Saturday, January 5, 2008

VJ#19/I/2008 : Analisis Kepribadian diri Sendiri dengan Existential Psychology

Saya adalah seseorang yang dapat dikategorikan sebagai seorang yang memiliki tindakan atau tingkah laku yang tidak konsisten, melainkan lebih dikendalikan oleh bagaimana situasi dan kondisi mood saya di saat melakukan tindakan tersebut. Menurut Boss (dalam Hall&Lindsey, 1985) mood adalah bagian penting dari existential, yang menunjukkan derajat keterbukaan kita terhadap dunia dan dalam mempersepsikan atau berespon terhadap suatu hal. Keterbukaan tersebutlah yang dapat menunjukkan fenomena yang berbeda dari waktu ke waktu. Misalnya, apabila seseorang merasa cemas, maka ia akan lebih terbiasa dengan keadaan yang penuh ancaman atau bahaya, dan apabila ia merasa bahagia, maka ia lebih terbiasa dengan keadaan yang menyenangkan (Boss, dalam Hall&Lindsey, 1985).

Memahami teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa saya adalah seseorang yang “moody”. Suatu ketika, apabila suasana hati saya sedang baik atau sedang dalam mood yang menyenangkan, maka segala hal tampak menyenangkan di mata saya. Sehingga segala hal yang merupakan kewajiban saya, seperti berkuliah, merapikan kamar, dan lain-lain, dapat saya kerjakan dengan baik dan tidak ditunda-tunda. Akan tetapi, apabila saya sedang dalam kondisi mood yang kurang baik, maka hal-hal yang seharusnya menyenangkan, akan tampak menyebalkan di mata saya. Hal tersebut akhirnya berpengaruh terhadap kinerja saya dalam segala hal, misalnya menunda-nunda dalam mengerjakan tugas, mengerjakan tugas dengan kurang serius, tidak dapat berpikir jernih, dan mudah marah. Banyak faktor yang menjadi penyebab dari buruknya mood, seperti faktor kelelahan, lapar, atau terlalu banyak masalah yang belum terselesaikan.

BEING-IN-THE-WORLD

Keberadaan seorang manusia di dunia tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut sesuai dengan konsep yang diberikan oleh Heidegger (dalam Hall&Lindsey, 1985), yang ia sebut Dasein, yaitu keseluruhan dari keberadaan manusia di dunia. Dasein, yang juga dikenal dengan istilah being-in-the-world dan merupakan konsep dasar dari psikologi eksistensi, bukanlah atribut atau bagian dari seseorang, melainkan keseluruhan dari keberadaan orang tersebut (Hall&Lindsey, 1985). Being-in-the-world menyatakan bahwa seorang individu dan lingkungannya adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Selain itu being-in-the-world juga menjelaskan cara atau tingkah laku seseorang dalam tetap “berada” di dunia, dengan menggunakan tiga world-regions, yaitu umwelt, mitwelt, dan eigenwelt.

Sebagai seorang manusia biasa, yang bertumbuh dan berkembang, maka kepribadian saya juga dipengaruhi oleh tiga hal di atas, Umwelt, yaitu lingkungan sekitar, dapat tercermin dari pola asuh keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan tempat tinggal. Mitwelt adalah hubungan interpersonal seseorang dengan orang lain, sedangkan Eigenwelt adalah cara pandang kita terhadap diri sendiri baik segi psikologis (though-world), maupun segi fisik (body-world).

Oleh karena semenjak kecil saya telah diajarkan mengenai arti kebebasan yang bertanggung jawab oleh kedua orang tua yang humoris, maka saya tumbuh menjadi seseorang yang mandiri, optimis, humoris dan berani mencoba hal-hal yang baru. Hal tersebut juga tercermin dalam pergaulan saya dengan orang-orang sekitar, yaitu saya tidak membatasi dalam pergaulan, tetapi juga mengetahui batasan-batasan yang tidak boleh saya lewati. Dalam memandang diri sendiri, saya selalu berusaha melihat sebagai diri saya dengan positif, seperti cerdas, rajin, dan menyukai tantangan, sedangkan dalam memandang fisik diri, saya memiliki pandangan yang negatif, yaitu tidak pernah merasa puas dengan kondisi fisik saya yang terlalu kurus. Hal tersebut terkadang mempengaruhi kepercayaan diri saya dalam mengahadapi lingkungan.

Menurut teori yang diberikan oleh Binswanger, 1963 (dalam Hall&Lindsey, 1985), ada beberapa cara yang dapat digunakan oleh seseorang individu dalam mengekspresikan being-in-the-world, yang sebagian besar dari individu memiliki lebih dari satu cara. Dari teori tersebut, saya mengetahui bahwa saya adalah seseorang yang mengkspresikan keberadaan diri di dunia dengan menggunakan cara plural, yaitu dengan berkompetisi, berusaha, dan hubungan formal dengan orang lain. Hal tersebut terlihat pada saat saya mengikuti jenjang pendidikan dari sekolah dasar hingga perkuliahan, dimana atmosfer persaingan amat terasa, yang tidak mampu bertahan maka akan tersingkir. Oleh karena perasaan tidak mau tersingkir itulah yang membuat saya menjadi seseorang yang pantang menyerah dan menikmati kompetisi. Bagi saya, hal tersebut adalah sesuatu yang positif karena dapat membuat diri menjadi maju dan lebih baik dari yang lain. Selain plural, saya adalah seseorang yang juga mengekspresikan keberadaan dengan cara singular, yaitu menikmati kesendirian dan jauh dari keramaian. Akan tetapi, cara singular ini tidak mendominasi diri saya, melainkan hanya muncul di saat-saat tertentu.

Apabila dilihat dari pendapat Biswanger (dalam Hall&Lindsey, 1985), maka saya dapat menyebut diri saya sebagai “healthy people”, karena menurut Biswanger, healthy people adalah orang-orang yang dapat mengekpresikan aspek-aspek yang berbeda dalam dirinya pada situasi yang berbeda-beda. Saat sedang mengikuti perkuliahan, maka saya bersikap serius dan berusaha penuh untuk memusatkan perhatian pada pelajaran yang diberikan. Akan tetapi, ketika saya sedang bersama teman-teman yang mempunyai hobi serupa, yaitu bermain sepak bola, maka saya akan menunjukkan aspek dalam diri saya yang humoris, penuh canda, dan dapat menikmati suasana.

Selain dapat menunjukkan aspek yang berbeda pada situasi yang berbeda, saya juga telah dapat mengaktualisasikan, walau belum sepenuhnya, potensi-potensi yang terdapat dalam diri saya. Hal ini disebut oleh psikologi eksistensi sebagai authenticity (Hall&Lindsey, 1985). Menurut psikologi eksistensi, seseorang dapat hidup dalam authentic life hanya ketika ia telah menyadari dan mengaktualisasikan potensi-potensi yang terdapat di dalam dirinya. Sebaliknya apabila seseorang tidak mengakui kemungkinan dari keberadaan kita atau membiarkan diri dikuasai oleh lingkungan atau oleh orang lain, maka orang tersebut akan hidup dalam inauthentic existence. Seorang manusia memiliki kebebasan dalam memilih hidup mana yang akan dijalani.

Oleh karena telah menyadari dan berusaha mengaktualisasikan potensi-potensi yang saya punyai, walau belum sepenuhnya, maka dapat dikatakan bahwa saya memilih menjalani authentic life. Ketika saya menyadari bahwa saya memiliki kemampuan dalam bermain bola, maka saya bergabung dengan suatu klub sepakbola dan mengikuti berbagai pertandingan. Ketika saya menyadari bahwa saya menyukai berhubungan dengan orang banyak, maka saya bergabung dengan organisasi senat, dan ketika saya mengetahui bahwa saya memiliki bakat kepemimpinan, maka saya mencoba untuk menjadi seorang ketua dalam berbagai acara.

Potensi-potensi yang terdapat dalam sorang individu dapat diaktualisasikan dengan tetap memperhatikan batasan-batasan, atau oleh Hall&Lindsey, 1985, disebut ground of existence. Batasan-batasan tersebut antara lain adalah keterbatasan fisik dan mental seseorang, pola asuh orang tua, posisi sosial keluarga, dan lain-lain. Dalam kaitan dengan diri saya, maka batasan tersebut menjadi kenyataan ketika timbul keinginan untuk menjadi seorang atlet sepakbola. Akan tetapi, oleh karena profesi atlet sepakbola di Indonesia belum dapat membuat diri mapan secara ekonomi dan juga karena keterbatasan fisik, maka aktualisasi diri menjadi terhambat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa authentic existence harus berdasarkan pada pengenalan seseorang terhadap ground of eexistence.

Referensi : Hall, Calvin S.; Lindzey, Gardner.1985. Introduction to Theories of

Personality. John Wiley & Sons. USA.


No comments: