Sunday, June 24, 2007

VJ # 10/VI/2007 : "MOS asyik tanpa Bullying"

Tulisan ini didedikasikan bagi pendidikan di Indonesia (menyambut MOS) :

Nostalgia SMA kita
Indah lucu banyak cerita
Masa-masa remaja ceria
Masa paling indah
Nostalgia SMA kita
Takkan hilang begitu saja
Walau kini kita berdua
Menyusuri cinta...


Dapatkah anda menyanyikan penggalan teks lagu di atas?. Apabila tidak, coba tanyakan kepada siapa saja yang melewati masa remaja di tahun 1990an, niscaya mereka tidak asing dengan penggalan teks lagu tersebut. Penggalan teks tersebut penulis ambil dari sebuah lagu yang berjudul “Nostalgia SMA Kita” yang sempat dipopulerkan oleh Paramitha Rusady. Teks tersebut sengaja penulis lampirkan sebagai pembuka dari artikel ini. Mengapa?Tidak lain karena penulis ingin mengingatkan kita semua pada sebuah ungkapan lama. Ungkapan yang, mungkin, selalu diucapkan ketika seseorang sedang mengenang kembali masa-masa remaja, terutama saat masih duduk di bangku sekolah. Ungkapan yang berbunyi “masa sma adalah masa-masa paling indah”. Masa dimana seseorang mengalami banyak pengalaman baru. Masa dimana seseorang sedang melewati masa remaja. Masa dimana seseorang dipenuhi oleh jiwa muda yang selalu ingin mencoba pengalaman baru. Masa dimana seseorang mulai belajar untuk memegang tanggung jawab. Dan, tentu saja, masa yang penuh cinta.
Salah satu kegiatan dalam sekolah yang memegang peranan penting bagi seorang siswa untuk mempunyai masa-masa sekolah yang indah, seperti lagu di atas, adalah MOS. MOS, kependekan dari masa orientasi sekolah, adalah suatu masa dimana siswa baru diberi kesempatan untuk memiliki masa orientasi (pembiasaan) untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan sekolah yang baru bagi mereka. Pada masa-masa inilah seorang siswa baru memulai langkah awal mereka untuk memasuki dan beradaptasi pada suatu lingkungan baru, yang mungkin sama sekali lain dari lingkungan lamanya. Selain itu, MOS juga dapat berfungsi bagi seorang siswa baru untuk memenuhi salah satu dari tugas perkembangan remaja yang dikemukakan oleh Havighurst (dalam Hurlock 1973), yaitu untuk mengambil seperangkat nilai dan sistem etika yang terdapat di lingkungan barunya sebagai pemandu dalam bertingkah laku. Artinya dengan mengikuti MOS maka seorang siswa baru dapat mengetahui nilai-nilai apa saja yang dianut di lingkungan barunya tersebut untuk kemudian diimplementasikan dalam bentuk tingkah laku sehari-hari. Salah satu contoh bentuk nilai-nilai tersebut adalah tata tertib sekolah.
Untuk dapat mencapai tujuan MOS dengan baik, maka tentu saja para siswa baru tersebut membutuhkan peranan dari orang lain untuk membimbing mereka. Salah satu yang memegang peranan penting tersebut adalah kakak-kakak kelas mereka. Tingkah laku dan sikap kakak-kakak kelas yang ditampilkan selama MOS berlangsung dapat mempunyai pengaruh besar dalam proses adaptasi para siswa baru tersebut. Apabila siswa-siswa baru mempersepsikan bahwa tingkah laku dan sikap kakak-kakak kelas terhadap mereka cukup baik maka proses adaptasi dapat dilakukan dengan baik pula. Namun sebaliknya, apabila siswa-siswa baru tersebut mempersepsikan tingkah laku dan sikap kaka

k-kakak kelas terhadap mereka kurang baik, bahkan menjurus ke bullying maka penggalan teks Paramitha Rusady di atas mungkin tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan mereka. Tidak akan ada masa-masa sekolah yang indah.
Apa itu Bullying?
Bullying adalah sebuah istilah dan isu yang telah mendapatkan perhatian serius selama kurang lebih 20 tahun belakangan ini. Bullying dapat terjadi di mana saja, bahkan di lingkungan sekolah sekalipun. Meskipun demikian, apabila kita berbicara mengenai bullying, maka akan ditemukan suatu kenyataan bahwa masih banyak siswa sekolah yang tidak memahami pengetian dan dampak yang dapat ditimbulkan dari bullying. Pada akhirnya, terdapat suatu fenomena dimana banyak siswa tidak menyadari apabila dirinya sedang menjadi pelaku, atau bahkan korban bullying. Untuk itu, langkah awal yang harus diambil adalah memahami terlebih dahulu pengetian dari bullying itu sendiri.

Papalia, et. Al. (2004) menyatakan bahwa bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus adalah seseorang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri. Sedangkan bila kita mengkhususkan bullying yang terjadi di lingkungan sekolah (school bulyying) maka dapat diambil sebuah pengertian yang diberikan oleh Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005). Mereka mengartikan School bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Ada 5 kategori perilaku bullying tersebut, yaitu :
1. Kontak Fisik Langsung
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain
2. Kontak Verbal Langsung
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.
3. Perilaku non-verbal langsung
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal.
4. Perilaku non-verbal tidak langsung
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
5. Pelecehan seksual
Perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah perilaku-perilaku yang dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik dan bisa juga verbal.

