Saturday, June 21, 2008

VJ#36/VI/2008 : Fake Vs Genuine Smile


Tersenyum..

Kata orang, dengan tersenyum maka membuat diri kita menjadi lebih sehat dan awet muda..

Kata orang pula, itu adalah Salah satu hal yang termudah untuk menandakan suasana hati seseorang, bahwa ia sedang dalam keadaan senang..

Tapi tunggu dulu? benarkan senyum itu selalu menandakan orang sedang senang?

Bagaimana kalo orang tersebut tidak benar2 tersenyum? Bagaimana kalo orang tersebut hanya berpura2?

Sejauh apakah anda dapat mengetahui seseorang sedang
TERSENYUM atau sedang BERPURA2 TERSENYUM?

Try this following link

Friday, June 20, 2008

VJ#35/VI/2008 : GANGGUAN SOMATOFORM DAN DISOSIATIF

( courtesy of Ocha Elmut, KLD XII)
Gangguan somatoform dan disosiatif, berkaitan dengan gangguan kecemasan. Pada gangguan somatoform, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan disosiatif, individu mengalami gangguan kesadaran, ingatan, dan identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan dengan beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul secara bersamaan.

GANGGUAN SOMATOFORM (SOMATOFORM DISORDERS)

Soma berarti tubuh. Pada gangguan somatoform, masalah psikologis tampak dalam bentuk fisik. Gejala fisik dari gangguan somatoform, dimana tidak ada penjelasan secara fisiologis dan tidak dapat dikontrol secara sadar, berkaitan dengan faktor psikologis, biasanya kecemasan, dan untuk itu diasumsikan bahwa gangguan ini disebabkan oleh faktor psikologis. Pada bagian ini akan lebih dibahas mengenai dua gangguan somatoform yakni gangguan conversion dan gangguan somatization. Akan tetapi sebelumnya juga perlu diketahui bahwa dalam kategori DSM-IV-TR terdapat tiga bentuk lain dari gangguan somatoform, yakni pain disorder, body dysmorphic disorder, dan hypochondriasis.

PENGERTIAN DAN GEJALA
A. Pain Disorder
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

B. Body Dysmorphic Disorder
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.

C. Hypochondriasis
Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.

D. Conversion disorder
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

E. Somatization Disorder
Menurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).


ETIOLOGI
Etiologi dari Somatization Disorder
Diketahui bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan behavioral dari somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress (Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian yang diterima.

Teori Psikoanalisis dari Conversion Disorder
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut.
Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.

Teori Behavioral dari Conversion Disorder
Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ?
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.

Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder
Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya.
Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).

Faktor Biologis pada Conversion Disorder
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

TERAPI
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.

Terapi untuk Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Terapi untuk Pain Disorder
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut :
memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita
relaxation training
memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri

Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.

GANGGUAN DISOSIATIF

Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
ingatan masa lalu
kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate sensations)
kontrol terhadap gerakan tubuh

PENGERTIAN DAN GEJALA
A. Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres.
Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya.

B. Fugue Disosiatif
Fugue disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan menciptakan identitas baru.
Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan beraktivitas dengan menggunakan identitas baru.

C. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah.
Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.

D. Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.
Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:
a. Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas
b. Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang
c. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.

ETIOLOGI
Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.
Pandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.

Etiologi GID. Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (Gleaves, 1996).
Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID terjadi dan menetap.

TERAPI
Gangguan disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain, kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres.
Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Terapi GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan dialami oleh pasien. Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut.
Terdapat beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID, terlepas dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross, 1989)
Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian
Setiap kepribadian harus dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian- kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri.
Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman, bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan otonom.
Seluruh kepribadian harus diperlakukan secara adil
Terapis harus mendorong empati dan kerjasama diantara berbagai kepribadian
Diperlukan kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian.

Tujuan setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.



VJ#34/VI/2008 : SCHIZOPHRENIA

Sudah pernah menonton A Beautiful Mind? Sebuah film yang memenangi Academy Award. Apa menurut anda yang membuat film tersebut bisa menjadi kampiun Oscar? Tentu jawabnya bisa beraneka ragam. Namun, bagi saya, film tersebut layak mendapatkan oscar karena tema dari film itu sendiri.
Film ini menceritakan tentang kehidupan John Forbes Nash, Jr. , seorang genius peraih Nobel. Ia tidak peraih NObel "sembarangan", namun hal yang membuat Nash menjadi lebih spesial adalah karena dia adalah seorang penderita sakit jiwa. Ya, SAKIT JIWA.
Salah satu bentuk gangguannya adalah bahwa ia mempunyai teman bicara, yang ia amat yakini keberadaannya, disaat orang lain tidak ada satupun yang dapat melihat teman Nash tersebut. Bagi orang awam, tingkah laku Nash tidak lebih dari dari tingkah laku seorang yang disebut"gila" , "sedeng", "gendeng", dan lain sebagainya, yang kerap kali kita temui di jalanan.
Dalam konteks Psikologi, apa yang diderita oleh Nash lebih dikenal dengan istilah Schizophrenia.
Apa dan bagaimana kah Schizophrenia tersebut? Dalam post kali ini saya mencoba untuk mengupasnya untuk anda. Selamat membaca.

(Courtesy of KLD XII)

Sejarah
Gangguan skizofrenia sebenarnya telah dibicarakan sejak ratusan tahun lalu. Dua tokoh yang dianggap memberikan sumbangan paling penting adalah Emil Kraeplin & Eugen Bleuler. Pada awalnya, Kraeplin menyebut gangguan ini sebagai dementia precox. Akan tetapi, berbagai simptom atau gejala yang muncul tidak lagi cocok akan definisi Kraeplin. Bleuler-lah yang kemudian mengenalkan istilah schizophrenia untuk gangguan ini. Hingga saat ini, gangguan ini merupakan gangguan mental yang dianggap paling parah.

Definisi
Skizofrenia adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “schizein” (terpisah atau pecah) dan “phrenia” (jiwa). Arti dari kedua kata ini menjelaskan karakteristik utama sekaligus definisi dari gangguan ini, yaitu adanya pemisahan emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Gangguan ini termasuk dalam gangguan psikotik karena salah satu ciri utamanya adalah kegagalan untuk berhubungan dengan kehidupan nyata (reality testing).

Simtom-simptom
Kemunculan simptom gangguan ini biasanya dimulai pada masa remaja akhir ataupun dewasa muda, dengan kecenderungan terjadi lebih awal pada pria. Akan tetapi, banyaknya kasus tidak menunjukkan adanya perbedaan prevalensi antara pria dan wanita.
Beberapa simtom yang muncul pada klien dengan gangguan ini melibatkan gangguan pada berbagai area atau fungsi tubuh utama. Beberapa fungsi tersebut diantaranya fungsi untuk mempersepsikan dan memberi atensi, motorik, afek atau emosi, dan fungsi hidup lainnya. Menurut Bleuler (dalam Fausiah, 2005), ada empat simtom dasar (primer) dari gejala ini, yaitu Asosiasi, Afek, Autisme, dan Ambivalensi. Sedangkan, halusinasi dan delusi merupakan simtom sekundernya.
Lain halnya dengan Bleuler, Davison, Neale & Kring (2001) menyebutkan bahwa ada tiga simtom utama dari gangguan ini. Berikut ini penjelasan ketiga simtom tersebut:
Simtom Positif
Simtom ini ditandai dengan adanya pikiran, perasaan, dan perilaku yang berlebihan dan biasanya tidak terdapat pada orang normal. Ada dua hal yang termasuk dalam simtom positif ini, yaitu:



Delusi / Waham
Merupakan suatu keyakinan yang salah ataupun bertentangan dengan kenyataan. Orang dengan gangguan ini biasanya tidak akan mengubah keyakinannya tersebut meskipun telah terdapat bukti-bukti yang menyangkal keyakinannya tersebut. Beberapa penjelasan mengenai bentuk delusi adalah sebagai berikut:
- klien percaya bahwa pikirannya bukanlah pikirannya sendiri, melainkan milik orang lain / sumber ekternal yang menempatkan pikiran tersebut padanya
- merasa bahwa pikirannya seolah disiarkan atau terdengar oleh orang lain sehingga ia merasa -semua orang mengetahui apa yang sedang dipikirkannya
- mengalami kecemasan bahwa pikirannya telah dicuri
percaya bahwa pikiran ataupun perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya

Halusinasi / Gangguan persepsi lainnya
Merupakan penghayatan yang dialami melalui panca indera, tetapi tanpa adanya stimulus eksternal. Hal ini membedakannya dengan ilusi di mana stimulusnya nyata dan yang terjadi adalah kesalahan dalam mempersepsikan stimulus tersebut. Beberapa jenis halusinasi adalah auditorik, visual, olfaktori, haptic, dan liliput. Diantara berbagai jenis halusinasi, auditorik adalah yang paling sering dialami klien dengan gangguan skizofrenia.
Adapun beberapa bentuk halusinasi, antara lain:
- klien merasa mendengar pikirannya sendiri diungkapkan atau dikatakan oleh suara orang lain
- mendengar suara-suara yang beradu argumen atau bertengkar
- mendengar suara-suara yang mengomentari / mengkritik perilaku klien tersebut

Simtom Negatif
Simptom ini ditandai dengan adanya defisit perilaku. Klien dengan gangguan ini tidak dapat menampilkan perilaku yang seharusnya dilakukan oleh orang normal. Beberapa simtom yang termasuk dalam simptom ini adalah:




Avolition / apathy
simtom ini merujuk pada kurangnya energi dan tidak adanya minat ataupun kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas rutin, seperti membersihkan diri. Biasanya orang dengan simtom ini menghabiskan banyak waktunya hanya untuk duduk dan tidak melakukan apa-apa.




Alogia
Merupakan gangguan berpikir yang negatif. Beberapa bentuknya adalah kurangnya pembicaraan sehingga cenderung berdiam diri, sedangkan pada kurangnya isi pembicaraan klien akan tetap berbicar seperti biasa, tetapi hanya memiliki sedikit informasi yang benar-benar berarti.




Anhedonia
Simtom ini membuat orang kehilangan kemampuan untuk merasakan kesenangan. Hal ini diwujudkan melalui kurangnya minat untuk melakukan rekreasi, kegagalan untuk mengembangkan hubungan yang dekat dengan orang lain, serta tidak adanya ketertarikan pada sex.


Flat affect
Pada klien dengan simptom ini, biasanya tidak ada stimulus apa pun yang dapat memunculkan respon emosional dari klien. Klien biasanya hanya bisa menatap kosong dan saat berbicara suaranya terdengan datar dan tanpa perbedaan intonasi. Meski demikian, didapati bahwa sesungguhnya mereka masih bisa merasakan berbagai emosi seperti yang dirasakan oleh orang normal, hanya saja mereka tidak bisa mengekspresikannya.




Asociality
Beberapa klien dengan gangguan skizofrenia memiliki kerusakan yang parah dalam hubungan sosialnya. Mereka hanya memiliki sedikit ketertarikan untuk berelasi dengan oran lain sehingga akibatnya mereka hanya memiliki sedikit teman. Simtom ini biasanya yang pertama kali muncul sebelum simtom-simtom lain yang lebih psikotik.

Simtom Tak terorganisasi (Disorganized Symptoms)
Pembicaraan yang tak terorganisasi (Disorganized Speech)
Simtom ini meliputi masalah dalam pengorganisasian ide-ide dan dalam berbicara. Ada inkoherensi yang ditemukan ketika berbicara dengan klien yang memiliki gangguan skizofrenia. Pembicaraan juga terganggu oleh loose associations atau derailment, yaitu keadaan saat klien dapat melakukan pembicaraan secara normal, tetapi mengalami kesulitan untuk fokus pada satu topik tertantu. Klien akan cenderung berganti topik terus menerus dan akhirnya tidak dapat mengemukakan topik awal yang sebenarnya hendak disampaikan.




Bizarre Behavior
Perilaku aneh yang ditampilkan dapat nampak dalam berbagai bentuk. Pada dasarnya mereka kehilangan kemampuan untuk mengorganisasikan perilakunya agar dapat sesuai dengan standar masyarakat sekitarnya.

4. Simtom Lainnya
Ada dua simtom lainnya dari gangguan skizofrenia yang tidak sesuai dengan berbagai definisi simtom yang telah dijelaskan di atas. Oleh karenanya dikelompokkan pada bagian ini.




a. Catatonia
Merupakan beberapa abnormalitas yang terjadi pada sistem motorik. Klien yang mengalami simtom ini dapat melakukan suatu gerakan secara berulang-ulang. Gerakan ini nampak aneh dan melibatkan rangkaian yang kompleks dari berbagai organ tubuh seperti jari, tangan, dan lengan. Meski demikian gerakan-gerakan ini nampak berguna. Selain gerakan yang dilakukan berulang-ulang, terdapat juga yang disebut dengan catatonic immobility. Ketika mengalami hal ini klien hanya akan diam saja dalam satu posisi yang aneh dan mempertahankan posisi ini untuk jangka waktu yang lama. Bahkan tak jarang orang lain dapat memindahkan posisinya ke bentuk lain yang kemudian akan dipertahankan klien secara terus menerus. Hal ini disebut sebagai waxy flexibility.




b. Inappropriate Affect
Respon emosional yang diberikan oleh klien dengan simtom ini tidak sesuai dengan emosi yang dirasakan. Sebagai contoh seseorang dengan simtom ini justru akan tertawa terbahak-bahak ketika mendengar ibunya meninggal. Selain itu, klien juga seringkali berpindah dari suatu keadaan emosi ke emosi yang berlawanan secara ekstrim tanpa alasan yang jelas.

Kriteria gangguan skizofrenia menurut DSM-IV-TR
Beberapa kriteria untuk mendefinisikan suatu gangguan merupakan gangguan kepribadian skizofrenia menurut Davison, Neale & Kring (2001) adalah:
1. memiliki dua atau lebih dari simtom-simtom berikut ini sekurang-kurangnya selama 1 bulan, yaitu delusi, halusinasi, pembicaraan yang tak terorganisasi, perilaku katatonik atau tak terorganisasi, dan simtom negatif.
2. penurunan fungsi sosial dan pekerjaan sejak munculnya onset perilaku
3. ada tanda-tanda gangguan selama sekurang-kurangnya 6 bulan

Kategori / Jenis Gangguan Skizofrenia
Menurut Davison, Neale & Kring (2001) ada beberapa jenis / kategori dari gangguan skizofrenia, yaitu:
1. Disorganized Schizophrenia
Ditandai dengan adanya kesulitan untuk berbicara atau mengorganisasikan kata-kata sehingga sulit bagi pendengar untuk mengerti apa yang dibicarakan. Terkadang diiringi dengan kekonyolan atau tawa. Selain itu, klien dengan gangguan ini juga memiliki simtom afek datar ataupun perpindahan emosi yang drastis. Pada dasarnya muncul simtom-simtom yang tidak terorganisasi, tanpa diikuti dengan simtom yang tergolong katatonik.




2. Catatonic Schizophrenia
Untuk dapat digolongkan pada jenis ini, pada klien harus nampak simtom katatonik yang telah disebutkan sebelumnya. Klien dapat berpindah dari catatonic immobility ataupun pergerakan yang berlebihan. Seringkali jenis ini terlihat karena penggunaan terapi obat-obatan (drug therapy)




3. Paranoid Schizophrenia
Jenis ini ditandai dengan munculnya delusi. Salah satu yang paling sering muncul adalah persekusi, tetapi bisa juga mengalami grandiose delusions, di mana klien melebih-lebihkan kepentinga, kekuatan, pengetahuan, ataupun identitasnya. Selain itu, juga terdapat delusional jelousy yang menganggap pasangan seksual mereka bersikap tidak setia. Perlu ditekankan bahwa pada klien dengan jenis gangguan ini tidak terjadi gangguan pada sistem bicara.


4. Undifferentiated Schizophrenia
Klien dikategorikan pada jenis ini jika memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi tidak untuk ketiga kategori yang telah disebutkan sebelumnya.




5. Residual Schizophrenia
Jika seorang klien tidak memenuhi seluruh kriteria dari salah satu kategori dari ketiga kategori yang pertama kali disebutkan tetapi masih menunjukkan tanda-tanda gangguan skizofrenia, maka klien tersebut disebut sebagai klien dengan gangguan jenis residual ini.

ETIOLOGI SCHIZOPHRENIA

MODEL DIATESIS STRESS
Teori ini mengintegrasikan faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Beranggapan bahwa seseornag mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis), yang jika diaktifkan oleh pengaruh stress, akan memungkinkan berkembang skizofrenia. Stressor atau diatesis ini mungkin bersifat biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (seperti situasi kematian orang terdekat).

Sudut Pandang Biologis
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun, sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya skizofrenia. Penelitian pada beberapa dekade terakhir mengindikasikan peran patofisiologis dari area tertentu di otak; termasuk sistem limbik, kirteks frontal dan ganglia basalis.
Kemungkinan dari abnormalitas otak ini salah satunya adalah terjadinya kerusakan pada proses kelahiran atau pada saat kelahiran bayi. Banyak penelitian menunjukkan rating yang tinggi pada individu yang mengalami gangguan skizofrenia bahwa mereka mengalami komplikasi pada saat proses kelahiran mereka. Komplikasi tersebut mungkin menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke otak sehingga mengakibatkan hilangnya kortikal abu-abu. Kemungkinan lainnya adalah adanya virus yang menyerang otak dan merusak otak pada saat perkembangan janin dalam kandungan.



Hipotesis Dopamin
Menurut hipotesis ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter Dopaminergic. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, meningkatnya jumlah reseptor dopamin, turunnya nilai ambang atau hipersensitivitas reseptor dopamin, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

Sudut Pandang Genetik
Penelitian yang dilakukan melalui family studies, twin studies dan adoption studies menunjukkan bukti adanya komponen genetik dalam pewarisan skizofrenia.



Family Studies
Pewarisan predisposisi genetik pada pasien skizofrenia, telah terbukti melalui beberapa penelitian tentang keluarga dan skizofrenia.

Sudut Pandang Psikososial
1. Teori tentang Individu Pasien
Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego deficit) memberikan kontribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Sedangkan menurut Sullivan, gangguan skizofrenia disebabkan karena kesulitan interpersonal yang terjadi sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan pola pengasuhan ibu yang salah, yaitu cemas berlebihan.
Secara umum, dalam pandangan ini, gangguan terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara ibu dan anak (bayi).




Teori Psikodinamik
Pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Simtom positif diasosiakan dengan onset akut sebagi respon terhadap faktor pemicu dan memiliki kaitan yang erat dengan adanya konflik.
Simton negatif berkaitan erat dengan faktor biologis dan memiliki karakteristik absennya perilaku/fungsi tertentu.
Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.




Teori Belajar
Menurut teori ini, anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir yang tidak rasional dengan mengimitasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa kanak-kanak mereka belajar dari model yang buruk.

2. Teori tentang keluarga
Beberapa pasien skizofrenia, berasal dari keluarga yang disfungsi. Selain itu, perilaku keluarga yang patologis dapat meningkatkan stress emosional pada pasien skizofrenia. Perilaku keluarga yang patologis tersebut, antara lain:



Double-Bind
Keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari orangtua yang berkaitan dengan perilaku, sikap maupun perasaannya.



Schisms and Skewed Families
Pada pola keluarga schisms, terdapat perpecahan yang jelas antara orangtua. Sehingga salah satu orangtua akan menjadi sangat dekat dengan anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed, hubungan skewed melibatkan perebutan kekuasaan dan dominasi dari salah satu orang tua.



Pseudomutual and Pseudohostile Families
Dimana keluarga men-supress ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atai pseudohostile secara konsisten. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang salah dari orangtua dapat menjadi salah satu penyebab dari gangguan skizofrenia.



Ekspresi Emosi
Banyak penelitian yang menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dapat meningkatkan relapse pada pasien skizofrenia.

3. Teori Sosial
Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Selain itu, persentase paling tinggi pasien skizofrenia ditemukan pada penduduk yang tinggal di tengah kota dan berada pada kelas sosial ekonomi rendah.




The Sociogenic Hypotesis
Stressor dikaitkan dengan keberadaan pada kelas sosial ekonomi yang rendah dapat mengakibatkan atau memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia. Perilaku yang berbeda yang diterima individu dari orang lain, rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya penghargaan dan kesempatan, menjadikan semua hal tersebut menjadi pengalaman yang stresful dan dapat mengakibatkan individu, yang telah memiliki predisposisi skozofrenia, mengembangkan skizofrenia.



Social-selection Theory
Selama berkembangnya psikosis, individu dengan skizofrenia dapat tersingkir ke daerah miskin yang tersisihkan dari kota. Berkembangnya permasalahan pada kognitif dan emosional, mengakibatkan lumpuhnya kemampuan individu tersebut agar dapat hidup ditempat lain. Atau mereka memilih untuk tinggal di suatu area dimana terdapat sedikit tekanan sosial yang mereka terima dan mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang intens.











Sunday, June 8, 2008

VJ#33/VI/2008 : PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN)


written by KLD XII

Gangguan kepribadian adalah kelompok gangguan yang sangat heterogen. Gangguan tersebut diberi kode pada aksis II dalam DSM dan dianggap sebagai pola perilaku dan pengalaman internal yang bertahan lama, pervasif, dan tidak fleksibel yang menyimpang dari ekspektasi budaya orang yang bersangkutan dan dapat menggangu dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Beberapa diantaranya dapat menyebabkan distress emosional. Individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian apabila ciri kepribadiannya menampakkan pola perilaku maladaptif dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Pola tersebut muncul pada setiap situasi serta menggangu fungsi kehidupannya sehari-hari.

Gangguan kepribadian digolongkan menjadi tiga kelompok dalam DSM-IV-TR, yaitu:
1. Kelompok A (odd/eccentric cluster),
terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, schizoid, dan schizotypal. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku yang aneh dan eksentrik.

2. Kelompok B (dramatic/erratic cluster),
terdiri dari gangguan kepribadian antisosial, borderline, histrionic, dan narcissistic. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku yang dramatik atau berlebih-lebihan, emosional dan eratik (tidak menentu atau aneh).

