Saturday, January 5, 2008

VJ#19/I/2008 : Kekerasan di Sekolah : Studi Kasus di SMUN 70, Jakarta

"sebuah kisah pribadi "

Di dalam kehidupan sehari-hari dan dalam segala bidang, manusia tidak bisa lepas dari pembagian-pembagian lapisan masyarakat yang didasarkan oleh klasifikasi-klasifikasi tertentu. Pembagian-pembagian tersebut, yang lebih kita kenal dengan sebutan strata, sedikit banyak akan mempengaruhi cara-cara seseorang untuk bersikap serta bertingkah laku di dalam lingkungannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, strata mempunyai pengertian lapisan, tingkat masyarakat, dan sebagainya. Ada beberapa contoh yang dapat saya berikan untuk lebih menjelaskan kata ini. Misalnya pembagian lapisan sosial yang terdapat di masyarakat Bali, pangkat-pangkat pada bidang kemiliteran, tingkat jabatan pada sebuah kantor, dan lain-lain. Pembagian strata ini dapat terbentuk oleh beragai hal, misalnya karena diberikan oleh masyarakat seperti gelar pendidikan seseorang (dokter, insinyur, dan sebagainya) dan pangkat pada bidang kemiliteran, atau yang diperoleh sejak lahir (tanpa memerlukan usaha) seperti pada pembagian lapisan sosial pada masyarakat Bali (tingkat kebangsawanan) atau India. Pembagian strata tidak hanya dapat terjadi di lingkungan yang besar dan tidak harus secara resmi diakui oleh masyarakat luas. Ini terbukti dengan melihat sebuah fenomena unik yang terjadi di sebuah sekolah menengah, yaitu SMUN 70.

SMUN 70, sebuah sekolah unggulan di Jakarta Selatan, ternyata juga memberlakukan pembagian-pembagian sosial di kalangan siswa-siswanya, tanpa melibatkan guru-guru maupun sekolah. Hal tersebut bahkan telah menjadi sebuah tradisi unik yang telah berlangsung lama dan membedakan mereka dari sekolah-sekolah menengah lainnya. Tradisi tersebut menentukan bahwa siswa yang telah duduk di kelas 3 menduduki strata tertinggi, siswa kelas 2 menduduki strata menengah, sedangkan siswa kelas 1, yang termuda, tentu saja menduduki strata terendah. Sesuai dengan strata-strata lain yang berlaku di masyarakat, bahwa orang-orang di strata yang lebih rendah harus menghargai dan menghormati orang-orang yang berada di strata yang lebih tinggi, maka begitu pula yang terjadi di sekolah ini. Siswa-siswa kelas 1 diharuskan menghormati (sangat menghormati bahkan) dan harus menuruti hal-hal yang diperintahkan oleh siswa-siswa yang lebih tua daripada mereka (dalam hal ini adalah siswa-siswa kelas 3), baik suka maupun tidak suka tanpa boleh melakukan perlawanan. Sebaliknya, siswa-siswa kelas 3 dapat berbuat serta memerintahkan apa saja dan kapan saja kepada siswa-siswa kelas 1 tersebut, bahkan perbuatan-perbuatan mereka telah menjurus ke hal-hal yang kasar, berhubungan dengan fisik (seperti menampar), dan bersifat intimidasi (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, intimidasi mempunyai pengertian suatu tindakan menakut-nakuti, memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu; gertakan; ancaman). Tindakan-tindakan intimidasi tersebut dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan dilakukan di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Contoh-contoh intimidasi tersebut misalnya melakukan pengambilan uang atau barang secara paksa, memaksa siswa-siswa kelas 1 untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat melecehkan harga diri mereka, dan melakukan tindakan-tindakan kasar yang bersifat fisik (seperti memukul, menampar, menendang, dan sebagainya). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh siswa-siswa kelas 3 hampir setiap hari sekolah, sepanjang tahun ajaran, dan sepertinya tidak akan berhenti sampai mereka telah dinyatakan lulus dari SMUN 70.

Hal-hal seperti di atas tentu saja, sedikit banyak, berpengaruh terhadap kondisi psikologis siswa-siswa kelas 1, yang menjadi korban tindakan-tindakan intimidasi tersebut, karena sekuat apapun mental seseorang apabila terus menerus dikenai tindakan-tindakan seperti contoh-contoh di atas, maka tentu saja akan goyah juga. Salah satu gangguan psikologis yang dapat muncul pada diri mereka adalah gangguan-gangguan karena kecemasan (anxiety disorders), yaitu gangguan yang didapat apabila seseorang setiap saat dalam hidupnya selalu merasakan tegangan psikologis yang cukup tinggi. Inilah yang membedakannya dari individu normal, karena seorang individu normal dengan mudah dapat menyesuaikan diri dan mengatasi kecemasannya. Sedangkan, seseorang yang terkena gangguan ini akan sangat berlebihan kekhawatirannya terhadap segala hal, sehingga ia akan menjadi seseorang yang pelupa, tidak teratur, dan susah berkonsentrasi terhadap hal-hal lain. (Barlow et al, 1986; Rapee & Barlow, 1993).

Selain itu, tindakan-tindakan intimidasi tersebut, juga dapat membuat lingkungan belajar para siswa kelas 1 menjadi tidak nyaman serta membuat mereka tidak tertarik untuk belajar. Hal yang terakhir ini akan berpengaruh terhadap menurunnya motivasi seseorang untuk berprestasi karena menurut D. C. McClelland dalam bukunya yang berjudul Human Motivation, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi adalah lingkungan belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, memberi semangat dan sikap optimisme bagi siswa dalam belajar. Dengan adanya hal-hal tersebut maka sangat besar kemungkinan siswa-siswa kelas 1 tersebut akan sulit untuk memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh guru-guru mereka, karena setiap mereka mencoba untuk berkonsentrasi terhadap pelajaran-pelajaran tersebut, pikiran mereka akan terganggu dan selalu dibayang-bayangi ketakutan terhadap tindakan-tindakan intimidasi siswa-siswa kelas 3. Apalagi ditambah dengan adaptasi yang harus mereka lakukan terhadap pelajaran-pelajaran serta lingkungan baru, yang mungkin sangat berbeda dengan sebelum mereka bersekolah di SMUN 70.

Melihat penjelasan-penjelasan tersebut maka ada kemungkinan terjadinya penurunan nilai akademis siswa-siswa kelas 1 tersebut akan amat besar apabila dibandingkan dengan prestasi-prestasi nilai akademis yang pernah mereka dapatkan di lembaga-lembaga pendidikan lain yang lebih rendah tingkatannya apabila dibandingkan dengan smu, dimana tidak terdapat tindakan-tindakan intimidasi (seperti smp, sd, dan sebagainya. Sbagai manusia normal, para siswa kelas 1 tersebut membutuhkan suasana yang mendukung dan tidak mengancam untuk dapat mengembangkan kemampuan akademis dan kreatifitas mereka, dan hal tersebut akan dapat lebih sempurna dicapai apabila tindakan-tindakan yang bersifat intimidasi dapat dihentikan dan dhilangkan dari lingkungan mereka.

Sudah siapkah kita untuk menghilangkan perilaku intimidasi atas nama senioritas di lingkungan kita?

No comments: