Wednesday, May 14, 2008

VJ#32/V/2008 : Marriage Problems (poligami?)


Selamat pagi, siang, sore, malam para pembaca blogs setia. setelah dalam beberapa tulisan, saya banyak membuat seputar teori kepribadian dari berbagai tokoh, maka kali ini saya mencoba menyajikan sebuah tulisan yang saya buat mengenai pernikahan dan permasalahnnya. Tulisan ini saya ambil dari salah satu tugas dalam menangani kasus seorang klien yang di poligami oleh suaminya.Setelah tulisan ini selesai, saya berpikir "kenapa tidak saya post di verdi's journals?". alasannya adalah karena apabila berbicara pernikahan dan permasalahannya tentu tidak akan ada habisnya- karena pasti dialami oleh semua pasangan yang telah menikah - apalagi bila berbicara mengenai poligami.

Sampai detik ini, poligami masih menjadi perdebatan panjang, dengan pihak pro dan pihak kontra sama kuat dan "ngotot" dalam mempertahankan pendapat. tulisan ini tidak bermaksud untuk memihak pihak manapun namun lebih mencoba menyoroti masalah-masalah pernikahan (termasuk di dalamnya poligami - bila anda sepakat dengan saya bahwa hal tersebut termasuk potensi menjadi masalah pernikahan ), dampaknya, dan cara seseorang (istri?) atau biasa disebut coping untuk menghadapinya.

Saya mengambil teori coping pada perselingkuhan karena di dunia barat poligami tidak begitu populer sehingga saya kesulitan menemukan teoeri coping pada masalah poligami. Mengapa perselingkuhan? karena Coping yang saya berikan di sini adalah dalam kasus apabila seorang suami berpoligami dengan di awali sebuah hubungan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan istrinya.

Semoga tulisan ini cukup netral untuk menyoroti masalah-masalah yang disebutkan di atas dari sudut pandang psikologi. Selamat menikmati dan jangan segan memberikan komentar.

TULISAN ITU :

I. Pernikahan
a. Definisi Pernikahan
Apabila berbicara mengenai pernikahan maka akan dapat ditemukan banyak definisi mengenainya. Misalnya yang dikemukakan oleh Duvall dan Miller (1985) bahwa pernikahan adalah :

“Marriage can be most accurately defined as the socially recognized relationship between a man and a woman that provides for sexual relations, legitimizes childbearing and establish a division of labor between spouses.” (Duvall & Miller, 1985 hal. 6).

Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan dikemukakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Ariyani, 2004). Dari kedua definisi di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga, yang diakui secara sosial. Selain itu, pernikahan itu membentuk adanya pembagian peran yang jelas antara suami dan istri sehingga pernikahan tersebut diharapkan dapat bahagia dan berlangsung selamanya.

b. Masalah-masalah pada Pernikahan
Pada umumnya terdapat berbagai permasalahan selama suatu pernikahan berjalan. Dalam pernikahan, umumnya pasangan menyadari bahwa mereka harus melakukan penyesuaian diri agar dapat hidup bersama secara harmonis. Hal ini menunjukkan pentingnya proses penyesuaian diri dalam pernikahan. Adapun masalah dalam penyesuaian pernikahan meliputi kepuasan dalam pernikahan yang berkaitan dengan interaksi suami-istri, sehingga kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing dapat diketahui, dihormati, dan dipuaskan. Harapan yang tidak realistis dapat menimbulkan masalah dalam suatu hubungan. Masalah-masalah tersebut antara lain berkaitan dengan :
1. Pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga
2. Komunikasi dan konflik
3. Kehidupan seksual
Dalam kehidupan rumah tangga, terdapat pembagian tanggung jawab di antara pasangan. Isu yang terkait dengan hal tersebut adalah pembagian tanggung jawab yang dipersepsikan secara adil oleh masing-masing pasangan. Sementara itu, masalah-masalah yang terkait dengan komunikasi dan konflik antara lain yaitu hambatan dalam mengkomunikasikan perasaan yang mendalam, harapan, keinginan, dan kebutuhan pribadi. Hal ini didukung salah satu hasil penelitian tersebut yang menjelaskan mengenai beberapa area kesulitan penyesuaian yang umumnya muncul dalam pernikahan. Salah satu area tersebut adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif penting bagi keberhasilan pernikahan. Hasil penelitian juga mengidentifikasi area dari fungsi pernikahan yang membedakan antara pasangan yang merasa puas dan tidak puas. Dari tiga area fungsi terpenting, dua di antaranya melibatkan komunikasi, yaitu kenyamanan pasangan dalam membagi informasi satu sama lain dan kemauan mereka untuk mengenali dan menyelesaikan konflik di antara mereka. Area yang ketiga adalah kualitas hubungan seksual mereka.

Sejumlah penelitian telah membandingkan pola komunikasi pada pernikahan yang bahagia dan tidak bahagia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasangan yang tidak bahagia terjadi hal-hal berikut ini:

1. Mengalami kesulitan dalam menyampaikan pesan positif
2. Lebih sering mengalami kesalahpahaman satu sama lain
3. Kurang menyadari bahwa mereka telah salah paham
4. Lebih sering dan lebih intens dalam menggunakan pesan negatif
5. Sering kali berbeda dalam menginginkan seberapa erat kedekatan (self-disclosure) dalam hubungan (Noller & Fitzpatrick; Noller & Gallois; Sher & Baucom, dalam Weiten & Lloyd, 1997).

Apabila masalah-masalah tersebut tidak terselesaikan dengan baik maka dapat berakibat suatu hubungan pernikahan. Ada beberapa cara suatu pernikahan dapat berakhir. Salah satunya adalah dengan annulment, yaitu berahirnya pernikahan secara legal, misalnya dengan salah satu pasangan menikah lagi (bigamy). Di Indonesia, bigamy lebih dikenal dengan istilah poligami, dan tidak ditandai dengan berakhirnya pernikahan terdahulu.

II. Poligami
a. Pengertian Poligami
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat. Hal ini berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Pada saat ini, masyarakat secara umum lebih mengenal poligami sebagai pernikahan satu suami dengan beberapa istri. Hal ini sejalan dengan Dacey dan Travers (dalam Ariyani, 2004) yang tidak lagi menggunakan istilah poligini dalam pembagian tipe pernikahan yang mereka ajukan namun menggunakan istilah poligami. Apabila dipandang dari sudut pandang agama maka tidak semua agama memperbolehkan praktik poligami. Salah satu agama yang melegalkan pernikahan poligami adalah agama Islam. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya Hal tersebut tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3.

b. Dampak Poligami
Agama Islam, sebagai salah satu agama yang mengizinkan praktek poligami, memberikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang pria apabila mau melakukan poligami. Salah satu ketentuan yang tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 129 adalah pria tersebut harus dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Ketentuan ini untuk menghindari dampak negatif dari poligami, baik untuk sang pria maupun pihak perempuan. Dari beberapa penelitian telah ditemukan bahwa praktek poligami memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Salah satunya seperti yang disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) bahwa poligami akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise di hadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. Sedangkan pihak istri lebih sering mendapatkan dampak negatif dari pernikahan poligami. Beberapa kerugian bagi pihak perempuan disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) adalah bagi para istri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi masing-masing. Selain itu mereka juga harus berbagi wilayah domestik yang biasanya dipahami sebagai ranah perempuan, seperti dapur. Adapun bagi para istri yang tinggal di tempat yang berbeda dapat menyebabkan tekanan-tekanan kepribadian, seperti cemburu, konflik kepribadian, kompetisi, dan ketidaksenangan anak terhadap ibu yang berbeda. Jones (dalam Ariyani, 2004) menambahkan melalui hasil penelitiannya pada perempuan Suku Sasak di Lombok bahwa poligami mengakibatkan hal-hal seperti mimpi buruk, kepasrahan akan nasib, pertengkaran antar istri, perasaan dikhianati oleh suami, bunuh diri, dan bahkan menjadi gila.

Beberapa dampak dari poligami terhadap seorang istri sebagai berikut :
a. Dampak psikologis
Perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.

b. Dampak ekonomi rumah tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

c. Dampak hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.

d. Dampak kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.

e. Kekerasan terhadap perempuan,
Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.

Sedangkan Jamruhi (2006) menyebutkan beberapa pengaruh negatif poligami terhadap istri sebagai berikut :

a. Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para istri. Perasaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu istri dbandingkan dengan istri yang lain atau karena kurang adanya keadilan. Akan tetapi hal ini jarang terjadi apabila suami dan istri mengerti mengenai hak dan kewajibannya.

b. Perasaan di atas juga bisasnya terwarisi kepada anak-anak dari masing-masing istri sehingga tidak mempunyai rasa persaudaraan.

c. Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena biasanya suami akan lebih mencintai istri barunya. Perasaan ini mengakibatkan istri pertama merasa kurang bahagia dalam hidupnya.

III. Coping pada Masalah Pernikahan (Perselingkuhan)
Dr Elisabeth Ross (dalam Subotnik dan Harris, 2005) mengidentifikasikan lima tahap coping pada seseorang yang pasangannya melakukan perselingkuhan pada suatu hubungan. Menurutnya, tidak semua orang melewati tahap-tahap ini dan tidak harus berurutan. Tahap-tahap tersebut adalah :
1. Denial (penyangkalan)
Penyangkalan merupakan reaksi yang sama yang dirasakan orang yang kehilangan dalam bentuk lain, seperti kematian. Reaksi awal saat mengetahui bahwa pasangan anda telah tidak jujur adalah tidak percaya. Salah satu cara yang dilakukan oleh seseorang dalam melindungi atau mengurangi rasa sakit hati.

2. Anger
Setelah tahap denial, pasangan yang dikhianati biasanya mengalami ledakan kemarahan.pada tahap ini, beberapa orang menunjukkannya dengan teriakan atau tangisan, sedangkan yang lainnya ingin melakukan balas dendam. Jika anda bisa mengetahui rasa marah anda dan bisa mengekspresikannya dengan cara yang aman, maka anda sedang menuju jalan yang benar untuk mengatasi rasa sedih.

3. Bargaining
Setelah tahap marah, dimulailah tahap bargaining. Saat anda menghadapi fakta bahwa pernikahan anda menghadapi krisis, anda mungkin saja mulai melakukan bargaining. Contohnya, ”saya berjanji akan lebih perhatian”, ”aku akan lebih mencinta dia”. Pada tahap ini, anda mungkin akan merasa sakit dan ketakutan akan kehilangan hubungan yang telah terjalin sehingga membuat anda tidak dapat berpikir secara rasional.

4. Depression
Pada tahap ini, anda akan kehilangan minat pada dunia luar, sulit berkonsentrasi, selera makan yang tidak terkontrol, menjadi seorang yang pelupa, dan bingung. Depresi dapat juga diekspresikan dalam bentuk tangisan terus-menerus.

5. Acceptance
Tahap terakhir, acceptance, dibutuhkan agar anda dapat bergerak maju. Ada dua tipe acceptance, yaitu intelektual (muncul lebih dahulu) dan emosional (muncul berikutnya). Intelektual artinya memahami apa yang telah terjadi, sedangkan emosional artinya anda dapat berdiskusi dengan pasangan mengenai perselingkuhan yang dilakukan tanpa memberikan reaksi pada tahap-tahap sebelumnya. Pada kasus kebanyakan, setelah waktu yang lama, kebanyakan orang dapat mengintegrasikan kedua tipe acceptance tersebut dalam menghadapi masalah mereka.


Sumber :
Ariyani, Mira. (2004). Faktor yang Berperan dan Proses yang Terjadi Dalam Keputusan
Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poiligami. Skripsi Sarjana. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

De De Genova, Mary Kay & Rice, F. Philip. (2005). Intimate relationships, marriages and families. 6th edition. New York: McGraw-Hill.

Duvall, Evelyn M. & Miller, Brent C. (1985). Marriage and Family Development (6th Ed.). New York: Harper & Row Publishers.

Green, Ernest J. (1978). Personal relationships: An approach to marriage and family. USA: McGraw-Hill Book Company.

Subotnik, Rona B., Harris, Gloria G. (2005) Surviving Infidelity : Making decision, recovering from the pain (3rd edition). Canada : Adams Media

Weiten, W. & Lloyd, M.A. (1997). Psychology applied to modern life: Adjustment in the 90s (5th ed). USA: Brooks / Cole Publishing Company.

http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami diakses 23 Maret 2008
http://www.pks-kotatangerang.or.id diakses 23 Maret 200

VJ#31/V/2008 : Social Learning Theory (Bandura)


written by : member of KLD

Teori Belajar Sosial (Social Learning) oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu – individu lain yang menjadi model.

Bandura menyatakan bahwa orang belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut.

Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Selama jalannya Observational Learning, seseorang mencoba melakukan tingkah laku yang dilihatnya dan reinforcement/ punishment berfungsi sebagai sumber informasi bagi seseorang mengenai tingkah laku mereka.

Teori belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan).

Modeling lebih dari sekedar peniruan atau mengulangi perilaku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Modelling dilakukan melalui empat proses yaitu perhatian, representasi, peniruan tingkah laku, dan motivasi dan penguatan. Perhatian dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan orang yang diamati (model), sifat dari model tersebut, dan arti penting tingkah laku yang diamati. Representasi berarti tingkah laku yang akan ditiru harus disimbolisasikan dalam ingatan. Dalam peniruan tingkah laku, pengamat harus mempunyai kemampuan untuk menirukan perilaku dari model yang diamati. Modeling ini akan efektif jika orang yang mengamati mempunyai motivasi yang tinggi untuk meniru tokoh yang diamatinya.

Satu konsep penting yang dikemukakan Bandura adalah reciprocal determinism, yaitu seseorang akan bertingkah laku dalam suatu situasi yang ia pilih secara aktif. Dalam menganalisis perilaku seseorang, ada tiga komponen yang harus ditelaah yaitu individu itu sendiri (P: person), lingkungan (E: environment), serta perilaku si inidividu tersebut (B: behavior). Individu akan memunculkan satu bentuk perilaku yang sama meskipun lingkungannya serupa, namun individu akan bertindak setelah ada proses kognisi atau penilaian terhadap lingkungan sebagai stimulus yang akan ditindaklanjuti. Bandura menyatakan bahwa kognisi adalah sebagai tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita mempengaruhi tingkah laku.

Self efficacy
Ini adalah persepsi seseorang mengenai kemampuannya didalam menghadapi suatu situasi. 2 komponen dalam Self efficacy adalah:

1. Outcome expectations : perkiraan individu bahwa suatu outcome tertentu akan muncul dan pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan

2. Efficacy expectations : beliefs bahwa ia bisa melakukannya atau tidak.
Ditekankan bahwa self efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Segala tingkah laku, bisa tingkah laku dalam bekerja, akademis, rekreasi, sosial dipengaruhi oleh self efficacy.
Expectancy adalah variabel kognitif dalam hubungan antara stimulus dan respon. Outcome expectancy adalah antisipasi dari hubungan yang sistematik antara kejadian-kejadian atau objek-objek dalam suatu situasi. Bentuknya adalah “jika-maka” antara perilaku dan hasilnya. Gagalnya suatu peristiwa mengikuti bentuk “jika-maka” yang ada dalam pola pikir individu, maka jika harapan dari individu terlalu tinggi dan tidak dapat tercapai, individu tersebut akan lebih mudah mengalami gangguan karena ketidaknyamanan yang ia alami.

Self Regulation
Self regulation adalah kemampuan individu untuk mengatur perilakunya sendiri dengan internal standard dan penilaian untuk dirinya. Konsep ini menjelaskan mengapa manusia bisa mempertahankan perilakunya walaupun tidak adanya rewards yang berasal dari lingkungan eksternal. Konsep ini tidak dapat berjalan tanpa adanya internal standards seseorang.
Internal standards adalah pemikiran yang berasal dari pengaruh modelling sebelumnya dan juga berbagai reinforcement yang lalu. Dengan adanya pemaknaan terhadap fenomena tertentu yang menurutnya baik atau bernilai, maka nilai-nilai tersebut menjadi patokan nilai internal individu yang bersangkutan. Semakin tinggi internal standard seseorang, semakin besar harapannya untuk mencapai nilai tersebut dan semakin besar pula kemungkinan individu tersebut mengalami gangguan-gangguan.

VJ#30/V/2008 : Sociocultural Theory


written by : member of KLD

Teori Bioekologi
Salah satu teori yang sangat terkenal dari pendekatan sosiokultural adalah Teori Bioekologi dari Urie Bronfenbrenner. Teori ini menggambarkan tentang tingkatan interaksi yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Menurutnya perkembangan
terjadi melalui proses interaksi yang regular, aktif, dua arah antara individu dan lingkungan sehari-harinya. Proses ini terjadi dalam lima sistem lingkungan yang saling berkaitan, yaitu:

1. Mikrosistem
Merupakan sistem terdekat dengan individu, dimana individu terlibat dalam interaksi dua arah dengan orang lain dalam basis kehidupan sehari-hari dan menjadi agen sosialisasi. Sistem ini terdiri dri keluarga (orang tua), teman sebaya, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan tempat ibadah.

2. Mesosistem
Merupakan sistem yang menghubungkan dua atau lebih mikrosistem dimana individu terlibat didalamnya. Misalnya: hubungan antara keluarga denagn teman sebaya, terjadi konflik nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dengan nilai-nilai teman sebayanya. Dalam sistem ini dapat terlihat sikap dan perilaku yang berbeda dari satu individu dalam setting lingkungan yang berbeda.

3. Eksosistem
Terdiri dari dua atau lebih sistem yang saling berhubungan, namun tidak mempengaruhi individu secara langsung.

4. Makrosistem
Merupakan sistem dari pola-pola kebudayaan yang mencakup seluruh mikro, meso dan eksosistem masyarakat seperti sistem perekonomian dan budaya (kapitalisme, sosialisme).

5. Kronosistem
Menunjukan derajat kestabilan dan perubahan dalam dunia dimana individu berada. Misalnya perubahan komposisi keluarga hingga perubahan dalam lingkup yang lebih besar seperti peperangan, mobilitas kelas sosial.

Menurut Urie Bronfenbrenner, individu bukan merupakan hasil dari suatu perkembangan, namun ia adalah pembentuk perkembangan itu. Orang lain dapat mempengaruhi perkembangan individu melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan kemampuan serta temperamen. Bronfenbrenner juga mengatakan bahwa individu tidak berkembang dalam isolasi, namun dalam keterkaitan konteks / sistem yang mempengaruhi dirinya melalui interaksi sosialisasi. Setiap agen sosialisasi memiliki peran untuk mempersiapkan individu dalam dua hal, yaitu stabilitas dan perubahan. Dalam hal stabilitas, agen sosialisasi meneruskan nilai-nilai budaya dan moral, tingkah laku, sikap dan peran individu dalam masyarakat namun disisi lain juga mempersiapkan individu untuk berubah menjadi dewasa yang kompeten dan bertanggung jawab dalam masyarakat. Agen sosialisasi pertama dalam kehidupan individu adalah keluarga. Untuk itulah diperlukan role model yang adekuat dalam keluarga.

Keluarga sebagai mikrositem
Keluarga sebagai agen sosialisasi primer dalam mikrosistem dalam kehidupan anak memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Sosialisasi dan edukasi
Keluarga menanamkan nilai-nilai, belief, sikap, pengetahuan dan kemampuan yang dianut masyarakat pada anaknya.

2. Penugasan peran sosial
Keluarga menyediakan identitas (etnis, peran, gender) pada anaknya, dimana identitas ini memiliki konsekuensi dalam perilaku dan tugas-tugas tertentu. Misalnya sebagai anak harus menghormati orang tua, atau ayah sebagai kepala keluarga bertanggung jawab atas perekonomian keluarga.

3. Dukungan ekonomi
Keluarga menyediakan tempat tinggal, pemenuhan gizi dan perlindungan. Orang tua diharapkan dapat menghasilkan uang untuk memenuhi dukungan ekonomi ini.

4. Dukungan emosional
Keluarga merupakan pengalaman pertama anak dalam berinteraksi sosial. Interaksi ini sebaiknya intim, nurturing, bertahan lama dan menyediakan keamanan emosional pada anak. Keluarga yang sedang mengalami tekanan beresiko untuk mengalami disfungsi karena anak-anak dalam keluarga memiliki ketergantungan pada orang tua untuk memenuhi kebutuhan afeksi dan belajar bersosialisasi. Mereka belajar dari mengamati peran yang dijalankan oleh orang tuanya serta sikap dan perilaku orang tuanya. Hal ini dapat terjadi dalam hubungan antara orang tua dan anak dalam pola asuh.

Baumrind (Berns, 1997) mengemukakan bahwa bentuk pola asuh tertentu akan menimbulkan perilaku spesifik pada anak sebagai dampak pengasuhannya. Baumrind membagi pola asuh dalam tiga kelompok, yaitu:
I
Pola Asuh : Authoritative (Democratic)

Karakteristik : • Mengontrol tetapi fleksibel
• Demanding tetapi rasional
• Hangat
• Reseptif terhadap komunikasi dengan anak
• Menghargai kepercayaan diri, disiplin, dan keunikan individu

Tingkah Laku Anak :
• Percaya diri
• Memiliki kontrol diri
• Eksploratif
• Merasa senang
• Kooperatif

II.
Pola Asuh : Authoritarian (Adult-centered)

Karakteristik :
• Kontrol yang kaku (keinginan diri di kekang oelh ukuran hukuman)
• Evaluasi perilaku & sikap anak berdasarkan standar absolut.
• Menghargai kepatuhan, hormat pada otoritas dan tradisi.

Tingkah Laku Anak :
• Tidak merasa senang atau puas
• Merasa terkekang
• Tidak mempunyai tujuan
• Menarik diri
• Penuh ketakutan
• Penuh kecurigaan

III.
Pola Asuh : Permissive (Child-centered)

Karakteristik :
• Tidak ada kontrol
• Tidak ada permintaan dari orang tua
• Menerima keinginan anak

Tingkah Laku Anak :
• Tidak percaya diri
• Impulsif (semua keinginan harus dipatuhi)
• Agresif
• Kurang mam[pu bereksplorasi
• Kurang mampu mengontrol diri

Teman sebaya sebagai mikrosistem
Teman sebaya merupakan salah satu agen sosialisasi dalam mikrosistem karena bersama teman sebaya, kebutuhan-kbutuhan tertentu dari seorang individu dapat terpenuhi; serta teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang baik pada perkembangan sosial, kognitif, dan psikologis.
Beberapa kebutuhan remaja yang terpenuhi dari keberadaan teman sebaya, adalah:

1. Sense of belonging dan interaksi sosial
Bermain dengan teman sebaya dapat memenuhi kebutuhan remaja untuk menjadi bagian dalam suatu kelompok. Remaja menjadi sangat tergantung pada penerimaaan dan persetujuan dari teman sebaya daripada dengan orang tua. Ketika remaja bergabung dalam kelompok teman sebayanya, maka ia akan belajar berinteraksi sosial dengan orang lain dan memiliki pengalaman sebagai individu yang independent dari orang tua atau figure dewasa lainnya. Melalui sosialisasi dengan teman sebaya, remaja belajar untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri.

2. Sense of self dan identitas personal
Sering kali terjadi perbedaan nilai dalam keluarga dan nilai dalam kelompok teman sebaya. Misalnya prestasi akademis menjadi nilai penting bagi keluarga namun penampilan modis yang mengikuti tren lebih bernilai bagi kelompok teman sebaya.

Hans Sebald (dalam Berns, 1997) mengatakan bahwa remaja biasanya akan mengikuti orang tua dalam hal yang berkaitan dengan masa depan, sedangkan ia akan mengikuti teman sebayanya dalam hal berpakaian, kegiatan sosial, pacaran atau rekreasi.
Dalam mesosistem terdapat keterkaitan anatara keluarga dan teman sebaya. Hal ini tampak dari pola pengasuhan dalam keluarga terhadap interaksi anak dengan teman sebayanya.

Orang tua dengan pola asuh authoritative yang menunjukkan kehangatan, menerima individu, tidak terlalu mengontrol atau terlalu melepaskan dan konsisten dalam perilakunya, biasanya memiliki anak yang merasa terikat oleh nilai-nilai keluarga yang terinternalisasi. Remaja dari keluarga ini memiliki sedikit kebutuhan untuk berperilaku memberontak atau mencari penerimaan dari teman sebaya. Biasanya remaja ini akan bersosialisasi dengan teman yang memiliki nilai yang sama dan tidak mengalami pengaruh negatif dari teman sebaya.

Orang tua dengan pola asuh authoritarian yang sangat kaku dalam kontrol, dingin dan tidak menyesuaikan diri dengan kebutuhan otonomi remaja, biasanya memiliki anak yang merasa terpisah dari nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dan lebih tertarik dengan kelompok teman sebayanya untuk mendapatkan penerimaan dan dipahami. Remaja ini berisiko terhadap pengaruh negatif teman sebaya.

Orang tua permissive yang selalu memaafkan anak-anaknya dengan tidak memberikan standar aturan atau konsekuensi dari tingkah laku dan mengabaikan kegiatan yang dilakukan anak, biasanya berisiko memiliki anak yang lebih tertarik pada antisocial peer group.
A. Teori Bioekologi
Salah satu teori yang sangat terkenal dari pendekatan sosiokultural adalah Teori Bioekologi dari Urie Bronfenbrenner. Teori ini menggambarkan tentang tingkatan interaksi yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Menurutnya perkembangan
terjadi melalui proses interaksi yang regular, aktif, dua arah antara individu dan lingkungan sehari-harinya. Proses ini terjadi dalam lima sistem lingkungan yang saling berkaitan, yaitu:

1. Mikrosistem
Merupakan sistem terdekat dengan individu, dimana individu terlibat dalam interaksi dua arah dengan orang lain dalam basis kehidupan sehari-hari dan menjadi agen sosialisasi. Sistem ini terdiri dri keluarga (orang tua), teman sebaya, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan tempat ibadah.

2. Mesosistem
Merupakan sistem yang menghubungkan dua atau lebih mikrosistem dimana individu terlibat didalamnya. Misalnya: hubungan antara keluarga denagn teman sebaya, terjadi konflik nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dengan nilai-nilai teman sebayanya. Dalam sistem ini dapat terlihat sikap dan perilaku yang berbeda dari satu individu dalam setting lingkungan yang berbeda.


3. Eksosistem
Terdiri dari dua atau lebih sistem yang saling berhubungan, namun tidak mempengaruhi individu secara langsung.

4. Makrosistem
Merupakan sistem dari pola-pola kebudayaan yang mencakup seluruh mikro, meso dan eksosistem masyarakat seperti sistem perekonomian dan budaya (kapitalisme, sosialisme).

5. Kronosistem
Menunjukan derajat kestabilan dan perubahan dalam dunia dimana individu berada. Misalnya perubahan komposisi keluarga hingga perubahan dalam lingkup yang lebih besar seperti peperangan, mobilitas kelas sosial.

Menurut Urie Bronfenbrenner, individu bukan merupakan hasil dari suatu perkembangan, namun ia adalah pembentuk perkembangan itu. Orang lain dapat mempengaruhi perkembangan individu melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan kemampuan serta temperamen. Bronfenbrenner juga mengatakan bahwa individu tidak berkembang dalam isolasi, namun dalam keterkaitan konteks / sistem yang mempengaruhi dirinya melalui interaksi sosialisasi. Setiap agen sosialisasi memiliki peran untuk mempersiapkan individu dalam dua hal, yaitu stabilitas dan perubahan. Dalam hal stabilitas, agen sosialisasi meneruskan nilai-nilai budaya dan moral, tingkah laku, sikap dan peran individu dalam masyarakat namun disisi lain juga mempersiapkan individu untuk berubah menjadi dewasa yang kompeten dan bertanggung jawab dalam masyarakat. Agen sosialisasi pertama dalam kehidupan individu adalah keluarga. Untuk itulah diperlukan role model yang adekuat dalam keluarga.

Keluarga sebagai mikrositem
Keluarga sebagai agen sosialisasi primer dalam mikrosistem dalam kehidupan anak memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Sosialisasi dan edukasi
Keluarga menanamkan nilai-nilai, belief, sikap, pengetahuan dan kemampuan yang dianut masyarakat pada anaknya.

2. Penugasan peran sosial
Keluarga menyediakan identitas (etnis, peran, gender) pada anaknya, dimana identitas ini memiliki konsekuensi dalam perilaku dan tugas-tugas tertentu. Misalnya sebagai anak harus menghormati orang tua, atau ayah sebagai kepala keluarga bertanggung jawab atas perekonomian keluarga.

3. Dukungan ekonomi
Keluarga menyediakan tempat tinggal, pemenuhan gizi dan perlindungan. Orang tua diharapkan dapat menghasilkan uang untuk memenuhi dukungan ekonomi ini.

4. Dukungan emosional
Keluarga merupakan pengalaman pertama anak dalam berinteraksi sosial. Interaksi ini sebaiknya intim, nurturing, bertahan lama dan menyediakan keamanan emosional pada anak. Keluarga yang sedang mengalami tekanan beresiko untuk mengalami disfungsi karena anak-anak dalam keluarga memiliki ketergantungan pada orang tua untuk memenuhi kebutuhan afeksi dan belajar bersosialisasi. Mereka belajar dari mengamati peran yang dijalankan oleh orang tuanya serta sikap dan perilaku orang tuanya. Hal ini dapat terjadi dalam hubungan antara orang tua dan anak dalam pola asuh.

Baumrind (Berns, 1997) mengemukakan bahwa bentuk pola asuh tertentu akan menimbulkan perilaku spesifik pada anak sebagai dampak pengasuhannya. Baumrind membagi pola asuh dalam tiga kelompok, yaitu:
I.
Pola Asuh : Authoritative(Democratic)

Karakteristik :
• Mengontrol tetapi fleksibel
• Demanding tetapi rasional
• Hangat
• Reseptif terhadap komunikasi dengan anak
• Menghargai kepercayaan diri, disiplin, dan keunikan individu

Tingkah Laku Anak :
• Percaya diri
• Memiliki kontrol diri
• Eksploratif
• Merasa senang
• Kooperatif

II.
Pola Asuh : Authoritarian (Adult-centered)

Karakteristik :
• Kontrol yang kaku (keinginan diri di kekang oelh ukuran hukuman)
• Evaluasi perilaku & sikap anak berdasarkan standar absolut.
• Menghargai kepatuhan, hormat pada otoritas dan tradisi.

Tingkah Laku Anak :
• Tidak merasa senang atau puas
• Merasa terkekang
• Tidak mempunyai tujuan
• Menarik diri
• Penuh ketakutan
• Penuh kecurigaan

III.
Pola Asuh : Permissive (Child-centered)

Karakteristik :
• Tidak ada kontrol
• Tidak ada permintaan dari orang tua
• Menerima keinginan anak

Tingkah Laku Anak
• Tidak percaya diri
• Impulsif (semua keinginan harus dipatuhi)
• Agresif
• Kurang mampu bereksplorasi
• Kurang mampu mengontrol diri

Teman sebaya sebagai mikrosistem
Teman sebaya merupakan salah satu agen sosialisasi dalam mikrosistem karena bersama teman sebaya, kebutuhan-kbutuhan tertentu dari seorang individu dapat terpenuhi; serta teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang baik pada perkembangan sosial, kognitif, dan psikologis.
Beberapa kebutuhan remaja yang terpenuhi dari keberadaan teman sebaya, adalah:
1. Sense of belonging dan interaksi sosial
Bermain dengan teman sebaya dapat memenuhi kebutuhan remaja untuk menjadi bagian dalam suatu kelompok. Remaja menjadi sangat tergantung pada penerimaaan dan persetujuan dari teman sebaya daripada dengan orang tua. Ketika remaja bergabung dalam kelompok teman sebayanya, maka ia akan belajar berinteraksi sosial dengan orang lain dan memiliki pengalaman sebagai individu yang independent dari orang tua atau figure dewasa lainnya. Melalui sosialisasi dengan teman sebaya, remaja belajar untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri.

2. Sense of self dan identitas personal
Sering kali terjadi perbedaan nilai dalam keluarga dan nilai dalam kelompok teman sebaya. Misalnya prestasi akademis menjadi nilai penting bagi keluarga namun penampilan modis yang mengikuti tren lebih bernilai bagi kelompok teman sebaya.

Hans Sebald (dalam Berns, 1997) mengatakan bahwa remaja biasanya akan mengikuti orang tua dalam hal yang berkaitan dengan masa depan, sedangkan ia akan mengikuti teman sebayanya dalam hal berpakaian, kegiatan sosial, pacaran atau rekreasi.
Dalam mesosistem terdapat keterkaitan anatara keluarga dan teman sebaya. Hal ini tampak dari pola pengasuhan dalam keluarga terhadap interaksi anak dengan teman sebayanya. Orang tua dengan pola asuh authoritative yang menunjukkan kehangatan, menerima individu, tidak terlalu mengontrol atau terlalu melepaskan dan konsisten dalam perilakunya, biasanya memiliki anak yang merasa terikat oleh nilai-nilai keluarga yang terinternalisasi. Remaja dari keluarga ini memiliki sedikit kebutuhan untuk berperilaku memberontak atau mencari penerimaan dari teman sebaya. Biasanya remaja ini akan bersosialisasi dengan teman yang memiliki nilai yang sama dan tidak mengalami pengaruh negatif dari teman sebaya.
Orang tua dengan pola asuh authoritarian yang sangat kaku dalam kontrol, dingin dan tidak menyesuaikan diri dengan kebutuhan otonomi remaja, biasanya memiliki anak yang merasa terpisah dari nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dan lebih tertarik dengan kelompok teman sebayanya untuk mendapatkan penerimaan dan dipahami. Remaja ini berisiko terhadap pengaruh negatif teman sebaya.
Orang tua permissive yang selalu memaafkan anak-anaknya dengan tidak memberikan standar aturan atau konsekuensi dari tingkah laku dan mengabaikan kegiatan yang dilakukan anak, biasanya berisiko memiliki anak yang lebih tertarik pada antisocial peer group.

VJ#29/V/2008: Teori Social-Cognitive (Bandura-Mischel)


written by : member of KLD 12

I. Struktur Kepribadian
Menurut teori social-cognitive, struktur kepribadian individu terdiri dari empat konsep utama yaitu competencies-skills, belief-expectancies, evaluative standards, dan personal goal.
a. Compentencies-skills
Kompetensi atau skill adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menyelesaikan dan menghadapi masalah dalam hidupnya. Kompetensi meliputi cara bepikir tentang masalah dalam kehidupan dan kemampuan bertingkah laku dalam menyelesaikan masalah. Skill adalah kompetensi yang dimiliki individu dalam konteks yang spesifik. Kompetensi diperoleh melalui interaksi sosial dan observasi terhadap dunia. Perkembangan kompetensi kognitif dan tingkah laku juga turut mempengaruhi delay gratification skill, kemampuan individu dalam menunda kepuasan impuls yang tidak tepat secara social atau secara potential membahayakan diri sendiri. Delay gratification skill ditentukan oleh hasil yang diinginkan, pengalaman pribadi di masa lalu serta observasi terhadap konsekuensi yang diterima oleh model.

b. Belief-expectancies
Sebuah pemikiran melibatkan beliefs mengenai seperti apa dunia yang sesungguhnya dan seperti apa masa depan. Ketika beliefs diarahkan pada masa depan maka disebut dengan expectancies. Ekspektansi terhadap masa depan merupakan hal utama yang menentukan bagaimana kita bertingkah laku. Individu memiliki ekspektansi pada tingkah laku yang diterima oleh orang, reward dan punishment yang mengikuti tingkah laku tertentu, serta kemampuan individu untuk mengatasi stres dan tantangan. Inti dari kepribadian adalah pada perbedaan cara dimana manusia sebagai individu yang unik menerima suatu situasi, mengembangkan ekspektansi mengenai keadaan yang akan datang, dan menampilkan perbedaan pola perilaku sebagai hasil dari perbedaan persepsi dan ekspektansi tersebut. Sama halnya dengan kompetensi, ekspektansi yang dimiliki individu bersifat kontekstual.
Bandura (1997, 2001, dalam Pervin, Cervone, & John, 2005) telah menekankan bahwa ekpektansi manusia mengenai kemampuan performanya menjadi kunci dalam prestasi manusia dan kesejahteraannya. Bandura mengacu ekspektansi tersebut sebagai persepsi dari self-efficacy. Perceived self-efficacy kemudian mengacu pada persepsi seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk bertindak dalam situasi yang akan datang. Persepsi self-efficacy menjadi penting karena mempengaruhi keberhasilan seseorang.

c. Evaluative Standard dan Personal Goal
Goal atau tujuan berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengantisipasi masa depan dan untuk memotivasi dirinya sendiri. Adanya tujuan dalam hidup dapat mengarahkan individu untuk membuat prioritas, mengabaikan pengaruh-pengaruh sementara dan mengorganisasi tingkah laku selama periode waktu tertentu. Goal bukan suatu sistem yang kaku, melainkan individu dapat memilih tujuannya tergantung dari apa yang dinilai paling penting bagi dirinya saat itu, kesempatan apa yang tersedia di lingkungan dan penilaiannya terhadap self -efficacy dalam mencapai tujuan, sesuai dengan tuntutan lingkungan.

d. Evaluative Standards
Individu memiliki evaluative standards yang merepresentasikan tujuan yang akan dicapai dan landasan dalam mengharapkan reinforcement dari orang lain dan diri sendiri. Evaluative standard yang melibatkan pemikiran mengenai sesuatu harus seperti apa, yaitu kriteria mental untuk mengevaluasi baik atau buruknya suatu peristiwa. Hal ini meliputi pengalaman akan emosi seperti malu, bangga, merasa puas atau tidak puas terhadap dirinya. Evaluative standards yang dipelajari juga meliputi prinsip-prinsip moral dan etika dalam bertingkah laku. Di dalam evaluative standards yang dimiliki seseorang terdapat pengaruh eksternal meskipun berasal dari internal individu. Evaluative standards merupakan hal yang mendasari motivasi dan performance dari seseorang. Standar evaluasi sering memicu reaksi emosional. Seseorang merasa bangga bila mencapai standar performanya dan kecewa ketika gagal mencapai standar tersebut. Hal tersebut mengarah pada self-evaluation reactions, yaitu seseorang mengevaluasi tindakannya dan kemudian berespons secara emosional (puas atau tidak puas) sebagai hasil dari evaluasi.

II. Dinamika Kepribadian
Menurut teori social-cognitive, fungsi-fungsi kompetensi, ekspektasi, goal dan evaluative standards dapat berkembang melalui observasi terhadap orang lain (observational learning dan vicarious conditioning) maupun dari pengalaman sendiri. Observational learning adalah keadaan di mana individu dapat belajar dengan cara mengobservasi atau mengamati tingkah laku orang lain (model). Sementara itu, vicarious conditioning dapat diartikan sebagai proses mempelajari reaksi emosional melalui observasi terhadap orang lain.
Bandura mengatakan bahwa terdapat dua prinsip teoritis yang harus digunakan untuk menganalisis dinamika proses kepribadian, yaitu penyebab perilaku yang disebut dengan reciprocal determinism. Lainnya adalah kerangka kerja untuk berpikir mengenai proses kepribadian internal yang disebut dengan cognitive-affective processing system (CAPS).
a. Reciprocal determinism
Tingkah laku seseorang dapat dijelaskan berdasarkan interaksi antara orang dengan lingkungan. Manusia dipengaruhi oleh faktor lingkungan, tetapi manusia juga memilih perilaku yang akan ditampilkannya. Manusia responsif terhadap situasi dan secara aktif mengkonstruk dan mempengaruhi situasi. Bandura tidak menggunakan prinsip faktor lingkungan yang menyebabkan suatu tingkah laku, namun terdapat hubungan timbal balik antara faktor lingkungan, tingkah laku dan personal. Personal adalah karakteristik individu seperti kapasitas kognitif dalam mengantisipasi maupun dalam memori dapat mempengaruhi baik lingkungan maupun tingkah laku. Personal dapat juga dalam bentuk kemampuan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya lingkungan dan tingkah laku dapat membentuk kemampuan seseorang untuk mengantisipasi suatu masalah.

b. Cognitive-affective Processing System (CAPS)
Kepribadian harus dipahami sebagai sebuah sistem, yang mengacu pada sesuatu yang memiliki bagian-bagian dalam jumlah yang besar dan saling berinteraksi satu sama lain. Bagian-bagian yang saling berinteraksi tersebut sering menimbulkan bentuk yang kompleks dari suatu perilaku. Dinamika interaksi antara bagian-bagian tersebut menimbulkan kompleksitas dari sistem. CAPS (Mischel & Schoda, 1995, dalam Pervin, Cervone, & John, 2005) memiliki tiga ciri khas, yaitu: 1) Aspek kognitif dan emosi saling berkaitan satu sama lain. Pemikiran mengenai goals akan memicu pemikiran mengenai skills, dan akhirnya memicu pemikiran self-efficacy. Pada akhirnya mempengaruhi self-evaluations dan emosi, 2) Aspek situasi yang berbeda mengaktivasi bagian tertentu dari keseluruhan sistem kepribadian, dan 3) Apabila situasi yang berbeda mengaktivasi bagian tertentu dari keseluruhan sistem kepribadian, maka perilaku manusia harus berbeda dari satu situasi ke situasi lainnya.

Sumber acuan:
Pervin, L.A. & John O.P. (2005). Personality : Theory and Research. New York: John Wiley & Sons, Inc

VJ#28/V/2008 : Teori Alfred Adler


written by : member of KLD 12


Menurut Adler, masalah dalam kehidupan selalu bersifat sosial. Fungsi yang sehat bukan hanya mencintai dan bekerja, melainkan merasakan keberrsamaan dengan orang lain dan mempedulikan kesehjateraan mereka. Beberapa prinsip penting dalam teori Adler adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang berjuang untuk mencapai superioritas atau kompetensi personal

2. Setiap orang mengembangkan gaya hidup dan rencana hidup yang sebagian disadar atau direncanakan dan sebagian tidak disadari.
a. Gaya hidup seseorang mengindikasikan pendekatan yang konsisten pada banyak situasi
b. Rencana hidup dikembangkan berdasarkan pilihan seseorang dan mengarah pada tujuan yang diperjuangkan seseorang untuk dicapai

3. Kualitas kepribadian yang sehat adalah kapasitas untuk mencapai “fellow feeling” atau Gemeinschaftgefuhli, yang fokus pada kesehjateraan orang lain. Adler menyebunya minat sosial.

4. Ego merupakan bagian dari jiwa yang kreatif. Menciptakan realitas baru melalui proses menyusun tujuan dan membawanya pada suatu hasil, disebut dengan fictional goals.

Inferioriy dan Superiority
Manusia dimotivasi oleh adanya dorongan utama, yaitu mengatasi perasaan inferior dan menjadi superior. Dengan demikian perilaku kita dijelaskan berdasarkan tujuan dan ekspentasi akan masa depan. Inferioritas berarti merasa lemah dan tidak memiliki keterampilan untuk menghadapi tugas atau keadaan yang harus diselesaikan. Hal itu tidak berarti rendah diri terhadap orang lain dalam pengertian yang umum, meskipun ada unsur membandingkan kemampuan diri dengan kemampuan orang lain yang lebih matang dan berpengalaman. Sedangkan superiority bukan berarti lebih baik dibandingkan dengan orang lain, melainkan secara berkelanjutan mencoba untuk menjadi lebih baik, untuk menjadi semakin dekat dengan tujuan ideal seseorang.
Beberapa keadaan khusus seperti dimanja dan ditolak, mungkin dapat membuat seseorang mengembangkan inferiority complex atau superiority complex. Dua kompleks tersebut berhubungan erat. Superiority complex selalu menyembunyikan atau bentuk kompensasi dari inferior. Sedangkan inferiority complex menyembunyikan perasaan superior. Adler meyakini bahwa motif utama setiap orang adalah untuk menjadi kuat, kompeten, berprestasi dan kreatif.

Social Interest
Social interest merupakan bentuk kepedulian atas kesehjateraan orang lain yang berkelanjutan sepanjang kehidupan untuk mengarahkan perilaku seseorang. Meskipun minat sosial dilahirkan, tetapi menurut Adler terlalu lemah atau kecil untuk dapat berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu menjadi tugas Ibu, yang menjadi orang pertama dalam pengalaman seorang anak, untuk mengembangkan potensi tersebut. Apabila ibu tidak dapat membantu anak untuk memperluas minat sosialnya, maka anak akan cenderung tidak memiliki kesiapan ketika menghadapi masalah dalam lingkungan sosialnya.
Minat sosial memungkinkan seseorang untuk berjuang mencapai superior dengan cara yang sehat dan kurangnya minat sosial tersebut dapat mengarahkan pada fungsi yang maladaptif. Semua kegagalan seperti neurotik, psikotik, pemabuk, anak yang bermasalah dan lainnya disebabkan kurangnya memiliki minat sosial mereka mengatasi masalah pekerjaan, persahabatan dan seks tanpa memiliki keyakinan bahwa hal tersebut dapat diselesaikan dengan cara kerja sama. Makna yang diberikan pada kehidupan lebih bernilai pribadi. Tidak ada orang lain yang mendapatkan keuntungan dengan tercapainya tujuan mereka. Tujuan keberhasilan merupakan merasakan superioritas personal dan hanya berarti untuk diri mereka sendiri. sebagai manusia yang sehat, maka pada waktu yang bersamaan ia akan berjuang mencapai superior dengan membantu orang lain mencapai tujuan mereka.

Style of Life
Melalui konsep gaya hidup, Adler menjelaskan keunikan manusia. Setiap manusia memiliki tujuan, perasaan inferior, berjuang menjadi superior dan dapat mewarnai atau tidak mewarnai usaha mencapai superioritasnya itu dengan minat sosial. Akan tetapi, setiap manusia melakukannya dengan cara yang berbeda. Gaya hidup merupakan cara unik dari setiap orang dalam mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan dalam lingkungan hidup tertentu, di tempat orang tersebut berada. Gaya hidup berdasarkan atas makna yang seseorang berikan mengenai kehidupannya atau interpretasi unik seseorang mengenai inferioritasnya, setiap orang akan mengatur kehidupannya masing-masing unuk mencapai tujuan akhirnya dan mereka berjuang untuk mencapai hal tersebut.
Gaya hidup terbentuk pada usia 4-5 tahun dan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intrinsik (hereditas) dan lingkungan objektif, melainkan dibentuk oleh persepsi dan interpretasinya mengenai kedua hal tersebut. Seorang anak tidak memandang suatu situasi sebagaimana adanya, melainkan dipengaruhi oleh prasangka dan minatnya dirinya.

Adler’s typology of personality
Adler mengembangkan teori mengenai tipe kepribadian berdasakan derajat minat sosial dan aktivitas yang dimiliki seseorang, hal yang terpenting bagi Adler bukanlah bagaimana seseorang mengatasi perasaan inferioritasnya, melainkan sejauhmana seseorang mengembangkan gaya hidup yang konstruktif dibandingkan yang destruktif. Sejauhmana empati dan minat sosial dari masing-masing tipe. Kapasitas untuk berempati merupakan hal yang penting dalam kehidupan.

Berikut adalah 4 tipe berdasarkan tipologi ini:
1. The Rulling-dominant Type: asertif, agresif fdan aktif. Ia memanipulasi dan menghadapi situasi kehidupan dan orang-orang didalamnya, tingkat aktivitasnya tinggi tetapi dikombinasikan denan minat sosial yang minimal. Aktivitas yang dilakukan dapat mengarah pada perilaku antisosial.

2. The Getting-Leaning Type: mengharapkan orang lain memenuhi kebutuhannya dan mendukung minatnya, bergantung pada orang lain. Merupakan kombinasi antara minat sosial yang rendah dan tingkat aktivitas yang rendah.

3. The Avoidant Type: menarik diri dari permasalahan. Menghadapi suatu tugas dengan cara menghindar. Memiliki minat sosail yang rendah dan tingkat aktivitas yang sangat rendah

4. The Society Useful Type: Merupakan tipe yang paling sehat. Memiliki penilaian yang realistik atas masalah yang dihadapi. Memiliki orientasi sosial dan bekerjasama dengan orang lain untuk mengahadapi tugas kehidupan. Merupakan kombinasi antara tingat aktivitas dan minat sosial yang tinggi.

Neurotic Safeguarding Strategies
Semua orang neurotik menciptakan pengamanan atas harga dirinya, seperti defense mechanism menurut Freud. Pengamanan tersebut merupakan perlindungan terhadap self atau ego dari pengaruh luar, biasanya interpersonal, ancaman. Terdapat 3 strategi pengamanan, yaitu:

1. Excuses atau strategi rasionalisasi
Seseorang mencoba untuk membebaskan dirinya dari tuntutan umum kehidupan dengan cara menekankan pada simtom neurotiknya, simtom neurotik digunakan sebagai alasan untuk melarikan diri dari tuntutan kehidupan sehingga tidak menunjukkan yang terbaik. Seseorang merasa aman karena adanya kebebasan untuk tidak melakukan yang terbaik dari tuntutannya yang kurang terhadap perkembangan diri.

2. Aggresive Strategies
a. Depreciation: kecenderungan merendahkan orang lain sehingga orang tersebut tidak terlihat superior sebagai ancaman, melebihkan penilaian diri dalam hubungannya dengan orang lain. Strategi untuk mencapai superior dengan membuat orang lain merasa inferior.

b. Accusation: perasaan tidak disadari yang menyalahkan orang lain atas perasaan inferior dan frustasi yang dialami. Mengarah pada ekspresi langsung kemarahan

c. Self-accusation: menyalahkan diri sendiri atas ketidakberuntungan yang dialami. Hal itu dilakukan dengan cara yang dapat menarik perhatian, simpati atau bantuan dari orang lain.

3. Distancing Strategies
Melindungi harga diri dengan membatasi keterlibatan dalam kehidupan dan menghindari tantangan yang memungkinkan adanya resiko kegagalan.
a. Moving backward: adanya konflik mendasar dimana seseorang menginginkan kesuksesan dan menghindari kegagalan. Pada akhirnya orang tersebut memiliki motivasi untuk tidak melakukan apapun atau kembali pada tahap perkembangan yang kurang mencerminkan kecemasan.

b. Standing Still: seseorang tidak melakukan apapun dalam taraf yang lebih dramatis. Ia menolak tanggung jawab yang memungkinkan adanya evaluasi. Melindungi diri dari kegagalan dengan tidak melakukan apapun.

c. Hesitation: secara tidak sadar menciptakan kesulitan pada diri dan juga menciptakan cara untuk tidak mengatasinya sehingga menjadi simtom neurotik. Mengulur waktu sehingga masalah tidak perlu lagi dihadapi.

d. Construction of obstacles: bentuk pengecualian karena seseorang melihat masalah yang mungkin dapat mencegahnya untuk menunjukkan usaha yang lebih besar sehingga dapat melindungi harga dirinya.

Faulty Life-styles
Gaya hidup yang maladaptif merupakan hasil dari tiga kondisi, yaitu cacat fisik, gaya hidup dimanja dan gaya hidup diabaikan. Anak dengan cacat fisik cenderung memilki perasaan tidak adekuat dalam memenuhi tugas dalam hidupnya. Pengertian dari orangtua dapat membantu anaknya untuk mengembangkan kekuatan untuk mengkompensasikan kelemahannya itu. Anak yang dimanja gagal untuk mengembangkan minat sosial dan memenuhi harapan sosial. Ia memiliki kebutuhan untuk menerima tanpa memberi, anak akan sedikit atau tidak melakukan sesuatu untuk orang lain dan memanipulasi orang lain untk memuaskan kebutuhannya. Sedangkan anak yang diabaikan dapat menjadi musuh di lingkungannya dan didominasi oleh kebutuhan untuk balas dendam.

Penelitian Khas Adler
Urutan Kelahiran
Sejalan dengan perhatian Adler terhadap penentu sosial kepribadian, ia mengamati bahwa kepribadian anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu dalam satu keluarga akan berlainan.

1. Anak Pertama
Menurut Adler, anak pertama memiliki posisi yang unik, yaitu sebagai anak satu-satunya pada suatu waktu, dan kemudian mengalami pergeseran status ketika anak kedua lahir. Anak pertama awalnya mendapatkan perhatian utuh sampai terbagi saat adiknya lahir. Peristiwa tersebut mengubah situasi dan pandangan anak pertama terhadap dunia. Bila anak pertama berusia lebih tua 3 tahun atau lebih ketika memiliki adik, maka biasanya akan merasa permusuhan dan kebencian terhadap adiknya.

2. Anak Tengah
Ciri anak tengah adalah ambisius. Ia selalu berusaha melebihi kakaknya dan cenderung memberontak atau iri hati. Tetapi pada umumnya ia dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik.

3. Anak Bungsu
Anak bungsu adalah anak yang dimanjakan. Sama seperti anak sulung, kemungkinan ia akan menjadi anak yang bermasalah dan menjadi orang dewasa yang neurotik dan tidak mampu menyesuaikan diri.


Sumber: Hall, Calvin S. & Gardner Lindzey. (!985). Intoduction to Theories Personality. New York: John Wiley and Sons Inc.