3. Kelompok C (anxious/fearful cluster),
terdiri dari gangguan kepribadian avoidant, dependent, dan obsessive-compulsive. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku cemas dan ketakutan.


KELOMPOK A (ODD/ECCENTRIC CLUSTER)
Paranoid Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Paranoid)
Individu yang mengalami gangguan kepribadian paranoid biasanya ditandai dengan adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan yang kuat terhadap orang lain. Mereka juga diliputi keraguan yang tidak beralasan terhadap kesetiaan orang lain atau bahwa orang lain tersebut dapat dipercaya.

Orang-orang yang mengalami gangguan ini merasa dirinya diperlakukan secara salah dan dieksploitasi oleh orang lain sehingga berperilaku selalu waspada terhadap orang lain.
Mereka sering kali kasar dan mudah marah terhadap apa yang mereka anggap sebagai penghinaan. Individu semacam ini enggan mempercayai orang lain dan cenderung menyalahkan mereka serta menyimpan dendam meskipun bila ia sendiri juga salah. Mereka sangat pencemburu dan tanpa alasan dapat mempertanyakan kesetiaan pasangannya.

Individu dengan gangguan ini tidak mampu terlibat secara emosional dan menjaga jarak dengan orang lain, mereka tidak hangat. Gangguan kepribadian paranoid paling banyak terjadi pada kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Gangguan ini banyak dialami bersamaan dengan gangguan kepribadian schizotipal, borderline, dan avoidant. Prevalensi pada gangguan ini adalah berkisar 2 persen dari populasi pada umumnya.

Gangguan paranoid memiliki perbedaan diagnosis dengan skizofrenia, karena pada gangguan paranoid tidak muncul simtom halusinasi dan delusi. Perbedaannya dengan gangguan borderline adalah gangguan paranoid lebih sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan perbedaannya dengan gangguan antisosial adalah paranoid tidak memiliki sejarah antisosial. Perbedaannya dengan schizoid adalah gangguan ini tidak memiliki ide-ide paranoid atau tidak memiliki kecurigaan.

Schizoid Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Skizoid)
Individu yang mengalami gangguan ini tidak menginginkan atau menikmati hubungan sosial dan biasanya tidak memiliki teman akrab. Mereka tampak tumpul, datar, dan menyendiri serta tidak memiliki perasaan yang hangat dan tulus terhadap orang lain. Mereka jarang memiliki emosi kuat, tidak tertarik pada hubungan seks, serta bersikap masa bodoh terhadap pujian, kritik, dan perasaan orang lain. Individu yang mengalami gangguan ini adalah seorang penyendiri dan menyukai kegiatan yang dilakukan sendirian.

Individu dengan gangguan kepribadian skizoid menampilkan perilaku menarik diri, mereka merasa tidak nyaman bila berinteraksi dengan orang lain, cenderung introvert. Mereka terlihat sebagai individu yang eksentrik, terkucil, dingin, dan penyendiri. Dalam kesehariannya, individu lebih menyenangi kegiatan yang tidak melibatkan orang lain dan berhasil pada bidang-bidang yang tidak melibatkan orang lain. Prevalensi gangguan skizoid diperkirakan 7,5 persen dari populasi. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan diperkirakan 2 : 1 untuk laki-laki.

Schizotypal Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Skizotipal)
Individu dengan gangguan kepribadian skizotipal biasanya memiliki kepercayaan yang aneh. Mereka memiliki pemikiran yang ajaib/aneh (magical), ide-ide yang ganjil, ilusi, dan derealisasi yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Individu dengan gangguan ini memiliki masalah dalam berpikir dan berkomunikasi. Dalam pembicaraan, mereka dapat menggunakan kata-kata dengan cara yang tidak umum dan tidak jelas sehingga hanya diri mereka saja yang mengerti artinya.

Dari perilaku dan penampilan, mereka juga tampak eksentrik. Sebagai contoh, mereka berbicara kapada diri sendiri dan memakai pakaian yang kotor serta kusut. Ciri yang umum terjadi adalah ideas of reference (keyakinan bahwa berbagai kejadian memiliki makna khusus dan tidak biasa bagi orang yang bersangkutan), kecurigaan, dan pikiran paranoid. Mereka pun memiliki kemampuan yang rendah dalam berinteraksi dengan orang lain dan kadang kala bertingkah laku aneh sehingga akhirnya mereka sering kali terkucil dan tidak memiliki banyak teman.

Prevelensi gangguan ini diperkirakan kurang dari 1 persen. Gangguan kepribadian skizotipal lebih banyak muncul pada keluarga yang memiliki penderita skizofrenia. Gangguan kepribadian skizotipal adalah titik awal dari skizofrenia. Walaupun sama-sama muncul simtom halusinasi, namun perbedaan gangguan ini dengan gangguan skizofrenia adalah halusinasi pada skizotipal biasanya berlangsung dalam waktu singkat.

Etiologi Kelompok A
Berbagai studi tentang keluarga memberikan beberapa bukti bahwa gangguan kepribadian kelompok A berhubungan dengan skizofrenia. Pada gangguan skizotipal, pasien mengalami kelemahan kognitif dan kurangnya fungsi neuropsikologis yang sama dengan terjadinya skizofrenia. Selain itu, pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal memiliki rongga otak yang lebih besar dan lebih sedikit bagian abu-abu di lobus temporalis.

KELOMPOK B (DRAMATIC/ERRATIC CLUSTER)
Borderline Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Ambang)
Disebut dengan kepribadian ambang (borderline) karena berada di perbatasan antara gangguan neurotik dan skizofrenia. Ciri-ciri utama gangguan ini adalah impulsivitas dan ketidakstabilan dalam hubungan dengan orang lain dan memiliki mood yang selalu berubah-ubah. Contohnya, sikap dan perasaan terhadap orang lain dapat berubah-ubah secara signifikan dan aneh dalam kurun waktu yang singkat. Individu yang mengalami gangguan borderline memiliki karakter argumentatif, mudah tersinggung, sarkastik, cepat menyerang, dan secara keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama mereka.

Perilaku mereka yang tidak dapat diprediksi dan impulsif, boros, aktivitas seksual yang tidak pandang bulu, penyalahgunaan zat, dan makan berlebihan, berpotensi merusak diri sendiri. Mereka tidak tahan berada dalam kesendirian, memiliki rasa takut diabaikan, dan menuntut perhatian. Mudah mengalami perasaan depresi dan perasaan hampa yang kronis, mereka sering kali mencoba bunuh diri.

Gangguan kepribadian borderline bermula pada masa remaja atau dewasa awal, dengan prevelensi sekitar 1 persen, dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.

Etilogi Gangguan Kepribadian Borderline
Penyebab terjadinya gangguan kepribadian borderline antara lain dapat dijelaskan oleh kedua pandangan berikut:
• Faktor biologis
Faktor-faktor biologis antara lain disebabkan oleh faktor genetis. Gangguan kepribadian borderline dialami oleh lebih dari satu anggota dalam satu keluarga. Beberapa data menunjukkan adanya kelemahan fungsi lobus frontalis, yang sering diduga berperan dalam perilaku impulsif. Individu dengan gangguan borderline mengalami peningkatan aktivasi amigdala, suatu struktur dalam otak yang dianggap sangat penting dalam pengaturan emosi.

• Object Relations Theory
Teori ini merupakan teori dari psikoanalisa yang memfokuskan diri pada bagaimana cara anak mengintroyeksikan nilai-nilai dan gambaran yang berhubungan dengan orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya, misalnya orang tua. Dengan kata lain, fokus dari teori ini adalah cara anak mengidentifikasikan diri dengan orang lain di mana ia memiliki emotional attachment yang kuat dengan orang tersebut. Orang-orang yang diintroyeksikan tersebut menjadi bagian dari ego si anak pada masa dewasa, tetapi dapat menimbulkan konflik dengan harapan, tujuan, dan ideal-idealnya.
Teori ini beranggapan bahwa individu bereaksi terhadap dunia melalui perspektif dari orang-orang penting dalam hidupnya pada masa lalu, terutama orang tua atau caregiver. Terkadang perspektif tersebut berlawanan harapan dan minat dari individu yang bersangkutan. Otto Kernberg, salah seorang tokoh dalam teori ini menyatakan bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa kanak-kanak, misalnya mempunyai orang tua yang memberikan cinta dan perhatian secara tidak konsisten (menghargai prestasi anak, tetapi tidak dapat memberikan dukungan emosional dan kehangatan), dapat menyebabkan anak mengembangkan insecure egos (bentuk umum dari gangguan kepribadian borderline).

Individu dengan gangguan kepribadian borderline sering kali mengembangkan mekanisme defense yang disebut splitting, yaitu mendikotomikan objek menjadi semuanya baik atau semuanya buruk dan tidak dapat mengintegrasikan aspek positif dan negatif orang lain atau diri menjadi suatu keutuhan. Hal itu menimbulkan kesulitan yang ekstrem dalam meregulasi emosi karena individu borderline melihat dunia, termasuk dirinya sendiri, dalam dikotomi hitam-putih. Bagaimanapun juga, defense ini melindungi ego yang lemah dari kecemasan yang tidak dapat ditoleransi.

Beberapa hasil penelitian juga mendukung teori ini. Individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline menyatakan kurangnya kasih sayang dari ibu. Mereka memandang keluarga mereka tidak ekspresif secara emosional, tidak memiliki kedekatan emosional, dan sering terjadi konflik dalam keluarga. Selain itu, mereka biasanya juga mengalami kekerasan seksual dan fisik serta sering mengalami perpisahan dengan orang tua pada masa kanak-kanak.
Bagaimanapun juga, hasil-hasil penelitian tersebut masih belum dapat menyatakan secara jelas apakah pengalaman-pengalaman itu memang hanya dialami oleh mereka dengan gangguan kepribadian borderline saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline mempunyai pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan. Namun belum jelas apakah pengalaman tersebut bersifat spesifik bagi gangguan ini.

• Linehan’s Diathesis-Stress Theory
Menurut teori ini, gangguan kepribadian borderline berkembang ketika individu dengan diatesis biologis (kemungkinan genetis) di mana ia mengalami kesulitan untuk mengontrol emosi, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang salah (invalidating). Dalam teori ini, diatesis biologis disebut sebagai emotional dysregulation. Sedangkan invalidating experience adalah pengalaman di mana keinginan dan perasaan individu diabaikan dan tidak dihormati; usaha individu untuk mengkomunikasikan perasaannya tidak dipedulikan atau bahkan diberi hukuman. Salah satu contoh ekstremnya adalah kekerasan pada anak, baik secara seksual maupun nonseksual.
Dengan kata lain, emotional dysregulation saling berinteraksi dengan invalidate experience anak yang sedang berkembang. Hal itulah yang kemudian memicu perkembangan kepribadian borderline.

Histrionic Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Histrionik)
Gangguan kepribadian histrionik sebelumnya dikenal disebut kepribadian histerikal, ditegakkan bagi orang-orang yang selalu dramatis dan mencari perhatian. Mereka sering kali menggunakan ciri-ciri penampilan fisik yang dapat menarik perhatian orang kepada dirinya, misalnya pakaian yang mencolok, tata rias, atau warna rambut. Mereka berpusat pada diri sendiri, terlalu mempedulikan daya tarik fisik mereka, dan merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian. Mereka dapat sangat provokatif dan tidak senonoh secara seksual tanpa mempedulikan kepantasan serta mudah dipengaruhi orang lain.
Diagnosis ini memiliki prevelensi sekitar 2 persen dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Gangguan kepribadian histrionik lebih banyak terjadi pada mereka yang mengalami perpisahan atau perceraian, dan hal ini diasosiasikan dengan depresi dan kesehatan fisik yang buruk. Gangguan ini sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline.

Etiologi Gangguan Kepribadian Histrionik
Gangguan ini dijelaskan berdasarkan pendekatan psikoanalisa. Perilaku emosional dan ketidaksenonohan secara seksual didorong oleh ketidaksenonohan orang tua, terutama ayah terhadap anak perempuannya. Kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian dipandang sebagai cara untuk mempertahankan diri dari perasaan yang sebenarnya yaitu self-esteem yang rendah.

Narcissistic Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Narsistik)
Individu dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa dirinya spesial dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh sebab itu, mereka sulit menerima kritik dari orang lain. Hubungan interpersonal mereka terhambat karena kurangnya empati, perasaan iri, dan arogansi, dan memanfaatkan/menghendaki orang lain melakukan sesuatu yang istimewa untuk mereka tanpa perlu dibalas. Individu pada gangguan ini sangat sensitif terhadap kritik dan takut akan kegagalan. Terkadang mereka mencari sosok lain yang dapat mengidealkan karena mereka kecewa terhadap diri sendiri, tetapi mereka biasanya tidak mengizinkan siapa pun untuk benar-benar berhubungan dekat dengan mereka.

Hubungan personal mereka sedikit dan dangkal; ketika orang lain menjatuhkan harapan mereka yang tidak realistis, mereka akan marah dan menolak. Prevelensi gangguan ini kurang dari 1 persen.

Etiologi Gangguan Kepribadian Narsistik
Penyebab gangguan kepribadian narsistik dapat dipandang dari segi psikoanalisa. Orang yang mengalami gangguan ini dari luar tampak memiliki perasaan yang luar biasa akan pentingnya dirinya. Namun dipandang dari psikoanalisa, karakteristik tersbut merupakan topeng bagi self-esteem yang rapuh.
Menurut Heinz Kohut, self muncul pada awal kehidupan sebagai struktur bipolar dengan immature grandiosity pada satu sisi dan overidealisasi yang bersifat dependen di sisi lain. Kegagalan mengembangkan self-esteem yang sehat terjadi bila orang tua tidak merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan oleh anak-anaknya. Dengan demikian, anak tidak bernilai bagi harga diri mereka sendiri, tetapi bernilai sebagai alat untuk meningkatkan self-esteem orang tua.

Antisocial Personality Disorder and Psychopathy (Gangguan Kepribadian Antisosial dan Psikopati)
Orang dewasa yang mengalami gangguan antisosial menunjukkan perilaku tidak bertanggung jawab dan antisosial dengan bekerja secara tidak konsisten, melanggar hukum, mudah tersinggung, agresif secara fisik, tidak mau membayar hutang, sembrono, ceroboh, dan sebagainya. Mereka impulsif dan tidak mampu membuat rencana ke depan. Mereka sedikit atau bahkan tidak merasa menyesal atas berbagai tindakan buruk yang mereka lakukan. Gangguan ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dan lebih banyak terjadi di kalangan anak muda daripada dewasa yang lebih tua. Gangguan ini lebih umum terjadi pada orang dengan status sosioekonomi rendah.
Sementara itu, salah satu karakteristik psychopathy adalah kemiskinan emosi, baik positif maupun negatif. Orang-orang psychopathy tidak memiliki rasa malu, bahkan perasaan mereka yang tampak positif terhadap orang lain hanyalah sebuah kepura-puraan. Penampilan psikopat menawan dan memanipulasi orang lain untuk memperoleh keuntungan pribadi. Kadar kecemasan yang rendah membuat psikopat tidak mungkin belajar dari kesalahannya. Kurangnya emosi positif mendorong mereka berperilaku secara tidak bertanggung jawab dan berperilaku kejam terhadap orang lain.

Etiologi Gangguan Kepribadian Antisosial dan Psychopathy
Penyebab gangguan ini berkaitan dengan peran keluarga. Kurangnya afeksi dan penolakan berat orang tua merupakan penyebab utama perilaku psychopathy. Selain itu, juga disebabkan oleh tidak konsistennya orang tua dalam mendisiplinkan anak dan dalam mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain. Orang tua yang sering melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya dapat menyebabkan gangguan ini. Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh kehilangan orang tua. Di samping itu, ayah dari penderita psikopat kemungkinan memiliki perilaku antisosial. Faktor lingkungan di sekitar individu yang buruk juga dapat menyebabkan gangguan ini.

KELOMPOK C (ANXIOUS/FEARFUL CLUSTER)
Seperti yang telah disebutkan, kelompok ini terbagi menjadi tiga gangguan kepribadian, yaitu:
• Avoidant personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang memiliki ketakutan dalam situasi sosial.
• Dependent personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang kurang percaya diri dan sangat bergantung pada orang lain.
• Obsessive-compulsive personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang mempunyai gaya hidup yang perfeksionis.
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih rinci tentang ketiga gangguan kepribadian tersebut.

Avoidant Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Menghindar)
Individu dengan gangguan ini adalah individu yang memiliki ketakutan yang besar akan kemungkinan adanya kritik, penolakan atau ketidaksetujuan, sehingga merasa enggan untuk menjalin hubungan, kecuali ia yakin bahwa ia akan diterima.

Individu tersebut bahkan terkadang menghindari pekerjaan yang banyak memerlukan kontak interpersonal. Dalam situasi sosial, ia sangat mengendalikan diri (kaku) karena sangat amat takut mengatakan sesuatu yang bodoh atau dipermalukan atau tanda-tanda lain dari kecemasan. Ia merasa yakin bahwa dirinya tidak kompeten dan inferior, serta tidak berani mengambil risiko atau mencoba hal-hal baru.

Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria dari avoidant personality disorder adalah sebagai berikut:
• Penghindaran terhadap kontak interpersonal karena takut kritik dan penolakan.
• Ketidakmampuan untuk terlibat dengan orang lain kecuali ia merasa yakin akan disukai atau diterima.
• Kekakuan dalam hubungan yang intim karena takut dipermalukan atau dicemooh.
• Perhatian yang berlebihan terhadap kritik atau penolakan.
• Perasaan tidak mampu.
• Perasaan inferior.
• Keengganan yang ekstrem untuk mencoba hal-hal baru karena takut dipermalukan.

Prevalensi dari gangguan ini sekitar 5 persen dan sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian dependen dan borderline. Avoidant personality disorder juga sering bercampur dengan diagnosis Axis I depresi dan generalized social phobia. Gangguan ini memiliki gejala yang serupa dengan generalized social phobia, tetapi gangguan ini sebenarnya merupakan jenis generalized social phobia yang lebih kronik.

Baik avoidant personality disorder atau social phobia berhubungan dengan gejala yang muncul di Jepang, yang disebut dengan taijin kyoufu. ”Taijin” berarti interpersonal dan ”kyoufu” berarti takut. Seperti pada avoidant personality disorder dan social phobia, individu yang mengalami taijin kyoufu sangat sensitif dan menghindari kontak interpersonal. Namun, hal yang ditakuti berbeda dengan hal-hal yang umumnya ditakuti pada diagnosis DSM. Individu dengan taijin kyoufu cenderung cemas atau malu tentang bagaimana ia mempengaruhi atau tampak di depan orang lain, misalnya takut bahwa mereka tampak jelek atau bau.

Dependent Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Dependen)
Ciri utama dari gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya rasa percaya diri dan otonomi. Individu dengan gangguan kepribadian ini memandang dirinya lemah dan orang lain lebih kuat. Ia juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk diperhatikan atau dijaga oleh orang lain yang sering kali menyebabkan munculnya perasaan tidak nyaman ketika sendirian. Ia mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk meyakinkan bahwa ia tidak merusak hubungan yang telah terjalin dengan orang lain. Ketika hubungan dekat berakhir, individu yang mengalami gangguan ini segera berusaha menjalin hubungan lain untuk menggantikan hubungan yang telah berakhir tersebut.

Kriteria dalam DSM pada umumnya mendeskripsikan individu yang mengalami gangguan kepribadian dependen sebagai orang yang sangat pasif, misalnya memiliki kesulitan dalam memulai sesuatu atau mengerjakan sesuatu sendiri, tidak mampu menolak, dan meminta orang lain mengambil keputusan untuk dirinya. Bagaimanapun juga, penelitian mengindikasikan bahwa sifat-sifat pasif tersebut tidak mencegah individu melakukan hal-hal penting untuk menjaga hubungan dekat, misalnya menjadi sangat penurut dan pasif, tetapi dapat juga mengambil langkah aktif untuk menjaga hubungan.

Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria gangguan kepribadian dependen yaitu sebagai berikut:
• Kesulitan dalam mengambil keputusan tanpa nasihat dan dukungan yang berlebihan dari orang lain.
• Kebutuhan terhadap orang lain untuk memikul tanggung jawab dalam hidupnya.
• Kesulitan dalam mengatakan atau melakukan penolakan terhadap orang lain karena takut kehilangan dukungan dari orang lain.
• Kesulitan dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu sendiri karena kurang percaya diri.
• Melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan baginya sebagai cara untuk memperoleh penerimaan dan dukungan dari orang lain.
• Perasaan tidak berdaya ketika sendiri karena kurang percaya pada kemampuan diri dalam menyelesaikan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
• Segera mencari hubungan baru ketika hubungan yang sedang terjalin telah berakhir.
• Sangat ketakutan untuk mengurus atau menjaga diri sendiri.

Prevalensi dari gangguan ini adalah sekitar 1,5 persen, lebih banyak ditemukan di India dan Jepang. Hal itu kemungkinan dikarenakan lingkungan di kedua negara tersebut yang memicu perilaku dependen. Gangguan kepribadian ini muncul lebih banyak pada wanita daripada pria, kemungkinan karena perbedaan pengalaman sosialisasi pada masa kanak-kanak antara wanita dan pria. Gangguan kepribadian dependen sering kali muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline, skizoid, histrionik, skizotipal, dan avoidant, sama seperti diagnosis Axis I gangguan bipolar, depresi, gangguan kecemasan, dan bulimia.

Obsessive-Compulsive Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif)
Individu dengan obsessive-compulsive personality bersifat perfeksionis, sangat memperhatikan detail, aturan, jadwal, dan sebagainya. Individu yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif sangat memperhatikan detail sehingga kadang ia tidak dapat menyelesaikan hal yang dikerjakannya. Ia lebih berorientasi pada pekerjaan daripada bersantai-santai dan sangat sulit mengambil keputusan karena takut membuat kesalahan. Selain itu, ia juga sangat sulit mengalokasikan waktu karena terlalu memfokuskan diri pada hal-hal yang tidak seharusnya. Biasanya ia memiliki hubungan interpersonal yang kurang baik karena keras kepala dan meminta segala sesuatu dilakukan sesuai dengan keinginannya. Istilah yang umum digunakan sebagai julukan bagi individu seperti itu adalah “control freak”. Individu dengan gangguan kepribadian ini pada umumnya bersifat serius, kaku, formal dan tidak fleksibel, terutama berkaitan dengan isu-isu moral. Ia tidak mampu membuang objek yang tidak berguna, walaupun objek tersebut tidak bernilai. Di samping itu, ia juga pelit atau kikir.

Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria dependent personality disorder yaitu sebagai berikut:
• Sangat perhatian terhadap aturan dan detail secara berlebihan sehingga poin penting dari aktivitas hilang.
• Perfeksionisme yang ekstrem pada tingkat di mana pekerjaan jarang terselesaikan.
• Ketaatan yang berlebihan terhadap pekerjaan sehingga mengesampingkan waktu senggang dan persahabatan.
• Kekakuan dalam hal moral.
• Kesulitan dalam membuang barang-barang yang tidak berguna.
• Tidak ingin mendelegasikan pekerjaan kecuali orang lain megacu pada satu standar yang sama dengannya.
• Kikir atau pelit.
• Kaku dan keras kepala.

Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif agak berbeda dengan gangguan obsesif kompulsif. Pada gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, tidak terdapat obsesi dan kompulsi seperti pada gangguan obsesif-kompulsif. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif paling sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian avoidant dan memiliki prevalensi sekitar 2 persen.

Etiologi Kelompok C
Tidak banyak data yang menjelaskan penyebab dari gangguan kepribadian kelompok anxoius/fearful. Salah satu penyebab yang memungkinkan adalah hubungan antara orang tua dan anak. Sebagai contoh, gangguan kepribadian dependen disebabkan oleh pola asuh yang overprotektif dan authoritarian, sehingga menghambat berkembangnya self-efficacy.

Di samping itu, gangguan kepribadian dependen juga dapat disebabkan oleh masalah attachment. Pada masa kanak-kanak, anak mengembangkan attachment terhadap orang dewasa dan menggunakan orang dewasa tersebut sebagai dasar yang aman untuk mengeksplorasi dan mengejar tujuan lain. Perpisahan dari orang dewasa dapat menimbulkan kemarahan dan distress. Seiring dengan proses perkembangan, anak tersebut kemudian menjadi tidak terlalu dependen pada figur attachment. Pada attachment yang tidak normal, perilaku yang dapat dilihat pada individu yang mengalami gangguan kepribadian dependen merefleksikan kegagalan dalam proses perkembangan yang biasanya, yang muncul dari gangguan pada hubungan awal antara orang tua dan anak yang disebabkan oleh kematian, pengabaian, penolakan, atau pengasuhan yang overprotektif.

Individu yang mengalami gangguan ini menggunakan berbagai cara untuk menjaga hubungan dengan orang tua atau orang lain, misalnya dengan selalu menuruti mereka.
Sedangkan gangguan kepribadian avoidant kemungkinan merefleksikan pengaruh lingkungan, di mana anak diajarkan untuk takut pada orang dan situasi yang pada umumnya dianggap tidak berbahaya. Misalnya ayah atau ibu memiliki ketakutan yang sama, yang kemudian diturunkan pada anak melalui modeling. Kenyataan bahwa gangguan ini terjadi di keluarga, dapat mengindikasikan adanya peran faktor genetik.

Freud berpendapat bahwa obsessive-compulsive personality traits disebabkan oleh fiksasi pada tahap awal dari perkembangan psikoseksual. Sedangkan teori psikodinamik kontemporer menjelaskan bahwa gangguan kepribadian obsesif-kompulsif disebabkan oleh ketakutan akan hilangnya kontrol yang diatasi dengan overkompensasi. Sebagai contoh, seorang pria workaholic yang kompulsif kemungkinan takut bahwa hidupnya akan hancur jika ia bersantai-santai dan bersenang-senang.

TERAPI UNTUK GANGGUAN KEPRIBADIAN
Terapi psikodinamik bertujuan untuk mengubah pandangan individu saat ini tentang masalah-masalah pada masa kanak-kanak yang diasumsikan menjadi penyebab dari gangguan kepribadian, misalnya terapis membimbing individu yang mengalami gangguan kepribadian obsesif-kompulsif pada kenyataan bahwa pencarian kasih sayang dari orang tua pada masa kanak-kanak dengan cara menjadi sempurna tidak perlu dilakukan pada masa dewasa. Ia tidak harus menjadi sempurna untuk memperoleh penerimaan dari orang lain, sehingga ia berani mengambil risiko dan membuat kesalahan.

Terapis behavioral dan kognitif lebih menekankan perhatian pada faktor situasi daripada sifat. Terapis behavioral dan kognitif cenderung menganalisa masalah individu yang merefleksikan gangguan kepribadian. Sebagai contoh, individu yang didiagnosa memiliki kepribadian paranoid atau avoidant bersifat sangat sensitif terhadap kritik. Sensitivitas tersebut dapat dikurangi dengan behavioral rehearsal (social skills training), systematic desentizitation, atau rational-emotive behavior therapy. Contoh lain dapat dilihat pada individu dengan kepribadian paranoid yang bersifat hostile dan argumentatif ketika menyatakan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap orang lain.

Dalam hal ini, terapis behavior dapat membantu individu paranoid belajar untuk mengutarakan ketidaksetujuan dalam cara yang lebih baik. Bagi mereka dengan kepribadian avoidant, social-skills training dalam suatu kelompok dapat membantu mereka untuk lebih asertif terhadap orang lain.

Pada terapi kognitif, gangguan dianalisa dalam hubungannya dengan logical errors dan dysfunctional schemata. Misalnya, pada terapi kognitif bagi individu yang mengalami gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, pertama-tama dibantu untuk menerima konsep bahwa perasaan dan tingkah laku merupakan fungsi dari pikiran. Kesalahan berpikir (errors in logic) kemudian dieksplorasi, misalnya saat individu menyimpulkan bahwa ia tidak mampu melakukan semua hal dengan benar hanya karena kegagalan dalam satu hal saja (melakukan overgeneralisasi). Selain itu, terapis juga mencari asumsi atau skema dysfunctional yang mungkin mendasari pikiran dan perasaan individu tersebut, misalnya keyakinan individu bahwa setiap keputusan harus selalu benar.

Terapi Untuk Kepribadian Ambang (Borderline Personality)
Pada individu dengan kepribadian borderline, rasa percaya sulit diciptakan dan dijaga, sehingga mempengaruhi huubungan terapeutik. Individu cenderung mengidealkan dan menjelek-jelekkan terapis, meminta perhatian khusus pada satu waktu, memohon pengertian dan dukungan, tetapi tidak mau membahas topik-topik tertentu. Apabila tingkah laku individu sudah tidak dapat dikendalikan atau ketika ancaman bunuh diri tidak dapat diatasi lagi, maka sering kali individu tersebut perlu dirawat di rumah sakit.

Pada farmakoterapi bagi individu berkepribadian borderline, diberikan beberapa macam obat. Umumnya obat-obatan yang diberikan tersebut merupakan antidepresan dan antipsikotik. Berikut ini terdapat dua jenis terapi bagi individu yang berkepribadian borderline.

