Wednesday, December 26, 2007

VJ#15/XII/2007 : Analisis Kepribadian Kenji Goh dengan Teori Jung

Post ini, dan juga post sebelumnya, adalah tulisan yang saya buat untuk memenuhi salah satu mata kuliah saat kuliah S1. Sengaja saya post di Verdi's Journals untuk membaginya dengan para pembaca (terlepas apakah analisis saya salah atau benar). Tokoh yang dianalisis adalah Kenji Goh, seorang tokoh rekaan dari komik terkenal Jepang berjudul Kenji, dengan menggunakan teori Carl G. Jung.

RIWAYAT HIDUP TOKOH

Kenji Goh adalah seorang remaja Jepang yang sejak kecil sangat menyukai kungfu yang berasal dari Cina. Kesukaannya ini ditularkan oleh kakeknya yang seorang ahli kungfu yang terkenal dengan aliran “kungfu delapan mata angin”. Alasan kakeknya menurunkan ilmu kungfu tersebut kepada Kenji adalah karena ia mau Kenji tumbuh menjadi seorang pemuda yang kuat, pemberani, jujur, dan tidak cengeng. Oleh karena itu, dalam mengajarkan kungfu, ia tidak hanya sekedar mengajarkan gerakan-gerakan atau kuda-kuda untuk berkelahi, tetapi juga mengajarkan berbagai sifat yang harus dimiliki oleh seseorang bila ingin menjadi seorang pendekar kungfu sejati.

Kesukaan Kenji akan kungfu ini awalnya tidak didukung oleh kedua orangtuanya, khususnya sang ibu. Selain karena mereka beranggapan bahwa zaman sekarang adalah zaman pendidikan, mereka juga beranggapan bahwa kungfu adalah sesuatu yang tidak berguna dan hanya mendatangkan kesulitan dan kekerasan. Pendapat mereka tersebut seakan-akan diperkuat dengan semakin seringnya Kenji mendapat masalah sejak ia belajar kungfu. Masalah pertama muncul ketika Kenji kecil menghajar Koh, teman sekolahnya yang terkenal dengan kenakalannya. Kenji saat itu merasa kesal karena ia memandang bahwa tingkah laku Koh yang sering mengganggu teman-teman lainnya yang lebih lemah, sudah sangat keterlaluan. Kejadian itu membuat orangtua Kenji harus berhadapan dengan pihak sekolah dan pihak orangtua Koh.

Sejak kejadian itu, orangtua Kenji semakin melarangnya untuk belajar kungfu, yang memaksa Kenji harus melupakan kungfu untuk sejenak dan kembali ke jalurnya sebagai seorang anak yang harus turut kepada perintah orangtua. Hal ini diperkuat dengan perginya sang kakek, yang merupakan guru kungfunya, untuk mengelana ke tempat yang dirahasiakan. Ketika beranjak remaja, masalah tetap seperti tidak mau pergi dari kehidupan Kenji. Puncaknya adalah ketika ia terlibat dalam perang antar “geng”, yang mengakibatkan ia di skors dari sekolahnya selama waktu yang tidak ditentukan. Semenjak kejadian ini, orangtua Kenji menjadi menyerah untuk membuat Kenji belajar kungfu, karena merasa bahwa kungfu sudah menjadi jalan kehidupan dari anak mereka.

Untuk mengisi waktu skorsnya tersebut, Kenji memutuskan untuk mengelana dengan tujuan mencari kakeknya yang sudah bertahun-tahun tidak memberi kabar. Dalam perjalanannya tersebut, Kenji melewati banyak negara, seperti Taiwan, Cina, dan Hong Kong, dimana ia mengalami banyak kejadian yang penuh dengan pelajaran sehingga membuatnya semakin dewasa dan matang dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, ilmu kungfu Kenji juga semakin matang, karena ia menemui banyak ahli kungfu dengan berbagai macam aliran yang dengan senang hati mengajarkan ilmu mereka tersebut kepada Kenji.

Setelah cukup lama Kenji berkelana dan telah berhasil menemukan kakeknya, ia pun kembali ke negara kelahirannya, Jepang. Semenjak ia kembali, teman-temannya merasa bahwa Kenji bertingkah laku aneh dan tidak seperti biasanya. Setelah ditelusuri, ternyata Kenji merasa bahwa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Kenji menyadari bahwa setelah berkelana ia mendapatkan banyak hal, seperti ilmu kungfu yang menjadikan ia seorang pendekar yang hebat dan juga berbagai pelajaran hidup, tetapi ia tetap merasa ada yang kurang lengkap. Sang kakek menyadarkan Kenji bahwa selama ini ia akan lupa satu hal, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan spiritual. Dengan bantuan sang kakek, Kenji akhirnya merasa dirinya telah lengkap dengan menyadari bahwa tidak peduli hebatnya seseorang, ia tetaplah seorang makhluk yang sangat kecil dihadapan penciptanya.


ANALISIS TOKOH

Dalam serial komik Kenji, digambarkan dengan jelas bahwa tokoh-tokohnya memiliki katakter dan sifat khasnya masing-masing. Dalam komik ini, Kenji Goh digambarkan sebagai seorang yang cerdas, mudah bersosialisasi, ramah, pemberani, jujur, dan tidak suka apabila melihat suatu kejahatan dibiarkan begitu saja. Dalam hubungannya dengan kedua orang tuanya, setelah Kenji merasa bahwa ia telah sering menyusahkan orang tuanya, Kenji lebih bersifat mengalah dan berusaha untuk menyenangkan mereka, walaupun hal tersebut harus dilakukan dengan cara meninggalkan kecintaannya terhadap kungfu

Menurut teori Psikoanalisa dari Jung, Kenjii termasuk tipe orang dengan sikap extravert dengan fungsi intuiting yang dominan, yaitu orang-orang yang selalu mencari sesuatu yang baru. Mereka tidak dapat bertahan pada satu ide atau lingkungan karena sesuatu yang baru adalah tujuan hidup mereka. Hal ini dicerminkan dengan sifat Kenji yang tidak puas hanya dengan satu ilmu kungfu. Segala hal yang ia anggap dapat memperkaya ilmu bela dirinya, maka ia akan berusaha keras untuk menguasainya. Ini dibuktikan dengan salah satu cerita dimana Kenji berusaha untuk menguasai karate dan tinju demi memuaskan kehausannya akan bela diri. Hal lain yang cukup mendukung teori di atas adalah saat Kenji memutuskan untuk berkelana dengan tujuan mencari kakeknya. Ia berpikir bahwa dengan berkelana maka ia tidak akan terjebak dalam satu lingkungan dan dapat melihat berbagai lingkungan lain yang selama ini belum pernah ia temui.

Kadang Kenji menggunakan persona nya untuk menutupi sifat dasarnya karena tuntutan lingkungan. Pada suatu episode Kenji memutuskan untuk meninggalkan kungfu dan mulai mengikuti keinginan dari kedua orang tuanya. Keputusan tersebut diawali oleh sebuah kejadian dimana ia menyadari bahwa akibat dari keras kepalanya untuk tidak meninggalkan kungfu, ia telah menyusahkan orang tuanya. Orangtua Kenji beranggapan bahwa telah banyak hal yang dikorbankan demi kungfu, salah satunya adalah hilangnya kesempatan Kenji untuk bersekolah di sekolah unggulan karena ia berkelahi dengan “geng” setempat. Oleh karena itulah, Kenji berusaha menutupi sifat dasarnya sebagai seorang anak yang tidak menyukai kehidupan yang statis dan menyukai pengalaman-pengalaman unik yang ia dapatkan dari belajar kungfu dan mulai berusaha memenuhi tuntutan orangtuanya untuk menjadi pelajar yang baik.

Hal tersebut juga dapat disimpulkan bahwa Kenji melakukan repression terhadap pengalaman masa lalu, dimana ia mengalami masa-masa yang menyenangkan ketika ia belajar kungfu dengan berbagai kejadian yang mengikutinya.. Ia me-repress rasa cintanya pada kungfu karena ia ingin membuktikan kepada orangtuanya bahwa ia adalah seorang anak yang baik dan taat kepada perintah mereka

Walaupun Kenji belum mencapai tahap perkembangan middle age dari Jung, tetapi Kenji dapat dikatakan telah mencapai individuation. Kenji melakukan individuation dengan melepaskan diri dari orang tua yang selama ini tidak mendukungnya dalam mempelajari kungfu dan memutuskan untuk berkelana demi menemukan seperti apa dirinya yang sebenarnya. Walaupun Kenji sempat berusaha untuk menuruti keinginan orangtuanya untuk belajar dengan baik, ia akhirnya lebih memilih untuk mengembangkan ilmu kungfunya dengan berguru pada ahli-ahli kungfu di penjuru dunia. Ia terus mengembangkan kepribadiannya dengan mengoptimalkan seluruh struktur dari kepribadiannya. Dalam serial terakhir, tampak jelas individuation dari kebutuhan material ke kebutuhan spiritual pada diri Kenji, yaitu dengan adanya ajaran sang kakek untuk tidak pernah berpuas diri dan selalu ingat kepada Sang Pencipta.

Transcendent function juga telah dilakukan oleh Kenji, ia dapat mengolah segala kecenderungan yang ia miliki dan saling berlawanan menjadi kesatuan yang ideal. Hal ini diperlihatkan dalam sifat Kenji yang sebenarnya tidak menyukai kekerasan tetapi juga merasa tidak senang apabila ada suatu kejahatan dibiarkan begitu saja. Sifat yang berlawanan tersebut dapat ia wujudkan menjadi satu kesatuan yang ideal dengan mendalami kungfu. Kungfu mengajari Kenji bahwa seorang pendekar kungfu sejati akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam menghadapi suatu masalah dan juga berusaha untuk memilih jalan yang lebih baik. Transcendent function ini dilakukan oleh Kenji dengan tujuan untuk realisasi dan aktualisasi dari aspek yang tersembunyi dalam ketidaksadarannya. Rasa cintanya akan kungfu yang teramat besar membuat ia berani mengambil resiko untuk meninggalkan negara dan orangtuanya demi memenuhi kecintaannya tersebut.


Kesukaan Kenji akan kungfu ini awalnya tidak didukung oleh kedua orangtuanya, khususnya sang ibu. Selain karena mereka beranggapan bahwa zaman sekarang adalah zaman pendidikan, mereka juga beranggapan bahwa kungfu adalah sesuatu yang tidak berguna dan hanya mendatangkan kesulitan dan kekerasan. Pendapat mereka tersebut seakan-akan diperkuat dengan semakin seringnya Kenji mendapat masalah sejak ia belajar kungfu. Masalah pertama muncul ketika Kenji kecil menghajar Koh, teman sekolahnya yang terkenal dengan kenakalannya. Kenji saat itu merasa kesal karena ia memandang bahwa tingkah laku Koh yang sering mengganggu teman-teman lainnya yang lebih lemah, sudah sangat keterlaluan. Kejadian itu membuat orangtua Kenji harus berhadapan dengan pihak sekolah dan pihak orangtua Koh.

Sejak kejadian itu, orangtua Kenji semakin melarangnya untuk belajar kungfu, yang memaksa Kenji harus melupakan kungfu untuk sejenak dan kembali ke jalurnya sebagai seorang anak yang harus turut kepada perintah orangtua. Hal ini diperkuat dengan perginya sang kakek, yang merupakan guru kungfunya, untuk mengelana ke tempat yang dirahasiakan. Ketika beranjak remaja, masalah tetap seperti tidak mau pergi dari kehidupan Kenji. Puncaknya adalah ketika ia terlibat dalam perang antar “geng”, yang mengakibatkan ia di skors dari sekolahnya selama waktu yang tidak ditentukan. Semenjak kejadian ini, orangtua Kenji menjadi menyerah untuk membuat Kenji belajar kungfu, karena merasa bahwa kungfu sudah menjadi jalan kehidupan dari anak mereka.

Untuk mengisi waktu skorsnya tersebut, Kenji memutuskan untuk mengelana dengan tujuan mencari kakeknya yang sudah bertahun-tahun tidak memberi kabar. Dalam perjalanannya tersebut, Kenji melewati banyak negara, seperti Taiwan, Cina, dan Hong Kong, dimana ia mengalami banyak kejadian yang penuh dengan pelajaran sehingga membuatnya semakin dewasa dan matang dalam menghadapi kehidupan. Selain itu, ilmu kungfu Kenji juga semakin matang, karena ia menemui banyak ahli kungfu dengan berbagai macam aliran yang dengan senang hati mengajarkan ilmu mereka tersebut kepada Kenji.

Setelah cukup lama Kenji berkelana dan telah berhasil menemukan kakeknya, ia pun kembali ke negara kelahirannya, Jepang. Semenjak ia kembali, teman-temannya merasa bahwa Kenji bertingkah laku aneh dan tidak seperti biasanya. Setelah ditelusuri, ternyata Kenji merasa bahwa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Kenji menyadari bahwa setelah berkelana ia mendapatkan banyak hal, seperti ilmu kungfu yang menjadikan ia seorang pendekar yang hebat dan juga berbagai pelajaran hidup, tetapi ia tetap merasa ada yang kurang lengkap. Sang kakek menyadarkan Kenji bahwa selama ini ia akan lupa satu hal, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan spiritual. Dengan bantuan sang kakek, Kenji akhirnya merasa dirinya telah lengkap dengan menyadari bahwa tidak peduli hebatnya seseorang, ia tetaplah seorang makhluk yang sangat kecil dihadapan penciptanya.

VJ#14/XII/2007 : Teori Carl G. Jung


Dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan berbagai macam orang di kehidupan sehari-hari sering sekali kita menilai sifat dan sikap orang-orang tersebut dan kita melakukan pengamatan terhadap kepribadian orang tersebut. Dimana biasanya penilaian dan pengamatan tersebut hanyalah berdasarkan pada sebagian dari tingkah laku dan hasil analisa yang sangat dangkal. Namun, apakah kepribadian itu sendiri?

Kepribadian merupakan sesuatu yang sangat rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah dalam mendefinisikannya. Menurut Pervin (2000) :

Personality represent those characteristic of the person that account for consistent pattern of feeling, thinking and behaving.”

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan penentu karakteristik dari seseorang yang menentukan bagaimana ia merasa berfikir dan bertingkah laku.

Sedangkan Menurut Allport (dalam Chaplin, 2001), kepribadian adalah organisasi dinamis didalam individu yang terdiri dari system-sistem psikofisik yang menentukan tingkah laku dan pikirannya secara karakteristik. Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, membahas kepribadian manusia melalui berbagai macam pendekatan, yang salah satunya adalah pendekatan Psikodinamik. Dalam pendekatan ini, Carl Gustav Jung menjelaskan kepribadian manusia berdasarkan tujuannya dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh masa lalu dan masa depan manusia. Jung menjelaskan berbagai macam struktur dari Psyche, tipologi kepribadian manusia berdasarkan sikap dan fungsi dominan yang dimiliki oleh manusia itu, mekanisme pergerakan energi psikis dan tahap perkembangan kepribadiannya.

Struktur Psyche Menurut Jung

Menurut Jung, psyche adalah kesatuan yang di dalamnya terdapat semua pikiran, perasaan dan tingkah laku baik yang disadari maupun tidak disadari yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Struktur psyche menurut Jung terdiri dari :

1. Ego

Ego merupakan jiwa sadar yang terdiri dari persepsi, ingatan, pikiran dan perasaan-perasaan sadar. Ego bekerja pada tingkat conscious Dari ego lahir perasaan identitas dan kontinyuitas seseorang. Ego seseorang adalah gugusan tingkah laku yang umumnya dimiliki dan ditampilkan secara sadar oleh orang-orang dalam suatu masyarakat. Ego merupakan bagian manusia yang membuat ia sadar pada dirinya.

2. Personal Unconscious

Struktur psyche ini merupakan wilayah yang berdekatan dengan ego. Terdiri dari pengalaman-pengalaman yang pernah disadari tetapi dilupakan dan diabaikan dengan cara repression atau suppression. Pengalaman-pengalaman yang kesannya lemah juga disimpan kedalam personal unconscious. Penekanan kenangan pahit kedalam personal unconscious dapat dilakukan oleh diri sendiri secara mekanik namun bisa juga karena desakan dari pihak luar yang kuat dan lebih berkuasa. Kompleks adalah kelompok yang terorganisir dari perasaan, pikiran dan ingatan-ingatan yang ada dalam personal unconscious. Setiap kompleks memilki inti yang menarik atau mengumpulkan berbagai pengalaman yang memiliki kesamaan tematik, semakin kuat daya tarik inti semakin besar pula pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia. Kepribadian dengan kompleks tertentu akan didominasi oleh ide, perasaan dan persepsi yang dikandung oleh kompleks itu.

3. Collective Unconscious

Merupakan gudang bekas ingatan yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseorang yang tidak hanya meliputi sejarah ras manusia sebagai sebuah spesies tersendiri tetapi juga leluhur pramanusiawi atau nenek moyang binatangnya. Collective unconscious terdiri dari beberapa Archetype, yang merupakan ingatan ras akan suatu bentuk pikiran universal yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bentuk pikiran ini menciptakan gambaran-gambaran yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan, yang dianut oleh generasi terentu secara hampir menyeluruh dan kemudian ditampilkan berulang-ulang pada beberapa generasi berikutnya. Beberapa archetype yang dominan seakan terpisah dari kumpulan archetype lainnya dan membentuk satu sistem sendiri. Empat archetype yang penting dalam membentuk kepribadian seseorang adalah :

  1. Persona yang merupakan topeng yang dipakai manusia sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat serta terhadap kebutuhan archetypal sendiri.
  2. Anima & Animus merupakan elemen kepribadian yang secara psikologis berpengaruh terhadap sifat bisexual manusia. Anima adalah archetype sifat kewanitaan / feminine pada laki-laki, sedangkan Animus adalah archetype sifat kelelakian / maskulin pada perempuan.
  3. Shadow adalah archetype yang terdiri dari insting-insting binatang yang diwarisi manusia dalam evolusinya dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah kebentuk yang lebih tinggi.
  4. Self, yang secara bertahap menjadi titik pusat dari kepribadian yang secara psikologis didefinisikan sebagai totalitas psikis individual dimana semua elemen kepribadian terkonstelasi disekitarnya. Self membimbing manusia kearah self-actualization, merupakan tujuan hidup yang terus-menerus diperjuangkan manusia tetapi jarang tercapai.


Tipologi Jung

Menurut teori psikoanalisa dari Jung ada dua aspek penting dalam kepribadian yaitu sikap dan fungsi. Sikap terdiri dari introvert dan ekstrovert, sedangkan fungsi terdiri dari thinking, feeling, sensing dan intuiting. Dari kedelapan hal ini maka diperoleh tipologi Jung, yaitu :

  1. Introversion-Thinking

Orang dengan sikap yang introvert dan fungsi thinking yang dominan biasanya tidak memiliki emosi dan tidak ramah serta kurang bisa bergaul. Hal ini terjadi karena mereka memiliki kecenderungan untuk memperhatikan nilai abstrak dibandingkan orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Mereka lebih mengejar dan memperhatikan pemikirannya tanpa memperdulikan apakah ide mereka diterima oleh orang lain atau tidak. Mereka biasanya keras kepala, sombong dan berpendirian. Contoh dari orang dengan kepribadian seperti ini adalah philosophers.

  1. Extraversion-Thinking

Contoh orang dengan sikap extrovert dan fungsi thinking yang dominan adalah ilmuwan dan peneliti. Mereka memiliki kecenderungan untuk muncul seorang diri, dingin dan sombong. Seperti pada tipe pertama, mereka juga me-repress fungsi feeling. Kenyataan yang obyektif merupakan aturan untuk mereka dan mereka menginginkan orang lain juga berpikir hal yang sama.

  1. Introversion-Feeling

Orang dengan introversion-feeling berpengalaman dalam emosi yang kuat, tapi mereka menutupinya. Contoh orang dengan sikap introvert dan fungsi feeling yang dominan adalah seniman dan penulis, dimana mereka mengekspresikan perasaannya hanya dalam bentuk seni. Mereka mungkin menampilkan keselarasan didalam dirinya dan self-efficacy, namun perasaan mereka dapat meledak dengan tiba-tiba.

  1. Extraversion-Feeling

Pada orang dengan sikap extraversion dan fungsi feeling yang dominan perasaan dapat berubah sebanyak situasi yang berubah. Kebanyakan dari mereka adalah aktor. Mereka cenderung untuk emosional dan moody tapi terkadang sikap sosialnya dapat muncul.

  1. Introversion-Sensation

Orang ini cenderung tenggelam dalam sensasi fisik mereka dan untuk mencari hal yang tidak menarik dari dunia sebagai perbandingan. Biasanya mereka adalah orang-orang yang tenang, kalem, self-controlled, tapi mereka juga membosankan dan kurang bisa berkomunikasi.

  1. Extraversion-Sensation

Orang dengan tipe ini biasanya adalah businessman. Mereka biasanya realistik, praktis, dan pekerja keras. Mereka menikmati apa yang dapat mereka indrai dari dunia ini, menikmati cinta dan mencari kegairahan. Mereka mudah dipengaruhi oleh peraturan dan mudah ketagihan pada berbagai hal.

  1. Introversion-Intiuting

Pemimipi, peramal, dan orang aneh biasanya adalah orang dengan sikap introvert dan fungsi intuitif yang dominan. Mereka terisolasi dalam gambaran-gambaran primitif yang artinya tidak selalu mereka ketahui namun selalu muncul dalam pikiran mereka. Mereka memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, tidak praktis namun memiliki intuisi yang sangat tajam dibandingkan orang lain.

  1. Extraversion-Intuiting

Penemu dan pengusaha biasanya memiliki sikap extravert dan fungsi intuitif yang dominan, mereka adalah orang-orang yang selalu mencari sesuatu yang baru. Mereka sangat baik dalam mempromosikan hal-hal yang baru. Namun mereka tidak dapat bertahan pada satu ide, pekerjaan maupun lingkungan karena sesuatu yang baru merupakan tujuan hidup mereka.

Tahap Perkembangan Kepribadian Jung

Tahap perkembangan kepribadian Jung terdiri dari 4 tahap, yaitu childhood, youth dan young adulthood, middle age dan old age. Pada tahap kedua menekankan akan adaptasi terhadap kehidupan social dan ekonomi. Jung memperlihatkan ketertarikannya pada tahap perkembangan kepribadian ketiga yaitu middle age, karena disini terdapat proses yang penting dari puncak dari individuation dan orang mulai merubah kepedulian terhadap materi menjadi kepedulian spiritual.

Aktivitas Energi Psikis, Individuation, dan Transcendent Function

Energi psikis muncul dari pengalaman individual dan merupakan energi untuk berpikir, berkeinginan, memelihara, dan berjuang. Energi psikis mengikuti hukum equivalence dan entropy dari hukum thermodinamika. Dimana jumlah energi tidak akan berubah dan saling berinteraksi agar mencapai keseimbangan. Energi psikis melakukan dua tujuan hidup yaitu mempertahankan diri dan mengembangkan budaya dan aktivitas spiritual dengan melakukan progression, sublimation (energi bergerak maju) , regression dan repression (yang menekan ke ketidak sadaran).

Progression adalah keadaan dimana kesadaran/ ego dapat menyesuaikan diri secara memuaskan baik terhadap tuntutan dunia luar maupun kebutuhan ketidak sadaran, yang menyebabkan perkembangan bergerak maju. Apabila gerak maju ini terganggu oleh suatu rintangan, dan karenanya libido tercegah untuk digunakan secara maju maka libido akan melakukan regresi, yaitu kembali ketahap sebelumnya atau masuk ke ketidak sadaran atau dikenal dengan repression. Sedangkan sublimation adalah transfer energi dari proses yang lebih primitif, instinktif dan rendah diferensiasinya ke proses yang lebih bersifat kultural, spiritual dan tinggi diferensiasinya.

Individuation adalah proses untuk mencapai kepribadian yang integral serta sehat, dimana semua sistem atau aspek kepribadian harus mencapai taraf diferensiasi dan perkembangan yang sepenuh-penuhnya, disebut juga proses pembentukan diri, atau penemuan diri.

Transcendent function adalah kemampuan untuk mempersatukan segala kecenderungan yang saling berlawanan dan mengolahnya menjadi satu kesatuan yang sempurna dan ideal. Tujuan dari fungsi ini adalah menjelmakan manusia sempurna, realisasi serta aktualisasi segala aspek-aspek yang tersembunyi dalam ketidak sadaran. Fungsi inilah yang mendorong manusia mengejar kesempurnaan kepribadian.


Referensi :

Chaplin, J.P (2001). Kamus Lengkap Psikologi (Kartini Kartono, penrj.). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Hall, C. S.&G. Lindzey. (1985). Introduction to Theories Personality. New York: Jhon Willey&Son.

Pervin, L. A.&O.P. John. (2000). Personality: Theory and Research. 8th ed. New York : John Willey&Son.


Friday, December 21, 2007

VJ#13/XII/2007 : Contoh Self-Desensitization (Kasus Pribadi)

Menurut Martin dan Pear (1996) tahapan self desensitization adalah sebagai berikut :

  1. Mengkonstruk hirarki (skala) kecemasan
  2. Melakukan relaksasi otot
  3. Menjalani langkah-langkah terapi dari proses self desensitization

Self desensitization ini saya lakukan untuk menghilangkan ketakutan atau kecemasan saya terhadap tikus. Tikus yang saya takuti terutama tikus berwarna hitam dan curut (tikus kecil yang tidak dapat melihat dan mengeluarkan suaran “ciit..ciit” yang khas)

Tahap 1 : Mengkonstruk Skala Ketakutan (kecemasan)

100 : Memegang tikus dengan tangan sendiri

90 : Tikus/curut merayap di bagian tubuh saya (kaki, tangan, badan)

80 : Melihat tikus/curut melintas dan mengenai kulit kaki saya

70 : Melihat tikus/curut melintas persis di bawah kaki saya namun tidak kena kulit kaki

saya

60 : Tikus/curut dipegang oleh orang lain dan diarah-arahkan ke saya dengan jarak dekat

(<>

50 : Mendengar suara ”ciit...ciiit” tikus/curut serta melihat fisik tikus/curut tersebut

dalam jarak < style=""> M

40 : Mendengar suara ”ciit...ciiit” tikus/curut serta melihat fisik tikus/curut tersebut

dalam jarak 5 - 10 M

30 : Mendengar suara ”ciit...ciiit” tikus/curut serta melihat fisik tikus/curut tersebut

dalam jarak > 10 M

20 : Mendengar suara ”ciit...ciiit” tikus/curut

10 : Mendengar suara tikus/curut berlari di belakang lemari atau suara tikus/curut sedang

menggerogoti lemari

0 : Tidak melihat tikus/curut ataupun mendengar suara tikus/curut di sekitar saya

Tahap 2 Melakukan relaksasi otot

Relaksasi otot dilakukan dengan self-relaxation

Tahap 3 Menjalani langkah-langkah terapi dari proses self desensitization

Pada tahap ini, saya telah selesai melakukan tahap relaksasi dan merasakan bahwa tubuh terasa lebih rileks dan nyaman. Setelah itu, saya membayangkan dalam pikiran sendiri (berimajinasi) bahwa saya sedang menghadapi situasi sesuai dengan skala ketakutan yang telah saya susun sebelumnya. Pada skala 0 – 40 saya dapat merasakan bahwa jantung saya tetap dapat berdebar normal meski ada rasa takut dan jijik. Walaupun demikian, saya tetap dapat melewati skala 40 dengan cukup baik. Saat berada di skala 50, saya merasa bahwa jantung saya mulai berdebar lebih cepat, serta ada rasa cemas dan jijik yang meningkat. Pada saat ini, saya mengalami kesulitan untuk melewatinya sehingga memutuskan untuk menghentikannya.

Pada percobaan kedua, saya melaksanakan sesuai tahapan, yaitu terlebih dahulu melakukan self-relaxation. Setelah itu, saya mulai lagi berimajinasi dengan suasana skala kecemasan yang pada percobaan pertama saya kesulitan untuk melewatinya, yaitu skala 50. Pada percobaan kedua ini, saya dapat lebih tenang (jantung dapat berdebar cukup normal, meski perasaan jijik tidak sepenuhnya hilang). Pada skala selanjutnya, skala 60, saya kembali merasa jijik, cemas, dan jantung berdear lebih cepat. Perasaan yang mendominasi adalah perasaan jijik dan ada keinginan untuk menjauh dari tikus/curut tersebut. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti pada skala 60 dan belum melanjutkan ke tingkatan skala selanjutnya.

Referensi :

Martin, Gear & Pear, Joseph. (1996) Behavior Modification 9th editon. USA : Prentice

Hall.

Thursday, December 20, 2007

VJ#12/XII/2007 : Well Being Pada Lansia


Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock (1991) menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock (1991) ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua, yaitu periode penutup dalam rentang hidup seseorang di saat seseorang telah “beranjak jauh” dari periode tertentu yang lebih menyenangkan. Pada tahap perkembangan ini, Erikson (dalam Santrock, 1997) menyebutnya dengan sebutan ”Integrity versus Despair”. Pada masa-masa ini, individu melihat kembali perjalanan hidup ke belakang, apa yang telah mereka lakukan selama perjalanan mereka tersebut. Ada yang dapat mengembangkan pandangan positif terhadap apa yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas (integrity), tetapi ada pula yang memandang kehidupan dengan lebih negatif, sehingga mereka memandang hidup mereka secara keseluruhan dengan ragu-ragu, suram, putus asa (despair).

Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya. Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan dirinya merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu. Hal ini menyebabkan lansia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhlan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun

Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan psychological well-being (PWB) sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa PWB menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.

Menurut Santrock (1997), ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh para lansia untuk membantu mereka mencapai PWB, yaitu mencakup memiliki pendapatan, kesehatan yang baik, gaya hidup aktif, dan mempunyai jaringan teman dan keluarga yang baik. Mengenai gaya hidup aktif, Santrock (1997) menyebutkan bahwa lansia yang memiliki gaya hidup aktif akan memiliki PWB yang lebih baik dibandingkan dengan lansia yang hanya diam di rumah dan menyendiri. Begitu pula dengan manula yang memiliki jaringan teman dan keluarga daripada manula yang terisolasi sosial. Sedangkan Hurlock (1991) menyebutkan bahwa PWB atau kebahagiaan pada lansia tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A” Kebahagiaan, yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Apabila seorang lansia tidak dapat memenuhi “tiga A” tersebut maka akan sulit baginya untuk dapat mencapai kebahagiaan. Misalnya, ia merasa diabaikan oleh anggota keluarga atau petugas panti wredha, merasa bahwa prestasi pada masa lalu tidak memenuhi harapan dan keinginan, atau apabila mereka mengembangkan perasaan bahwa tidak ada satu orang pun yang mencintainya. Kebahagiaan tidak memiliki arti yang sama bagi mereka yang berusia lanjut. Namun, secara umum lansia yang bahagia lebih sadar dan siap untuk terikat dengan kegiatan baru dibandingkan lansia yang merasa tidak bahagia. Hal ini disebabkan apa yang dikerjakannya lebih penting bagi kebahagiaannya di masa usia lanjut dibandingkan siapa mereka. Hurlock (1991) menambahkan bahwa ada beberapa kondisi penting yang dapat membantu pencapaian PWB lansia, antara lain terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik, diterima oleh dan memperoleh respek dari kelompok sosial, menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat keluarga dan teman-teman, dan melakukan kegiatan produktif, baik kegiatan di rumah maupun kegiatan yang secara sukarela dilakukan.

Melihat uraian di atas maka terlihat bahwa untuk salah satu cara untuk mencegah atau membantu para lansia untuk keluar dari masalah-masalah yang berpotensi muncul pada tahap perkembangan mereka adalah dengan berusaha mencapai psychological well-being. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencapainya adalah dengan menjalin hubungan (jejaring) yang baik dengan orang-orang di sekitar lingkungan dan berusaha untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang ada.


Wassalam,


Arya Verdi R.

Referensi :

Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan edisi kelima : Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Ryff, C.D.(1989). Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of PWB.

Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.

Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of PWB revisited. Journal of

Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

Ryff, C.D., Keyes, C.L.M., & Shmotkin, D. (2002). Optimizing Well-Being: The

Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social

Psychology, 82, 1007-1022.



Thursday, December 13, 2007

VJ#11/XII/2007 : Meaning of Life


Kota-kota besar di berbagai belahan dunia ini selalu bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, kota besar adalah sebuah kota yang sering kali menjadi pusat dari segala kegiatan, seperti pusat pendidikan, pusat budaya, maupun pusat pemerintahan, namun di sisi lain kota besar juga menyimpan berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang umumnya terdapat di kota besar, adalah biaya hidup yang tinggi, tingginya tingkat kriminalitas, tingginya tingkat pengangguran, kesenjangan hidup antara kaya dan miskin yang besar, dan lain sebagainya. Kota Jakarta sebagai salah satu kota besar dunia tidak terlepas dari dua sisi mata uang tersebut. Pada satu sisi Jakarta terkenal dengan kemajuan pembangunannya sehingga mengundang banyak orang berurbanisasi ke kota ini, namun di sisi lain kota Jakarta juga menyimpan berbagai masalah yang tak kunjung terselesaikan. Saputra (dalam www.beritaiptek.com, 2007) menyebutkan bahwa Jakarta, yang merupakan barometer kota-kota besar di Tanah Air, seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan pengelolaan kota yang baik, yang menyediakan kenyamanan tempat tinggal, berkarya dan berinteraksi antar anggota masyarakatnya. Namun, kondisi tersebut nampaknya masih jauh dari kenyataan. Beban pencemaran yang semakin berat didukung oleh tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi, pengangguran, sarana transportasi massal yang minim pelayanan, dan sarana atau fasilitas umum yang semakin langka menjadikan Jakarta dapat dikatakan berat untuk menyandang kota yang manusiawi.

Salah satu Permasalahan cukup mencolok yang terdapat di kota Jakarta adalah masih tingginya jumlah warga Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut semakin meningkat sejak Indonesia ditimpa oleh krisis ekonomi pada tahun 1998. Selain meningkatnya jumlah penduduk miskin, Fajriati (dalam www.jejak.htmlplanet.com) menyebutkan bahwa krisis tersebut juga menyebabkan hampir 30 persen dari semua anak-anak usia sekolah di Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Anak-anak putus sekolah mulai bermunculan. Sebagai akibatnya, di kota-kota besar, termasuk Jakarta bermunculan anak-anak yang bekerja menjadi loper koran, pembersih kaca mobil, pengamen, 'polisi cepek' dan juga pengemis. Mereka bekerja, atau lebih tepatnya dipekerjakan, dengan alasan untuk membiayai sekolah. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam mengatasi masalah anak-anak putus sekolah ini. Akhir tahun 1998, Pemerintah menggandeng Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang akhirnya menyuntikkan dana sebesar US$ 133 juta atau sekitar 1,4 trilyun rupiah (nilai saat itu). Pemerintah menggunakan dana ini untuk membiayai program pendidikan bagi anak putus sekolah, yang kemudian dikenal dengan program 'Ayo Sekolah'. Selain itu, Pemerintah juga membebaskan SPP bagi siswa-siswa yang tergolong rawan ekonomi. Namun, di Indonesia,- khususnya di kota-kota besar- anak-anak jalanan yang berprofesi dari pengemis hingga pengamen justru semakin banyak. Pembebasan SPP, Program Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN OTA), dan beasiswa tidak mendorong anak-anak kembali ke bangku sekolah. Tekanan ekonomi inilah yang mungkin mendorong mereka ke jalanan. Situs www.ypha.or.id menyebutkan bahwa jumlah siswa putus sekolah di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Jakarta masih tinggi. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta tahun ajaran 2006/2007, sebanyak 1.002 siswa SD dan 2.172 siswa SMP negeri dan swasta dinyatakan tidak melanjutkan pendidikan. Menurut situs tersebut pula, banyak siswa dari keluarga tidak mampu memutuskan berhenti sekolah karena harus membantu ekonomi keluarga. Fenomena tersebut, lanjutnya, bisa disebabkan orangtua siswa terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara mendadak, atau usaha orang-tuanya yang bangkrut, sehingga anggaran untuk biaya pendidikan anaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain ekonomi, faktor individu seperti minat anak untuk sekolah juga dapat menjadi penyebab siswa putus sekolah

Di tengah permasalahan makin tingginya anak putus sekolah tersebut masih terdapat orang-orang yang mau meluangkan harta, waktu, dan tenaga untuk meringankan masalah tersebut, yaitu dengan mendirikan sekolah yang tidak memungut biaya kepada anak didiknya (gratis). Tambahan lagi, pendiri sekolah tersebut terkadang mrangkap pula sebagai pengajar sekaligus orang tua asuh bagi anak-anak tersebut. Salah satunya adalah Yayasan Himmata (http://himmata.org/), sebuah yayasan yang didirikan oleh salah satu sahabat saya, Bapak H. Siswandi, yang memberi ruang bagi anak-anak bangsa yang kurang beruntung untuk dapat ikut serta merasakan nikmatnya mendapatkan pendidikan. Anak-anak tersebut tentunya tidak dipungut biaya apapun namun tetap mendapatkan fasilitas-fasilitas yang cukup menunjang dalam jalannya kegiatan ajar mengajar. Terletak di daerah plumpang, Yayasan Himmata didukung penuh oleh para penyandang dana, baik perorangan maupun kolektif. Saat menyempatkan diri untuk mengunjungi Yayasan tersebut, penulis sempat merasa amat kecil. Mengapa? Karena dengan segala kenikmatan yang saya punya, kadang-kadang masih saja merasa kurang. Sedangkan di tempat tersebut, saya melihat bahwa masih banyak orang-orang yang jauh lebih kekurangan daripada saya. Yang membuat saya lebih kecil lagi, bahwa ternyata pandangan skeptis saya bahwa di dunia ini tidak ada lagi orang baik adalah salah besar. Di tempat tersebut saya melihat bagaimana orang-orang pengurus yayasan bekerja ikhlas dengan satu niatan dasar, yaitu membantu orang lain, dalam hal ini anak-anak putus sekolah. Dalam benak kemudian mucul pertanyaan, ”untuk apa mereka melakukan semua ini? Mencurahkan tenaga dan pikiran ”hanya” untuk membantu orang lain? Apa yang mereka cari?.”

Setelah beberapa waktu berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya menemukan penjelasan subyektif, yang mungkin tidak dapat memuaskan orang lain kecuali saya sendiri. Menurut pemikiran saya, ada beberapa hal yang dapat dikedepankan sebagai alasan orang-orang tersebut memutuskan untuk mendirikan sekolah gratis. Salah satu alasan yang mungkin adalah orang-orang tersebut mencoba menemukan makna hidup dengan membantu sesama. Menurut Bastaman (2007), makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Ditambahkan olehnya apabila makna hidup berhasil ditemukan dan dipenuhi maka akan menyebabkan kehidupan sebagai sesuatu yang berarti dan berharga. Apabila kita berbicara mengenai makna hidup maka tak dapat dilepaskan dari Victor Frankl, seorang neuro-psikiater yang menemukan dan mengembangkan logoterapi (Frankl, 2006). Dalam bahasa Yunani. Logoterapi berasal dari kata Yunani yang “logos” berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi memandang bahwa makna hidup (meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) (Bastaman, 2007).

Hal yang dilakukan oleh orang-orang yang mendirikan sekolah gratis ini, dapat dikategorikan ke dalam creative values (Bastaman, 2007) dan self transcendence (Rekker, dalam Tri, 2001) mengenai sumber-sumber makna hidup, artinya orang-orang tersebut dapat menemukan maka hidupnya dengan bekerja dan berkarya, serta dengan mendirikan sekolah gratis berarti mereka telah membantu sesama, yaitu anak-anak kurang mampu dalam hal ekonomi yang putus sekolah Perlu dijelaskan bahwa bekerja dan berkarya tersebut hanya merupakan sarana, namun untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup tersebut tergantung pada pribadi yang bersangkutan dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu. Jadi, mereka mungkin menempatkan materi sebagai reward di urutan kesekian dan menempatkan rasa membantu antar sesame di urutan teratas. Luar Biasa apabila memang benar demikian. Niscaya apabila orang-orang di negara kita, atau bahkan dunia, dapat berlaku demikian, tentu saja bumi akan menjadi tempat yang jauh lebih nyaman untuk dihuni. Apa yang menjadi makna hidup anda?

Wassalam,

Arya Verdi R.

.

Sunday, June 24, 2007

VJ # 10/VI/2007 : "MOS asyik tanpa Bullying"

Tulisan ini didedikasikan bagi pendidikan di Indonesia (menyambut MOS) :

Nostalgia SMA kita
Indah lucu banyak cerita
Masa-masa remaja ceria
Masa paling indah
Nostalgia SMA kita
Takkan hilang begitu saja
Walau kini kita berdua
Menyusuri cinta...


Dapatkah anda menyanyikan penggalan teks lagu di atas?. Apabila tidak, coba tanyakan kepada siapa saja yang melewati masa remaja di tahun 1990an, niscaya mereka tidak asing dengan penggalan teks lagu tersebut. Penggalan teks tersebut penulis ambil dari sebuah lagu yang berjudul “Nostalgia SMA Kita” yang sempat dipopulerkan oleh Paramitha Rusady. Teks tersebut sengaja penulis lampirkan sebagai pembuka dari artikel ini. Mengapa?Tidak lain karena penulis ingin mengingatkan kita semua pada sebuah ungkapan lama. Ungkapan yang, mungkin, selalu diucapkan ketika seseorang sedang mengenang kembali masa-masa remaja, terutama saat masih duduk di bangku sekolah. Ungkapan yang berbunyi “masa sma adalah masa-masa paling indah”. Masa dimana seseorang mengalami banyak pengalaman baru. Masa dimana seseorang sedang melewati masa remaja. Masa dimana seseorang dipenuhi oleh jiwa muda yang selalu ingin mencoba pengalaman baru. Masa dimana seseorang mulai belajar untuk memegang tanggung jawab. Dan, tentu saja, masa yang penuh cinta.
Salah satu kegiatan dalam sekolah yang memegang peranan penting bagi seorang siswa untuk mempunyai masa-masa sekolah yang indah, seperti lagu di atas, adalah MOS. MOS, kependekan dari masa orientasi sekolah, adalah suatu masa dimana siswa baru diberi kesempatan untuk memiliki masa orientasi (pembiasaan) untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan sekolah yang baru bagi mereka. Pada masa-masa inilah seorang siswa baru memulai langkah awal mereka untuk memasuki dan beradaptasi pada suatu lingkungan baru, yang mungkin sama sekali lain dari lingkungan lamanya. Selain itu, MOS juga dapat berfungsi bagi seorang siswa baru untuk memenuhi salah satu dari tugas perkembangan remaja yang dikemukakan oleh Havighurst (dalam Hurlock 1973), yaitu untuk mengambil seperangkat nilai dan sistem etika yang terdapat di lingkungan barunya sebagai pemandu dalam bertingkah laku. Artinya dengan mengikuti MOS maka seorang siswa baru dapat mengetahui nilai-nilai apa saja yang dianut di lingkungan barunya tersebut untuk kemudian diimplementasikan dalam bentuk tingkah laku sehari-hari. Salah satu contoh bentuk nilai-nilai tersebut adalah tata tertib sekolah.
Untuk dapat mencapai tujuan MOS dengan baik, maka tentu saja para siswa baru tersebut membutuhkan peranan dari orang lain untuk membimbing mereka. Salah satu yang memegang peranan penting tersebut adalah kakak-kakak kelas mereka. Tingkah laku dan sikap kakak-kakak kelas yang ditampilkan selama MOS berlangsung dapat mempunyai pengaruh besar dalam proses adaptasi para siswa baru tersebut. Apabila siswa-siswa baru mempersepsikan bahwa tingkah laku dan sikap kakak-kakak kelas terhadap mereka cukup baik maka proses adaptasi dapat dilakukan dengan baik pula. Namun sebaliknya, apabila siswa-siswa baru tersebut mempersepsikan tingkah laku dan sikap kaka

k-kakak kelas terhadap mereka kurang baik, bahkan menjurus ke bullying maka penggalan teks Paramitha Rusady di atas mungkin tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan mereka. Tidak akan ada masa-masa sekolah yang indah.
Apa itu Bullying?
Bullying adalah sebuah istilah dan isu yang telah mendapatkan perhatian serius selama kurang lebih 20 tahun belakangan ini. Bullying dapat terjadi di mana saja, bahkan di lingkungan sekolah sekalipun. Meskipun demikian, apabila kita berbicara mengenai bullying, maka akan ditemukan suatu kenyataan bahwa masih banyak siswa sekolah yang tidak memahami pengetian dan dampak yang dapat ditimbulkan dari bullying. Pada akhirnya, terdapat suatu fenomena dimana banyak siswa tidak menyadari apabila dirinya sedang menjadi pelaku, atau bahkan korban bullying. Untuk itu, langkah awal yang harus diambil adalah memahami terlebih dahulu pengetian dari bullying itu sendiri.

Papalia, et. Al. (2004) menyatakan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri. Sedangkan bila kita mengkhususkan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah (school bulyying) maka dapat diambil sebuah pengertian yang diberikan oleh Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005). Mereka mengartikan School bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Ada 5 kategori perilaku bullying tersebut, yaitu :
1. Kontak Fisik Langsung
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain
2. Kontak Verbal Langsung
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.
3. Perilaku non-verbal langsung
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.
4. Perilaku non-verbal tidak langsung
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
5. Pelecehan seksual
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah perilaku-perilaku yang dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik dan bisa juga verbal.

Mengapa Melakukan Bullying?
Mengapa sampai seorang siswa dapat melaku perilaku bullying terhadap siswa lain, yang seharusnya dapat menjadi teman sepermainan mereka?. Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005) disebutkan korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), dan iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.

Apa Dampak dari Bullying?
Bullying mungkin merupakan bentuk agresivitas antarsiswa yang memiliki akibat paling negatif bagi korbannya. Hal tersebut disebabkan karena dalam peristiwa bullying terjadi ketidakseimbangan kekuasaan dimana para pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga korban merasa tidak berdaya untuk melawan mereka. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa korban bullying akan cenderung mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low psychological well-being), penyesuaian sosial yang buruk, gangguan psikologis, dan kesehatan yang memburuk (Rigby, dalam Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, 2005). Korban bullying juga bisa mengalami penyesuaian sosial yang buruk sehingga ia terlihat seperti membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah, selalu merasa kesepian, dan sering membolos sekolah. Apabila kita melihat lebih jauh lagi maka korban bullying juga dapat memancing timbulnya gangguan psikologis rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder).

Bullying ternyata tidak hanya menimbulkan dampak negatif dalam segi psikologis, namun juga dari segi fisik. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) menyebutkan bahwa salah satu dampak dari bullying yang jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bagi para korban bullying yang mengalami perilaku agresif langsung juga mungkin mengalamin luka-luka pada fisik mereka.

Bullying Menghambat Aktualisasi Diri
Seorang psikolog terkemuka bernama Abraham Maslow menyebutkan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Maslow menjelaskan bahwa seseorang baru dapat melakukan aktualisasi diri, yaitu keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri, apabila orang tersebut telah merasa bahwa kebutuhan fisiologis (seperti makan dan minum), rasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan harga diri telah terpenuhi dengan baik.

Seorang siswa yang menjadi korban bullying dapat mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, selalu merasa ketakutan dan tidak aman, bahkan merasa bahwa dirinya tidak lagi mempunyai harga diri akibat perilaku bullying yang diterimanya. Memahami teori Maslow maka hal tersebut dapat membuat siswa korban bullying kesulitan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Salah satu contohnya adalah sebuah kisah nyata yang penulis dapatkan dari seorang siswa. Ia adalah seorang anak yang mempunyai potensi besar dalam bidang sepakbola sehingga dirinya memutuskan untuk bergabung dalam eskul sepakbola di sekolahnya dengan harapan dapat lebih mengembangkan potensinya. Namun apa yang terjadi? Ternyata sejak bergabung di eskul tersebut, dirinya kerap kali menjadi korban bullying dari kakak-kakak kelas yang juga anggota eskul tersebut. Pada akhirnya, akibat rasa takut dan cemas yang terus menerus oleh perilaku bullying yang diterimanya, membuat dirinya kesulitan untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Sayang sekali bukan?. Padahal siswa tersebut sebenarnya dapat membantu sekolahnya untuk mencetak prestasi dalam bidang sepakbola dengan potensi yang dimilikinya namun karena bullying, hal tersebut tidak dapat terwujud.

MOS ASYIK TANPA BULLYING
Membaca pemaparan di atas, tergambarkan secara jelas bahwa tidak ada manfaat apabila seorang siswa melakukan perilaku bullying terhadap siswa lainnya. Selain mengakibatkan dampak negatif terhadap korbannya, seorang perilaku bullying juga dapat dicekal oleh hukum pidana, seperti yang terjadi pada beberapa praja IPDN yang menjadi tersangka dalam kasus kematian Cliff Muntu, Praja IPD asal Manado. Tentu saja penulis yakin tidak ada di antara kita yang mau bernasib demikian. Lalu hal apa yang dapat dilakukan oleh seorang siswa untuk menghapus perilaku bullying di sekolah?. Sebagai siswa, banyak sekali sebenarnya peranan yang dapat diambil untuk dapat berperan aktif dalam menghapus perilaku bullying di sekolah. Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan tidak menjadi seorang pelaku. Tingkatkan rasa empati ( kemampuan yang tinggi untuk mengalami dan memahami emosi orang lain ) kita terhadap orang lain. Cobalah untuk merasakan emosi yang mungkindirasakan oleh seseorang yang menjadi korban bullying. Kemudian bayangkan apabila diri kita sendiri yang menjadi korban bullying. Tidak menyenangkan bukan?. Oleh karena itu, apabila kita tidak mau diperlakukan bullying oleh seseorang maka janganlah melakukan bullying terhadap orang lain. Setelah yakin bahwa diri kita tidak akan menjadi seorang pelaku bullying maka peran selanjutnya yang dapat dilakukan adalah menyebarkan informasi mengenai pengertian dan dampak negatif dari bullying kepada orang lain, khususnya sesama siswa sekolah. Hal ini dapat kita lakukan misalnya dengan menjadi penggagas sekaligus pelaksana Masa Orientasi Sekolah dengan tema MOS TANPA BULLYING. Pada kegiatan MOS tanpa Bullying maka tujuan acara benar-benar diarahkan kepada membantu dan membimbing para siswa baru untuk dapat melewati proses adaptasi dengan baik. Acara dapat dikemas dengan berbagai kegaiatan-kegiatan yang mengasyikan, menarik, dan tentu saja bebas dari perilaku bullying. Apabila dirasakan ada kegiatan-kegiatan MOS tahun sebelumnya yang kurang bermanfaat dan menjurus kepada perilaku bullying maka jangan ragu untuk menghilangkannya. Gantilah dengan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dan melibatkan interaksi antara siswa baru dengan siswa lama. Dengan demikian, suatu lingkungan yang menyenangkan dan kondusif untuk belajar akan semakin cepat dan mudah terbentuk. Selalu ingat dalam pikiran masing-masing, bahwa siswa baru adalah adik-adik kita yang membutuhkan bimbingan. Bukan suatu objek yang dapat kita perlakukan semau kita. Apabila hal ini dapat terlaksana maka niscaya semua siswa akan menjadikan lagu Paramitha Rusady sebagai lagu kesayangan karena masa sekolah mereka adalah masa-masa yang paling indah, tanpa bullying.

Sumber:

Hurlock, E.B. (1973). Adolescent Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, LTD. Jackson, S. & Rodriguez-Tome, H. (1993). Adolescence and Its Social Worlds. UK: LEA Ltdingin Publishers.

Papalia, Diane E., Olds, Sally W., & Feldman, Ruth D. (2004). Human Development (9th Ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan” di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak ”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 – 13

Friday, June 22, 2007

VJ # 9/VI/2007 : "TOKOH HUMANISTIK"

Tokoh-Tokoh Psikologi Humanistik
Sebagaimana behaviorisme dan psikoanalisis, psikologi humanistik pun mempunyai tokoh-tokoh yang terkenal, yang pemikiran-pemikiran dan teori-teorinya memberikan kontribusi yang cukup besar demi perkembangan psikologi humanistik. Dari tokoh-tokoh tersebut, ada dua orang tokoh yang berperan besar dalam pembentukkan serta perkembangan psikologi. Kedua tokoh tersebut adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers. Oleh karena peran mereka yang signifikan itu maka penulis pada tulisan berikut akan mencoba bercerita mengenai biografi singkat berserta teori-teori yang diciptakan dari kedua tokoh psikologi humanistik tersebut.

1. Abraham Maslow
Situs www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm menyebutkan bahwa Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Maslow dibesarkan dalam keluarga Yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Masa muda Maslow berjalan dengan tidak menyenangkan karena hubungannya yang buruk dengan kedua orangtuanya. Semasa kanak-kanak dan remaja Maslow merasa bahwa dirinya amat menderita dengan perlakuan orangtuanya, terutama ibunya. Keluarga Maslow amat berharap bahwa ia dapat meraih sukses melalui dunia pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang Hukum tetapi kemudian tidak dilanjutkannya. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin, dimana ia memperoleh gelar Bachelor tahun 1930, Master tahun 1931, dan Ph.D pada tahun 1934.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan, self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri). Berikut penjelasannya (dalam http://facultyweb.cortland.edu/~andersmd/maslow/explain.html) :

Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.

Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.

Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.

Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri.


2. Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois dan meninggal dunia di La Jolla, California, pada 4 Februari 1987 sewaktu berumur 85 tahun. Sewaktu remaja, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga menyebabkan ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.. Ia pernah belajar di bidang agrikultur dan sejarah di University of Wisconsin. Di tempat tersebut Rogers mengikuti berbagai aktivitas, termasuk menjadi delegasi untuk Persidangan Antarabangsa Persekutuan Pelajar Kristian di China. Pada tahun 1924 ia menerima ijazah pertama dalam bidang sejarah dan menikah pada tahun yang sama. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master dalam bidang psikologi dari Columbia University dan kemudian memperolehi gelar Ph.D di di bidang klinis dan psikologi pendidikan pada tahun 1931 (dalam http://www.geocities.com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf).

Situs http://www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm#tigabelas menyebutkan bahwa pada tahun 1931 pula Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu tulisan berjudul "The Clinical Treatment of the Problem Child", yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio State University. Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society.

Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien. Hasil karya Rogers yang paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari ini adalah metode konseling yang disebut Client-Centered Therapy. Dua buah bukunya yang juga sangat terkenal adalah Client-Centered Therapy(1951) dan On Becoming a Person (1961).
Naisaban (2004) menyebutkan bahwa Rogers dianggap penting tidak hanya sebagai teoretisi tapi juga sebagai praktisi psikoterapi. Konsep mengenai kepribadian dan terapi berkisar pada gagasan dan kepercayaan bahwa predominasi (keunggulan) mendasar diri yang subjektif dan bahwa manusia hidup dalam dunia pribadi dan subjektif. Rogers mengatakan bahwa individu mempunyai seperangkat persepsi yang terorganisir dari dirinya serta hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berkeping-keping tetapi suatu “gestalt” dengan suatu pole koheren dan terpadu. Sebagai tambahan pada konsep diri, individu mempunyai Ideal Self, yaitu apa yang diinginkan, cita-cita atau dianggap seharusnya demikian. Rogers memakai ketidaksesuaian antar konsep diri dengan Ideal Self sebagai ukuran ketidakmampuan menyesuaikan diri.

Rogers berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri. Rogers yakin bahwa ada penyesuaian psikologis bila konsep diri ada dalam posisi sedemikian rupa sehingga semua pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan yang konsisten dengan konsep diri.

Roges terkenal dengan teori non-directive therapy yang berpusat pada klien (Naisaban, 2004). Teori terapi ini berpusat pada klien atau terapi non-directive, yang dikembangkan selama bertahun-tahun sesudah masa perang, di Universitas Chicago. Teknik ini pada prinsipnya memberikan kesempatan pada individu yang tidak mampu menyesuaikan diri agar mau berbicara kepada seorang konselor, yang mirip dengan cara klien bercakap-cakap dengan pengacaranya, yaitu duduk dan bertatap muka. Terapis berperan seminimal mungkin selama percakapan klinis itu, dan terapis sendiri berusaha mengembangkan satu iklim penerimaan yang hangat dan memungkinkan, sehingga klien merasa bebas untuk berbicara. Dengan bebas berbicara dan mengungkapkan diri, klien akan sampai pada suatu pemahaman diri sendiri Kadang terapis berusaha untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan pasien dengan mengulanginya sambil memberi tekanan atau mengubahnya untuk mengemukakan hal-hal yang penting dan berarti, tetapi penafsiran diberikan seminimal mungkin. Dengan berbicara dan mengungkapkan diri, klien itu menyembuhkan diri sendiri. Asumsi bahwa individu dapat sampai pada tahap mengenal diri sendiri ini tumbuh dalam keyakinan Rogers. Ia berkeyakinan juga bahwa penyebab ketidakyakinan klien menyesuaikan diri, karena peran di atas diputarbalikkan, terapis lebih banyak berperan daripada klien.

Rogers sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia. Dia yakin bahwa dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan punya car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan merupakan buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan introyeksi dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya simbolisasi yang menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan terjadinya intergrasi yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai akibatnya, banyak individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu merealisasikan secara penuh potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses penyuluhan non-direktif memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya yang sejati mengenai kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga dirinya (Naisaban, 2004).

Any Comment about these 2 great psychologists??

Wassalam,

Arya Verdi R.

Monday, June 18, 2007

VJ # 8/VI/2007 : "TAUBAT"

Sebuah tulisan refleksi diri

Pada dewasa ini, semakin mudah saja kita menemukan manusia melakukan berbagai hal yang dilarang dalam ajaran-ajaran agama. Sebut saja seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, maraknya perjudian, penjualan minuman keras, perdagangan manusia, dan masih banyak lagi. Apabila penulis boleh menyebutkan, maka hal itu semua dapat terjadi karena manusia (yang melakukannya) tidak dapat mengontrol nafsunya sebagai makhluk hidup (yang memang menjadi fitrah manusia untuk mempunyai nafsu). Nafsu-nafsu tersebut antara lain seperti nafsu untuk menguasai, nafsu untuk memiliki segalanya, nafsu untuk mengeluarkan agresivitas, nafsu seksual, dan masih banyak lagi.
Pada dasarnya, manusia memang tidak berbeda jauh dengan hewan mengenai kepemilikan nafsu. Hanya yang membedakan, manusia diberikan anugrah tambahan untuk mengendalikan nafsu-nafsu tersebut. Yaitu dengan sesuatu yang disebut “akal”. Ya, akal. Dengan inilah (seharusnya) manusia menjadi beberapa tingkat di atas hewan dalam strata makhluk hidup. Akal-akal inilah (seharusnya) digunakan manusia untuk dapat membedakan nafsu jenis apa dan pada situasi kondisi seperti apa yang boleh disalurkan dalam kehidupannya. Akal-akal inilah (seharusnya ) dapat membuat manusia menjadi makhluk yang lebih mulia di hadapan Tuhan. Namun, ironis, akal-akal ini pulalah yang pada akhirnya mengantarkan manusia pada berbagai perilaku yang buruk karena penyaluran nafsu yang membabibuta.
Seperti telah disebutkan di atas, saat ini dapat dengan mudah kita menemukan berbagai peristiwa “nyeleneh” di berbagai media, baik media setak maupun elektronik. Ada Ayah memperkosa anaknya (nafsu seksual), anak membunuh ayahnya (nafsu agresivitas) istri membakar suami, atau sebaliknya (nafsu agresivitas), pejabat menguras uang rakyat lalu dengan mudahnya lepas dari hukum (nafsu memiliki segalanya), pembunuhan disertai dengan mutilasi hanya gara-gara kecemburuan (nafsu memiliki), dan lain sebagainya. Manusia seperti telah melepaskan kodratnya sebagai makhluk Tuhan, yang suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Manusia seperti telah lupa untuk menggunakan akalnya dan manusia seperti telah lupa dengan sesuatu yang disebut perbuatan dosa. Padahal tahu kah, bahwa pada ujung jalan, perbuatan dosa tersebut dapat membuat manusia menderita secara lahir dan batin?
Mengapa penulis menyatakan demikian?. Apa arti dari dosa itu?. Ash-Shiddieqy (2001) menjelaskan dosa sebagai menyalahi perintah-perintah Tuhan untuk meninggalkan suatu perbuatan maupun perintah untuk mengerjakan sesuatu. Perasaan berdosa dapat menyebabkan seseorang merasa negatif dan gelisah sehingga dapat timbul berbagai penyakit jiwa. Untuk mengatasinya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan psikoterapi, yaitu dengan mengubah wawasan orang tersebut tentang berbagai pengalamannya sebelumnya yang menyebabkan timbul perasaan berdosa pada dirinya. Dengan wawasan baru tersebut, diharapkan orang yang mengalami perasan berdosa tersebut dapat mengurangi rasa penyalahan terhadap dirinya sendiri, yang pada akhirnya dapat menghilangkan perasan gelisah dan berbagai penyakit jiwa yang mungkin diderita.
Apabila kita menengok kepada agama, maka dalam agama Islam pun ditawarkan suatu metode yang dapat menyembuhkan perasaan berdosa. Metode tersebut, dalam kitab suci agama Islam, Al-Quran disebut dengan taubat (Najati, 2000). Ash-Shiddieqy (2001) memberikan pengertian taubat sebagai menyesal atas kesalahan dan dosa yang telah lalu, keluar dari kemungkaran, membersihkan kemungkaran pada diri kita dengan sebersih-bersihnya, lalu melaksanakan amal saleh. Salah satu ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan tentang taubat adalah Az-Zumar ayat 39, yang berbunyi :

”Katakanlah : Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS, Az-Zumar, 39 : 53)

Pada ayat di atas disebutkan bahwa taubat kepada Tuhan dapat membuat diampuninya berbagai dosa dan menguatkan diri manusia, sehingga dapat meredakan kegelisahan-kegeliasahannya. Taubat dapat mendorong manusia untuk memperbaiki dan meluruskan diri, sehingga tidak lagi terjerumus dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Hal tersebut dapat membuat seseorang perhargaan dan kepercayaan diri sendiri, penerimaan diri, dan menimbulkan perasaan tenang dan tenteram dalam jiwa. Apabila seseorang benar-benar bertaubat, maka dirinya akan menjadi tenang, jiwa akan menjadi tenteram, dan perasaan berdosa yang menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan kepribadian akan sirna (Najati, 2000). Untuk dapat bertaubat maka Ash-Shiddieqy (2001) menyebutkan rukun-rukun taubat, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus dipenuhi untuk menuju ketaubatan sempurna, yaitu :
1. Menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
2. Menyesali diri karena telah terlanjur melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
3. Berkemauan dan berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
4. Meminta maaf dari yang mempunyai hak. Sesudah itu langsung mengerjakan dan memperjuangkan kebajikan
Dalam menjalankan rukun-rukun taubat, Najati (2000) menyebutkan terlebih dahulu seseorang harus percaya dan yakin bahwa Allah akan menerima, mengampuni dosa, dan tidak mengingkari janji-Nya. Keyakinannya tersebutlah yang akan mendorong ia untuk memohon ampunan kepada-Nya, dan menghindari tindakan-tindakan berdosa dengan harapan akan memperoleh ampunan Allah dan ridha-Nya.
Melihat penjabaran di atas maka sudah selayaknya kita manusia mulai merenungkan kembali mengenai perbuatan-perbuatan yang kita lakukan selama kita menghirup udara di dunia. Bila ditimbang, sudahkan kebaikan lebih berat dari perbuatan buruk?. Sudahkan kita merasa dekat dengan Tuhan?. Tidak heran apabila berbagai agama mengajarkan bahwa manusia harus senantiasa tunduk kepada Tuhan, maha pencipta alam. Betapa tidak. Manusia yang jelas-jelas telah khilaf dan berjalan jauh dari ajarannya senantiasa diberikan kesempatan untuk kembali kepada-Nya. Tak pernah lelah ia menunggu para ciptaan-Nya untuk tersadar. Jadi, kembalilah sebelum terlambat. Sebelum benar-benar dipanggil untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di dunia.

Wassalam,

Arya Verdi R.


REFERENSI

Ash-Shiddieqy, T.M.H. (2001). Al-Islam jilid 2. Semarang: Pustaka
Rizki Putra.

Najati, M. U. (2000). Al-Quran dan Ilmu Jiwa. Bandung : Penerbit Pustaka