Mengapa Melakukan Bullying?
Mengapa sampai seorang siswa dapat melaku perilaku bullying terhadap siswa lain, yang seharusnya dapat menjadi teman sepermainan mereka?. Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005) disebutkan korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan), dan iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.

Apa Dampak dari Bullying?
Bullying mungkin merupakan bentuk agresivitas antarsiswa yang memiliki akibat paling negatif bagi korbannya. Hal tersebut disebabkan karena dalam peristiwa bullying terjadi ketidakseimbangan kekuasaan dimana para pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga korban merasa tidak berdaya untuk melawan mereka. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa korban bullying akan cenderung mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low psychological well-being), penyesuaian sosial yang buruk, gangguan psikologis, dan kesehatan yang memburuk (Rigby, dalam Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, 2005). Korban bullying juga bisa mengalami penyesuaian sosial yang buruk sehingga ia terlihat seperti membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah, selalu merasa kesepian, dan sering membolos sekolah. Apabila kita melihat lebih jauh lagi maka korban bullying juga dapat memancing timbulnya gangguan psikologis rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder).

Bullying ternyata tidak hanya menimbulkan dampak negatif dalam segi psikologis, namun juga dari segi fisik. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) menyebutkan bahwa salah satu dampak dari bullying yang jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bagi para korban bullying yang mengalami perilaku agresif langsung juga mungkin mengalamin luka-luka pada fisik mereka.

Bullying Menghambat Aktualisasi Diri
Seorang psikolog terkemuka bernama Abraham Maslow menyebutkan bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Maslow menjelaskan bahwa seseorang baru dapat melakukan aktualisasi diri, yaitu keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri, apabila orang tersebut telah merasa bahwa kebutuhan fisiologis (seperti makan dan minum), rasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan harga diri telah terpenuhi dengan baik.

Seorang siswa yang menjadi korban bullying dapat mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, selalu merasa ketakutan dan tidak aman, bahkan merasa bahwa dirinya tidak lagi mempunyai harga diri akibat perilaku bullying yang diterimanya. Memahami teori Maslow maka hal tersebut dapat membuat siswa korban bullying kesulitan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Salah satu contohnya adalah sebuah kisah nyata yang penulis dapatkan dari seorang siswa. Ia adalah seorang anak yang mempunyai potensi besar dalam bidang sepakbola sehingga dirinya memutuskan untuk bergabung dalam eskul sepakbola di sekolahnya dengan harapan dapat lebih mengembangkan potensinya. Namun apa yang terjadi? Ternyata sejak bergabung di eskul tersebut, dirinya kerap kali menjadi korban bullying dari kakak-kakak kelas yang juga anggota eskul tersebut. Pada akhirnya, akibat rasa takut dan cemas yang terus menerus oleh perilaku bullying yang diterimanya, membuat dirinya kesulitan untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Sayang sekali bukan?. Padahal siswa tersebut sebenarnya dapat membantu sekolahnya untuk mencetak prestasi dalam bidang sepakbola dengan potensi yang dimilikinya namun karena bullying, hal tersebut tidak dapat terwujud.

MOS ASYIK TANPA BULLYING
Membaca pemaparan di atas, tergambarkan secara jelas bahwa tidak ada manfaat apabila seorang siswa melakukan perilaku bullying terhadap siswa lainnya. Selain mengakibatkan dampak negatif terhadap korbannya, seorang perilaku bullying juga dapat dicekal oleh hukum pidana, seperti yang terjadi pada beberapa praja IPDN yang menjadi tersangka dalam kasus kematian Cliff Muntu, Praja IPD asal Manado. Tentu saja penulis yakin tidak ada di antara kita yang mau bernasib demikian. Lalu hal apa yang dapat dilakukan oleh seorang siswa untuk menghapus perilaku bullying di sekolah?. Sebagai siswa, banyak sekali sebenarnya peranan yang dapat diambil untuk dapat berperan aktif dalam menghapus perilaku bullying di sekolah. Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan tidak menjadi seorang pelaku. Tingkatkan rasa empati ( kemampuan yang tinggi untuk mengalami dan memahami emosi orang lain ) kita terhadap orang lain. Cobalah untuk merasakan emosi yang mungkindirasakan oleh seseorang yang menjadi korban bullying. Kemudian bayangkan apabila diri kita sendiri yang menjadi korban bullying. Tidak menyenangkan bukan?. Oleh karena itu, apabila kita tidak mau diperlakukan bullying oleh seseorang maka janganlah melakukan bullying terhadap orang lain. Setelah yakin bahwa diri kita tidak akan menjadi seorang pelaku bullying maka peran selanjutnya yang dapat dilakukan adalah menyebarkan informasi mengenai pengertian dan dampak negatif dari bullying kepada orang lain, khususnya sesama siswa sekolah. Hal ini dapat kita lakukan misalnya dengan menjadi penggagas sekaligus pelaksana Masa Orientasi Sekolah dengan tema MOS TANPA BULLYING. Pada kegiatan MOS tanpa Bullying maka tujuan acara benar-benar diarahkan kepada membantu dan membimbing para siswa baru untuk dapat melewati proses adaptasi dengan baik. Acara dapat dikemas dengan berbagai kegaiatan-kegiatan yang mengasyikan, menarik, dan tentu saja bebas dari perilaku bullying. Apabila dirasakan ada kegiatan-kegiatan MOS tahun sebelumnya yang kurang bermanfaat dan menjurus kepada perilaku bullying maka jangan ragu untuk menghilangkannya. Gantilah dengan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dan melibatkan interaksi antara siswa baru dengan siswa lama. Dengan demikian, suatu lingkungan yang menyenangkan dan kondusif untuk belajar akan semakin cepat dan mudah terbentuk. Selalu ingat dalam pikiran masing-masing, bahwa siswa baru adalah adik-adik kita yang membutuhkan bimbingan. Bukan suatu objek yang dapat kita perlakukan semau kita. Apabila hal ini dapat terlaksana maka niscaya semua siswa akan menjadikan lagu Paramitha Rusady sebagai lagu kesayangan karena masa sekolah mereka adalah masa-masa yang paling indah, tanpa bullying.

Sumber:

Hurlock, E.B. (1973). Adolescent Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, LTD. Jackson, S. & Rodriguez-Tome, H. (1993). Adolescence and Its Social Worlds. UK: LEA Ltdingin Publishers.

Papalia, Diane E., Olds, Sally W., & Feldman, Ruth D. (2004). Human Development (9th Ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan” di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak ”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 – 13

Friday, June 22, 2007

VJ # 9/VI/2007 : "TOKOH HUMANISTIK"

Tokoh-Tokoh Psikologi Humanistik
Sebagaimana behaviorisme dan psikoanalisis, psikologi humanistik pun mempunyai tokoh-tokoh yang terkenal, yang pemikiran-pemikiran dan teori-teorinya memberikan kontribusi yang cukup besar demi perkembangan psikologi humanistik. Dari tokoh-tokoh tersebut, ada dua orang tokoh yang berperan besar dalam pembentukkan serta perkembangan psikologi. Kedua tokoh tersebut adalah Abraham Maslow dan Carl Rogers. Oleh karena peran mereka yang signifikan itu maka penulis pada tulisan berikut akan mencoba bercerita mengenai biografi singkat berserta teori-teori yang diciptakan dari kedua tokoh psikologi humanistik tersebut.

1. Abraham Maslow
Situs www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm menyebutkan bahwa Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tahun 1908 dan wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun. Maslow dibesarkan dalam keluarga Yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara. Masa muda Maslow berjalan dengan tidak menyenangkan karena hubungannya yang buruk dengan kedua orangtuanya. Semasa kanak-kanak dan remaja Maslow merasa bahwa dirinya amat menderita dengan perlakuan orangtuanya, terutama ibunya. Keluarga Maslow amat berharap bahwa ia dapat meraih sukses melalui dunia pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang Hukum tetapi kemudian tidak dilanjutkannya. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin, dimana ia memperoleh gelar Bachelor tahun 1930, Master tahun 1931, dan Ph.D pada tahun 1934.
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan, self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri). Berikut penjelasannya (dalam http://facultyweb.cortland.edu/~andersmd/maslow/explain.html) :

Kebutuhan Fisiologis
Jenis kebutuhan ini berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar semua manusia seperti, makan, minum, menghirup udara, dan sebagainya. Termasuk juga kebutuhan untuk istirahat, buang air besar atau kecil, menghindari rasa sakit, dan, seks. Jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka tubuh akan menjadi rentan terhadap penyakit, terasa lemah, tidak fit, sehingga proses untuk memenuhi kebutuhan selanjutnya dapat terhambat. Hal ini juga berlaku pada setiap jenis kebutuhan lainnya, yaitu jika terdapat kebutuhan yang tidak terpenuhi, maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

Kebutuhan akan Rasa Aman
Ketika kebutuhan fisiologis seseorang telah terpenuhi secara layak, kebutuhan akan rasa aman mulai muncul. Keadaan aman, stabilitas, proteksi, dan keteraturan akan menjadi kebutuhan yang meningkat. Jika tidak terpenuhi, maka akan timbul rasa cemas dan takut sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan lainnya.

Kebutuhan akan Rasa Kasih Sayang
Ketika seseorang merasa bahwa kedua jenis kebutuhan di atas terpenuhi, maka akan mulai timbul kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki. Hal ini dapat terlihat dalam usaha seseorang untuk mencari dan mendapatkan teman, kekasih, anak, atau bahkan keinginan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas tertentu seperti tim sepakbola, klub peminatan, dan seterusnya. Jika tidak terpenuhi, maka perasaan kesepian akan timbul.

Kebutuhan akan Harga Diri
Kemudian, setelah ketiga kebutuhan di atas terpenuhi, akan timbul kebutuhan akan harga diri. Menurut Maslow, terdapat dua jenis, yaitu lower one dan higher one. Lower one berkaitan dengan kebutuhan seperti status, atensi, dan reputasi. Sedangkan higher one berkaitan dengan kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, prestasi, kemandirian, dan kebebasan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka dapat timbul perasaan rendah diri dan inferior.

Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan terakhir menurut hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Jenis kebutuhan ini berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri.


2. Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers dilahirkan pada 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois dan meninggal dunia di La Jolla, California, pada 4 Februari 1987 sewaktu berumur 85 tahun. Sewaktu remaja, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga menyebabkan ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca.. Ia pernah belajar di bidang agrikultur dan sejarah di University of Wisconsin. Di tempat tersebut Rogers mengikuti berbagai aktivitas, termasuk menjadi delegasi untuk Persidangan Antarabangsa Persekutuan Pelajar Kristian di China. Pada tahun 1924 ia menerima ijazah pertama dalam bidang sejarah dan menikah pada tahun yang sama. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master dalam bidang psikologi dari Columbia University dan kemudian memperolehi gelar Ph.D di di bidang klinis dan psikologi pendidikan pada tahun 1931 (dalam http://www.geocities.com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf).