• Object-Relations Psychoterapy
Terapi yang dilakukan bertujuan untuk memperkuat ego yang lemah, sehingga individu tidak lagi melakukan dikotomi. Selain itu, individu juga diberi saran konkret untuk bertingkah laku adaptif dan merawat individu di rumah sakit jika tingkah lakunya membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

• Dialectical Behavior Therapy (DBT)
DBT merupakan pendekatan yang mengkombinasikan client-centered empathy dan penerimaan dengan menyelesaikan masalah secara kognitif-behavioral dan social-skills training. DBT mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:
1. Mengajari individu untuk mengatur dan mengendalikan tingkah laku dan emosi yang ekstrem.
2. Mengajari individu untuk menoleransi perasaan distress.
3. Mengajari individu belajar untuk mempercayai pikiran dan emosinya sendiri.

Istilah ”dialectic” mengacu pada sikap yang berlawanan, yaitu di mana terapis harus menerima individu borderline apa adanya sekaligus membantu individu tersebut untuk berubah. Istilah ”dialectic” juga mengacu pada kenyataan bahwa individu borderline tidak perlu membagi dunia secara dikotomi, tetapi dapat mencapai suatu sintetsis. Dengan kata lain, salah satu tujuan DBT adalah mengajari individu untuk memandang dunia secara dialektik, suatu pemahaman bahwa hidup terus berubah dan suatu hal tidak semuanya buruk atau semuanya baik.

Sedangkan aspek kognitif-behavioral dari DBT, baik yang dilakukan secara individual atau dalam kelompok, terdiri dari membantu individu belajar menyelesaikan masalah, membantu untuk memperoleh penyelesaian masalah yang lebih efektif dan dapat diterima secara sosial dan mengendalikan emosi, meningkatkan kemampuan interpersonal, dan mengendalikan amarah dan kecemasan.

Terapi Untuk Psychopathy
Kebanyakan ahli menyatakan bahwa membantu individu dengan kepribadian psychopathy untuk berubah merupakan hal yang sia-sia. Hal tersebut dikarenakan individu tidak dapat dan tidak termotivasi untuk membina hubungan yang jujur dan menumbuhkan kepercayaan pada terapis. Namun, pendapat tersebut ternyata tidak sesuai dengan hasil-hasil penelitian tentang psikopat.

Hasil penelitian membuktikan bahwa psikoterapi psikoanalitik sangat membantu dalam beberapa hal, seperti hubungan interpersonal yang lebih baik, peningkatan kapasitas dalam perasaan menyesal dan empati, mengurangi kebiasaan berbohong, terbebas dari masa percobaan, dan bertahan pada satu pekerjaan. Efek yang serupa juga dapat dilihat pada beberapa penelitian yang menggunakan teknik kognitif-behavioral. Semakin muda individu, maka semakin baik efek yang dihasilkan dari terapi.

Banyak penderita psychopathy yang dipenjara karena melakukan tindak kriminal. Namun sayangnya, sesuai dengan pendapat para kriminolog, sistem yang diterapkan di penjara lebih menyerupai sekolah kriminal daripada tempat di mana para psychopath dan pelaku tindak kriminal direhabilitasi. Bagaimanapun juga, terdapat bukti bahwa psikopat biasanya mulai hidup lebih baik di usia dewasa madya (40-an). Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan biologis, insight terhadap self-defeating (mengalahkan diri sendiri), atau merasa lelah dan tidak dapat melanjutkan hidup yang penuh dengan tipuan, bahkan kekerasan.


Sumber:
Davidson, Gerald C., John M. Neale, & Ann M. Kring. (2004). Abnormal Psychology (9th edition). US: John Wiley & Sons, Inc.

VJ#33/VI/2008 : Gangguan Identitas Gender


Beberapa waktu belakangan yang lalu, saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman dengan tema "seorang pria yang hidup di raga yang salah". Diskusi ini berawal dari perbincangan mengenai salah satu tugas kuliah seorang teman yang "kebetulan" mengangkat topik homoseksual.  

Dari topik tersebut, perbincangan berkembang menjadi pembahasan yang telah disebutkan di atas. Maksud dari ungkapan yang diberikan tanda petik tentu tidak perlu lagi saya jelaskan. Tentu kita seringkali melihat (apalagi di jaman sekarang) bahwa ada orang-orang yang dilahirkan sebagai pria, ditandai dengan alat kelamin dan hormon2 yang mengikutinya, namun bertingkah laku dan bersifat layaknya seorang  perempuan. Hal tersebut dapat dilihat hal2 yang kasat mata sampai yang tidak, misal dari cara berpakaian, cara berbicara, teman2 sepermainan, atau orientasi seksual.

Bagi sebagian dari kita (apalagi di budaya timur) fenomena demikian masih dianggap sebagai hal yang aneh, anomali, devian, atau apapun istilah yang menerangkan kata "tidak wajar". Memang sah-sah saja apabila orang menganggap demikian. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita ingat, bahwasanya kita tidak bisa (atau tidak boleh) lalu semena-mena menyalahkan orang-orang tersebut, karena pada dasarnya mereka juga mungkin tidak mau menjadi seperti mereka saat ini.

Cobalah berempati terhadap mereka. Bayangkan bahwa anda adalah seorang perempuan, menyukai segala hal yang berhubungan dengan kecantikan, kebersihan atau kelembutan, senang sekali untuk berbelanja, ingin selalu bergosip dengan teman2 "gank" anda,serta menyukai barang-barang yang lucu, terutama tas dan sepatu.

Namun, Saat anda terbangun di pagi hari (setiap hari), saat menuju kamar mandi lalu melepaskan segala pakaian yang melekat di tubuh anda, anda dengan mudah menemukan sebuah penis tergantung di selangkangan anda, kumis yang tumbuh dengan kasar karena belum dicukur, jakun di leher anda, dan bulu dada yang tumbuh dengan cukup lebat.

Apa yang anda rasakan??

Apa yang sebenarnya terjadi?

Gangguan Identitas Gender
Identitas gender, atau kesadaran terhadap diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan, telah tertanam sejak dini. Mayoritas orang tetap mengetahui dengan pasti akan gendernya pada situasi apapun. Identitas gender berbeda dengan orientasi seksual, yaitu preferensi kita dalam memilih partner seks. Misalnya, seorang laki-laki dapat tertarik pada laki-laki lain (orietasi seksual) tanpa meyakini bahwa dirinya adalah perempuan (identitas gender).

I. Karakteristik
Orang dengan gangguan identitas gender, atau biasa disebut transeksual, merasa bahwa dirinya adalah anggota jenis kelamin yang berlawanan. Orang dengan gangguan identitas gender tidak menyukai pakaian ataupun aktivitas yang biasa dilakukan orang dengan jenis kelaminnya, dan sering memilih untuk melakukan cross-dressing. Transeksual pada umunya mengalami kecemasan atau depresi, yang kemungkinan berkaitan dengan perlakuan negatif yang didapat dari masyarakat.
Gangguan identitas gender biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, dan dapat terdeteksi oleh orang tua sejak usia 2 hingga 4 tahun (Green & Blanchard, 1995). Gangguan identitas gender lebih banyak terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan 6:1 (Zucker, Bradley, & Sanikhani, 1997).

II. Penyebab
Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.
Faktor lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.

III. Terapi

Body Alterations
Pada terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untukmengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association, 1998). Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin.
Keuntungan operasi perubaha mengn kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang bisa didapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat keuntungan lain seperti kepuasan seksual yan lebih tinggi.

Pengubahan Identitas Gender
Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender dianggp mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender.