Thursday, October 30, 2008

VJ#41/X?2008 : Keapatisan Politik dalam Sudut Pandang Psikologi


Pemilihan umum (baik legislatif maupun pilpres) 2009 akan diselenggarakan dalam waktu yang tidak lama lagi. Masing-masing kandidat telah mulai menunjukkan gerak-geriknya. Untuk yang individu, ada yang telah berteriak lantang tanpa ragu akan maju, sampai yang masih malu-malu tapi mau. Partai-partai juga semakin gencar menunjukkan eksistensinya. Segala ruang media dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dari yang elegan, misal lewat iklan televisi, radio, internet, dll, sampai dengan yang kampungan, misal memasang bendera partai--yang besarnya bisa mentupi gedung bertingkat-- di sembarang tempat (paling sering di atas pohon tinggi). Tak bisa dipungkiri memang, selama Negara kita masih berlandaskan demokrasi, maka selama itu pula pemilihan umum masih dibutuhkan dan menjadi tonggak utama jalannya pembaharuan dan perubahan (ke arah positif) buat Negara. Akan tetapi, menurut pengamatan penulis, nampaknya kecenderungan rakyat untuk memilih cenderung tidak antusias. Terutama di kalangan pemuda. Hal ini dibuktikan melalui suatu penelitian di 10 kota besar kota di Indonesia yang baru-baru ini penulis ikuti. Tidak antusias, membosankan, biasa aja, pesimis, dan kata-kata lain yang bernada sama keluar dari mulut pemuda untuk menjawab pendapat mengenai pemilihan umum atau politik pada umumnya.
***
Melihat perkembangan politik di Indonesia maka ada beberapa hal yang (mungkin) membuat pemuda (rakyat?) menjadi cenderung apatis dalam memandang politik ataupun pemilu. Dalam ilmu politik ada hal yang disebut dengan Keterlibatan psikologis, yaitu sebagai derajat ketertarikan atau perhatian seseorang pada politik dan kepercayaan bahwa partisipasi politiknya bermanfaat. Semakin kuat keterlibatan psikologis seseorang maka semakin cenderung ia untuk berpartisipasi dalam politik (misalnya dengan turut serta memberikan suara dalam pemilu), sedangkan non-pemilih cenderung memiliki keterlibatan psikologis yang rendah dimana investasi emosional mereka dan dukungan terhadap proses politik berada di bawah rata-rata pemilih. Dikaitkan dengan kondisi pemuda saat ini, banyaknya yang cenderung menjadi non-pemilih (golput) pada saat pemilu dapat disebabkan mereka memiliki keterlibatan psikologis yang rendah karena tidak percaya jika sumbangan suaranya akan bermanfaat bagi dirinya maupun peyelenggaraan negara. Hal ini dapat disebabkan adanya pengetahuan terdahulu (prior knowledge) bahwa keterlibatan diri dalam politik tidak akan membuat perubahan dalam kehidupannya. Dalam bahasa gaulnya “ngapain gue milih, tetap aja BBM mahal” atau “golput aja lah, politikus di mana-mana cuma bisa janji, aplikasi nya NOL”, dan sebagainya. Oleh hal-hal semacam itulah mereka menjadi terkesan tidak peduli dan apatis terhadap kehadiran pemilu. Selama para kandidat masih mengulang pola lama, yaitu hanya janji manis tanpa aplikasi, maka selama itu pula lah pemuda (rakyat) akan apatis.
***
Hal lain yang membuat partisipasi pemuda (rakyat?) yang rendah dalam kegiatan politik ini dipengaruhi oleh apa yang dinamakan dengan orientasi psikologis, yaitu keadaan nilai yang dimiliki seseorang, yang berperan dalam menentukan pola partisipasi orang tersebut dalam publik. Tentunya setiap orang memiliki sikap, belief dan nilai yang berbeda-beda. Mereka memperolehnya berdasarkan pengalaman sendiri, ataupun melalui pengamatan terhadap pengalaman orang lain (vicarious learning). Orientasi psikologis dalam politik juga merupakan faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Di dalam kehidupan bernegara, pemuda (rakyat) yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik, mempunyai kesetujuan tehadap demokrasi, memiliki nilai positif terhadap pemilu sebagai wadah memilih pemimpin, akan mempunyai mempunyai kecenderungan sikap, belief, dan nilai yang positif pula terhadap politik (dan pemilu). Sedangkan, bagi mahasiswa yang memiliki nilai dan keyakinan yang negatif mengenai politik akan memiliki tingkat partisipasi yang rendah atau bahkan keapatisan terhadap kegiatan-kegiatan politik.
***
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan psikologis seseorang dalam politik. Menurut Mangum (2003), keterlibatan psikologis memiliki tiga komponen yaitu: political engagement, efikasi politik, dan political trust. Sekarang penulis akan mencoba membahas satu per satu ketiga faktor tersebut. Pertama, political engagement, yaitu keterlibatan psikologis yang melibatkan level ketertarikan atau kepedulian voter potensial pada politik. Perilaku yang termasuk dalam faktor ini misalnya adalah mengikuti berita seputar pemerintah dan politik, tertarik pada kampanye pemilihan umum, serta peduli akan hasil pemilihan umum. Logikanya adalah banyaknya pengetahuan tentang stimulus politik akan meningkatkan ketertarikan, mengkristalisasi opini, dan mensolidkan keputusan partisipasi politik seseorang. Jadi, salah satu penyebab kenapa pemuda (rakyat) tidak tertarik untuk terlibat dalam pemilu (politik) adalah karena tidak adanya political engagement dalam diri mereka, yang artinya tidak ada ketertarikan untuk mengikuti berita mengenai kampanye Caleg/Capres serta berita lainnya seputar pemilu, bahkan tidak peduli akan hasil pemilu itu sendiri. Bagi mereka, “siapapun yang menang..., terserah!”. Hingga ada sebagian yang akhirnya bilang “milih-nggak milih, gak ngaruuuh”. Para pemuda (rakyat?) tersebut bukan saja tidak aware dengan adanya penyelenggaraan pemilu, tetapi mereka juga menganggap bahwa pemilu tidaklah memiliki arti penting bagi diri mereka. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang optimalnya pemerintah membuat pembelajaran politik dan pengkristalisasian opini yang berkembang mengenai pentingnya keterlibatan pemuda (rakyat) dalam berpartisipasi memberikan suara pada pemilu.
***
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah Efikasi Politik (EP) yang, dalam pandangan tradisional, diartikan sebagai persepsi yang dimiliki seseorang tentang dirinya dan kemampuannya untuk mempengaruhi politik pada situasi tertentu). EP dibagi menjadi dua, yaitu EP eksternal dan EP internal. EP eksternal adalah keyakinan seseorang bahwa pejabat publik cukup responsif terhadap minatnya dan bahwa pemerintah serta institusi politik membantu para pejabat pemerintah untuk menjadi responsif. Sedangkan EP internal adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu memahami politik dan pemerintah serta dapat mempengaruhi politik dan pemerintah melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Terkait dengan kondisi yang ada pada pemuda (rakyat), maka ketidakpedulian pada pemilu dan hal-hal yang terkait lebih kepada karena memiliki EP eksternal dan internal yang rendah. EP eksternal yang rendah memiliki arti bahwa kemungkinan pemuda (rakyat) memiliki keyakinan rendah disebabkan oleh pejabat pemerintah dianggap tidak dapat merespon apa yang diharapkan serta merasa sia-sia untuk ikut berpartisipasi dalam perpolitikan. Sementara itu EP internal yang rendah menyebabkan enggan untuk berpartisipasi, karena mereka tidak memahami seluk-beluk pemilu serta mengganggap suara yang mereka berikan tidak akan memiliki pengaruh terhadap perubahan. ]
***
Jika ingin dikaji lebih mendalam, Efikasi Politik (EP) internal yang rendah dapat dikaitkan dengan learned helplessness. Pengertian learned helplessness menurut Seligman adalah kepercayaan yang dimiliki seseorang bahwa hasil atau keluaran dari sesuatu terlepas dari segala aksi atau kegiatan yang telah dilakukan olehnya. Learned helplessness dapat pula dipahami sebagai perubahan performa berupa kinerja yang memburuk setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang karena keyakinan bahwa hasil yang diperoleh tidak ada hubungannya (independen) dengan usaha, melainkan dipengaruhi oleh faktor eksternal (misalnya kemampuan yang dimiliki seseorang atau ketidakberuntungan). Jadi, kepercayaan akan ketiadaan kendali yang dapat dipegang oleh pemuda (rakyat) ini tidak hanya membuat mereka berpikir bahwa suara mereka pada saat pemilu tidak akan membuat perubahan pada negara, namun mereka juga akan berpikir bahwa perubahan negara tidak akan terjadi baik jika turut memberikan suara ataupun tidak. Selain itu, ada juga pemuda (rakyat) yang pernah ikut mencoblos pada saat pemilu sebelumnya namun tidak mau untuk ikut mencoblos lagi, karena mereka menganggap usaha mereka dalam memberikan suara pada pemilu gagal berulang-ulang untuk membuat perubahan pada negara. Tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak pemuda (rakyat) yang tidak mau ikut mencoblos pada saat pemilu karena mereka berpikir bahwa peran serta mereka dalam memberikan suara tidak akan berpengaruh terhadap perubahan negara.
***
Oleh karena itu, aplikasi nyata para kandidat lebih ditunggu saat ini.
Rakyat tidak butuh janji. Janji tidak bisa membuat perut kenyang.
Rakyat tidak butuh iklan dengan kuantitas tinggi di televisi. Iklan tidak bisa membuat mereka pintar.
Rakyat tidak butuh bendera yang ukurannya bahkan (kadang) lebih besar dari rumah mereka. Bendera tidak bisa membuat mereka aman dan nyaman.
Rakyat butuh aksi konkret. Sekarang!

Sumber :
Departemen Litbang Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi Periode 2005-2006; Sujarwadi. BENARKAH MAHASISWA UI APATIS??

Tuesday, October 21, 2008

VJ#40/X/2008 : Depresi : definisi, dampak, dan treatment



Kehidupan manusia modern saat ini -sepertinya- tidak bisa lepas dari kondisi lingkungan yang dirasakan semakin menekan. Tekanan itu dapat datang dari segala hal, baik dari keluarga, lingkungan pertemanan, lingkungan kerja, atau bahkan karena kondisi negara. Apabila seseorang tidak dapat mengatasi tekanan-tekanan tersebut dengan baik maka berpotensi untuk menimbulkan ketegangan-ketegangan yang tertahan dalam diri, yang pada akhirnya dapat mengarah ke kondisi depresi. Kata terakhir ini tentu sudah bukan hal asing di telinga kita. Entah mengetahuinya dari media, melihat langsung di lingkungan, atau bahkan pernah mengalaminya sendiri. Apa dan bagaimana sebenarnya depresi itu, dampaknya, dan bagaimana kah penanganannya pada org/klien yg depresi??


Tulisan ini mencoba memberikan penjelasan singkat mengenai depresi tersebut.

Definisi Depresi
Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang", meliputi seluruh tubuh, suasana perasaan dan pikiran. ia juga mempengaruhi pola makan dan tidur. Gangguan ini tidak sama dengan seorang yang dalam keadaan kelelahan atau malas. Seorang yang mengalami gangguan depresi tidak dapat "menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat kembali pada keadaannya seperti semula. Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala tersebut mengakibatkan terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya dari seseorang dan gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih lama. Penatalaksanaan yang sesuai dapat menolong seseorang yang mengalami depresi untuk cepat kembali seperti semula lebih baik. Definisi gangguan depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan dengan rasa sedih yang dalam dan berkepanjangan. Penderita hilang minat (interest) pada sesuatu yang sebelumnya menyenangkan baginya. Biasanya disertai dengan perubahan-perubahan lain pada dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah lelah dan berkurangnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.

Faktor Penyebab Depresi
Untuk menemukan penyebab depresi kadang-kadang sulit sekali karena ada sejumlah penyebab dan mungkin beberapa diantaranya bekerja pada saat yang sama. Dari sekian banyak penyebab itu, antara lain adalah :

Faktor Psikososial
Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan dapat berpengarubdalam terjadinya depresi pada seseorang. Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi. Salah satu bentuk peristiwa kehidupan adalah kehilangan, yang dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
a. Kehilangan abstrak: kehilangan harga diri, kasih sayang, harapan atau ambisi.
b. Kehilangan sesuatu yang konkrit: rumah, mobil, protet, orang atau bahkan binatang kesayangan.
c. Kehilangan hal yang bersifat khayal (tanpa fakta) : merasa tidak disukai atau dipergunjingkan orang.
d. Kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang: menunggu hasil tes kesehatan, menunggu hasi ujian, dan lain-lain.



Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Hawari (1999) bahwa seseorang yang kehilangan kebutuhan afeksional (kasih sayang) dapat jatuh dalam depresi, seperti kehilangan orang yang dicintai karena meninggal atau kehilangan jabatan/pekerjaan.


Reaksi Stres
Paykel dan Hollyman; Leff & Vaughn; Brown et. al (dalam Comer, 1991) menemukan bahwa dokter-dokter terkemuka mengatakan bahwa depresi itu berasal dari peristiwa-peristiwa yang penuh dengan stress. Peristiwa hidup yang penuh stress juga mengawali munculnya schizoprenia, anxiety disorder dan gangguan psikogis lainnya, tetapi orang yang depresi dilaporkan lebih mudah terpengaruh daripada orang lain. Sumber stress seperti kehilangan orang yang dicintai, perceraian, kegagalan dan tekanan pekerjaan dapat memberi sumbangan untuk munculnya depresi (Coyne et al; Eckennode Lewinsohn & Amenson; Stone & Neale dalam Rathus & Nevid, 1991). Sarason & Sarason (1993) menyatakan bahwa depresi dapat juga disebabkan karena ada faktor gen atau karena tidak berfungsinya beberapa faktor fisiologis yang mungkin diwarisi ataupun tidak.

Gejala-Gejala Depresi
Secara lengkap gambaran depresi menurut DSM IV adalah sebagai berikut :
a. Mood depresi sepanjang hari, hampir sepanjang hari, terindikasi baik melalui perasaan subjektif (perasaan sedih atau kosong) maupun melalui observasi orang lain (tampak sedih)
b. Ditandai dengan berkurangnya minat atau gairah pada segala hal, atau hampir segala hal, dalam aktivitas sepanjang hari, ataupun hampir sepanjang hari.
c. Berat badan menurun secara signifikan tanpa melakukan diet atau penaikan berat badan (perubahan lebih 5 % dari berat badan setiap bulan), atau penaikan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari.
d. Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.
e. Agitasi dan retadasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tidak berdaya).
f. Psikomotor menjadi lebih lambat (atas observasi orang lain)
g. Fatique atau kehilangan energi hampir setiap hari.
h. Perasaan tidak berharga atau perasan bersalah yang berlebihan dan tidak sesuai (dapat berupa delusi) hampir setiap hari.
e. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari.
f. Pikiran berulang tentang kematian, pikiran berulang untuk bunuh diri tapa rencana yang spesifik, adanya percobaan untuk bunuh diri atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.


Treatment yang dapat digunakan


a. Relaksasi Teknik Stabilisasi (Lightstream)
Klien dilatih untuk melakukan relaksasi ketika ia sedang merasa tertekan. Ia diminta untuk menutup mata dan menarik nafas perlahan-lahan lalu melepaskannya. Kemudian, Ia diminta untuk membayangkan adanya sebuah sinar yang dapat membuat dirinya merasa nyaman.

b. Cognitive Behavior Therapy
- Mengubah pemikiran-pemikiran negatif klien yang membuatnya depresi menjadi positif
- Mengenali automatic thought
Klien diminta untuk memperhatikan apa yang ia pikirkan ketika ia mengetahui adanya rasa tertekan muncul. Pada tahap ini, klien diarahkan untuk mengenali situasi-situasi saat rasa tertekan muncul sehingga menimbulkan automatic thought pada dirinya.
- Mengonfrontasi automatic thought
Pemeriksa kemudian meminta UY untuk mengonfrontasi automatic thoughtnya tersebut, salah satunya dengan cara menanyakan “ Apakah kamu 100% yakin bahwa (automatic thought) akan terjadi?”

c. Membuat garis peristiwa hidup yang dilengkapi dengan tingkat kecemasan (range 0-100) pada setiap peristiwa bermakna yang dilaluinya. Hal ini dilakukan untuk membuat klien lebih dapat mengenali perasaan tertekannya selama ini.

d. Memberikan psikoedukasi mengenai pentingnya untuk tetap berkegiatan, seperti olahraga, bekerja, dan bersosialisasi dengan lingkungan. Hal-hal tersebut dapat membantu untuk mengurangi depresi atau kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri.


e. Pemberian psikoedukasi mengenai manfaat berbagi dan bersikap terbuka dengan orang lain. Dengan berbagi masalah maka dapat membantu klien untuk mengurangi kecemasan, membuat perasaan menjadi lebih baik, dan dapat pula membantu untuk memecahkan masalah.


Sumber :
American Psychiatric Association. (2000). Desk Reference To The Diagnostic Criteria from DSM-IV-TR. USA : American Psychiatric Publishing, Inc.

Subotnik, Rona B., Harris, Gloria G. (2005) Surviving Infidelity : Making decision, recovering from the pain (3rd edition). Canada : Adams Media
http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=5&iddtl=260 diakses 24 September 2008
http://pdskjijaya.com/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid1 diakses 24 September 2008
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/156_07DepresiParkinson.pdf/156_07DepresiParkinson.html diakses 24 September 2008
http://www.geocities.com/andryan_pwt/depresi.html?200825 diakses 24 September 2008