Situs http://www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm#tigabelas menyebutkan bahwa pada tahun 1931 pula Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu tulisan berjudul "The Clinical Treatment of the Problem Child", yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio State University. Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society.

Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapis bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien. Hasil karya Rogers yang paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari ini adalah metode konseling yang disebut Client-Centered Therapy. Dua buah bukunya yang juga sangat terkenal adalah Client-Centered Therapy(1951) dan On Becoming a Person (1961).
Naisaban (2004) menyebutkan bahwa Rogers dianggap penting tidak hanya sebagai teoretisi tapi juga sebagai praktisi psikoterapi. Konsep mengenai kepribadian dan terapi berkisar pada gagasan dan kepercayaan bahwa predominasi (keunggulan) mendasar diri yang subjektif dan bahwa manusia hidup dalam dunia pribadi dan subjektif. Rogers mengatakan bahwa individu mempunyai seperangkat persepsi yang terorganisir dari dirinya serta hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak berkeping-keping tetapi suatu “gestalt” dengan suatu pole koheren dan terpadu. Sebagai tambahan pada konsep diri, individu mempunyai Ideal Self, yaitu apa yang diinginkan, cita-cita atau dianggap seharusnya demikian. Rogers memakai ketidaksesuaian antar konsep diri dengan Ideal Self sebagai ukuran ketidakmampuan menyesuaikan diri.

Rogers berpendapat bahwa sering ada ketidaksesuaian antara konsep diri seseorang dengan kenyataan. Orang-orang muda terkena rasa cemas bila konsep dirinya tidak sesuai dengan kenyataan. Bila pengalaman tidak mendukung pandangan seseorang atas dirinya sendiri, maka ia mungkin akan mengerahkan berbagai mekanisme pertahanan diri. Rogers yakin bahwa ada penyesuaian psikologis bila konsep diri ada dalam posisi sedemikian rupa sehingga semua pengalaman organisme membaur ke dalam hubungan yang konsisten dengan konsep diri.

Roges terkenal dengan teori non-directive therapy yang berpusat pada klien (Naisaban, 2004). Teori terapi ini berpusat pada klien atau terapi non-directive, yang dikembangkan selama bertahun-tahun sesudah masa perang, di Universitas Chicago. Teknik ini pada prinsipnya memberikan kesempatan pada individu yang tidak mampu menyesuaikan diri agar mau berbicara kepada seorang konselor, yang mirip dengan cara klien bercakap-cakap dengan pengacaranya, yaitu duduk dan bertatap muka. Terapis berperan seminimal mungkin selama percakapan klinis itu, dan terapis sendiri berusaha mengembangkan satu iklim penerimaan yang hangat dan memungkinkan, sehingga klien merasa bebas untuk berbicara. Dengan bebas berbicara dan mengungkapkan diri, klien akan sampai pada suatu pemahaman diri sendiri Kadang terapis berusaha untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan pasien dengan mengulanginya sambil memberi tekanan atau mengubahnya untuk mengemukakan hal-hal yang penting dan berarti, tetapi penafsiran diberikan seminimal mungkin. Dengan berbicara dan mengungkapkan diri, klien itu menyembuhkan diri sendiri. Asumsi bahwa individu dapat sampai pada tahap mengenal diri sendiri ini tumbuh dalam keyakinan Rogers. Ia berkeyakinan juga bahwa penyebab ketidakyakinan klien menyesuaikan diri, karena peran di atas diputarbalikkan, terapis lebih banyak berperan daripada klien.

Rogers sangat percaya dan optimis terhadap sifat alami manusia. Dia yakin bahwa dorongan paling dasar adalah aktualisasi, yaitu memelihara, menegakkan, mempertahankan diri, dan meningkatkan diri sendiri. Dia percaya bahwa dengan memberikan satu kesempatan, individu akan berkembang dalam gerak maju dan punya car-cara untuk menyesuaikan diri. Namun, banyak nilai dan sikap bukan merupakan buah dari pengalaman langsung diri sendiri, akan tetapi merupakan introyeksi dari orang tua, guru, dan teman, dan menyebabkan terjadinya simbolisasi yang menyimpang atau yang diputarbalikkan yang menyebabkan terjadinya intergrasi yang salah atau tidak wajar dalam jati dirinya. Sebagai akibatnya, banyak individu terbelah, tidak bahagia, dan tidak mampu merealisasikan secara penuh potensi-potensinya. Oleh karena itu, proses penyuluhan non-direktif memungkinkan individu bisa menemukan perasaannya yang sejati mengenai kehormatan dirinya yang positif serta kondisi-kondisi harga dirinya (Naisaban, 2004).

Any Comment about these 2 great psychologists??

Wassalam,

Arya Verdi R.

Monday, June 18, 2007

VJ # 8/VI/2007 : "TAUBAT"

Sebuah tulisan refleksi diri

Pada dewasa ini, semakin mudah saja kita menemukan manusia melakukan berbagai hal yang dilarang dalam ajaran-ajaran agama. Sebut saja seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, maraknya perjudian, penjualan minuman keras, perdagangan manusia, dan masih banyak lagi. Apabila penulis boleh menyebutkan, maka hal itu semua dapat terjadi karena manusia (yang melakukannya) tidak dapat mengontrol nafsunya sebagai makhluk hidup (yang memang menjadi fitrah manusia untuk mempunyai nafsu). Nafsu-nafsu tersebut antara lain seperti nafsu untuk menguasai, nafsu untuk memiliki segalanya, nafsu untuk mengeluarkan agresivitas, nafsu seksual, dan masih banyak lagi.
Pada dasarnya, manusia memang tidak berbeda jauh dengan hewan mengenai kepemilikan nafsu. Hanya yang membedakan, manusia diberikan anugrah tambahan untuk mengendalikan nafsu-nafsu tersebut. Yaitu dengan sesuatu yang disebut “akal”. Ya, akal. Dengan inilah (seharusnya) manusia menjadi beberapa tingkat di atas hewan dalam strata makhluk hidup. Akal-akal inilah (seharusnya) digunakan manusia untuk dapat membedakan nafsu jenis apa dan pada situasi kondisi seperti apa yang boleh disalurkan dalam kehidupannya. Akal-akal inilah (seharusnya ) dapat membuat manusia menjadi makhluk yang lebih mulia di hadapan Tuhan. Namun, ironis, akal-akal ini pulalah yang pada akhirnya mengantarkan manusia pada berbagai perilaku yang buruk karena penyaluran nafsu yang membabibuta.
Seperti telah disebutkan di atas, saat ini dapat dengan mudah kita menemukan berbagai peristiwa “nyeleneh” di berbagai media, baik media setak maupun elektronik. Ada Ayah memperkosa anaknya (nafsu seksual), anak membunuh ayahnya (nafsu agresivitas) istri membakar suami, atau sebaliknya (nafsu agresivitas), pejabat menguras uang rakyat lalu dengan mudahnya lepas dari hukum (nafsu memiliki segalanya), pembunuhan disertai dengan mutilasi hanya gara-gara kecemburuan (nafsu memiliki), dan lain sebagainya. Manusia seperti telah melepaskan kodratnya sebagai makhluk Tuhan, yang suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Manusia seperti telah lupa untuk menggunakan akalnya dan manusia seperti telah lupa dengan sesuatu yang disebut perbuatan dosa. Padahal tahu kah, bahwa pada ujung jalan, perbuatan dosa tersebut dapat membuat manusia menderita secara lahir dan batin?
Mengapa penulis menyatakan demikian?. Apa arti dari dosa itu?. Ash-Shiddieqy (2001) menjelaskan dosa sebagai menyalahi perintah-perintah Tuhan untuk meninggalkan suatu perbuatan maupun perintah untuk mengerjakan sesuatu. Perasaan berdosa dapat menyebabkan seseorang merasa negatif dan gelisah sehingga dapat timbul berbagai penyakit jiwa. Untuk mengatasinya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan psikoterapi, yaitu dengan mengubah wawasan orang tersebut tentang berbagai pengalamannya sebelumnya yang menyebabkan timbul perasaan berdosa pada dirinya. Dengan wawasan baru tersebut, diharapkan orang yang mengalami perasan berdosa tersebut dapat mengurangi rasa penyalahan terhadap dirinya sendiri, yang pada akhirnya dapat menghilangkan perasan gelisah dan berbagai penyakit jiwa yang mungkin diderita.
Apabila kita menengok kepada agama, maka dalam agama Islam pun ditawarkan suatu metode yang dapat menyembuhkan perasaan berdosa. Metode tersebut, dalam kitab suci agama Islam, Al-Quran disebut dengan taubat (Najati, 2000). Ash-Shiddieqy (2001) memberikan pengertian taubat sebagai menyesal atas kesalahan dan dosa yang telah lalu, keluar dari kemungkaran, membersihkan kemungkaran pada diri kita dengan sebersih-bersihnya, lalu melaksanakan amal saleh. Salah satu ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan tentang taubat adalah Az-Zumar ayat 39, yang berbunyi :

”Katakanlah : Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS, Az-Zumar, 39 : 53)

Pada ayat di atas disebutkan bahwa taubat kepada Tuhan dapat membuat diampuninya berbagai dosa dan menguatkan diri manusia, sehingga dapat meredakan kegelisahan-kegeliasahannya. Taubat dapat mendorong manusia untuk memperbaiki dan meluruskan diri, sehingga tidak lagi terjerumus dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Hal tersebut dapat membuat seseorang perhargaan dan kepercayaan diri sendiri, penerimaan diri, dan menimbulkan perasaan tenang dan tenteram dalam jiwa. Apabila seseorang benar-benar bertaubat, maka dirinya akan menjadi tenang, jiwa akan menjadi tenteram, dan perasaan berdosa yang menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan kepribadian akan sirna (Najati, 2000). Untuk dapat bertaubat maka Ash-Shiddieqy (2001) menyebutkan rukun-rukun taubat, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus dipenuhi untuk menuju ketaubatan sempurna, yaitu :
1. Menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
2. Menyesali diri karena telah terlanjur melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
3. Berkemauan dan berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
4. Meminta maaf dari yang mempunyai hak. Sesudah itu langsung mengerjakan dan memperjuangkan kebajikan
Dalam menjalankan rukun-rukun taubat, Najati (2000) menyebutkan terlebih dahulu seseorang harus percaya dan yakin bahwa Allah akan menerima, mengampuni dosa, dan tidak mengingkari janji-Nya. Keyakinannya tersebutlah yang akan mendorong ia untuk memohon ampunan kepada-Nya, dan menghindari tindakan-tindakan berdosa dengan harapan akan memperoleh ampunan Allah dan ridha-Nya.
Melihat penjabaran di atas maka sudah selayaknya kita manusia mulai merenungkan kembali mengenai perbuatan-perbuatan yang kita lakukan selama kita menghirup udara di dunia. Bila ditimbang, sudahkan kebaikan lebih berat dari perbuatan buruk?. Sudahkan kita merasa dekat dengan Tuhan?. Tidak heran apabila berbagai agama mengajarkan bahwa manusia harus senantiasa tunduk kepada Tuhan, maha pencipta alam. Betapa tidak. Manusia yang jelas-jelas telah khilaf dan berjalan jauh dari ajarannya senantiasa diberikan kesempatan untuk kembali kepada-Nya. Tak pernah lelah ia menunggu para ciptaan-Nya untuk tersadar. Jadi, kembalilah sebelum terlambat. Sebelum benar-benar dipanggil untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di dunia.

Wassalam,

Arya Verdi R.


REFERENSI

Ash-Shiddieqy, T.M.H. (2001). Al-Islam jilid 2. Semarang: Pustaka
Rizki Putra.

Najati, M. U. (2000). Al-Quran dan Ilmu Jiwa. Bandung : Penerbit Pustaka

Tuesday, June 12, 2007

VJ # 7/VI/2007 : "POSTMODERNISME" (HARD TO UNDERSTAND, ISN'T IT?)

Postmodernisme
Apabila kita berbicara mengenai pengertian postmodernisme, maka akan beragam definisi yang bisa ditemukan. Ada beberapa definisi lain yang penulis temukan untuk menjelaskan mengenai postmodernisme. Beberapa di antaranya adalah :
(dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism)

“Postmodernism is incredulity towards metanarratives." Jean-Francois Lyotard

"The theory of rejecting theories." Tony Cliff

"A generation raised on channel-surfing has lost the capacity for linear thinking and analytical reasoning." Chuck Colson

"Postmodernist fiction is defined by its temporal disorder, its disregard of linear narrative, its mingling of fictional forms and its experiments with language." Barry Lewis, Kazuo Ishiguro

"Weird for the sake of weird." Moe Szyslak, of The Simpsons

"It’s the combination of narcissism and nihilism that really defines postmodernism," Al Gore

"Post-modernism swims, even wallows, in the fragmentary and the chaotic currents of change as if that is all there is." David Harvey, The Condition of Postmodernity, Oxford: Basil Blackwell, 1989.

Mengenai beragamnya definisi postmodernisme, Kvale (2006) berpendapat bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale (2006) lakukan untuk membedakan istilah postmodern, yaitu :
Postmodernitas yang berkaitan dengan era posmodern
Posmodernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era posmodern
Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya posmodern
Dalam situs http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc dijelaskan pula bahwa postmodernisme adalah sebuah term atau istilah yang rumit. Suatu hal yang sulit, bila tidak bisa dikatakan mustahil, untuk menjelaskan postmodernisme. Tidak hanya postmodernisme bisa ditemukan dalam berbagai hal (seperti dalam seni, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial), namun juga dalam berbagai hal tersebut postmodernisme dimengerti dan dijelaskan dengan berbagai cara yang berbeda. Walaupun demikian, dengan mengumpulkan berbagai definisi tersebut kita dapat menemukan inti dari pengertian postmodsernisme.

Pengertian Postmodernisme
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa pemakaian pertama istilah ”postmodernisme” adalah sebelum tahun 1926. Pada 1870-an istilah tersebut pertama kali digunakan oleh seniman Inggris, John Watkins, dan pada 1917 oleh Rudolf Panwitz. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu :
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme
Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru
Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi. Definisi praktis postmodernisme dapat diperoleh dengan menyelidikinya.
Dalam situs http://www.fni.com/cim/briefing/decon.doc disebutkan perbedaan mendasar mengenai modernisme dan postmodernisme. Situs tersebut menyebutkan bahwa modernisme adalah kata lain dari penerangan humanis. Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode ini dimulai dari runtuhnya Bastille pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Ditambahkan oleh situs http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc bahwa salah satu dari elemen utama dari postmodernisme adalah constructedness of reality and hence the inaccessibility of the Real. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri.
Pada situs lain, yaitu situs http://home.unpar.ac.id/~hasan/perspektifpsikologisosial.doc disebutkan bahwa teori postmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori postmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991, http://home.unpar.ac.id/~hasan/perspektifpsikologisosial.doc). Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.. Pada situs tersebut juga disebutkan bahwa berdasarkan pandangan postmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya
Pengertian lain mengenai postmodernisme penulis ambil dari situs wikipedia (dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism). Situs tersebut menyebutkan bahwa postmodernisme adalah sebuah istilah yang abstrak dan teoritis yang dibedakan dengan istilah postmodernity, yang mendeskripsikan mengenai iklim sosiologi atau budaya. Istilah postmodernisme dibuat pada akhir tahun 1940 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni dan teori asal Amerika, Charles Jencks, untuk menjelaskan gerakan antimodernisme seperti Pop Art, Concept Art, dan Postminimalisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dari modernisme. Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di antaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori yang spesifik, dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist. Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala “nihilisme” kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme. Postmodernisme sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana :
wacana kritis terhadap estetika modern
wacana kritis terhadap arsitektur modern
wacana kritis terhadap filsafat modern
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Sedangkan postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom. Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme, dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas.

REFERENSI

Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer : Sebuah Pengantar Komprehensif. 2006. Yogyakarta : Jalasutra.

Kvale, Steinar (ed.). Psikologi dan Posmodernisme. 2006. Pustaka Pelajar : Yogyakarta

Flaskas, Carmel. Family Therapy Beyond Postmodernism.: Practice Chalenges Theory.
2002. Brunner-routledge : New York.

http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism diakses pada tanggal 29 Maret 2007

http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc diakses pada tanggal 1 April 2007

http://www.fni.com/cim/briefing/decon.doc diakses pada tanggal 1 April 2007

http://home.unpar.ac.id/~hasan/PERSPEKTIF%20DALAM%20PSIKOLOGI%20
SOSIAL.doc diakses pada tanggal 1 April 2007

Appignanesi, R., Garrat, C., Sardar, Z., & Curry, P. (1998). Mengenal Posmodernisme : for begginers. Bandung : Penerbit Mizan.

VJ # 6/VI/2007 : "PSIKOLOGI HUMANISTIK" (MY FAVOURITE)

I. Definisi
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis (Misiak dan Sexton, 2005). Situs www.geocities.com/masterptvpsikologi menyebutkan bahwa psikologi humanistik berdasarkan kepada keyakinan bahwa nilai-nilai etika merupakan daya psikologi yang kuat dan ia merupakan penentu asas kelakuan manusia. Keyakinan ini membawa kepada usaha meningkatkan kualitas manusia seperti pilihan, kreativitas, interaksi fisik, mental dan jiwa, dan keperluan untuk menjadi lebih bebas. Situs yang sama menyebutkan bahwa psikologi humanistik juga didefinisikan sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan kepada berbagai nilai, sifat, dan tindak tanduk yang dipercayai terbaik bagi manusia.
Psikologi humanistik dapat dimengerti dari tiga ciri utama, yaitu, psikologi humanistik menawarkan satu nilai yang baru sebagai pendekatan untuk memahami sifat dan keadaan manusia. Kedua, ia menawarkan pengetahuan yang luas akan kaedah penyelidikan dalam bidang tingkah laku manusia. Ketiga, ia menawarkan metode yang lebih luas akan kaedah-kaedah yang lebih efektif dalam pelaksanaan psikoterapi. Pokok persoalan dari psikologi humanistik adalah pengalaman subjektif manusia, keunikannya yang membedakan dari hewan-hewan, sedangkan area-area minat dan penelitian yang utama dari psikologi humanistik adalah kepribadian yang normal dan sehat, motivasi, kreativitas, kemungkinan-kemungkinan manusia untuk tumbuh dan bagaimana bisa mencapainya, serta nilai-nilai manusia Dalam metode-metode studinya, psikologi humanistik menggunakan berbagai metode mencakup wawancara, sejarah hidup, sastra, dan produk-produk kreatif lainnya. (Misiak dan Sexton, 2005).

II. Ciri-ciri dan Tujuan Psikologi Humanistik
Sebagai suatu paradigma, psikologi humanistik mempunyai ciri-ciri tertentu. Empat ciri psikologi yang berorientasi humanistik sebagai berikut : (Misiak dan Sexton, 2005)
Memusatkan perhatian pada person yang mengalami dan karenanya berfokus pada pengalaman sebagai fenomena dalam mempelajari manusia
Menekankan pada kualitas-kualitas yang khas manusia, seperti memilih, kreativitas, menilai, dan realisasi diri, sebagai lawan dari pemikiran tentang manusia yang mekanistik dan reduksionistik
Menyandarkan diri pada kebermaknaan dalam memilih masalah-masalah yang akan dipelajari dan prosedur-prosedur penelitian yang akan digunakan serta menentang penekanan yang berlebihan pada objektivitas yang mengorbankan signifikansi.
Memberikan perhatian penuh dan meletakkan nilai yang tinggi pada kemuliaan dan martabat manusia serta tertarik pada perkembangan potensi yang inheren pada setiap individu. Memang individu sebagaimana dia menemukan dirinya sendiri serta dalam hubungannya dengan individu-individu lain dan dengan kelompok-kelompok sosial.
Sedangkan Charlotte Buhler—pemimpin internasional dan juru bicara senior psikologi humanistik—menekankan ciri-ciri psikologi humanistik berikut ini sebagai hal-hal yang mendasar, yaitu: (dalam Misiak dan Sexton, 2005)
Mencoba menemukan jalan masuk ke arah studi dan pemahaman individu sebagai keseluruhan.
Berhubungan erat dengan eksistensialisme yang menjadi landasan filosofisnya dan terutama dengan pengalaman intensionalitas sebagai ”inti diri dan motivasi individu”.
Konsep tentang manusia yang paling sentral adalah kreativitas.

III. Konseling dan Terapi
Psikologi humanistik meliputi beberapa pendekatan untuk konseling dan psikoterapi. Pada pendekatan-pendekatan awal ditemukan teori perkembangan dari Abraham Maslow, yang menekankan pada hirarki kebutuhan dan motivasi, psikologi eksistensial dari Rollo May yang mempelajari pilihan-pilihan manusia dan aspek tragis dari keksistensian manusia, dan terapi person-centered atau client-centered dari Carl Rogers, yang memusatkan seputar kemampuan klien untuk mengarahkan diri sendiri (self-direction) dan memahami perkembangan diri sendiri. Pendekatan-pendekatan lain dalam konseling dan terapi psikologi humanistik adalah Gestalt therapy, humanistic psychotherapy, depth therapy, holistic health, encounter groups, sensitivity training, marital and family therapies, body work, dan the existential psychotherapy dari Medard Boss. Teori humanisitk juga mempunyai pengaruh besar pada bentuk lain dari terapi yang populer, seperti Harvey Jackins' Re-evaluation Counselling dan studi dari Carl Rogers. Seperti yang disebutkan oleh Clay (dalam, http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) psikologi humanistik cenderung untuk melihat melebihi model medikal dari psikologi dengan tujuan membuka pandangan non-patologis dari seseorang. Kunci dari pendekatan ini adalah pertemuan antara terapis dan klien dan adanya kemungkinan untuk berdialog. Hal ini seringkali berimplikasi terapis menyingkirkan aspek patologis dan lebih menekankan pada aspek sehat dari seseorang. Tujuan dari kebanyakan terapi humanistik adalah untuk membantu klien mendekati perasaan yang lebih kuat dan lebih sehat terhadap diri sendiri, yang biasa disebut self-actualization (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000; Clay, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology). Semua ini adalah bagian dari motivasi psikolgi humanistik untuk menjadi ilmu dari pengalaman manusia, yang memfokuskan pada pengalaman hidup nyata dari seseorang (Aanstoos, Serlin & Greening, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology).

IV. Evaluasi Psikologi Humanistik
Psikologi Humanistik, sebagai kekuatan ketiga dalam psikologi, telah diberi berbagai keterangan baik, seperti gerakan yang kuat dan bersemangat, suatu gelombang masa depan, dan lain sebagainya. Walaupun demikian, layaknya kedua aliran lain dalam psikologi yaitu behaviorisme dan psikoanalisis, psikologi humanistik pun tidak lepas dari kritkan dan evaluasi. Beberapa diantaranya adalah :
Misiak dan Sexton (2005) menyebutkan bahwa sejumlah kritikus memandang psikologi humanistik sebagai mode, slogan, atau teriakan bersama, ketimbang suatu kekuatan yang nyata. Mereka juga berpendapat bahwa psikologi humanistik adalah suatu gerakan “ngawur” yang lemah karena tersusun dari jalinan yang terlalu banyak, terlalu berjauhan dan kadang-kaang berlawanan, sehingga tidak sanggup menghasilkan tindakan bersama dan pengaruh yang lama.

Sejumlah kritikus lain juga mempesoalkan masalah metodologi yang digunakan oleh psikologi humanistik. Mereka tidak yakin jika psikologi humanistik memiliki metodologi-perangkat, teknik-teknik, dan prosedur-prosedur yang memadai untuk menyelidiki masalah-masalah yang seharusnya diselidiki di atas basis empiris.

Kritikan mengenai psikologi humanistik juga datang dari Isaac Prilleltensky pada tahun 1992, yang berpendapat bahwa psikologi humanistik- dengan kurang hati-hati- mengafirmasi status quo dari sosial dan politik, dan sebab itu telah tetap diam terhadap perubahan sosial. Lebih jauh, dalam review yang dilakukan Seligman & Csiksezentmihalyi (dalam www.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) pada pendekatan lain dari psikologi positif, mencatat bahwa perwujudan awal dari psikologi humanistik kekurangan penekanan pada dari dasar empirik, dan beberapa arahan telah mendorong self-centeredness. Walaupun demikian, menurut pemikir humanistik, psikologi humanistik jangan dipahami mempromosikan ide seperti narsisisme, egosime, atau selfishness (Bohart & Greening, 2001, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology). Asosiasi humanisitk optimis bahwa pandangan dunia telah salah mengerti mengenai teori humanistik. Dalam respon mereka terhadap Seligman & Csikszentmihalyi, Bohart & Greening (dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) mencatat bahwa seiring dengan self-actualization dan individual fulfillment, psikologi humanistik juga telah mempublikasikan karya ilmiah mengenai isu dan topik sosial, seperti promosi perdamaian internasional, kesadaran akan holocaust, pengurangan kekerasan, dan promosi akan kesejahteraan sosial dan keadailan untuk semua.

Psikologi humanistik juga dikritik karena teori-teorinya dianggap mustahil untuk disalahkan atau disangkal (Popper, 1969, dalam dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology) dan kekurangan nilai prediktif, dan oleh karena itu tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan. Usaha dari para ahli psikologi humanistik dan psikologi positif untuk menjelaskan tingkah laku manusia seringkali berarti bahwa teori-teori tersebut tidak dapat dibuktikan salah, namun bukan berarti pula bahwa teori-teori tersebut benar adanya. Sebagai contoh, teori psikologi Adler dapat menjelaskan hampir semua tingkah laku sebagai tanda bahwa seseorang telah mengatasi perasaan inferior mereka. Sebaliknya, dengan tingkah laku yang sama juga dapat berlaku sebagai tanda bahwa seorang individu gagal mengatasi perasaan inferior. Teori tersebut sama saja mengatakan “antara akan hujan atau tidak hujan”, Sebuah teori ilmu pengetahuan yang baik seharusnya dapat disangkal dan mempunyai kekuatan untuk memprediksi (Chalmers, 1999, dalam dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology); oleh karena itu, psikologi humanistik bukanlah sebuah ilmu pengetahuan.

REFERENSI

Naisaban, Ladislaus. (2002). Para Psikolog Terkemuka Dunia : Riwayat Hidup, Pokok
Pikiran, dan Karya. . Jakarta: PT Grasindo.

Misiak, Henryk & Sexton, Virginia staudt. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial,
dan Humanistik. Bandung: Refika Aditama

www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm

http://www.e-psikologi.com/lain-lain/tokoh.htm#tigabelas

http://facultyweb.cortland.edu/~andersmd/maslow/explain.html

http://www.geocities.com/masterptvpsikologi/psikologihumanistik.pdf

http://www.psikologiums.net/modules.php?name=News&file=article&sid=27

www.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology