Saturday, July 26, 2008

VJ#37/VII/2008 : MOOD DISORDERS


courtesy of mitta and imel, KLD XII
KARAKTERISTIK UMUM GANGGUAN MOOD
Tanda dan Gejala Depresi
Depresi adalah keadaan emosional yang ditandai kesedihan yang sangat, perasaan bersalah dan tidak berharga, menarik diri dari orang lain, kehilangan minat untuk tidur, seks, serta hal-hal menyenangkan lainnya. Orang yang depresi mungkin:
- Sulit konsentrasi, bicaranya pelan, kata-kata monoton, suara pelan
- Memilih untuk sendirian dan berdiam diri; atau justru tidak bisa diam
- Sulit menemukan solusi permasalahan
Tanda dan gejala depresi mungkin bervariasi bergantung usia, anak-anak yang depresi seringkali menunjukkan keluhan somatis, seperti sakit perut atau sakit kepala, sedangkan orang dewasa yang depresi seringkali mudah lupa dan mudah terdistraksi.

Tanda dan Gejala Mania
Mania adalah keadaan emosi/ mood yang meningkat, sangat gembira tanpa alasan yang jelas, seringkali diiringi hiperaktivitas, cerewet, flight of ideas (perasaan subyektif bahwa pikiran seperti berlomba), tidak praktis, mudah terdistraksi, serta meningkatnya kepercayaan diri atau ide kebesaran. Episode mania biasanya berlangsung beberapa hari atau bulan.
Simtom mania antara lain: tiba-tiba teriak, kadang sangat humoris, sering kaget dengan benda-benda dan kejadian di sekelilingnya.

Diagnostik Formal Gangguan Mood Menurut DSM IV-TR

A. Diagnosis Depresi (Depresi Mayor/ Unipolar)
- Minimal 2 minggu kehilangan minat dan kesenangan dan mood depresif.
- Minimal muncul 4 diantara simptom additional berikut ini, yaitu: gangguan tidur dan nafsu makan, hilang energi, worthlessness, suicidal thought, dan sulit konsentrasi.
- Subclinical depression: individu yang simtomnya kurang dari 5, memiliki kesulitan dalam fungsi psikologisà mirip
- Depresi 2-3x lebih sering pada wanita daripada pria; lebih sering terjadi pada golongan ekonomi bawah; dewasa muda
- Depresi cenderung muncul berulang à 80 % penderita mengalami episode lain

B. Diagnosis Gangguan Bipolar
- Gangguan Bipolar I: episode mania/ campuran, terdapat simtom mania dan depresi. Episode mania disini minimal muncul 3 simtom additional (4 simptom jika mood hanya irrirable).
- Gangguan bipolar lebih jarang muncul daripada depresi mayor
- Rata-rata onset: umur 20an, seimbang antara pria dan wanita

Heterogenitas Kategori DSM-IV
- Banyak penderita dengan gejala heterogen, tapi dikelompokkan pada diagnosis yang sama.
- Munculnya delusi dapat membedakan penderita depresi unipolar à tidak reaktif terhadap terapi obat-obatan biasa, kecuali dikombinasikan dengan terapi psikotik.
- Sejumlah pasien depresi mengalami fitur melankolis (tidak bahagia/ senang meski terjadi peristiwa menggembirakan, bangun tidur 2 jam lebih cepat, cemas berlebihan) à reaktif terhadap terapi biologis.
- Episode manik dan depresif mungkin ditandai fitur katatonik (gangguan motorik, aktifitas tidak bertujuan).
- Gangguan bipolar dan unipolar mungkin sifatnya musiman bila pasien secara teratur mengalaminya.

Gangguan Mood Kronik
à Jangka panjang, minimal 2 tahun, belum cukup mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan.
Ada 2 jenis:
a. Gangguan cyclothymic
à Periode depresi dan hipomania berulang. Selama depresi pasien merasa inadekuat, selama hipomania self esteem meningkat. Menarik diri, tidur terlalu sering atau terlalu sebentar, sulit konsentrasi, dan jarang berbicara.

b. Gangguan dysthymic
à Depresi kronis, feeling blue, sedikit sekali merasa senang, insomnia atau justru terlalu banyak tidur, tidak efektif, letih, pesimis, sulit konsentrasi, dan berpikir jernih, menghindari bersama-sama dengan orang lain. Pasien distimia mengalami 3 atau lebih simtom additional, meliputi mood depresif tapi bukan suicidal thought. Minimal berlangsung selama 2 bulan.

Gangguan Mood dan Kreativitas
Sejumlah artis, komposer, dan penulis yang pernah mengalami gangguan mood adalah impulsif, seperti Michael Angelo, van Gogh, Schumann, dll. Mungkin keadaan manic memicu kreativitas terkait adanya peningkatan mood, energi, pikiran yang muncul tiba-tiba, dan kemampuan menghubung-hubungkan ide. Menurut Weisberg (1994), perubahan mood mempengaruhi motivasi untuk menghasilkan karya kreatif daripada proses kreatif itu sendiri

Gangguan Mood dan Depresi
- Individu yang depresi lebih sedikit menunjukkan ekspresi wajah positif dan mengalami emosi menyenangkan
- Gangguan kecemasan biasanya muncul bersamaan dengan depresi.


TEORI PSIKOLOGI TENTANG GANGGUAN MOOD
Teori Psikoanalisis Tentang Depresi
Menurut Freud (1917/ 1950) potensi depresi muncul pada awal masa kanak-kanak. Pada fase oral anak mungkin kurang/ terlalu terpenuhi kebutuhannya, sehingga ia terfiksasi pada fase ini à mengakibatkan individu dependen, low self esteem.
Hipotesanya adalah, setelah kehilangan orang yang dicintai, ia mengidentifikasi diri dengan orang tersebut seolah untuk mencegah kehilangan. Lama-lama ia malah marah pada dirinya sendiri, merasa bersalah.

Teori Kognitif Tentang Depresi
a. Teori depresi Beck (1967)
Individu menjadi depresi akibat interpretasi negatif yang bias. Pada waktu kecil/ remaja muncul skema negatif akibat kejadian-kejadian burukà ia merasa akan selalu sial/ gagal, dipadu dengan bias kognitif muncul triad negatif (pandangan sangat negatif tentang diri, dunia, masa depan)

b. Teori helplessness/ hopelessness
1. Learned helplessness: kepasifan individu dan perasaan tak berdaya mengontrol hidupnya, didapat dari pengalaman-pengalaman buruk/ trauma, mengarah pada depresi
2. Attribution and learned helplessness: pada situasi dimana individu pernah gagal, ia akan mencoba mengatribusikan penyebab kegagalan. Individu depresi bila mereka mengatribusikan kejadian negatif bersifat stabil dan global. Individu depresi biasanya menunjukkan depressive attributional styleàmengatribusikan rasa hasil negatif sebagai personal, global, penyebabnya stabil
3. Teori hopelessness
Sejumlah bentuk depresi dianggap sebagai akibat hopelessnessà merasa hasil yang diharapkan takkan pernah muncul, individu tak bisa merubah situasi. Kemungkinan muncul akibat self esteem yang rendah, kecenderungan anggapan bahwa kejadian negatif akan mengakibatkan sejumlah hal negatif

Teori Interpersonal Tentang Depresi
- Individu depresi cenderung terbatas jaringan dan dukungan sosialnyaàmengurangi kemampuan individu mengatasi kejadian negatif, rentan terhadap depresi
- Individu depresi berusaha meyakinkan diri bahwa orang lain benar peduli. Namun ketika yakin, rasa puasnya hanya sebentar. Berhubungan dengan konsep diri negatif.
- Kompetensi sosial yang rendah diperkirakan memunculkan depresi pada anak usia TK
- Interpersonal problem solving skill yang rendah dapat meningkatkan depresi pada remaja

Teori Psikologi Tentang Gangguan Bipolar
- Tekanan hidup adalah faktor penting munculnya gangguan bipolar
- Dukungan sosial dapat mempercepat penyembuhan simptom depresi, tapi tidak simtom mania
- Attributional style + sikap disfungsi + kejadian buruk ---->peningkatan simptom depresi ataupun mania pasien bipolar
- Self esteem individu mania mungkin sangat rendah

TEORI BIOLOGI TENTANG GANGGUAN MOOD
Genetic Data
Penelitian mengenai faktor genetis pada gangguan unipolar dan bipolar melibatkan keluarga dan anak kembar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10-15% keluarga dari pasien yang mengalami gangguan bipolar pernah mengalami satu episode gangguan mood (Gherson, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pada gangguan unipolar, meskipun faktor genetis mempengaruhi, namun kurang menentukan dibandingkan gangguan bipolar. Resiko akan meningkat pada keluarga pasien yang memiliki onset muda saat mengalami gangguan. Berdasarkan beberapa data diperoleh bahwa onset awal untuk depresi, munculnya delusi, dan komorbiditas dengan gangguan kecemasan dan alkoholisme meningkatkan resiko pada keluarga (Goldstein, et al., 1994; Lyons et al., 1998, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

Neurochemistry dan Mood Disorders
Dua neurotransmitter yang berperan dalam gangguan mood adalah norepinephrine dan serotonin. Norepinephrine terkait dengan gangguan bipolar dimana tingkat norephinephrine yang rendah menyebabkan depresi dan tingkat yang tinggi menyebabkan mania. Sedangkan untuk serotonin, tingkatnya yang rendah juga menyebabkan depresi. Terdapat dua kelompok obat untuk depresi, yaitu tricyclics dan monoamine oxidase (MAO) inhibitors. Tricyclics seperti imipramine (tofranil) adalah obat antidepresan yang berfungsi untuk mencegah pengambilan kembali norephinephrine dan serotonin oleh presynaptic neuron setelah sebelumnya dilepaskan, meninggalkan lebih banyak neurotransmitter pada synapse sehingga transmisi pada impuls syaraf berikutnya menjadi lebih mudah. Monoamine oxidase (MAO) inhibitors merupakan obat antidepresan yang dapat meningkatkan serotonin dan norephineprhine. Terdapat pula obat yang dapat secara efektif mengatasi gangguan unipolar, yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors, seperti Prozac. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat efek samping dari berbagai obat antidepresan tersebut sehingga peningkatan dari norephineprhine dan serotonin tidak menimbulkan komplikasi lainnya.

Sistem Neuroendokrin
Area limbik di otak berhubungan dengan emosi dan mempengaruhi hipotalamus. Hipotalamus kemudian mengontrol kelenjar endokrin dan tingkat hormon yang dihasilkannya. Hormon yang dihasilkan hipotalamus juga mempengaruhi kelenjar pituitary. Relevansinya terkait dengan simtom vegetatif pada gangguan depresi, seperti gangguan tidur dan rangsangan selera. Berbagai temuan mendukung hal tersebut, bahwa orang yang depresi memiliki tingkat dari cortisol (hormon adrenocortical) yang tinggi, hal itu disebabkan produksi yang berlebih dari pelepasan hormon rotropin oleh hipotalamus (Garbutt, et al., 1994 dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Produksi yang berlebih dari cortisol pada orang yang depresi juga menyebabkan semakin banyaknya kelenjar adrenal (Rubun et al., 1995, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Banyaknya cortisol tersebut juga berhubungan dengan kerusakan pada hipoccampus dan penelitian juga telah membuktikan bahwa pada orang depresi menunjukkan hipoccampal yang tidak normal. Penelitian mengenai Cushing’s Syndrome juga dikaitkan dengan tingginya tingkat cortisol pada gangguan depresi.

An Integrated Theory of Bipolar Disorder
Gangguan bipolar merefleksikan adanya gangguan pada sistem motivasional yang disebut dengan behavioral activation system atau BAS. BAS memfasilitasi kemampuan manusia unuk mendekati atau memperoleh reward dari lingkungannya dan ini telah dikaitkan dengan positive emotional states, karakteristik kepribadian seperti ekstrovert, peningkatan energi, dan berkurangnya kebutuhan untuk tidur. Secara biologis, BAS diyakini terkait dengan jalur syaraf dalam otak yang melibatkan dopamine neurotransmitter dan juga terkait dengan perilaku untuk memperoleh reward. Peristiwa kehidupan yang melibatkan pencapaian tujuan atau reward diprediksi meningkatkan simtom mania. Sedangkan peristiwa positif lainnya tidak terkait dengan perubahan pada simtom mania, dan pencapaian tujuan tidak terkait dengan perubahan dalam simtom depresi. Dengan demikian, BAS dan manifestasi perilakunya, yaitu pencapaian tujuan diasosiasikan dengan simtom mania dari gangguan bipolar.

BERBAGAI TERAPI UNTUK GANGGUAN MOOD
Terapi-terapi Psikologis untuk Depresi
Terapi Psikodinamik
Disebabkan depresi dianggap berasal dari perasaan akan kehilangan yang kemudian direpres dan juga kemarahan yang secara tidak disadari diarahkan ke diri sendiri, maka terapi psikoanalis mencoba untuk membantu pasiennya memperoleh insight mengenai konflik yang direpres dan mendorong pelepasan kemarahan yang selama ini diarahkan ke dalam dirinya. Tujuan dari terapi psikoanalis adalah untuk membuka motivasi tersembunyi tentang depresi pasien. Pasien seringkali menyalahkan dirinya sendiri atas kurangnya kasih sayang yang diberikan orang tua dan kemudian me-repres keyakinan tersebut. Terapis harus membimbing pasiennya untuk mengkonfrontasi kenyataan dan membantu pasien untuk menyadari rasa bersalah yang tidak berdasar tersebut. Selain itu juga membebaskan pasien dari lingkungan masa kecilnya yang penuh dengan tekanan. Tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari terapi psikodinamik ini.
Terdapat pula terapi interpersonal (IPT) dari Klerman dan Weissman’s yang dapat mengatasi gangguan depresi dengan menekankan pada peningkatan kemampuan interpersonal atau sosial, serta interaksi dengan orang lain. Terapi tersebut lebih kepada terapi kelompok yang menekankan pada pemahaman yang baik mengenai masalah interpersonal yang mendorong depresi. Pasien dibebaskan untuk mendiskusikan berbagai masalah interpersonal saat ini dan bukan masa lampau.

Terapi Cognitive-Behavioral
Depresi terjadi karena skema yang negatif dan kesalahan dalam proses berpikir. Terapis mencoba mempersuasi pasien depresi untuk mengubah pandangan tentang dirinya sendiri dan peristiwa. Terapis juga meminta pasien untuk memperhatikan pernyataan pribadinya dan mengidentifikasi semua pola pikirnya yang menyebabkan depresi agar dapat membuat asumsi yang lebih positif serta realistis. Dapat pula dikembangkan metode Ellis’s rational emotive dan analisis Beck. Melalui metode tersebut, pasien dapat diminta untuk melakukan hal positif ketika mengalami depresi atau terapis memberikan aktivitas pada pasien yang berkaitan dengan pengalaman akan kesuksesan dan membuat pasien berpikir positif mengenai dirinya sendiri. Dengan demikian pendekatannya adalah melakukan perubahan struktur kognitif dengan cara mempersuasi pasien memperoleh perbedaan dalam berpikir.

· The NIMH Treatment of Depression Collaborative Research Program
National Institute of Mental Health (NIMH) melakukan penelitian mengenai terapi kognitif Beck (CT) yang kemudian dibandingkan dengan terapi interpersonal (IPT) dan farmakoterapi, yaitu penggunaan Tofranil (Elkin et al., 1985, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pemilihan terapi berdasarkan pada fokus yang sama pada penanganan depresi dan memiliki instruksi yang eksplisit dan terstandardisasi. Hasil menunjukkan bahwa pasien dengan IPT dan CT menyatakan kepuasannya karena melalui terapi tersebut mereka dapat mengembangkan kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain dan menyadari sumber depresi yang dimilikinya dibandingkan dengan pasien dengan farmakoterapi (Blatt, et al., 2000, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

· Mindfulness-Based Cognitive Therapy
Difokuskan pada pencegahan timbulnya kembali gangguan yang biasanya mengikuti keberhasilan treatment pada depresi (Segal et al., 1996; Segal et al., 2001; Teasdale et al., 1995, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Gangguan dapat timbul kembali dari pengulangan asosiasi antara mood yang depresi dan pola pikir yang salah selama episode depresi mayor. Berdasarkan hal tersebut, maka jika individu yang mulai membaik merasakan kesedihan kembali, maka mereka akan kembali berpikir dengan cara yang sama dengan pikiran yang digunakan ketika mereka mengalami depresi. Tujuan terapi ini adalah untuk mengajarkan individu agar menyadari bahwa ketika mereka mengalami depresi, maka mereka harus melihatnya sebagai peristiwa mental yang tidak sesuai dengan kenyataan sehingga mereka tidak kembali membentuk pola berpikir yang salah.

Social-skill Training
Difokuskan pada peningkatan interaksi sosial, karena salah satu karakteristik dari depresi adalah kurangnya pengalaman yang memuaskan dengan orang lain.

Behavioral Activation Therapy
Fokusnya adalah keterlibatan pasien pada perilaku tertentu dan aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan penguatan yang positif dan akan membantu untuk mengatasi depresi. Hal tersebut disebabkan secara umum, perilaku yang terlihat dari pasien depresi adalah tidak adanya aktivitas, menarik diri dari berbagai aktivitas atau tidak bersemangat untuk beraktivitas. Selain perubahan pada pola pikir pasien, keterlibatan pasien dalam berbagai kegiatan positif juga menjadi hal yang penting.

Terapi-terapi Psikologis untuk Gangguan Bipolar
Intervensi cognitive-behavioral dapat dilakukan dengan target pada pemikiran dan perilaku interpersonal yang buruk pada saat mood mudah berpindah sehingga lebih efektif. Selain itu, pemberian pengetahuan mengenai gangguan bipolar dan treatment-nya juga dapat meningkatkan ketaatan penyembuhan dengan menggunakan lithium, dimana membantu mengurangi mood yang mudah berpindah dan membuat kehidupan pasien lebih stabil (Craighead et al., 1998; Peet & Harvey, 1991; Vant Gent, 2000, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Masalah yang timbul adalah pasien cenderung kehilangan insight tentang perilaku mereka yang tidak sesuai dan cenderung merusak. Hal itu membuat intervensi juga perlu dilakukan pada keluarga dengan mengajarkan mereka tentang gangguan dan bagaimana harus memperlakukan pasien serta menciptakan suasana yang mendukung kesembuhan pasien. Dapat pula dilakukan family-focused treatment (FFT), yaitu pemberian pengetahuan pada keluarga mengenai gangguan, meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan melatih kemampuan untuk menyelesaikan masalah (Miklowitz, 2001; Miklowitz & Goldstein, 1997, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Kombinasi antara terapi obat dan terapi ini lebih efektif dibandingkan menggunakan terapi obat saja.

Terapi-terapi Biologis untuk Gangguan Mood
Electroconvulsive therapy (ECT)
Meskipun masih kontrovesial, ECT yang dikemukakan oleh Cerletti dan Bini dianggap merupakan pengobatan yang paling optimal untuk depresi yang parah. Elektroda dengan kekuatan antara 70-130 volt diletakkan pada setiap sisi kepala memungkinkan untuk melewati kedua hemisfer otak, metode ini adalah bilateral ECT. Namun, saat ini lebih sering diletakkan pada satu hemisfer saja (kiri) untuk mengurangi efek samping pada kognisi, seperti hilangnya memori. Dulu, pasien melalui ECT dalam keadaan sadar sehingga terkadang dapat menimbulkan tulang patah. Saat ini, pasien diberikan bius singkat dan suntikan relaksasi otot sebelum dilakukan ECT. Mekanisme kerja dari ECT tidak diketahui. Secara umum, ECT mengurangi aktivitas metabolisme dan sirkulasi darah ke otak. Biasanya dilakukan setelah terapi lainnya mengalami kegagalan.

Drug therapy
Umumnya, obat-obatan lebih sering digunakan untuk mengatasi gangguan mood. Namun tidak dapat diterapkan pada setiap pasien dan efek samping yang ditimbulkan biasanya serius.
· Terapi Obat untuk Gangguan Depresi
Obat-obat utama untuk depresi adalah
1. Tricyclics, seperti imipramine (Tofranil), dan amitriptyline (Elavil).
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), seperti fluoxetine (Prozac) dan sertraline (Zoloft).
3. Monoamine oxidase (MAO) inhibitors, seperti tranylcypromine (Parnate).
Dari ketiga jenis obat tersebut, MAO inhibitors memiliki efek samping yang paling besar sehingga yang paling banyak digunakan adalah dua jenis obat yang lainnya. Penggunaan obat antidepresan ini biasanya juga dikombinasikan dengan penggunaan terapi lainnya. Obat antidepresan biasanya digunakan untuk depresi yang parah, namun meskipun penggunaannya mengurangi episode depresi, secara umum kekambuhan dapat muncul setelah penggunaan obat dihentikan (Reimherr et al., 2001, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

· Terapi Obat untuk Gangguan Bipolar
Berkaitan dengan gangguan bipolar, terapi menggunakan lithium karena dapat mengatasi episode mania dan depresi secara efektif. Dilakukan dengan mengontrol dosis dari lithium carbonate, yang lebih efektif digunakan pada gangguan bipolar dibandingkan unipolar. Lithium memberikan pengaruhnya secara bertahap, biasanya terapi diawali dengan penggunaan lithium dan antipsikotik seperti Hafdol untuk memberikan efek penenang dengan cepat. Pasien harus melakukan tes darah secara teratur untuk memastikan tingkat penggunaan lithium tidak terlalu tinggi sehingga menjadi racun bagi tubuh. Penggunan lithium juga harus secara teratur karena kekambuhan gangguan masih dapat terjadi.

DEPRESI PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA
Simtom dan Prevalensi
Anak-anak dan remaja menunjukkan kemiripan dengan orang dewasa dalam hal mood yang depresif, tidak mampu untuk merasakan kesenangan, kelelahan, sulit konsentrasi, dan ide bunuh diri. Perbedaannya pada tingkat usaha untuk bunuh diri dan rasa bersalah yang lebih tinggi pada anak dan remaja, sering bangun lebih awal di pagi hari, kehilangan selera dan berat badan, dan depresi di pagi hari pada orang dewasa. Terkadang depresi disebut sebagai masked depression, yaitu menampilkan perilaku agresif dan menyimpang, yang biasanya pada orang dewasa tidak dilihat sebagai refleksi dari depresi. Masalah dalam melakukan diagnosis depresi pada anak-anak adalah seringkali merupakan komorbiditas dengan gangguan lain, misalnya kecemasan. Lebih dari 70% dari anak-anak yang depresi juga memiliki gangguan kecemasan atau simtom kecemasan yang signifikan (Anderson et al., 1987: Brady & Kendall, 1992; Kovacs, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Telah ditemukan bahwa anak-anak yang lebih muda dengan gangguan depresi dan gangguan lainnya mengalami pengalaman depresi yang parah dan membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhan (Keller et al., 1988; Kovacs et al., 1984, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).
Secara umum, depresi muncul kurang dari 1% pada anak-anak prasekolah (Kashani & Carlson, 1987; Kashani, Hoalcomb, & Orvaschel, 1986, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) dan 2–3% pada anak usia sekolah (Cohen et al., 1993; Costello et al., 1988, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pada remaja, rata-rata penderita depresi sama dengan orang dewasa, dengan rata-rata yang biasanya tinggi (7-13%) pada anak perempuan (Angold & Rutter, 1992; Kashani et al., 1987, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

Etiologi
Depresi pada anak-anak dan remaja juga dapat disebabkan oleh faktor genetik atau disebabkan oleh keluarga dan hubungan dengan orang lain sebagai sumber stress yang kemudian berinteraksi dengan penyebab biologis tersebut. Mempunyai ibu yang depresi meningkatkan resiko depresi pada anak dan remaja, namun tidak diketahui mengenai pengaruh dari ayah (Kaslow, Deering, & Racusin, 1994, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Orang tua serta anak yang depresi akan berinteraksi secara negatif, seperti kurangnya kasih sayang dan saling menyakiti.

Treatment
Anak-anak dan remaja dengan depresi mayor juga kurang memiliki keterampilan sosial, terkait hubungannya dengan saudara dan teman. Berbagai terapi orang dewasa juga dapat digunakan pada anak-anak dan remaja. Namun perhatian utama mengenai terapi yang baik adalah yang melibatkan keluarga dan sekolah (Hammen, 1997; Stark er al., 1996, 1998, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

BUNUH DIRI
Pasien dengan gangguan mood seringkali memunculkan pemikiran atau usaha bunuh diri. Diperkirakan sekitar 15% orang yang didiagnosa gangguan depresi mayor melakukan usaha bunuh diri (Maris et al., 1992, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Berikut ini adalah rangkuman mengenai bunuh diri menurut Fremouw et al. (1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004):


Berbagai Sudut Pandang Mengenai Bunuh Diri
Sudut Pandang Psikologis
Freud memandang bunuh diri menampilkan agresi yang diarahkan ke dalam diri seseorang akibat kehilangan seseorang yang dicintai dan dibenci. Semakin kuat perasaan tersebut, maka seseorang akan semakin mungkin melakukan bunuh diri.


Sudut Pandang Sosiologis
Emile Durkheim (1897, 1951, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) menggolongkan 3 kategori bunuh diri, yaitu: 1) Egoistis, yaitu bunuh diri yang terjadi pada mereka yang tidak terintegrasi kuat pada berbagai kelompok sosial, kurang memperoleh dukungan sosial, 2) Altruistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan karena integrasi yang berlebihan terhadap suatu kelompok dan bunuh diri merupakan upaya untuk menumbuhkan integrasi kelompok, dan 3) Anomik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang integrasinya dengan masyarakat terganggu, sehingga tidak mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat.

Sudut Pandang Biologis
Usaha untuk bunuh diri dapat disebabkan oleh kurangnya serotonin pada pasien depresi.

Pendekatan Shneidman Mengenai Bunuh Diri
Shneidman telah membuat daftar mengenai 10 karakteristik umum dari bunuh diri, namun tidak semua ditemukan dalam setiap kasus dan semua kasus. Pandangannya mengenai bunuh diri berdasarkan bahwa seseorang secara sadar berusaha untuk menemukan solusi dari masalahnya yang telah menyebabkan penderitaan. Semua harapan dan tindakan konstruktif telah menghilang. Menurutnya, seseorang yang merencanakan bunuh diri biasanya mengkomunikasikan niatnya tersebut, terkadang menangis untuk meminta bantuan, terkadang menarik diri dari orang lain.


Berikut ini adalah 10 karakteristik dari bunuh diri menurut Shneidman:
Fungsi umum dari bunuh diri adalah untuk mencari solusi.
Tujuan umum dari bunuh diri adalah penghentian kesadaran.
Stimulus umum dalam bunuh diri adalah penderitaan psikologis yang tidak tertahankan.
Stressor umum dalam bunuh diri adalah frustrasi kebutuhan psikologis.
Emosi umum dalam bunuh diri berkaitan dengan hopelessness-helplessness.
Cognitive state umum dalam bunuh diri adalah ambivalen.
Perceptual state umum dalam bunuh diri adalah sempit.
Tindakan umum dari bunuh diri adalah egression.
Tindakan interpersonal umum dalam bunuh diri adalah komunikasi mengenai intensi.
Konsistensi umum mengenai bunuh diri adalah dengan pola coping seumur hidup.

Prediksi Mengenai Bunuh Diri Melalui Tes Psikologis
Beberapa penelitian menemukan bahwa rasa putus asa merupakan prediktor yang kuat dari bunuh diri (Beck, 1986b; Beck, et al., 1985, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) bahkan lebih kuat dari depresi (Beck, Kovacs, & Weissman, 1975, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Penelitian juga menunjukkan bahwa seseorang dengan ketidakpuasan yang tinggi dengan kehidupannya cenderung memiliki usaha untuk bunuh diri. Penelitian lainnya menemukan bahwa individu yang bunuh diri lebih kaku dalam mendekati masalah yang dialaminya dan kurang memiliki pemikiran yang fleksibel (Levenson, 1972, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Penelitian yang melibatkan orang yang tidak pernah berusaha untuk bunuh diri, orang yang usaha bunuh dirinya tidak menyebabkan cedera yang serius dikaitkan dengan low-lethal, dan orang yang usaha bunuh dirinya mendekati kematian dikaitkan dengan high-lethal, menemukan bahwa orang depresi yang pernah melakukan usaha bunuh diri khususnya terkait dengan high-lethal, lebih memiliki keterbatasan dalam membuat rencana, menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dibandingkan dengan dua orang lainnya.

Pencegahan Bunuh Diri
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah bunuh diri adalah dengan memberikan treatment yang tepat pada mereka yang mengalami gangguan mental, meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan mengontrol emosi. Selain itu, terapis juga dapat menciptakan hubungan empati atau terapeutik yang melibatkan kepercayaan dan harapan. Adanya fasilitas pusat atau komunitas pencegahan bunuh diri juga dapat membantu, karena biasanya seseorang yang ingin bunuh diri memberikan peringatan atau meminta bantuan sebelum menjalankan usahanya.