tersebut.


Kesukaan Kenji akan kungfu ini awalnya tidak didukung oleh kedua orangtuanya, khususnya sang ibu. Selain karena mereka beranggapan bahwa zaman sekarang adalah zaman pendidikan, mereka juga beranggapan bahwa kungfu adalah sesuatu yang tidak berguna dan hanya mendatangkan kesulitan dan kekerasan. Pendapat mereka tersebut seakan-akan diperkuat dengan semakin seringnya Kenji mendapat masalah sejak ia belajar kungfu. Masalah pertama muncul ketika Kenji kecil menghajar Koh, teman sekolahnya yang terkenal dengan kenakalannya. Kenji saat itu merasa kesal karena ia memandang bahwa tingkah laku Koh yang sering mengganggu teman-teman lainnya yang lebih lemah, sudah sangat keterlaluan. Kejadian itu membuat orangtua Kenji harus berhadapan dengan pihak sekolah dan pihak orangtua Koh.

Sejak kejadian itu, orangtua Kenji semakin melarangnya untuk belajar kungfu, yang memaksa Kenji harus melupakan kungfu untuk sejenak dan kembali ke jalurnya sebagai seorang anak yang harus turut kepada perintah orangtua. Hal ini diperkuat dengan perginya sang kakek, yang merupakan guru kungfunya, untuk mengelana ke tempat yang dirahasiakan. Ketika beranjak remaja, masalah tetap seperti tidak mau pergi dari kehidupan Kenji. Puncaknya adalah ketika ia terlibat dalam perang antar “geng”, yang mengakibatkan ia di skors dari sekolahnya selama waktu yang tidak ditentukan. Semenjak kejadian ini, orangtua Kenji menjadi menyerah untuk membuat Kenji belajar kungfu, karena merasa bahwa kungfu sudah menjadi jalan kehidupan dari anak mereka.

Untuk mengisi waktu skorsnya tersebut, Kenji memutuskan untuk mengelana dengan tujuan mencari kakeknya yang sudah bertahun-tahun tidak memberi kabar. Dalam perjalanannya tersebut, Kenji melewati banyak negara, seperti Taiwan, Cina, dan Hong Kong, dimana ia mengalami banyak kejadian yang penuh dengan pelajaran sehingga membuatnya semakin dewasa dan matang dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, ilmu kungfu Kenji juga semakin matang, karena ia menemui banyak ahli kungfu dengan berbagai macam aliran yang dengan senang hati mengajarkan ilmu mereka tersebut kepada Kenji.

Setelah cukup lama Kenji berkelana dan telah berhasil menemukan kakeknya, ia pun kembali ke negara kelahirannya, Jepang. Semenjak ia kembali, teman-temannya merasa bahwa Kenji bertingkah laku aneh dan tidak seperti biasanya. Setelah ditelusuri, ternyata Kenji merasa bahwa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Kenji menyadari bahwa setelah berkelana ia mendapatkan banyak hal, seperti ilmu kungfu yang menjadikan ia seorang pendekar yang hebat dan juga berbagai pelajaran hidup, tetapi ia tetap merasa ada yang kurang lengkap. Sang kakek menyadarkan Kenji bahwa selama ini ia akan lupa satu hal, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan spiritual. Dengan bantuan sang kakek, Kenji akhirnya merasa dirinya telah lengkap dengan menyadari bahwa tidak peduli hebatnya seseorang, ia tetaplah seorang makhluk yang sangat kecil dihadapan penciptanya.

VJ#14/XII/2007 : Teori Carl G. Jung


Dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan berbagai macam orang di kehidupan sehari-hari sering sekali kita menilai sifat dan sikap orang-orang tersebut dan kita melakukan pengamatan terhadap kepribadian orang tersebut. Dimana biasanya penilaian dan pengamatan tersebut hanyalah berdasarkan pada sebagian dari tingkah laku dan hasil analisa yang sangat dangkal. Namun, apakah kepribadian itu sendiri?

Kepribadian merupakan sesuatu yang sangat rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah dalam mendefinisikannya. Menurut Pervin (2000) :

Personality represent those characteristic of the person that account for consistent pattern of feeling, thinking and behaving.”

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan penentu karakteristik dari seseorang yang menentukan bagaimana ia merasa berfikir dan bertingkah laku.

Sedangkan Menurut Allport (dalam Chaplin, 2001), kepribadian adalah organisasi dinamis didalam individu yang terdiri dari system-sistem psikofisik yang menentukan tingkah laku dan pikirannya secara karakteristik. Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, membahas kepribadian manusia melalui berbagai macam pendekatan, yang salah satunya adalah pendekatan Psikodinamik. Dalam pendekatan ini, Carl Gustav Jung menjelaskan kepribadian manusia berdasarkan tujuannya dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh masa lalu dan masa depan manusia. Jung menjelaskan berbagai macam struktur dari Psyche, tipologi kepribadian manusia berdasarkan sikap dan fungsi dominan yang dimiliki oleh manusia itu, mekanisme pergerakan energi psikis dan tahap perkembangan kepribadiannya.

Struktur Psyche Menurut Jung

Menurut Jung, psyche adalah kesatuan yang di dalamnya terdapat semua pikiran, perasaan dan tingkah laku baik yang disadari maupun tidak disadari yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Struktur psyche menurut Jung terdiri dari :

1. Ego

Ego merupakan jiwa sadar yang terdiri dari persepsi, ingatan, pikiran dan perasaan-perasaan sadar. Ego bekerja pada tingkat conscious Dari ego lahir perasaan identitas dan kontinyuitas seseorang. Ego seseorang adalah gugusan tingkah laku yang umumnya dimiliki dan ditampilkan secara sadar oleh orang-orang dalam suatu masyarakat. Ego merupakan bagian manusia yang membuat ia sadar pada dirinya.

2. Personal Unconscious

Struktur psyche ini merupakan wilayah yang berdekatan dengan ego. Terdiri dari pengalaman-pengalaman yang pernah disadari tetapi dilupakan dan diabaikan dengan cara repression atau suppression. Pengalaman-pengalaman yang kesannya lemah juga disimpan kedalam personal unconscious. Penekanan kenangan pahit kedalam personal unconscious dapat dilakukan oleh diri sendiri secara mekanik namun bisa juga karena desakan dari pihak luar yang kuat dan lebih berkuasa. Kompleks adalah kelompok yang terorganisir dari perasaan, pikiran dan ingatan-ingatan yang ada dalam personal unconscious. Setiap kompleks memilki inti yang menarik atau mengumpulkan berbagai pengalaman yang memiliki kesamaan tematik, semakin kuat daya tarik inti semakin besar pula pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Kepribadian dengan kompleks tertentu akan didominasi oleh ide, perasaan dan persepsi yang dikandung oleh kompleks itu.

3. Collective Unconscious

Merupakan gudang bekas ingatan yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseorang yang tidak hanya meliputi sejarah ras manusia sebagai sebuah spesies tersendiri tetapi juga leluhur pramanusiawi atau nenek moyang binatangnya. Collective unconscious terdiri dari beberapa Archetype, yang merupakan ingatan ras akan suatu bentuk pikiran universal yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bentuk pikiran ini menciptakan gambaran-gambaran yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan, yang dianut oleh generasi terentu secara hampir menyeluruh dan kemudian ditampilkan berulang-ulang pada beberapa generasi berikutnya. Beberapa archetype yang dominan seakan terpisah dari kumpulan archetype lainnya dan membentuk satu sistem sendiri. Empat archetype yang penting dalam membentuk kepribadian seseorang adalah :

  1. Persona yang merupakan topeng yang dipakai manusia sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat serta terhadap kebutuhan archetypal sendiri.
  2. Anima & Animus merupakan elemen kepribadian yang secara psikologis berpengaruh terhadap sifat bisexual manusia. Anima adalah archetype sifat kewanitaan / feminine pada laki-laki, sedangkan Animus adalah archetype sifat kelelakian / maskulin pada perempuan.
  3. Shadow adalah archetype yang terdiri dari insting-insting binatang yang diwarisi manusia dalam evolusinya dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah kebentuk yang lebih tinggi.
  4. Self, yang secara bertahap menjadi titik pusat dari kepribadian yang secara psikologis didefinisikan sebagai totalitas psikis individual dimana semua elemen kepribadian terkonstelasi disekitarnya. Self membimbing manusia kearah self-actualization, merupakan tujuan hidup yang terus-menerus diperjuangkan manusia tetapi jarang tercapai.


Tipologi Jung

Menurut teori psikoanalisa dari Jung ada dua aspek penting dalam kepribadian yaitu sikap dan fungsi. Sikap terdiri dari introvert dan ekstrovert, sedangkan fungsi terdiri dari thinking, feeling, sensing dan intuiting. Dari kedelapan hal ini maka diperoleh tipologi Jung, yaitu :

  1. Introversion-Thinking

Orang dengan sikap yang introvert dan fungsi thinking yang dominan biasanya tidak memiliki emosi dan tidak ramah serta kurang bisa bergaul. Hal ini terjadi karena mereka memiliki kecenderungan untuk memperhatikan nilai abstrak dibandingkan orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Mereka lebih mengejar dan memperhatikan pemikirannya tanpa memperdulikan apakah ide mereka diterima oleh orang lain atau tidak. Mereka biasanya keras kepala, sombong dan berpendirian. Contoh dari orang dengan kepribadian seperti ini adalah philosophers.

  1. Extraversion-Thinking

Contoh orang dengan sikap extrovert dan fungsi thinking yang dominan adalah ilmuwan dan peneliti. Mereka memiliki kecenderungan untuk muncul seorang diri, dingin dan sombong. Seperti pada tipe pertama, mereka juga me-repress fungsi feeling. Kenyataan yang obyektif merupakan aturan untuk mereka dan mereka menginginkan orang lain juga berpikir hal yang sama.

  1. Introversion-Feeling

Orang dengan introversion-feeling berpengalaman dalam emosi yang kuat, tapi mereka menutupinya. Contoh orang dengan sikap introvert dan fungsi feeling yang dominan adalah seniman dan penulis, dimana mereka mengekspresikan perasaannya hanya dalam bentuk seni. Mereka mungkin menampilkan keselarasan didalam dirinya dan self-efficacy, namun perasaan mereka dapat meledak dengan tiba-tiba.

  1. Extraversion-Feeling

Pada orang dengan sikap extraversion dan fungsi feeling yang dominan perasaan dapat berubah sebanyak situasi yang berubah. Kebanyakan dari mereka adalah aktor. Mereka cenderung untuk emosional dan moody tapi terkadang sikap sosialnya dapat muncul.

  1. Introversion-Sensation

Orang ini cenderung tenggelam dalam sensasi fisik mereka dan untuk mencari hal yang tidak menarik dari dunia sebagai perbandingan. Biasanya mereka adalah orang-orang yang tenang, kalem, self-controlled, tapi mereka juga membosankan dan kurang bisa berkomunikasi.

  1. Extraversion-Sensation

Orang dengan tipe ini biasanya adalah businessman. Mereka biasanya realistik, praktis, dan pekerja keras. Mereka menikmati apa yang dapat mereka indrai dari dunia ini, menikmati cinta dan mencari kegairahan. Mereka mudah dipengaruhi oleh peraturan dan mudah ketagihan pada berbagai hal.

  1. Introversion-Intiuting

Pemimipi, peramal, dan orang aneh biasanya adalah orang dengan sikap introvert dan fungsi intuitif yang dominan. Mereka terisolasi dalam gambaran-gambaran primitif yang artinya tidak selalu mereka ketahui namun selalu muncul dalam pikiran mereka. Mereka memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, tidak praktis namun memiliki intuisi yang sangat tajam dibandingkan orang lain.

  1. Extraversion-Intuiting

Penemu dan pengusaha biasanya memiliki sikap extravert dan fungsi intuitif yang dominan, mereka adalah orang-orang yang selalu mencari sesuatu yang baru. Mereka sangat baik dalam mempromosikan hal-hal yang baru. Namun mereka tidak dapat bertahan pada satu ide, pekerjaan maupun lingkungan karena sesuatu yang baru merupakan tujuan hidup mereka.

Tahap Perkembangan Kepribadian Jung

Tahap perkembangan kepribadian Jung terdiri dari 4 tahap, yaitu childhood, youth dan young adulthood, middle age dan old age. Pada tahap kedua menekankan akan adaptasi terhadap kehidupan social dan ekonomi. Jung memperlihatkan ketertarikannya pada tahap perkembangan kepribadian ketiga yaitu middle age, karena disini terdapat proses yang penting dari puncak dari individuation dan orang mulai merubah kepedulian terhadap materi menjadi kepedulian spiritual.

Aktivitas Energi Psikis, Individuation, dan Transcendent Function

Energi psikis muncul dari pengalaman individual dan merupakan energi untuk berpikir, berkeinginan, memelihara, dan berjuang. Energi psikis mengikuti hukum equivalence dan entropy dari hukum thermodinamika. Dimana jumlah energi tidak akan berubah dan saling berinteraksi agar mencapai keseimbangan. Energi psikis melakukan dua tujuan hidup yaitu mempertahankan diri dan mengembangkan budaya dan aktivitas spiritual dengan melakukan progression, sublimation (energi bergerak maju) , regression dan repression (yang menekan ke ketidak sadaran).

Progression adalah keadaan dimana kesadaran/ ego dapat menyesuaikan diri secara memuaskan baik terhadap tuntutan dunia luar maupun kebutuhan ketidak sadaran, yang menyebabkan perkembangan bergerak maju. Apabila gerak maju ini terganggu oleh suatu rintangan, dan karenanya libido tercegah untuk digunakan secara maju maka libido akan melakukan regresi, yaitu kembali ketahap sebelumnya atau masuk ke ketidak sadaran atau dikenal dengan repression. Sedangkan sublimation adalah transfer energi dari proses yang lebih primitif, instinktif dan rendah diferensiasinya ke proses yang lebih bersifat kultural, spiritual dan tinggi diferensiasinya.

Individuation adalah proses untuk mencapai kepribadian yang integral serta sehat, dimana semua sistem atau aspek kepribadian harus mencapai taraf diferensiasi dan perkembangan yang sepenuh-penuhnya, disebut juga proses pembentukan diri, atau penemuan diri.

Transcendent function adalah kemampuan untuk mempersatukan segala kecenderungan yang saling berlawanan dan mengolahnya menjadi satu kesatuan yang sempurna dan ideal. Tujuan dari fungsi ini adalah menjelmakan manusia sempurna, realisasi serta aktualisasi segala aspek-aspek yang tersembunyi dalam ketidak sadaran. Fungsi inilah yang mendorong manusia mengejar kesempurnaan kepribadian.


Referensi :

Chaplin, J.P (2001). Kamus Lengkap Psikologi (Kartini Kartono, penrj.). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Hall, C. S.&G. Lindzey. (1985). Introduction to Theories Personality. New York: Jhon Willey&Son.

Pervin, L. A.&O.P. John. (2000). Personality: Theory and Research. 8th ed. New York : John Willey&Son.


Friday, December 21, 2007

VJ#13/XII/2007 : Contoh Self-Desensitization (Kasus Pribadi)

Menurut Martin dan Pear (1996) tahapan self desensitization adalah sebagai berikut :

  1. Mengkonstruk hirarki (skala) kecemasan
  2. Melakukan relaksasi otot
  3. Menjalani langkah-langkah terapi dari proses self desensitization

Self desensitization ini saya lakukan untuk menghilangkan ketakutan atau kecemasan saya terhadap tikus. Tikus yang saya takuti terutama tikus berwarna hitam dan curut (tikus kecil yang tidak dapat melihat dan mengeluarkan suaran “ciit..ciit” yang khas)

Tahap 1 : Mengkonstruk Skala Ketakutan (kecemasan)

100 : Memegang tikus dengan tangan sendiri

90 : Tikus/curut merayap di bagian tubuh saya (kaki, tangan, badan)

80 : Melihat tikus/curut melintas dan mengenai kulit kaki saya

70 : Melihat tikus/curut melintas persis di bawah kaki saya namun tidak kena kulit kaki

saya

60 : Tikus/curut dipegang oleh orang lain dan diarah-arahkan ke saya dengan jarak dekat

(<>

50 : Mendengar suara ”ciit...ciiit” tikus/curut serta melihat fisik tikus/curut tersebut

dalam jarak < style=""> M

40 : Mendengar suara ”ciit...ciiit” tikus/curut serta melihat fisik tikus/curut tersebut

dalam jarak 5 - 10 M

30 : Mendengar suara ”ciit...ciiit” tikus/curut serta melihat fisik tikus/curut tersebut

dalam jarak > 10 M

20 : Mendengar suara ”ciit...ciiit” tikus/curut

10 : Mendengar suara tikus/curut berlari di belakang lemari atau suara tikus/curut sedang

menggerogoti lemari

0 : Tidak melihat tikus/curut ataupun mendengar suara tikus/curut di sekitar saya

Tahap 2 Melakukan relaksasi otot

Relaksasi otot dilakukan dengan self-relaxation

Tahap 3 Menjalani langkah-langkah terapi dari proses self desensitization

Pada tahap ini, saya telah selesai melakukan tahap relaksasi dan merasakan bahwa tubuh terasa lebih rileks dan nyaman. Setelah itu, saya membayangkan dalam pikiran sendiri (berimajinasi) bahwa saya sedang menghadapi situasi sesuai dengan skala ketakutan yang telah saya susun sebelumnya. Pada skala 0 – 40 saya dapat merasakan bahwa jantung saya tetap dapat berdebar normal meski ada rasa takut dan jijik. Walaupun demikian, saya tetap dapat melewati skala 40 dengan cukup baik. Saat berada di skala 50, saya merasa bahwa jantung saya mulai berdebar lebih cepat, serta ada rasa cemas dan jijik yang meningkat. Pada saat ini, saya mengalami kesulitan untuk melewatinya sehingga memutuskan untuk menghentikannya.

Pada percobaan kedua, saya melaksanakan sesuai tahapan, yaitu terlebih dahulu melakukan self-relaxation. Setelah itu, saya mulai lagi berimajinasi dengan suasana skala kecemasan yang pada percobaan pertama saya kesulitan untuk melewatinya, yaitu skala 50. Pada percobaan kedua ini, saya dapat lebih tenang (jantung dapat berdebar cukup normal, meski perasaan jijik tidak sepenuhnya hilang). Pada skala selanjutnya, skala 60, saya kembali merasa jijik, cemas, dan jantung berdear lebih cepat. Perasaan yang mendominasi adalah perasaan jijik dan ada keinginan untuk menjauh dari tikus/curut tersebut. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti pada skala 60 dan belum melanjutkan ke tingkatan skala selanjutnya.

Referensi :

Martin, Gear & Pear, Joseph. (1996) Behavior Modification 9th editon. USA : Prentice

Hall.

Thursday, December 20, 2007

VJ#12/XII/2007 : Well Being Pada Lansia


Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock (1991) menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock (1991) ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua, yaitu periode penutup dalam rentang hidup seseorang di saat seseorang telah “beranjak jauh” dari periode tertentu yang lebih menyenangkan. Pada tahap perkembangan ini, Erikson (dalam Santrock, 1997) menyebutnya dengan sebutan ”Integrity versus Despair”. Pada masa-masa ini, individu melihat kembali perjalanan hidup ke belakang, apa yang telah mereka lakukan selama perjalanan mereka tersebut. Ada yang dapat mengembangkan pandangan positif terhadap apa yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas (integrity), tetapi ada pula yang memandang kehidupan dengan lebih negatif, sehingga mereka memandang hidup mereka secara keseluruhan dengan ragu-ragu, suram, putus asa (despair).

Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya. Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan dirinya merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu. Hal ini menyebabkan lansia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhlan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun

Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan psychological well-being (PWB) sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa PWB menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.

Menurut Santrock (1997), ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh para lansia untuk membantu mereka mencapai PWB, yaitu mencakup memiliki pendapatan, kesehatan yang baik, gaya hidup aktif, dan mempunyai jaringan teman dan keluarga yang baik. Mengenai gaya hidup aktif, Santrock (1997) menyebutkan bahwa lansia yang memiliki gaya hidup aktif akan memiliki PWB yang lebih baik dibandingkan dengan lansia yang hanya diam di rumah dan menyendiri. Begitu pula dengan manula yang memiliki jaringan teman dan keluarga daripada manula yang terisolasi sosial. Sedangkan Hurlock (1991) menyebutkan bahwa PWB atau kebahagiaan pada lansia tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A” Kebahagiaan, yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Apabila seorang lansia tidak dapat memenuhi “tiga A” tersebut maka akan sulit baginya untuk dapat mencapai kebahagiaan. Misalnya, ia merasa diabaikan oleh anggota keluarga atau petugas panti wredha, merasa bahwa prestasi pada masa lalu tidak memenuhi harapan dan keinginan, atau apabila mereka mengembangkan perasaan bahwa tidak ada satu orang pun yang mencintainya. Kebahagiaan tidak memiliki arti yang sama bagi mereka yang berusia lanjut. Namun, secara umum lansia yang bahagia lebih sadar dan siap untuk terikat dengan kegiatan baru dibandingkan lansia yang merasa tidak bahagia. Hal ini disebabkan apa yang dikerjakannya lebih penting bagi kebahagiaannya di masa usia lanjut dibandingkan siapa mereka. Hurlock (1991) menambahkan bahwa ada beberapa kondisi penting yang dapat membantu pencapaian PWB lansia, antara lain terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik, diterima oleh dan memperoleh respek dari kelompok sosial, menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat keluarga dan teman-teman, dan melakukan kegiatan produktif, baik kegiatan di rumah maupun kegiatan yang secara sukarela dilakukan.

Melihat uraian di atas maka terlihat bahwa untuk salah satu cara untuk mencegah atau membantu para lansia untuk keluar dari masalah-masalah yang berpotensi muncul pada tahap perkembangan mereka adalah dengan berusaha mencapai psychological well-being. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencapainya adalah dengan menjalin hubungan (jejaring) yang baik dengan orang-orang di sekitar lingkungan dan berusaha untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang ada.


Wassalam,


Arya Verdi R.

Referensi :

Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan edisi kelima : Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Ryff, C.D.(1989). Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of PWB.

Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.

Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of PWB revisited. Journal of

Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

Ryff, C.D., Keyes, C.L.M., & Shmotkin, D. (2002). Optimizing Well-Being: The

Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social

Psychology, 82, 1007-1022.



Thursday, December 13, 2007

VJ#11/XII/2007 : Meaning of Life


Kota-kota besar di berbagai belahan dunia ini selalu bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, kota besar adalah sebuah kota yang sering kali menjadi pusat dari segala kegiatan, seperti pusat pendidikan, pusat budaya, maupun pusat pemerintahan, namun di sisi lain kota besar juga menyimpan berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang umumnya terdapat di kota besar, adalah biaya hidup yang tinggi, tingginya tingkat kriminalitas, tingginya tingkat pengangguran, kesenjangan hidup antara kaya dan miskin yang besar, dan lain sebagainya. Kota Jakarta sebagai salah satu kota besar dunia tidak terlepas dari dua sisi mata uang tersebut. Pada satu sisi Jakarta terkenal dengan kemajuan pembangunannya sehingga mengundang banyak orang berurbanisasi ke kota ini, namun di sisi lain kota Jakarta juga menyimpan berbagai masalah yang tak kunjung terselesaikan. Saputra (dalam www.beritaiptek.com, 2007) menyebutkan bahwa Jakarta, yang merupakan barometer kota-kota besar di Tanah Air, seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan pengelolaan kota yang baik, yang menyediakan kenyamanan tempat tinggal, berkarya dan berinteraksi antar anggota masyarakatnya. Namun, kondisi tersebut nampaknya masih jauh dari kenyataan. Beban pencemaran yang semakin berat didukung oleh tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi, pengangguran, sarana transportasi massal yang minim pelayanan, dan sarana atau fasilitas umum yang semakin langka menjadikan Jakarta dapat dikatakan berat untuk menyandang kota yang manusiawi.

Salah satu Permasalahan cukup mencolok yang terdapat di kota Jakarta adalah masih tingginya jumlah warga Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut semakin meningkat sejak Indonesia ditimpa oleh krisis ekonomi pada tahun 1998. Selain meningkatnya jumlah penduduk miskin, Fajriati (dalam www.jejak.htmlplanet.com) menyebutkan bahwa krisis tersebut juga menyebabkan hampir 30 persen dari semua anak-anak usia sekolah di Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Anak-anak putus sekolah mulai bermunculan. Sebagai akibatnya, di kota-kota besar, termasuk Jakarta bermunculan anak-anak yang bekerja menjadi loper koran, pembersih kaca mobil, pengamen, 'polisi cepek' dan juga pengemis. Mereka bekerja, atau lebih tepatnya dipekerjakan, dengan alasan untuk membiayai sekolah. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam mengatasi masalah anak-anak putus sekolah ini. Akhir tahun 1998, Pemerintah menggandeng Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang akhirnya menyuntikkan dana sebesar US$ 133 juta atau sekitar 1,4 trilyun rupiah (nilai saat itu). Pemerintah menggunakan dana ini untuk membiayai program pendidikan bagi anak putus sekolah, yang kemudian dikenal dengan program 'Ayo Sekolah'. Selain itu, Pemerintah juga membebaskan SPP bagi siswa-siswa yang tergolong rawan ekonomi. Namun, di Indonesia,- khususnya di kota-kota besar- anak-anak jalanan yang berprofesi dari pengemis hingga pengamen justru semakin banyak. Pembebasan SPP, Program Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN OTA), dan beasiswa tidak mendorong anak-anak kembali ke bangku sekolah. Tekanan ekonomi inilah yang mungkin mendorong mereka ke jalanan. Situs www.ypha.or.id menyebutkan bahwa jumlah siswa putus sekolah di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Jakarta masih tinggi. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta tahun ajaran 2006/2007, sebanyak 1.002 siswa SD dan 2.172 siswa SMP negeri dan swasta dinyatakan tidak melanjutkan pendidikan. Menurut situs tersebut pula, banyak siswa dari keluarga tidak mampu memutuskan berhenti sekolah karena harus membantu ekonomi keluarga. Fenomena tersebut, lanjutnya, bisa disebabkan orangtua siswa terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara mendadak, atau usaha orang-tuanya yang bangkrut, sehingga anggaran untuk biaya pendidikan anaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain ekonomi, faktor individu seperti minat anak untuk sekolah juga dapat menjadi penyebab siswa putus sekolah

Di tengah permasalahan makin tingginya anak putus sekolah tersebut masih terdapat orang-orang yang mau meluangkan harta, waktu, dan tenaga untuk meringankan masalah tersebut, yaitu dengan mendirikan sekolah yang tidak memungut biaya kepada anak didiknya (gratis). Tambahan lagi, pendiri sekolah tersebut terkadang mrangkap pula sebagai pengajar sekaligus orang tua asuh bagi anak-anak tersebut. Salah satunya adalah Yayasan Himmata (http://himmata.org/), sebuah yayasan yang didirikan oleh salah satu sahabat saya, Bapak H. Siswandi, yang memberi ruang bagi anak-anak bangsa yang kurang beruntung untuk dapat ikut serta merasakan nikmatnya mendapatkan pendidikan. Anak-anak tersebut tentunya tidak dipungut biaya apapun namun tetap mendapatkan fasilitas-fasilitas yang cukup menunjang dalam jalannya kegiatan ajar mengajar. Terletak di daerah plumpang, Yayasan Himmata didukung penuh oleh para penyandang dana, baik perorangan maupun kolektif. Saat menyempatkan diri untuk mengunjungi Yayasan tersebut, penulis sempat merasa amat kecil. Mengapa? Karena dengan segala kenikmatan yang saya punya, kadang-kadang masih saja merasa kurang. Sedangkan di tempat tersebut, saya melihat bahwa masih banyak orang-orang yang jauh lebih kekurangan daripada saya. Yang membuat saya lebih kecil lagi, bahwa ternyata pandangan skeptis saya bahwa di dunia ini tidak ada lagi orang baik adalah salah besar. Di tempat tersebut saya melihat bagaimana orang-orang pengurus yayasan bekerja ikhlas dengan satu niatan dasar, yaitu membantu orang lain, dalam hal ini anak-anak putus sekolah. Dalam benak kemudian mucul pertanyaan, ”untuk apa mereka melakukan semua ini? Mencurahkan tenaga dan pikiran ”hanya” untuk membantu orang lain? Apa yang mereka cari?.”

Setelah beberapa waktu berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya menemukan penjelasan subyektif, yang mungkin tidak dapat memuaskan orang lain kecuali saya sendiri. Menurut pemikiran saya, ada beberapa hal yang dapat dikedepankan sebagai alasan orang-orang tersebut memutuskan untuk mendirikan sekolah gratis. Salah satu alasan yang mungkin adalah orang-orang tersebut mencoba menemukan makna hidup dengan membantu sesama. Menurut Bastaman (2007), makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Ditambahkan olehnya apabila makna hidup berhasil ditemukan dan dipenuhi maka akan menyebabkan kehidupan sebagai sesuatu yang berarti dan berharga. Apabila kita berbicara mengenai makna hidup maka tak dapat dilepaskan dari Victor Frankl, seorang neuro-psikiater yang menemukan dan mengembangkan logoterapi (Frankl, 2006). Dalam bahasa Yunani. Logoterapi berasal dari kata Yunani yang “logos” berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi memandang bahwa makna hidup (meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) (Bastaman, 2007).

Hal yang dilakukan oleh orang-orang yang mendirikan sekolah gratis ini, dapat dikategorikan ke dalam creative values (Bastaman, 2007) dan self transcendence (Rekker, dalam Tri, 2001) mengenai sumber-sumber makna hidup, artinya orang-orang tersebut dapat menemukan maka hidupnya dengan bekerja dan berkarya, serta dengan mendirikan sekolah gratis berarti mereka telah membantu sesama, yaitu anak-anak kurang mampu dalam hal ekonomi yang putus sekolah Perlu dijelaskan bahwa bekerja dan berkarya tersebut hanya merupakan sarana, namun untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup tersebut tergantung pada pribadi yang bersangkutan dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu. Jadi, mereka mungkin menempatkan materi sebagai reward di urutan kesekian dan menempatkan rasa membantu antar sesame di urutan teratas. Luar Biasa apabila memang benar demikian. Niscaya apabila orang-orang di negara kita, atau bahkan dunia, dapat berlaku demikian, tentu saja bumi akan menjadi tempat yang jauh lebih nyaman untuk dihuni. Apa yang menjadi makna hidup anda?

Wassalam,

Arya Verdi R.

.