Tuesday, April 8, 2008

VJ#27/IV/2008 : Gangguan Seksual



Parafilia
I. Fetishism
Fetishism melibatkan ketergantungan pada obyek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Obyek yang dibutuhkan untuk memperoleh rangsangan seksual tersebut disebut fetishes,dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu, stocking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat disukai atau bahkan dibutuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual.Ketertarikan terhadap fetishes memiliki kualitas kompulsif, yaitu involuntary dan tidak dapat ditahan.
Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya, fetishisme dimulai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa yang lebih awal. Kebanyakan fetishes menampilkan pula parafilia lainnya, seperti paedofilia, sadisme, atau masokisme (Mason, 1997)


II. Transvestic Fetishism
Merupakan gangguan saat seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan, selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi seksual yang maskulin.

III. Pedofilia dan Inses
Pedofilia), adalah orang dewasa yang memperoleh kepuasan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall (1997) menunjukkan bahwa, bertentangan dengan pernyataan DSM bahwa seluruh paedofil lebih suka anak-anak prapubertas, sebagian paedofil menyerang anak-anak yang telah melewati masa puber. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pengalaman melakukan sex dengan orang dewasa.
Inses mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah pada kakak dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inses terjadi adalah patriarkal yang tidak biasa dan tradisional, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripadam laki-laki (Alexander & Lupfer, 1997). Orang tua dalam keluargasemacam ini akan cenderung menolak dan berjarak secara emosional dengan anak mereka.


IV. Voyeurism
Adalah preferensi yang nyata untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktivitas seksual dimana mereka terlibat. Sementara bagi yang lain, kegiatan ini disukai namun tidak sepenuhnya penting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger, 1997).
Orang yang mengalami gangguan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian ataupun saat membayangkan melakukannya.


V. Eksibisionisme
Merupakan preferensi mendapatkan kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genital kepada orang tidak dikenal, atau dengan membayangkan melakukan hal tersebut. Dalam sebagian besar kasus, terdapat keinginan untuk membuat terkejut atau mempermalukan orang yang melihat. Pada eksibisionis, dorongan untuk mengekspose bersifat kompulsif dan selain oleh rangsangan seksual, dipicu juga oleh kecemasan. Pada saat melakukan exposure, eksibisionis bisa tidak menyadari konsekuensi sosial dan hukum dari apa yang dilakukannya (Stevenson & Jones, 1972).
Eksibisionisme umumnya mulai muncul pada masa remaja (Murphy, 1997). Sebagian besar eksibisionis adalah laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam pendekatan kepada lawan jenis, serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal. Lebih dari separuh eksibisionis telah menikah, namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan pasangan (Mohr, Turner, & Jerry, 1964).


VI. Frotteurism
Melibatkan kegiatan menyentuh orang lain secara seksual. Biasa dilakukan di tempat-tempat ramai seperti kendaraan umum atau trotoar, seorang frotteur dapat mengusap payudara atau alat kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya sendiri kepada paha atau pantat orang tersebut.


VII. Sadisme dan Masokisme Seksual
Sadisme seksual ditandai dengan preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental. Berbeda dengan pada sadisme, obyek yang disakiti pada orang dengan masokisme seksual adalah diri sendiri.
Mayoritas orang dengan sadisme menjalin hubungan dengan masokis demi mendapatkan kepuasan seksual bersama. Pada hubungan tersebut, terdapat cerita atau ‘naskah’ yang telah disetujui bersama-sama. Misalnya, orang dengan sadisme berperan sebagai guru yang disiplin, sedangkan orang dengan masokisme berperan sebagai murid yang nakal dan perlu dihukum. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah pencambukan, pukulan, mempermalukan, dan lain-lain.
Pada beberapa kasus, seorang dengan sadisme dipenjarakan sebagai sex offender yang menyiksa korbannya, dan mendapatkan kepuasan seksual dari perbuatannya (Dietz, Hazelwood, & Warren, 1990). Dibandingkan dengan sex offenders lain, orang dengan sadisme seksual labih sering berkedok sebagai polisi, melakukan pembunuhan berseri, mengikat korban, serta menyembunyikan mayat (Gratzer & Bradford, 1995).


Etipologi Parafilia
§ Pandangan Psikodinamik
Menurut pandangan psikodinamik, parafilia pada dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan dan direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang dengan parafilia dilihat sebagai seseorang yang takut akan hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan yang tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang, terbelakang, dan tidak adekuat untuk hubungan sosial dan persetubuhan heteroseksual dengan orang dewasa (Lanyon, 1986).


§ Pandangan Behavioral dan Kognitif
Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang dianggang tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan parafilia mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu (Mason, 1997; Murphy, 1997). Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall, Serran, & Cortoni, 2000). Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya, ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia 18 tahun.
Distorsi kognitif juga memiliki peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang lain.


Terapi Parafilia
Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991):
1. Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.ikuti
2. Memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment.
3. Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresian keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan.
4. Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Garland & Dougher, 1991).
Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis, behavioral, kognitif, serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan seksual.


§ Terapi psikoanalitik
Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum mmberi kontribusi yang besar bagi penanganan parafilia secara efektif.


§ Teknik Behavioral
Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap obyek seksual yang tidak pantas, prosdur yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lai seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat bermanfaat terhadap paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes, & barlow, 1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, & Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990).
Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.


§ Penanganan Kognitif
Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang.

§ Penanganan Biologis
Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.


§ Usaha Hukum
Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan’s Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya.

VJ#26/IV/2008 : Anxiety Disorder


written by : Agatha Novi Ardiati & Seto Ery Pradhana


Anxiety Disorder
Secara harafiah, anxiety disorder dapat diartikan sebagai gangguan cemas, yaitu perasaan takut dan khawatir yang tidak menyenangkan. Apabila kecemasan dan ketakutan terjadi secara berlebihan dan mengganggu fungsi normal seorang manusia, hal itu disebut gangguan cemas (anxiety disorder).
Berdasarkan DSM-IV, gangguan cemas terbagi menjadi enam kategori utama, yaitu phobia, gangguan panik (panic disorder), generalized anxiety disorder (GAD), obsessive-compulsive disorder (OCD), post-traumatic stress disorder (PTSD), dan acute stress disorder.


I. Phobia
Phobia didefinisikan oleh psikopatolog sebagai penolakan yang mengganggu yang diperantarai oleh rasa takut yang tidak proporsional, dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu dan diakui oleh si penderita sebagai sesuatu yang tidak berdasar.
Secara umum phobia dibagi dua yaitu phobia spesifik dan phobia sosial.
1. Phobia Spesifik
Phobia spesifik adalah suatu ketakutan yang tidak beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik.
Ada lima jenis phobia spesifik berdasarkan sumber ketakutannya, yaitu (1) phobia terhadap binatang tertentu (kucing, anjing, ular), (2) phobia terhadap keadaan alam (debu, ketinggian, hujan, petir), (3) phobia terhadap situasi tertentu (berada di dalam elevator, pesawat), (4) phobia terhadap darah, luka dan suntikan, (5) phobia terhadap hal lain (kematian, penyakit, tercekik).
Phobia spesifik juga dipengaruhi oleh budaya seperti pa-leng (ketakutan terhadap dingin dan kehilangan panas tubuh) di Cina dan taijin kyoshu-fo (ketakutan akan mempermalukan seseorang) di Jepang.

2. Phobia Sosial
Individu dengan phobia sosial mengalami ketakutan yang menetap dan tidak rasional yang biasanya berhubungan dengan keberadaan orang lain. Individu dengan phobia ini memiliki ketakutan bahwa mereka diperhatikan oleh orang lain dan mereka akan melakukan hal yang memalukan. Akibatnya, mereka akan menghindari situasi-situasi yang menurut mereka potensial untuk terjadinya hal-hal tersebut.

ETIOLOGI
· PSIKOANALISA
Menurut Freud, phobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki hubungan simbolik dengannya.
· BEHAVIORAL
Penjelasan utama behavioral mengenai phobia adalah avoidance conditioning. Avoidance conditioning ini diformulasikan sebagai gabungan dari classical conditioning dan operant conditioning. Individu mempelajari bahwa sesuatu hal menakutkan karena hasil pairing stimulus netral dan dan stimulus terkondisi, lalu ia mempelajari bahwa ia dapat mengurangi rasa takut dengan menghindar dari stimulus terkondisi tersebut. Respon tersebut dipertahankan karena terbukti dapat mengurangi ketakutan atau kecemasan.
· KOGNITIF
Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan phobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat phobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang.
· BIOLOGIS
Pendekatan biologis berpendapat bahwa orang yang memiliki phobia memiliki suatu malfungsi biologis yang dapat memicu terjadinya phobia tersebut setelah terjadinya kejadian yang penuh stres. Beberapa penelitian mengenai hubungan phobia dengan sistem biologis seseorang adalah penelitian mengenai sistem saraf otonom dan faktor genetik.

TERAPI
· PSIKOANALISA
Para analis mengkombinasikan berbagai teknik yang intinya bertujuan untuk mengangkat represi dan konflik-konflik lain yang ditekan ke alam bawah sadar. Dalam asosiasi bebas, analis memperhatikan hal apa saja yang dikeluarkan oleh penderita menyangkut dengan fobia yang ia miliki. Dalam analisis mimpi, analis juga berusaha untuk menemukan sumber dari penyebab phobia.
Analis ego kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat insight dan lebih berfokus kepada usaha untuk mendorong pasien menghadapi phobia.
· BEHAVIORAL
Systematic desensitization adalah terapi behavioral utama untuk digunakan pada penderita phobia. Penderita diminta untuk membayangkan serangkaian hal yang menakutkan, dan dilatih untuk relaksasi pada tiap tahapan.
Flooding adalah teknik terapeutik di mana penderita dipaparkan dengan sumber phobia dalam intensitas penuh.
Modeling juga salah satu teknik yang digunakan dalam terapi behavioral. Dalam terapi modeling, penderita diperlihatkan objek yang ditakuti tidak benar berbahaya karena terapis dan orang lain dapat berada pada situasi yang dianggap menakutkan tersebut namun tidak terancam.
· KOGNITIF
Terapi kognitif untuk phobia dipandang dengan skeptis karena penderita mengakui bahwa ketakutan yang dialaminya memang irasional, sehingga tak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah jalan pikirnya.
Lain halnya dengan penanganan phobia sosial, terapi kognitif lebih menjanjikan. Digabungkan dengan pelatihan ketrampilan sosial, penderita dilatih untuk menilai reaksi orang lain secara lebih akurat.
· BIOLOGIS
Obat-obatan yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedative, tranquilizer, atau anxiolytic. Obat-obatan yang pada awalnya dikembangkan untuk depresi (antidepresan) menjadi populer untuk penanganan gangguan cemas termasuk fobia.

II. Gangguan Panik
· Individu dikatakan memiliki gangguan panik apabila ia seringkali mengalami serangan panik yang tidak dapat dijelaskan. Dalam serangan panik tersebut terdapat simptom-simptom fisik berupa kesulitan bernafas, jantung berdebar, mual, dada nyeri, pusing, berkeringat, gemetar dan lain-lain.
· Serangan panik terjadi dapat terjadi sekali dalam seminggu atau lebih dan berlangsung seringkali dalam hitungan menit. Serangan panik dapat bersifat bersyarat (cued panic attack) atau tidak bersyarat (uncued panic attack). Apabila kepanikan terjadi karena situasi spesifik maka serangan panik tersebut disebut bersyarat dan sebaliknya apabila serang panik terjadi dalam keadaan yang tampaknya tenang seperti ketika sedang tidur, relaksasi, bersantai maka serangan tersebut adalah serangan panik tidak bersyarat.

ETIOLOGI
· BIOLOGIS
Sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu penyakit dapat memicu individu untuk mengalami gangguan panik. Contohnya seperti sindrom penutupan katup kiri yang menyebabkan jantung seseorang berdebar, penyakit telinga bagian dalam yang memusingkan dan menakutkan bagi beberapa orang sehingga menimbulkan gangguan panik.
Pendekatan biologi lainnya menyebutkan bahwa panik disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam sistem noradregenik.
· PSIKOLOGIS
Classical conditioning dan perbedaan antara kecemasan dan panik menjadi dasar satu teori yang diajukan baru-baru ini mengenai serangan panik itu sendiri. Kecemasan akan suatu situasi memicu sensasi-sensasi fisik yang terjadi secara internal.
TERAPI
· BIOLOGIS
Beberapa obat telah menunjukkan efektifitasannya dalam menangani gangguan panik. Obat-obatan tersebut mencakup antidepresant dan benzodiazepine. Bukti efektifitas alprazolam sangat meyakinkan karena diperoleh melalui studi berskala besar dan multinasional.
· PSIKOLOGIS
Terapi dengan memberikan pemaparan seringkali berguna untuk mengurangi agorafobia. Walaupun begitu terapi tersebut tidak selalu berhasil, oleh karena itu penanganan psikologis telah berubah arah dalam beberapa tahun terakhir ini.
Suatu terapi yang dikembangkan oleh Barlow disebut PCT (panic control teraphy) memiliki tiga komponen utama:
Latihan relaksasi
Kombinasi intervensi behavioral dari Ellis dan Beck
Bagian terbaru, pemaparan dengan tanda-tanda internal yang memicu kepanikan

III. Generalized Anxiety Disorder
· Merupakan suatu bentuk anxiety terhadap hal-hal yang ditemukan sehari-hari, dan tidak terkait dengan objek atau situasi tertentu. Individu yang mengalami gangguan ini mengalami rasa takut terhadap sesuatu, tetapi ia tidak dapat menjelaskan secara lebih spesifik apa penyebab dari ketakutannya. Sehingga, GAD yang dialami individu biasanya akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan relatif tidak bisa ‘disembuhkan’ karena ketidak-jelasan sumber anxiety tersebut.
· Gangguan GAD biasanya dimulai pada pertengahan remaja, dan disebabkan oleh adanya stressful life events yang dialami individu. Gangguan ini lebih banyak diderita oleh wanita.
· Ciri-ciri yang dimiliki oleh penderita gangguan ini juga bisa ditemukan pada penderita gangguan kecemasan lain seperti mood disorder.

SIMPTOM
1. Rasa cemas dan khawatir terus-menerus, yang timbul paling tidak selama enam bulan berturut-turut, terhadap beberapa kejadian atau kegiatan
2. Individu merasa kesulitan untuk mengendalikan kekhawatirannya
3. Rasa cemas dan khawatir biasanya diasosiasikan dengan tiga (atau lebih) dari enam simptom di bawah ini, selama minimal enam bulan berturut-turut:
- Restlessness or feeling keyed up or on edge
- Mudah lelah
- Mudah marah
- Muscle tension
- Tidur terganggu
- Sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong
4. Rasa cemas, khawatir, atau simptom fisik lainnya menyebabkan distres dan kurang berfungsinya kehidupan sosial, pekerjaan, dan hal-hal lain seputar kehidupan individu

ETIOLOGI
· PSIKOANALISA
GAD merupakan akibat dari terjadinya konflik antara ego dan dorongan id. Di satu sisi, individu memiliki dorongan-dorongan dasar (seksual atau agresi) yang menuntut untuk dipuaskan, sementara ego yang ia miliki melarangnya untuk mengekspresikan pemuasan dorongan tersebut. Karena penyebabnya merupakan sesuatu yang tidak disadari, maka kecemasan yang dirasakan individu tidak akan dapat dijelaskan apa penyebabnya.
Dengan demikian, menjadi tidak mungkin bagi individu untuk menghilangkan atau menghindari rasa cemasnya. Ia akan terus merasa cemas karena konflik tersebut akan selalu terjadi. Individu tidak akan dapat menghilangkan dorongan-dorongan yang dimiliki, karena dorongan itulah yang membuatnya tetap hidup.
· COGNITIVE-BEHAVIORAL
Kecemasan yang dialami berkaitan dengan lingkungan sekitar individu. Lingkungan yang dianggap masih berada dalam kendalinya akan mengakibatkan rasa cemas yang relatif lebih rendah, karena lingkungan yang demikian memungkinkan individu untuk memprediksi perilaku seperti apa yang harus dimunculkan. Semakin individu merasa tidak dapat mengendalikan lingkungannya, maka rasa cemas itu pun akan semakin meningkat.
Karena dapat atau tidaknya suatu lingkungan itu dikendalikan dan diprediksi apa yang akan terjadi berikutnya merupakan bentuk persepsi individu, maka sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam mempersepsikan lingkungan tersebut. Situasi yang sebenarnya biasa terjadi dalam keseharian individu sangat mungkin dipersepsikan sebagai situasi yang berada di luar kendali atau bahkan mengancamnya. Dengan demikian, ia tidak akan dapat terlepas dari rasa cemasnya karena kekeliruan persepsinya, dan pada akhirnya individu akan terus disibukkan untuk menemukan antisipasi dari situasi yang dipersepsikan sebagai ancaman tersebut.

TERAPI
· PSIKOANALISA
Karena GAD merupakan hasil dari konflik yang ditekan (repressed), maka terapi yang dilakukan bertujuan untuk melawan penyebab utama dari konflik tersebut.
· COGNITIVE-BEHAVIORAL
Pendekatan pada terapi ini bisa bermacam-macam. Jika individu sudah dapat memberikan sedikit gambaran mengenai penyebab dari rasa cemas yang dirasakannya, terapi pun akan lebih mudah untuk diberikan, misalnya dengan systematic desensitization pada penderita yang memiliki kekhawatiran akan dikritik oleh orang lain sementara sebagian besar pekerjaannya mengharuskannya berinteraksi dengan orang lain.
Namun, karena sebagian besar penderita GAD merasa kesulitan untuk menemukan penyebab dari rasa cemasnya, terapi yang diberikan pun cenderung bersifat general, misalnya dengan intensive relaxation training, mengembangkan kemampuan spesifik, maupun blow-up technique.
Melalui intensive relaxation training, penderita dilatih untuk bersikap lebih santai ketika menghadapi situasi yang membuatnya cemas.
Jika penderita merasa tidak dapat berbuat apa-apa (helplessness) atas situasi tersebut, ia akan dilatih untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan spesifik yang pada akhirnya memang membuat penderita mampu mengatasi situasi tersebut. Latihan ini dilakukan melalui instruksi verbal, modeling, operant shaping, atau gabungan dari ketiganya.
Sedangkan melalui blow-up technique, penderita akan diminta untuk membayangkan situasi terburuk yang paling tidak diinginkannya, yang mungkin muncul berdasarkan situasi yang membuatnya merasa cemas. Setelah itu, ia akan diminta untuk menyebutkan kemungkinan lain yang juga mungkin terjadi, dan tidak seburuk apa yang dipikirkannya. Pada situasi ini, penderita akan disadarkan bahwa rasa cemasnya itu bisa diatasi, dan dengan membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi, diharapkan ia lebih mampu mengatasi jika kekhawatirannya itu memang terjadi.
· MEDICAL
Karena penderita GAD masih menunjukkan gejala kecemasan sekalipun sudah menjalani cognitive-behavioral therapy, pihak kedokteran pun mencoba menjalankan terapi tersebut dan menggabungkannya dengan penggunaan benzodiazepine seperti valium dan xanax.
Namun sangat disayangkan karena obat-obat tersebut juga memberikan efek samping yang tidak diinginkan, seperti drowsiness, hilang ingatan, dan depresi akibat adiksi terhadap obat tersebut. Sementara jika penggunaan obat dihentikan, hasil dari terapi yang sudah dijalankan, akan hilang begitu saja. Hal ini terjadi karena penderita telah mengatribusikan hasil terapi tersebut merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh pihak lain, dan bukan dirinya. Sehingga jika pihak luar tersebut tidak lagi terlibat dalam terapi, maka terapi tersebut tidak akan berhasil baginya.


IV. Obsessive-Compulsive Disorder
· OBSESI adalah pikiran, dorongan, dan gambaran yang muncul secara berulang di dalam kepala individu, di mana hal tersebut tidak rasional dan ia juga tidak dapat mengendalikannya. Obsesi yang terjadi biasanya berkaitan dengan rasa takut terkontaminasi, rasa takut mengungkapkan dorongan seksual, atau takut karena ketidak-mampuan tubuh untuk berfungsi sebagaimana mestinya.
· Sementara KOMPULSI adalah pengulangan perilaku di mana individu merasa harus melakukan hal tersebut untuk meredakan pikiran obsesifnya, namun perilaku ini tidak selalu berkaitan secara langsung untuk meredakan pikiran tersebut. Individu merasa harus memunculkan suatu perilaku lebih karena ketakutannya menghadapi konsekuensi yang mungkin terjadi jika perilaku tersebut tidak dilakukan, sehingga sekalipun ia menyadari bahwa perilaku tersebut merupakan sesuatu yang sebenarnya tidak berguna, ia tetap tidak mampu menghentikannya. Sebagai akibatnya, hubungan individu dengan orang-orang terdekatnya akan terganggu.
· Gangguan kompulsi banyak ditemukan pada individu yang merasa terasing dari pribadinya sendiri (ego dystonic). Sehingga Obsessive-Compulsive Disorder merupakan salah satu bentuk gangguan kecemasan di mana pikiran individu dipenuhi dengan ide-ide yang tidak terkontrol dan ia seperti dipaksa untuk melakukan suatu tindakan secara berulang.
· OCD lebih banyak diderita oleh wanita dan dimulai pada pertengahan usia dewasa, di mana individu mengalami stressful events seperti kehamilan, kelahiran anak, konflik perkawinan dan keluarga, atau kesulitan dalam pekerjaan.

SIMPTOM dari perilaku Kompulsi
1. Sangat mementingkan kebersihan dan keteraturan, bahkan kadang melalui ritual yang harus dilakukan setiap harinya
2. Menghindari objek-objek tertentu
3. Melakukan tindakan yang berulang, magical, dan bertujuan untuk melindungi diri
4. Checking, mengulangi suatu tindakan sampai tujuh atau delapan kali untuk memastikan bahwa perilaku tersebut memang benar-benar sudah dilakukan
5. Menunjukkan perilaku spesifik tertentu, seperti makan dengan sangat lambat

ETIOLOGI
· PSIKOANALISA
Baik obsesi maupun kompulsi merupakan hasil dari dorongan instink seksual atau agresi yang tidak dapat dikendalikan, sebagai akibat dari toilet training yang berlebihan. Simptom yang muncul pun merupakan hasil pertentangan antara id dan defense mechanism; kadangkala id berhasil mendominasi, dan kadang defense mechanism yang lebih memegang peranan.
Menurut Alfred Adler, OCD merupakan suatu bentuk incompetence, di mana pada masa kanak-kanak peran orangtua sangat mendominasi individu. Sebagai akibatnya, ia akan mengembangkan inferiority complex dan secara tidak sadar melakukan ritual-ritual tertentu agar individu lebih dapat merasa dominan terhadap sesuatu.
· COGNITIVE-BEHAVIORAL
Menurut pendekatan behavioral, perilaku kompulsi dilakukan karena kemunculan perilaku tersebut terus diikuti dengan adanya penurunan kecemasan. Dengan demikian, semakin tidak jelas kapan hal-hal penyebab kecemasan itu muncul, maka perilaku kompulsi pun akan semakin sering dimunculkan oleh individu.
Sedangkan berdasarkan pendekatan cognitive, perilaku kompulsi dapat disebabkan oleh menurunnya ingatan individu. Ketidak-mampuan untuk mengingat apa saja yang sudah dilakukannya, atau kesulitan untuk membedakan antara perilaku yang benar-benar nyata dengan perilaku yang hanya muncul di dalam pikirannya (imagery) dapat membuat individu melakukan tindakan kompulsi. Berbeda dengan individu normal yang dapat berhenti memikirkan sesuatu jika ia memang menginginkannya, individu dengan OCD tidak dapat menghentikan pikirannya sendiri dan sebagai akibatnya akan selalu merasa khawatir. Dan jika individu ini merasa lelah untuk terus memikirkan suatu hal, ia berusaha untuk menekannya (suppress) agar pikiran tersebut tidak lagi muncul di dalam kepalanya. Namun pada akhirnya, apa yang dilakukan tersebut justru membuat kecemasannya semakin meningkat.
· BIOLOGIS
Gangguan pada otak, luka pada kepala, dan tumor otak merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya OCD. PT Scan telah menunjukkan peningkatan aktivitas pada otak bagian depan, dan diduga sebagai penyebab kesulitan individu untuk menghentikan pikirannya mengenai sesuatu. Selain itu, OCD memiliki faktor genetik, sehingga biasanya muncul pada penderita yang memiliki hubungan keluarga dengan penderita OCD lainnya.

TERAPI
· PSIKOANALISA
Seperti terapi yang dilakukan pada penderita phobia dan GAD, terapi bagi penderita OCD bertujuan untuk melawan apa yang memang ditakutinya. Namun karena pikiran obsesif dan perilaku kompulsi telah melindungi ego dari konflik yang berlangsung, maka sulit untuk menemukan target dari terapi yang akan diberikan. Dengan demikian, pendekatan psikoanalisa ini pun dianggap kurang tepat untuk mengatasi penderita OCD.
· BEHAVIORAL-COGNITIVE
Melalui pendekatan Rational Emotive Behavior, penderita dilatih untuk mentolerir ketidak-pastian dan rasa cemas yang muncul akibat ketidak-mampuannya untuk memprediksi apa yang akan dihadapinya. Pendekatan ini akan menyadarkannya bahwa tidak ada hal di dunia ini yang selalu pasti dan bisa diprediksi. Selain itu, penderita akan dilatih untuk membuktikan bahwa ketakutan terhadap terjadinya sesuatu yang mengerikan.
Pendekatan behavioral yang lain dinamakan Exposure and Response Prevention (ERP), di mana penderita dibanjiri (flooding) dengan situasi yang memungkinkannya memunculkan perilaku kompulsif dan mencegahnya melakukan ritual-ritual tertentu, seperti mencuci tangan. Diasumsikan bahwa ritual semacam itu telah memberikan penguatan (reinforcing) di mana melakukan ritual tersebut akan mengurangi rasa cemas, sehingga dengan mencegah penderita melakukan ritual semacam itu diharapkan bahwa kecemasan yang dialaminya pun akan hilang.
· BIOLOGICAL
Obat-obatan yang meningkatkan serotonin, seperti SSRI dan beberapa jenis tricyclics, merupakan terapi biologis yang biasanya diberikan kepada penderita OCD. Sekalipun dapat mengatasi rasa cemas, antidepressant yang diberikan tetap menimbulkan efek samping yang tidak menguntungkan, seperti nausea, insomnia, agitation, gangguan pada fungsi seksual, dan bahkan berpengaruh pada sistem jantung dan sirkulasi darah. Sementara, penghentian penggunaan obat juga tidak dimungkinkan, karena akan mengembalikan simptom-simptom OCD yang dimiliki penderita.
Sehingga, pengobatan medis memang jarang diberikan kepada penderita OCD. Terapi ini memang menunjukkan kemajuan, namun penggunaan obat secara terus-menerus pada akhirnya akan mengancam hidup penderita.

V. Post-Traumatic Stress Disorder
· Merupakan respon ekstrem terhadap stressor tertentu, termasuk meningkatnya kecemasan, menghindari stimulus yang dapat diasosiasikan dengan trauma, dan melakukan beberapa tindakan tertentu. Respon ini muncul disebabkan oleh adanya kejadian di mana individu melihat atau mengalami secara langsung, seperti kematian, serious-injury, atau ancaman fisik terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Kejadian ini harus menimbulkan rasa takut, horror, atau perasaan tidak mampu berbuat apa-apa.
· Sebelum dapat disebut sebagai penderita PTSD, individu yang mengalami kejadian traumatis dapat terlebih dulu dikategorikan sebagai penderita Acute Stress Disorder. Jika stressor mengganggu aktivitas individu sehari-hari selama minimal satu bulan, maka bisa dikatakan bahwa individu mengalami acute stress disorder. Dan apa yang dialami individu semacam ini adalah normal.

SIMPTOM
1. Mengalami kembali kejadian traumatis.
Individu seringkali “mengulang” kembali kejadian traumatis yang pernah dialami melalui mimpi buruknya. Hal-hal yang mengingatkan individu pada kejadian tersebut juga dapat memunculkan emosi sebagaimana yang pernah dirasakannya ketika ia mengalaminya.
2. Menghindari stimulus yang berkaitan dengan kejadian traumatis atau memunculkan numbing responsiveness.
Individu berusaha untuk tidak memikirkan trauma yang dialaminya ataupun stimulus yang mungkin berkaitan dengan trauma, dan dapat dikatakan bahwa individu mengalami amnesia atas kejadian tersebut. Selain itu, individu juga akan memunculkan respon numbing, di mana ia akan mengalami penurunan minat terhadap orang lain dan ketidak-mampuan merasakan emosi positif.
3. Simptom dari peningkatan arousal.
Individu merasa sulit untuk tidur, sulit berkonsentrasi, rasa cemas yang berlebihan (hypervigilance), dan respon exaggerated. Simptom ini biasanya ada pada penderita PTSD akibat perang.
4. Simptom-simptom lain, seperti kecemasan, depresi, rasa marah, rasa bersalah, penyalahgunaan obat, masalah perkawinan, kesehatan yang memburuk, dan kesulitan dalam bekerja. Pikiran dan rencana untuk bunuh diri juga seringkali muncul, sebagaimana seringnya individu mengalami berbagai gangguan fisik seperti low back pain, sakit kepala, dan gangguan pencernaan.
Simptom-simptom di atas merupakan akibat dari PTSD yang dialami oleh individu dewasa. Sementara PTSD pada anak-anak biasanya ditandai dengan mimpi buruk mengenai monster, mulai berpikir bahwa mereka tidak akan berumur panjang, atau kehilangan kemampuan perkembangannya. PTSD yang dialami anak-anak menjadi lebih sulit karena mereka sulit mengungkapkan perasaannya.

ETIOLOGI
· RISK FACTORS
Penderita PTSD menyadari bahwa ada resiko tidak menyenangkan yang mungkin ditemui dalam hidupnya setelah kejadian traumatis yang ia alami. Misalnya, menjadi seorang wanita (karena individu adalah seorang pria) atau terpisah dari orangtua.
Simptom dissociative juga ditemukan meningkat pada penderita PTSD, seiring dengan usahanya untuk mengeluarkan ingatan akan kejadian traumatis itu dari kepalanya.
· PSIKOLOGIS
Berdasarkan pendekatan belajar (learning theorist), PTSD muncul karena classical conditioning terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa akan mengalami ketakutan ketika melintasi daerah tertentu (CS) karena pemerkosaan dialaminya di daerah itu (UCS), dan sebagai akibatnya, ia akan menghindari daerah itu, karena penghindaran tersebut dianggap berhasil menurunkan ketakutan individu terhadap munculnya CS.
Sementara itu, pendekatan cognitive-behavioral mengungkapkan bahwa individu dapat menderita PTSD karena kehilangan kendali dan tidak dapat memprediksikan apa yang akan dialaminya.
Berbeda dengan kedua pendekatan di atas, menurut pendekatan psikodinamika, kejadian traumatis yang dialami terus muncul secara berulang dalam benak individu dan sangat menyakitkan baginya. Inilah yang membuatnya berusaha menekan (suppressed atau repressed) pengalaman tersebut.
· BIOLOGIS
Trauma yang dialami telah mengaktifkan sistem nonadregenic, meningkatkan nonepinephrine, sehingga membuat pengekspresian perasaan individu terlihat berlebihan. Selain itu, peningkatan sensitivitas nonadregenic pada penderita PTSD juga meningkat.

TERAPI
Terapi sebaiknya diberikan sesaat setelah penderita mengalami kejadian traumatis dan sebelum PTSD itu sempat terbentuk, atau pada masa individu mengalami Acute Stress Disorder.
· COGNITIVE-BEHAVIORAL
Berdasarkan pendekatan ini, individu yang telah mengalami kejadian traumatis akan diajak untuk “menciptakan kembali” kejadian tersebut.
Tahap pertama yang harus dilakukan adalah meminta individu untuk menceritakan secara detil kejadian yang telah mereka alami, mendorongnya untuk bercerita mengenai apa yang dirasakan dan dipikirkan pada saat itu, dan juga mengingatkan individu bahwa situasi itu sudah berlalu sehingga diharapkan tingkat kecemasannya pun cenderung normal.
Secara garis besar, cara yang dilakukan oleh pendekatan ini adalah dengan meng-expose kejadian traumatis yang dialami individu, mengajarkannya untuk relaksasi, dan membantunya untuk berpikir dengan cara yang berbeda tentang apa yang dialaminya.
Sebelum proses terapi dilakukan, terapis harus menyadari bahwa penderita PTSD mungkin akan memunculkan berbagai reaksi seperti hilangnya rasa percaya pada orang lain, rasa takut bahwa dunia yang ia tinggali penuh dengan bahaya, dan juga salahnya cara yang digunakan untuk mengatasi stres. Sehingga, terapis harus sangat berhati-hati ketika menghadapi penderita.
Selain dari pihak terapis, individu penderita PTSD juga akan diberikan pengetahuan mengenai simptom-simptom yang biasanya muncul, seperti sulit tidur, mudah marah, depresi, merasa terasing dari teman-teman dan keluarga, dan sebagainya.

VJ#24/IV/2008 : More about Victor Frankl

Victor Frankl adalah seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa (neuro-psikiater) keturunan Yahudi yang menemukan serta mengembangkan logoterapi. Logoterapi berasal dari kata Yunani yang “logos” berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Frankl merumuskan logoterapi dengan beberapa asumsi dasar yang saling berhubungan, yaitu :



  1. Kebebasan berkehendak (freedom of will), artinya manusia memiliki kebebasan, namun tidaklah mutlak. Kebebasan ini bukanlah “kebebasan dari” melainkan “kebebasan untuk” menentukan sikap terhadap kondisi mereka.


  2. Kehendak hidup bermakna (will to meaning), artinya dengan kebebasan yang ada padanya, manusia termotivasi untuk bekerja dan berkarya serta melakukan kegiatan penting lainnya dengan tujuan agar hidupnya menjadi berharga dan dapat dihayati secara bermakna.


  3. Makna hidup (meaning of life), artinya makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidupnya.


Dalam pandangan logoterapi, makna hidup memiliki dua tingkatan, yaitu makna hidup paripurna (the ultimate meaning) dan makna hidup pribadi (the meaning of the moment). Makna hidup paripurna merupakan makna hidup yang sifatnya mutlak dan universal dan dapat dijadikan sebagai landasan dan sumber makna hidup, seperti nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan. Sumber makna hidup paripurna inilah yang seharusnya mendasari makna hidup pribadi seseorang.)

Asas-Asas Logoterapi
Logoterapi mengemukakan asas-asas yang telah teruji kebenarannya oleh penemunya sendiri, Frankl. Ada tiga asas utama logoterapi, yaitu :



  1. Hidup itu tetap memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup.

  2. Setiap manusia memiliki kebebasan- yang hampir tak terbatas- untuk menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, khususnya pekerjaan dan karya bakti yang dilakukan, serta dalam keyakinan terhadap harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman, dan cinta kasih.

  3. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara optimal tetap tak berhasil.

Sumber-Sumber Makna Hidup
Dalam kehidupan ini terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup di dalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Ketiga nilai tersebut adalah :



  • Creative Values (nilai-nilai kreatif)
    Nilai-nilai ini tercerminkan dari kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Perlu dijelaskan bahwa bekerja dan berkarya tersebut hanya merupakan sarana, namun untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup tersebut tergantung pada pribadi yang bersangkutan dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu.

  • Experiential Values (nilai-nilai penghayatan)
    Nilai-nilai ini tercermin dari keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya.

  • Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap)
    Nilai-nilai ini tercermin dari menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, kematian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya ikhtiar dilakukan secara maksimal. Perlu dijelaskan bahwa dalam hal ini yang diubah bukan keadaannya, melainkan sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan itu.

Selain tiga hal di atas, ada pula sumber-sumber hidup bermakna lain, yaitu :



  • Self Preoccupation (sibuk dengan diri sendiri), makna hidup dapat diperoleh dengan jaminan keuangan sehingga kebutuhan dasarnya dapat terpenuhi.

  • Individualism, makna hidup diperoleh melalui prestasi, aktivitas, dan waktu luang

  • Collectivism, makna hidup dapat diperoleh melalui tradisi kebudayaan dan norma-norma sosial.

  • Self Transcendence, makna hidup dapat diperoleh dengan menghayati nilai-nilai ide-ide, aktivitas keagamaan, dan menolong sesama.