tag:blogger.com,1999:blog-91547064636866851992024-03-13T13:07:43.466-07:00Verdi's JournalsArya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.comBlogger52125tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-60658166776006535652010-06-06T06:25:00.001-07:002010-06-06T06:27:36.237-07:00Visit My New Website!<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/TAuh4pVWfaI/AAAAAAAAAMo/ZcF_1PYymUg/s1600/psychology-copy1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 78px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/TAuh4pVWfaI/AAAAAAAAAMo/ZcF_1PYymUg/s320/psychology-copy1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5479651366166494626" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">UPDATE : Visit My New Website <a href="http://www.dailypsychology.net">www.dailypsychology.net</a>...See u there!</span>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-6336570325607629182010-03-19T18:00:00.000-07:002010-06-06T06:24:41.707-07:00VJ#49/I/2010 : Verdi, Ayo Nulis!Hi dear readers,<br />Hehe, dari judul nya saja sepertinya sudah tahu ya tulisan saya kali ini akan mengarah kemana.Yup, tulisan ini bermaksud untuk menyoroti diri sendiri yang saya rasakan mulai menjauhi kata "produktif" dalam menghasilkan tulisan.Apabila para pembaca blogs jeli, maka dapat dengan mudah dketahui bahwa betapa "malas" nya saya menulis di tahun 2010 ini.Last post saya saja pada bulan Januari 2010, yang berarti sudah dua bulan saya tidak menghasilkan apapun!.<br /><br />Untuk kali ini saya tidak akan memberikan alasan yang selalu dijadikan kambing hitam apabila blogs saya ini mulai "gak update" yaitu karena kesibukan, karena pada dasarnya saya justru tidak sebegitu sibuknya hingga tidak mampu menelurkan tulisan-tulisan baru.Lalu kenapa donk? Karena eh karena, Saat ini saya dan beberapa rekan saya sedang "membangun" sebuat situs baru yang berisi hal-hal isinya kurang lebih sama dengan blogs yang sedang anda baca ini, yaitu tulisan seputar dunia psikologi yang dikemas secara populer.Perbedaannya adalah situs tersebut nantinya (sangat kami usahakan) dikelola secara lebih profesional sehingga dapat menjadi sebuah situs yang akan dapat lebih mudah dinikmati dan membantu para pembaca blogs sekalian, terutama anda yang mengemari tulisan psikologi populer.<br /><br />Ide pembangunan situs baru ini berangkat dari pengalaman saya dalam "mengelola" blogs ini.Berawal dari sebuah hobi menulis, tidak menyangka bahwa banyak pembaca blogs yang mengunjungi Verdis Journals ini.Tidak hanya berhenti di membaca, bahkan tidak sedikit pula yang memberikan komentar membangun, bertanya, hingga meminta bantuan mencarikan jurnal-jurnal seputar tulisan saya.Secara pribadi, saya ingiiiin sekali dapat membantu para pembaca blogs sekalian, namun kenyataannya karena kemampuan diri yang terbatas pada akhirnya banyak para pembaca yang menghubungi saya tersebut mungkin merasa kecewa karena pertanyaan atau permintaan bantuannya tidak terespon dengan baik oleh saya.Oleh karena itu, dengan situs yang sedang saya bangun saat ini saya berharap kejadian seperti itu tidak terjadi lagi, karena untuk mengelola situs tersebut saya membentuk sebuah tim yang memiliki hobi serta visi dan misi yang sama dengan saya, utamanya dalam mengembangkan dan memperkenalkan ilmu psikologi secara lebih luas kepada masyarakat.<br /><br />Akhir kata, mohon maaf atas penjelasan yang datang terlambat ini serta mohon dukungannya untuk situs baru saya tersebut nantinya :)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">UPDATE : Visit My New Website <a href="http://www.dailypsychology.net">www.dailypsychology.net</a>...See u there!</span><br /><br />Wassalam,<br /><br />Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, PsikologArya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-9619655999143029362010-01-05T08:05:00.000-08:002010-01-05T08:10:26.357-08:00VJ#48/I/2010 : Cyberbullying? What the...?<a href="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/S0NkOGeMT_I/AAAAAAAAAMY/Oho-saVj8mA/s1600-h/cyberbullying.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 250px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/S0NkOGeMT_I/AAAAAAAAAMY/Oho-saVj8mA/s320/cyberbullying.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5423288569702404082" /></a><br /><em>Wanna be famous on twitter? just say something like "bb users are alay",and abrakadabra, ur name is on trending topics..such a ridicilous phenomenon..poor #rana :( </em><br /><br />Saya menulis kalimat di atas pada status Facebook hari Senin 4 Januari 2010, pukul 23.42. Saat itu saya yang telah setengah tertidur (atau setengah sadar) sedang berusaha keras untuk membuat tubuh terlelap dengan cara yang biasa dipakai manusia “jaman sekarang” dan dengan media yang tidak kalah “jaman sekarang” nya. Yup, twitter-ing dengan memakai blackberry! . <br />Tidak ada yang istimewa ketika saya memulainya. Saya mendapati timeline dengan tweets yang “biasa-biasa” saja. Yah, mungkin layaknya timeline harian rekan-rekan pembaca yang juga tergabung di jagat maya berlambang burung kecil tersebut. Ada yang berisi curhat, kemarahan yang ditujukan ke orang secara anonim, atau bahkan lelucon lokal yang (kemungkinan besar) hanya dimengerti segelintir followers pemilik account. Saat mata ini sudah mulai mengalah kepada kekuatan rasa kantuk, perhatian saya tertuju kepada salah satu tweets rekan saya. Tweets yang tiba-tiba membuat saya terjaga kembali karena ingin tahu.<br /> Secara singkat, tweets tersebut menunjukkan bahwa adanya hastag (#) baru yang, ternyata, sempat menjadi trending topics. So, what’s new? Tweeps asal Indonesia memang cukup sering sukses menempatkan hastag lokal merajai trending topics, sebut saja #indonesiaunite, #jamansd, dan banyak lagi. Namun, hashtag ini tidak lazim di mata saya, sehingga membuat saya heran mengapa bisa sukses menjadi trending topics dalam waktu relatif singkat. Hashtag itu singkat dan padat : #rana<br /><br /><strong>Who’s #rana?</strong><br />Rasa penasaran dengan gagah berani mengalahkan rasa kantuk sehingga membuat saya secara sadar mencari #rana melalui media “search topics”. Dengan singkat saya mengetahui bahwa Rana adalah seorang remaja yang pada hari itu melalui account-nya men-tweet dengan pesan bahwa para pengguna blackberry adalah seorang alay (istilah alay dapat anda search sendiri ya ). Entah apa maksud Rana mem-post tweet semacam itu, yang saya tahu, seperti dikomando, tiba-tiba malam itu para pengguna twitter ramai-ramai memberikan komentar, tentu tidak lupa dengan hastag #rana. Komentar yang diberikan beraneka ragam, mulai dari yang mendukung, menjadikan bercandaan ala plesetan, sampai yang mencaci maki. Walhasil, #rana sukses merajai trending topics. Bahkan kabarnya, #rana sempat pula menjadi pemberitaan di radio dan televisi. Wow!<br />Fenomena #rana ini membawa memori saya ke waktu belum lama ini saat seorang remaja lainnya bernama Ophi merajai trending topics dengan hashtag #ophiabubu. Sekedar menyegarkan ingatan, Ophi “terkenal” karena gaya penulisannya yang (lagi-lagi) dianggap alay. Fenomena ophi (bila boleh disebut demikian) bahkan dapat dikatakan jauh lebih dahsyat bila dibandingkan dengan fenomena #rana. Tidak hanya sebatas dibicarakan di jejaring sosial seperti facebook, twitter, blogs, atau menjadi thread khusus di kaskus, namun bahkan juga sempat menjadi artikel tersendiri dalam satu surat kabar lokal berbahasa asing yang amat terkenal untuk khusus membahas mengenai remaja perempuan tersebut! <br />Berangkat dari kedua “fenomena” itu saya mencoba menyusun tulisan serius tapi santai ini. Tenang saja, saya tidak akan berpanjang lebar membahas mengenai latar belakang kasus Rana maupun Ophi. Lebih penting, saya mencoba untuk sedikit membuka pemikiran pembaca semua mengenai gejala di masyarakat kita, terutama yang melek teknologi, yang sedikit demi sedikit mulai berkembang, yang saya khawatir bila tidak segera diingatkan maka akan menjadi suatu penyakit yang menggerogoti secara perlahan dan menyimpan potensi besar untuk menyebabkan sesuatu yang buruk di masa depan. Seram ya? Yah, tergantung bagaimana anda menilainya setelah membaca habis tulisan saya ini.<br /><br /><strong>Apa rahasia Trending Topics?</strong><br />Setelah mencari petunjuk melalui mbah Google, saya berhasil menemukan bagaimana sebuah hashtag bisa menjadi trending topics. Dalam suatu artikel yang ditulis Mada Azhari (dalam http://inventco.net/studi-kasus/trending-topics-di-twitter-mentahkan-konsep-the-tipping-point/), saya mengetahui bahwa Malcolm Gladwell, di buku larisnya yang berjudul The Tipping Point, menyebutkan bahwa semua itu dipicu oleh segelintir super influential. Lewat influencer, informasi menyebar kemudian mempengaruhi orang lain untuk meniru mereka. Tapi nampaknya tidak begitu dengan #indonesiaunite dan #jamanSD . Trend topic itu bergerak cepat, menviral bahkan dalam tempo hitungan jam. Kalau begini konsep The Tipping Point luntur nyaris tak berbekas. Untunglah suatu penelitian menjawab hal tersebut. Duncan Watts, saintis teori jejaring lulusan Columbia University yang kini bekerja di Yahoo!, melalui penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata sebuah trend dapat terjadi tanpa harus dipicu oleh segelintir influencer (orang amat berpengaruh). Tren bisa meledak, tanpa bergantung pada siapa yang memulai, namun tergantung pada kesiapan masyarakat untuk menyambutnya. Cocok dengan fenomena sosial media saat ini, artinya, “semua orang bisa memicu tren, tidak harus orang berpengaruh” katanya.<br />Lebih jauh, bila kita kategorikan maka yang terjadi pada #rana dan #ophiabubu adalah kategori Stream News. Semua orang menyampaikan spontan tanpa perlu ada influencer. Berita seputar seperti gempa, bom, bahkan seorang seleb yang baru mekar sekalipun seperti #mbah surip dapat cepat menjadi trending topics. Dalam kasus kedua remaja tersebut, orang-orang secara spontan memberikan komentarnya. Entah karena iseng, memang tidak suka dengan “perilaku” mereka, menumpahkan kekesalan, atau hanya sekedar konformitas alias ikut-ikutan. Tanpa rasa segan dan takut, mereka memberikan komentar-komentar sesuka mereka. Selain sebagian besar para komentator tidak mengenal secara pribadi kedua remaja tersebut, (mungkin) mereka juga berpikir “hei, semua orang melakukannya, kenapa saya tidak??”.<br />Khusus untuk pemberi komentar negatif, mungkin sebagian besar dari mereka memberikan komentar-komentar tersebut secara sadar, namun saya tidak yakin mereka juga sadar bahwa saat itu pula mereka telah “resmi” menjadi pelaku internet bullying atau lebih dikenal dengan istilah cyberbullying!<br /><br /><strong>Cyberbullying? What the..?</strong><br />Secara teoritis "Internet bullying/Cyberbullying" diartikan sebagai berikut<br />“..is a form of personal attack which employs threats, pressure and intimidation through the avenues of internet technology. The bullying may take place by the use of messaging sites, blogs, online forums, electronic mail and other means of cyber technology. When internet bullying takes place, its victims are harassed, intimidated and are left with damaged reputations.”<br /><br />Supaya tidak bingung, kurang lebih bila dalam artian bebas saya menterjemahkan cyberbullying sebagai situasi dimana seseorang yang kuat (mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang dengan menggunakan melalui messaging sites, blogs, online forums, electronic mail, dimana sang korban tidak mampu membela diri krn lemah secara mental. Tipe bullying ini mulai menjadi fenomena baru seiring dengan berkembangnya teknologi. Manusia saat ini seperti hidup di dunia tanpa batas. Hampir semua orang terhubung dengan benda ajaib bernama “internet”. Data dan informasi dengan mudahnya tersebar sekejap mata. Dengan adanya internet, bullying semakin mudah untuk dilakukan. A single person’s small act of maligning someone can reach hundreds of people in a split-second!<br /><br />Sepertinya bila melihat pengertian di atas, nampaknya kasus #rana dan #ophiabubu sudah lebih dari cukup untuk dikategorikan sebagai cyberbullying. Bagaimana tidak? Melalui media twitter, facebook, atau forum-forum diskusi, tidak sedikit para penghuni jagat maya yang memberikan komentar-komentar melecehkan, menghina, bahkan menggunakan kata-kata kasar untuk kedua anak remaja tersebut. Lalu mengapa hal tersebut sampai terjadi? Berbicara mengenai penyebab, maka ada beberapa hal yang bisa dikedepankan, misalnya karena pemberi komentar didorong oleh rasa amarah, balas dendam atau rasa frustrasi kepada sang korban atau kepada orang lain yang kemudian melimpahkan kekesalannya melalui dunia maya. Ada juga yang melakukannya untuk alasan-alasan sepele, seperti “hei,I’m doing it just for fun”, atau karena sedang merasa bosan serta mempunyai banyak waktu kosong untuk berbuat iseng, dan didukung juga oleh mudahnya pelaku untuk mengakses ”tech toys”, such as blackberry. Namun, ada juga beberapa orang pula yang melakukannya untuk mencari perhatian, dan agar sekedar dibilang “cool” atau “mengikuti trend”.<br /><br />Seperti telah disebutkan sebelumnya, saya cukup yakin bahwa mayoritas pemberi komentar tidak mengenal secara pribadi kedua remaja tersebut. Sehingga amat kecil kemungkinan pula bahwa kedua remaja tersebut pernah melakukan sesuatu yang menyinggung atau menyebabkan konflik secara personal kepada pada pemberi komentar. Apabila hipotesa penulis ini benar, lalu mengapa sampai kedua remaja tersebut harus dicaci maki sedemikian rupa? Mengapa mereka berdua mendapat perlakuan dipermalukan sceara besar-besaran di “muka umum”? Lalu apa pula yang memberikan hak kepada para pemberi komentar untuk “making fun of them”? . <br /><br />Well, sepertinya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut saya kembalikan kepada anda. Namun sebelum anda menjawab, saya ingin sekedar berbagi informasi. Di dunia barat sana, yang notabene ilmu pengetahuan dan teknologi beberapa langkah lebih maju dibandingkan negara kita, telah secara sadar mengakui bahaya dari bullying, dalam kasus ini khususnya cyberbullying. Anda akan dengan mudah menemukan situs-situs yang khusus membahas mengenai cyberbullying, lengkap dengan cara-cara pencegahan. Bahkan mereka secara konkret telah menanamkan pendidikan mengenai bahaya bullying (baca : cyberbullying) sejak dini kepada para remaja disana, karena mereka sadar penuh bahwa generasi itulah yang akan selalu hidup berdampingan dengan teknologi, sehingga butuh kebijaksanaan dan kedewasaan untuk dapat menggunakan teknologui tersebut agar tidak menyimpang ke hal-hal yang tidak diinginkan. Bukan tanpa alasan mereka menanamkan hal tersebut semenjak dini. Beberapa kasus nyata memperlihatkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam bullying/cyberbullying memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena tidak tahan dengan cara orang-orang memperlakukan mereka (baca : menghina atau mempermalukan). Di Indonesia sendiri saya belum menemui kasus cyberbullying hingga korbannya bunuh diri (CMIIW), namun bila gejala di masyarakat yang sedang “ngetrend” ini tidak sejak sekarang dicegah, saya khawatir jatuhnya korban hanya tinggal menunggu waktu.<br /><br /><strong>PS : Bila anda peduli, bantu saya menyebarkan informasi ini </strong><br /><br />Wassalam Wr. Wb,<br /><br />Arya Verdi Ramadhani<br />Psikolog, Penggiat Anti-Bullying<br /><br /><br /><br />Sumber : <br />http://inventco.net/studi-kasus/trending-topics-di-twitter-mentahkan-konsep-the-tipping-point/<br />http://www.stopcyberbullying.org/<br />http://www.internetbullying.com/<br />http://maryslarson.com/cyberbullying.jpgArya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-73227757047355522562010-01-03T20:32:00.000-08:002010-01-03T20:39:58.085-08:00VJ#47/I/2010 : Ujian Nasional? Why, Oh Why..<a href="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/S0FwuFeuxsI/AAAAAAAAAMQ/r8CMivGimes/s1600-h/J0309600.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 228px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/S0FwuFeuxsI/AAAAAAAAAMQ/r8CMivGimes/s320/J0309600.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5422739363378153154" /></a><br />Silang Pendapat mengenai UN akhirnya diputuskan melalui keputusan MA (14 September 2009) yang menolak Permohonan Kasasi Pemerintah tentang Ujian Nasional. Dampaknya adalah pemerintah wajib menjalankan putusan tersebut. Dalam putusan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim telah menyatakan : <br />1.Pemerintah lalai dalam memenuhi hak asasi manusia terutama hak atas pendidikan dan hak- hak anak. <br />2.Memerintahkan kepada pemerintah untuk memperbaiki sarana prasarana, peningkatan kualitas guru dan akses informasi ke daerah sebelum ujian nasional dilaksanakan. <br />3.Memerintahkan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional. <br />4.Meninjau ulang sistem pendidikan nasional. <br /><br />Pemerintah saat ini masih mencoba melakukan upaya hukum untuk memastikan tahun depan UN tetap dapat terlaksana. Hal yang dilakukan pemerintah ini bagi sebagian masyarakat dianggap tindakan yang kurang bijaksana karena menilai pelaksanaan UN secara yuridis bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain itu, secara pedagogis UN dianggap menghambat proses kreatif berpiikir anak untuk memperoleh penilaian secara holistic. Apa sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan sehingga UN telah bertahun ini memancing pro dan kontra? <br /><br />* Mengapa Ujian Nasional Diperdebatkan? Perspektif Perlindungan Hak Anak : <br />Perspektif mengenai Perlindungan Hak Anak tertuang dalam Konvensi Hak-HAK Anak (KHA), yang kemudian mendasari berbagai ketentuan dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. <br />Persepektif tersebut didasari pada 4 prinsip : <br />1. Non Diskriminasi <br />Negara harus menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dll (Pasal 2 Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) ). UN dianggap diskriminatif karena kondisi siswa dan sekolah di NKRI yang amat beragam (geografis, budaya, dan sosek), tetapi anak-anak dituntut untuk mencapai target yang sama dengan adanya standar nasional. <br /><br />2. Kepentingan Terbaik Bagi Anak <br />Segala tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislative, dan badan yudikatif, maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 2 UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). UN dianggap hanya implementasi dari target-target politik pemerintah pusat, pemda, dan sebagainya. Kebijakan UN yang berubah-ubah setiap tahun adakah bukti bahwa UM bukan produk dari proses perencanaan yang matang. <br /><br />3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan Perkembangan <br />Kebijakan atau tindakan dari negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua tidak boleh mematikan hidup dan kehidupan seorang anak, mematikan harapan, menekan secara psikologis, membangun ketakutan, perlakuan dengan kekerasan, sehingga anak justru tidak tumbuh daya nalar kreatifitasnya. UN dianggap telah menganggu tumbuh kembang anak karena dala persiapannya di dalamnya ada proses yang penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan cemas, gangguanpsikologis, serta ancaman kekerasan. Salah satu kasus nyata adalah Endang Lestari, siswi kelas III SMP Negeri 1 Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah yang nekat bunuh diri dengan cara gantung diri pada Sabtu 23 Juni 2007. Pihak keluarga menduga hal tersebut karena ia tidak lulus UN (Kompas, 25 Juni 2007). Selai itu, UN juga dianggap hanya mengukur kemampuan kognisi, sementara kemampuan afeksi dan psikomotor dikesampingkan. <br /><br />4. Penghargaan Terhadap Pendapat Anak <br />Penghormatan terhadap hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pemgambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Prinsip-prinsip di atas juga tercantum di dalam Pasal 28 B Ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi” <br /><br />* Pengalaman Ujian Nasional Negara Lain <br />Pandangan bahwa kualitas lingkungan belajar menentukan kualitas hasil pendidikan juga dianut oleh banyak negara lain. Undang-undang yang dinamakan No Child Left Behind (NCLB) di Amerika Serikat menganut pandangan ini. Kebijakan NCLB yang kemudian menjadi Elemntary and Secondary Education Act (ESEA) tahun 2002 mewajibkan adanya tes nasional, terhadap peserta didik di SD, SMP, dan SMA di Amerika Serikat, dengan tujuan untuk menjamin agar peserta didik mendapatkan layanan pendidikan berkualitas yang menjadi hak mereka. Hasil tes peserta ddik dijadikan salah satu dasar untuk menentukan kualitas pelayan pendidikan suatu sekolah dan bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik. <br /><br />Data dari International Review of Curriculm and Assessment Frameworks Internet Archive yang disusun oleh Sharon O’Donnell dkk. (2002) menunjukan bahwa hampir semua negara Eropa, kecuali Italia dan Spanyol, tidak melakukan Ujian Negara di SD. Seperti Italia dan Spanyol, Singapura melakukan Ujian Negara di SD untuk melanjutkan ke jenjang SMP (Lower Secondary), tetapi hasil ujian tidak menyebabkan peserta didik tidak boleh melanjutkan pendidikan wajib belajarnya ke SMP. Ujian Negara yang dilakukan negara-negara Eropa, selain Hungaria dan Swiss, bukan untuk menentukan kelulusan seseorang dari satuan pendidikan SMP yang sedang diikutinya, tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang telah dimilikinya. Brdasarkan kemampuan tersebut, maka seorang peserta didik ditentukan apakah akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum ataukah sekolah jurusan. Di Jerman, misalnya, hasil penilaian guru, konselor dan orang tualah yang menentukan apakah seseorang peserta didik akan masuk ke gymnasium (untuk ke perguruan tinggi), realschule (untuk pendidikan umum) ataukah hauptschule (untuk bekerja). <br /><br />Pada intinya, Ujian Negara yang dilakukan negara-negara Eropa, selain Hungaria dan Swiss, bukan untuk menentukan kelulusan seseorang dari satuan pendidikan yang sedang diikutinya, tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan kemampuan tersebut maka seorang peserta didik ditentukan apakah akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum ataukah sekolah kejuruan. <br /><br />* Kejanggalan PP No.19 Tahun 2005 <br />1. Pasal 63 ayat (1) <br />Pasal ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik selain kewenangan yang dimiliki oleh pendidik dan satuan pendidikan. Hal ini memperlihatkan intervensi pemerintah yang dalam terhadap ototnomi pendidik, seklaigus bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas yang memberikan kewenangan penuh kepada pendidik untuk menilai seluruh proses pembelajaran peserta didik, mulai dari awal hinggan akhir penentuan kelulusannya. <br /><br />2. Pasal 72 Ayat (1) d <br />Menyebutkan bahwa peserta didik dinyakatan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi 4 syarat, yaitu ; <br />a. Telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran <br />b. Memperoleh nilai minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan <br />c. Lulus Ujian sekolah <br />d. Lulus ujian nasional <br />Syarat pertama dan kedua memang mencoba menghargai penilaian proses, namun bila dihadapkan pada syarat ketiga dan keempat maka pada akhirnya proses pembelajaran tidak lagi berarti. Sebab, dalam kenyataan banyak sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah hanya untuk mempelajari cara mensiasati soal-soal ujian semata. <br /><br />* Kesimpulan dan Rekomendasi <br />Dengan mempertimbangkan berbagai hal yang sudah diuraikan di atas, kebijakan UN harus mendapat pertimbangan baru yang diselaraskan dengan empat kebijakan utama Depdiknas (aksesibilitas, pembinaan kualitas, peningkatan manajemen, dan akuntabilitas), antara lain : <br />1.Mempercepat aksesibilitas terhadap pendidikan bermutu bagi usia 7 -15 tahun <br />2.Pemerintah harus membantu sekolah negeri dan swasta dengan penyediaan fasilitas belajar yang memenuhi standar kompetensi pendidikan. <br />3.UN dikembangkan dan diarahkan sebagai salah satu alat evaluasi untuk mengumpulkan data mengenai pelayanan pendidikan berkualitas, bukan untuk menentukan kelulusan murid. Pemerintah diharapkan melaksanakan UN yang disertai dengan pengumpulan data mengenai proses pendidikan. <br />4.Kurikulum SMA diubah secara mendasar sebagai pendidikan persiapan peserta didik untuk ke perguruan tinggi (peserta didik diberi kesempatan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk program studi yang ingin diikutinya.) <br />5.Konsentrasikan seluruh sumber daya pendidikan yang ada untuk memenuhi standar nasional pendidikan di seluruh wilayah NKRI (antara lain standar isi, standar proses, standar kompetensi kelulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaanm dan juga standar penilaian pendidikan) yang dilaksanakan secara komperehensif, simultan, dan konsisten (Pasal 35 UU No 20 tahun 2003) <br />6.Sementara mempersiapkan standar-standar komponen pendidikan yang telah disebutkan di atas, maka fungsi evaluasi pendidikan dapat dikembalikan kepada sekolah dengan menggunakan standar lokal daerah (melalui nilai rata-rata semester, pekerjaan rumah, tugas-tugas, dan observasi) <br />7.Revisi PP No. 19 tahun 2005 tentang Standarisasi Nasional Pendidikan dan mengedepankan prinsip standarisasi yang lebih mempertimbangkan keragaman bangsa dan tidak diskriminatif. <br />8.Pemerintah memfasilitasi terbentuknya gerakan perbaikan pendidikan yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun civil society, untuk meletakkan dasar-dasar bagi perubahan paradigm, kebijakan, dan anggaran pendidikan nasional Indonesia. <br /><br /><br />Sumber : <br />Education Forum. Menggugat Ujian Nasional ; Memperbaiki Kualitas Pendidikan. Penerbit Teraju. Jakarta: 2007. <br />Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan NasionalArya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-28137318940676331222010-01-03T20:18:00.000-08:002010-01-03T20:33:43.262-08:00VJ#46/I/2010 : Happy New Year dear Readers<a href="http://4.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/S0FvTXALf4I/AAAAAAAAAMI/CiPs3xI1bMY/s1600-h/Official_europeans_wallpaper_by_europeans.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/S0FvTXALf4I/AAAAAAAAAMI/CiPs3xI1bMY/s320/Official_europeans_wallpaper_by_europeans.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5422737804713754498" /></a><br />Hei All,,wow, tak terasa tahun yang baru telah tiba..semoga dengan datangnya awal yang baru ini, maka dapat menginspirasi kita semua untuk terus berkarya dan berkreasi dalam lingkup keahlian masing-masing dengan semangat yang baru pula. <br /><br />Dalam kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih kepada para pembaca blogs saya yang telah bersedia untuk menyempatkan waktu untuk meng-add YM atau mengirimkan email kepada saya untuk sekedar bertanya atau berdiskusi. Mohon maaf apabila saya tidak dapat memberikan jawaban atau respon yang memuaskan anda semua. Saya berharap agar diskusi di antara kita dapat terus terjalin.<br /><br />Sebagai awal yang baru, maka sekalian saya mau memberikan sesuatu yang "baru" untuk Verdi's Journals. Apabila selama ini tulisan saya banyak berkutat dengan ke-psikologi-an, maka mulai awal tahun ini saya akan mulai memposting di blogs tersayang ini tulisan-tulisan yang lebih luas cakupannya dan tidak terpaku pada ilmu-ilmu kaidah psikologi. Akan tetapi, saya tetap berusaha untuk menyentuh isu psikologis, meski tidak dominan, karena memang hakikatnya dari sanalah saya "berasal".<br /><br />Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas kesetiaan anda membaca blogs saya. And once again, Happy New Year Everybody :)<br /><br />Wassalam.Wr.Wb,<br /><br />Arya Verdi RamadhaniArya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-40601616573192464752009-10-27T23:47:00.000-07:002009-10-27T23:58:05.441-07:00VJ#45/X/2009 : About "Alay" and Ophi A. BubuDear my Blogs Reade,<br />udah Lama sekali saya tidak menulis di Blog ini. Terakhir saya menulis adalah di pertengahan Bulan Juni. Hm, lama sekali ya. Saya mohon maaf ya apabila tulisan saya jadi tidak terupdate lagi, namun sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca setia, dengan segala komentar, saran, masukan, pertanyaan, dan diskusinya :)<br />Semoga dengan semua itu saya jadi termotivasi untuk rajin menulis kembali. Semangaat..<br /><br />Untuk postingan kali ini, sesuai judul, saya mau membahas mengenai fenomena bahasa "Alay" dan juga Ophi A.Bubu (ini adalah nama seorang remaja yg dijuluki, atau lebih tepat dibullying dengan labeling, "Queen of Alay oleh pnghuni jagat maya). Namun tulisan ini bukan tulisan yg saya buat sendiri, melainkan sebuah artikel yang dimuat oleh "Jakarta Post" dengan memberikan kesempatan kepada saya sebagai salah satu narasumber. terima kasih kepada sahabat saya Gariet dan Dian Kuswandini :)<br /><br />Semoga artikel ini bisa memberikan pencerahan kepada kita semua bahwa jagat maya bisa menjadi "berbahaya" bila kita menggunakannya secara kurang bijaksana.<br /><br />Well, happy reading and Please leave your comments :)<br /><br /><br />Artikel itu :<br /><br />Messing with letters<br />Dian Kuswandini , The Jakarta Post , Jakarta | Wed, 10/28/2009 9:40 AM | Features <br /><br /><br />Tribute: Although several fan pages for Ophi A. Bubu still exist, others were reportedly banned by Facebook because of the vulgar messages posted attacking Ophi. facebook.com<br /><br />“JuD9e mE aLL y0u wAnT, jUSt keEp tHe VeRdiCt t0 y0uRsELf.”<br /><br />When you see text written in this kind of style, you think: (a) That’s cool. (b) Whoever wrote that should be shot, or have their fingers broken. (c) So what? If that’s the writer’s style ...<br />If your answer is (b), then you could be part of a growing club whose members use the word “alay” to refer to — or mock — anyone who types using a mix of upper and lower case letters and numbers.<br /><br />The word alay has no exact meaning or obvious derivation; it seems to have come out of nowhere. <br /><br />However, it refers to something “tacky” and “cheesy” (norak or kampungan, in Indonesian). Alay is used to describe, critically, how certain people dress (like fashion victims), what kind of music they listen to (usually fans of Malay-sounding bands like ST 12, Wali or Kangen Band) and how they write things (they try to make words sound “cuter”, like replacing “home” with “humzz”). <br /><br />What’s more, they mix up the upper and lower case letters. <br /><br />An example of this last case is young Ophi A. Bubu, who became a popular target of people irritated by her preference for playing with her letters.<br /><br />Ophi who?<br /><br />Ophi A. Bubu. The high school student from Banyuwangi of East Java, who says she was born in 1991, shot to fame in the virtual world for her postings on her Facebook page.<br /><br />Her name is getting mentioned in blogs and forums everywhere — all of them discussing her writing. Not because her notes are so great, but because they’re in “code”. For example:<br /><br />Lost in translation: Although the “alay” text generator enables visitors to the page to convert conventional text into mixed-letters writing, in a parody of language translation websites, it was designed to make fun of alay followers. alaygenerator.co.cc<br />cXnK qMoh tO cKiDnAAAAaaaAaAaaaa……(Translation: Sayang kamu tau sakitnya / Honey, do you know how much that hurts?)<br />m_tHa apOn YoH……………<br />(Minta ampun ya / Please forgive me)<br />qoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo………. <br />(Aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu / I keep on trying to love you)<br />bUD….. (But)<br />cIa” adJA………………… (Sia sia aja / It’s useless)<br /><br />So, quite simply, Ophi has become famous for making writing even harder to read than the scrawl of any doctor. <br /><br />Nevertheless, her approach to writing attracted a lot of attention, with some people reproducing her writing in forums and blogs, and others wanting to be her friends in Facebook. <br /><br />All this was too much love in the eyes of those who despised her writing style and made fun of her. Her detractors took to writing nasty messages on Ophi’s page, mocking her and labeling her “the Queen of Alay”. <br /><br />This kind of bullying was too much for Ophi, who had nearly 4,000 Facebook friends in the middle of the month. She deactivated her Facebook account. <br /><br />Although some of her supporters defended her by setting up fan clubs in Facebook and Twitter, Ophi has never been heard from since. <br /><br />The Ophi phenomenon raises questions, about writing and our response to it: Is messing with agreed writing conventions socially acceptable, or is it something utterly annoying that should be stopped? <br />While some of us — let’s admit it — would agree with the latter, psychologist Arya Verdi Ramadhani takes us below the surface. <br /><br />“I can understand why people are so annoyed by her,” says Arya, who has followed the Ophi phenomenon during the past few months. “The thing is, Ophi doesn’t only mix letters; she also misspells many words.”<br /><br />Talk of the town: Blogs and forums discuss Ophi’s style of writing, with her mixture of symbols, upper case and lower case letters, and numbers. natasyadenaya.tumblr.com<br />Arya believes the writing of Ophi and her ilk emerged following trends in SMS language and instant messaging (IM), where, for example, the letter “E” is replaced with “3” and “g” with “9”. Homophones also came to be used, where “gr8” means “great”, for example.<br /><br />“It then continued with the trend of Friendster, a social site that truly supports people in expressing themselves,” Arya says. <br /><br />The combination of these trends, he adds, brought the alay phenomenon to the scene, making it a wider issue for discussion.<br /><br />“The alay phenomenon came on the scene about one or two years ago,” Arya says. <br /><br />“Forgive me for saying this, but it refers to someone from a kampung [village] who’s experiencing culture shock when he or she comes to a big city like Jakarta.<br /><br />“That person dresses up in what he or she thinks is ‘trendy’, while in the eyes of others [urbanites], that attire is truly in bad taste.”<br /><br />On a wider scale, Arya adds, the term alay encompasses people like Ophi who think that messing with letters is a trend to follow. <br /><br />A similar trend is taking place in Japan, where the term gyaru-moji is used to refer to a style of obfuscated Japanese writing popular among Japanese youth, which started to gain media attention around 2002. It is also called heta-moji — heta means poor (in handwriting). As with SMS language, a message typed in gyaru-moji usually requires more characters and effort than the same message typed in conventional Japanese. <br /><br />Because of the extra effort and the perception of confidentiality, sending gyaru-moji messages to a friend is seen as a sign of informality or friendship.<br /><br />In Indonesia, however, this “messing with letters” style of writing is attracting more criticism. <br /><br />“Perhaps we see it as something wrong or cheesy,” says Arya. But those who adopt the writing style, he adds, “they think that mixing letters is something cool. They think that they can appear cute and unique by doing that.”<br /><br />And so when it comes to teenagers such as Ophi, this style of writing signifies a search for identity.<br /><br />“It’s normal that in their adolescent phase, these young people want to express themselves in various ways,” Arya explains. <br /><br />“For example, from the way they speak or dress, or the way they follow the latest trends like BlackBerrys or Facebook.”<br /><br />Or choosing a certain type of writing style. <br /><br />But what does it say about a person? <br /><br />This trend, he points out, is something very peculiar to the computer age: Even graphology — the study and analysis of handwriting in relation to human psychology — can’t really explain this phenomenon.<br /><br />“Usually, we apply graphology to Latin cursive [handwriting],” Arya says. “Graphology analyzes the thickness of the letters, as well as their positions and slant.”<br /><br />Theoretically, he says, someone who loves to write in large letters can be seen as someone who’s confident and extrovert. Those who write in small letters can be seen as introverted and shy. <br />The alay phenomenon, Arya adds, cannot be addressed in the same way. <br /><br />“Besides, it’s typing, not handwriting.”<br /><br />One person who chooses this style of typing is 25-year-old Fitriyu (not her real name), who says she has been messing with letters since she was in high school. <br /><br />“At first, I saw my friends doing it, and I just followed them because I thought it was creative!” says the writer for a local teen magazine. <br /><br />“Then SMS came along, as well as Facebook, so I got used to that [writing style] even more.” <br /><br />Fitriyu plays down any notion that the writing style is annoying, saying, “I just want to make my [typed] writing look less boring. It’s kind of part of my identity, too.”<br /><br />Interestingly, Fitriyu says that writing in messed-up letters can sharpen the writer’s — and reader’s — brain and creativity.<br /><br />“How can you say that people who write in messed letters are stupid?” she says. <br /><br />“They’re genius! Just imagine being able to type quickly that way so consistently. Isn’t that like a brain exercise?” she laughs, adding that her preference doesn’t affect her professional work as a writer. <br /><br />“I know when I should use that writing style and when I should not.”<br /><br />On that point, Dr. Sugiyono of the Education Ministry’s Language Center, agrees, saying you can’t judge someone without knowing the context.<br /><br />“If it is for a creative reason, then go ahead,” says Sugiyono, head of the center’s Language and Literature Development division. “But if it’s for education, for example — then you know the rule: It’s not allowed.” <br /><br />Neither is he bothered by any long-term effects on youth.<br /><br />“I do believe that many of our high-ranking officials here in this country used to be that way too [when they were young],” Sugiyono laughs. <br /><br />“It’s something that will disappear as they grow up; so don’t worry.” <br /><br />Arya agrees with Sugiyono. <br /><br />“Just admit it: Many of us used to be like that back in our younger days, right?” he says. <br />“So, please, don’t bully people like Ophi. When you’re rude to her, mock her or label her with ‘alay’, that’s bullying.”<br /><br />Virtual bullying can be really psychologically harmful, Arya says, because, in the virtual world, people tend to be more expressive than they would be in person; they love to laugh at others and love to make fun of anything. And the audience is much wider.<br /><br />“When it happens in the virtual word, everyone can see it because it’s a shared public space,” he says. <br /><br />“In the case of Ophi, she’s been massively attacked; she just couldn’t defend herself.<br /><br />“Just imagine if you were her, if you were the target of gossip among of your friends,” he adds.<br /><br />“Ophi might be really stressed and might do something dangerous, like suicide. Would you be responsible for that?”<br /><br />So, as Arya suggests, just keep “your annoyance” against alay people, or more precisely, those who mess with letters, to yourself or your circle of closed friends. <br /><br />ps : The word alay has no exact meaning or obvious derivation; it seems to have come out of nowhere. However, it refers to something “tacky” and “cheesy” (norak or kampungan, in Indonesian).<br /><br /><br />Sumber : http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/28/messing-with-letters.htmlArya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-28763449258077566952009-06-05T08:56:00.000-07:002009-06-10T05:29:38.530-07:00VJ#44/VI/2009 : Meraih Kebahagiaan<a href="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SilCByG0zxI/AAAAAAAAAL4/iM_qAj22meE/s1600-h/happy.bmp"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SilCByG0zxI/AAAAAAAAAL4/iM_qAj22meE/s320/happy.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5343875031249506066" /></a><br />Meraih kebahagiaan nampaknya menjadi satu tujuan hidup bersama bagi semua manusia di dunia. Wujud dari kebahagiaan ini begitu abstrak dan relatif. Abstrak karena kita tidak bisa melihat secara kasat mata wujud dari kebahagiaan tersebut. Hal yang dapat kita lihat hanyalah efek dari kebahagiaan tersebut. Sedangkan relatif karena kebahagiaan menurut satu individu, belum tentu kebahagiaan menurut individu yang lain. Selain itu, kerelativan juga muncul dalam usaha untuk meraihnya. Untuk dapat mencapai kebahagiaan tidak akan sama per individu. Sebagai contoh, bagi sebagian individu mempunyai banyak teman bisa berarti kebahagiaan,namun tidak cukup untuk sebagian individu lainnya. Mempunyai jabatan tinggi, baik di institusi maupun di masyarakat, dapat menimbulkan kebahagiaan bagi mereka yang menikmatinya, namun bagi sebagian lain mungkin dianggap biasa saja. Semua itu dapat terjadi karena di pikiran masing-masing individu telah terbentuk “arti” dari kebahagiaan bagi diri sendiri, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, pola asuh orang tua, pendidikan, dan sebagainya. <br />Di tengah “rasa kebahagiaan” yang dianggap subjektif dan personal tersebut, seorang psikolog dari University of California, Sonja Lyubomirsky, mencoba memberikan tips universal dalam usaha pencapaian kebahagiaan dalam hidup, yang didapat dari hasil penelitian yang ia lakukan. Berikut tips yang ia berikan:<br /><br />1. Hitunglah rasa Syukur Anda<br />Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan membuat “Jurnal Terima Kasih” yang di dalamnya anda dapat menulis hal-hal yang membuat anda bersyukur, dari yang paling sederhana (masih diberi kenikmatan dapat datang tepat waktu ke kantor) hingga ke hal yang luar biasa (seperti saat melihat anak anda melakukan langkah pertamanya). Lakukan ini satu kali dalam seminggu, misal pada saat Minggu Malam. Isilah jurnal ini sebanyak yang mungkin anda isi. Lalu sempatkan untuk membaca berulang-ulang jurnal tersebut. Hilangkan rasa khawatir bahwa anda akan mengisi jurnal tersebut dengan hal-hal konyol, karena tidak ada yang konyol dalam menghargai sesuatu :)<br /><br />2. Berbuat baik kepada orang lain. <br />Berbuat baik lah dari yang kecil dan sederhana, seperti memberikan senyuman kepada rekan kerja, sampai kepada hal yang membutuhkan usaha lebih, seperti membantu rekan kerja yang kesulitan menyelesaikan laporan yang telah mendekati tenggat waktu. Bersikap baik kepada orang lain, dengan teman maupun dengan orang yang tidak anda kenal, menimbulkan suatu efek positif pada diri anda—membuat anda merasa menjadi orang yang murah hati, membangun hubungan yang positif dengan orang lain, membuat anda tersenyum, dan membuat anda berpotensi mendapatkan kebaikan dari orang lain pula. Menyenangkan bukan? <br /><br />3. Ingat Hal Menyenangkan <br />Berikanlah perhatian kepada hal-hal menyenangkan yang terjadi di sekeliling anda setiap hari, sekecil apapun. Seperti hangatnya sinar matahari di pagi hari atau saat rekan kerja anda memberikan senyuman atau sapaan. Lalu simpanlah kejadian-kejadian tersebut di ingatan anda. Beberapa psikolog menyatakan bahwa dengan mengambil “mental photographs” dari suatu kejadian meyenangkan dapat membantu anda merasa lebih bahagia. <br /><br />4. Berterimakasihlah <br />Jika ada seseorang yang telah membantu anda, dalam hal sekecil apapun, jangan menunda untuk memberikan apresiasi anda terhadap orang tersebut- secara detail dan, bila memungkinkan, secara personal. Ungkapkanlah dan biarkan orang tersebut tahu bahwa anda sangat menghargai bantuannya.<br /><br /><br />5. Belajar untuk Memaafkan.<br />Lepaskan amarah anda. Misal dengan menuliskan surat berisikan pemberian maaf kepada orang-orang yang telah menyakiti atau berbuat salah terhadap anda. Ketidakmampuan untuk memaafkan menjadikan anda sebagai orang yang pendendam, sedangkan memaafkan berarti memberikan jalan untuk melanjutkan hidup anda dan memperkuat hubungan interpersonal. Besar uang yang anda hasilkan, jabatan yang anda miliki, dan kesehatan-- secara mengejutkan-- mempunyai efek yang lebih kecil terhadap kebahagiaan dibandingkan apabila anda mampu menjalin hubungan interpersonal yang baik dan kuat dengan orang lain. <br /><br />7. Jagalah tubuh anda.<br />Masih segar di ingatan saya dalam suatu pengajian rutin pada Jumat pagi di perusahaan tempat saya bekerja, pemberi ceramah menyebutkan “nikmat yang paling tinggi di dunia ini adalah nikmat sehat Wa’alfiat”. Tahukah anda bahwa kesehatan juga membantu kita dalam mencapai kebahagiaan? Penelitian juga membuktikan bahwa berolahraga secara teratur dapat membuat kehidupan sehari-hari anda lebih memuaskan<br />Tidurlah yang cukup, berolahraga, dan lakukan peregangan setiap hari sebelum beraktivitas. Selain itu, tersenyum dan tertawa juga dapat membantu meningkatkan mood anda dalam waktu singkat. Jadi jangan lagi beralasan tidak ada waktu untuk berolahraga.<br /><br />8. Kembangkan Strategi Untuk Mengatasi Stres<br />Masing-masing orang mempunyai cara masing-masing untuk mengatasi stress yang menghampiri. Anda bisa melakukan hobi anda di akhir pekan, berkumpul bersama keluarga, atau sekedar menonton televisi di rumah. Apabila ada berada di tempat kerja, sebagian orang melepas stress dengan cara berdoa kepada Tuhan, memberikan istirahat ekstra 10 menit untuk diri sendiri, dan banyak hal lain. Apapun yang anda pilih, The trick is that you have to believe them. Ya, percaya dengan sungguh-sungguh bahwa hal yang anda lakukan tersebut dapat menghilangkan stress yang anda alami,<br /><br />Tips-tips di atas tentu sudah seringkali anda dapatkan, baik diberikan oleh teman maupun anda baca melalui berbagai artikel. Lalu apa bedanya?<br />Memang tidak ada bedanya, dan tidak akan pernah berbeda, selama anda tetap TIDAK MENJALANKANNYA..<br />Jadi mari kita buat perbedaan dengan menjalankannya mulai dari sekarang :)<br />Sukses untuk kita semua.<br /><br /><br />(Ikutilah kuis singkat di bawah ini)<br /><br />Hitunglah kebahagiaan anda!<br />Seberapa bahagiakah anda? <br />Tentu, anda kemungkinan mengetahui kebahagiaan diri sendiri, namun tes ini berusaha memberikan skor terhadap kebahagiaan tersebut. Bacalah 5 (lima) pernyataan di bawah ini, lalu gunakan skor 1-6 untuk menilai level persetujuan terhadap masing-masing pernyataan tersebut.<br /><br />Keterangan Skor :<br />1 : Sangat Tidak Sesuai <br />2 : Tidak Sesuai <br />3 : Agak Tidak Sesuai <br />4 : Agak Sesuai <br />5 : Sesuai<br />6 : Sangat Sesuai<br /><br /><br />Pernyataan :<br />1. Secara garis besar, kehidupan saya mendekati kondisi ideal.<br />2. Kondisi kehidupan saya amat menyenangkan<br />3. Saya merasa puas dengan kehidupan saya <br />4. Sejauh ini, saya telah meraih hal-hal yang penting yang saya inginkan dalan hidup. <br />5. Jika saya dapat memulai kembali kehidupan saya dari awal, maka saya tidak mau merubah apapun <br />Skor total _____________<br />Skoring:<br />•26 to 30: Sangat Puas dengan kehidupan anda. <br />•21 to 25: Puas dengan kehidupan anda<br />•20 : Kondisi netral<br />•15 to 19: Agak tidak puas dengan kehidupan anda<br />•10 to 14: Tidak puas dengan kehidupan anda<br />•5 to 9: Sangat tidak puas dengan kehidupan anda <br /><br />Sumber : ada pada penulisArya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-59616569399280329522009-04-13T00:05:00.000-07:002009-04-13T00:24:51.278-07:00VJ#43/IV/2009 : Volunteering<span style="font-weight:bold;">Pengertian</span><br />“Volunteers are individuals or groups who give their time, talent and abilities to a cause they believe in, without pay” <br /> (United States Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service)<br /><br />Sukarelawan (volunteer) adalah individu atau kelompok yang memberikan waktu, keahlian, dan bakat yang dimiliki pada suatu hal yang mereka yakini, tanpa mendapatkan bayaran apapun atau tanpa mengharapkan kompensasi finansial secara langsung. Menurut beberapa penelitian, orang-orang yang biasanya menjadi seorang sukarelawan adalah orang-orang yang telah separuh baya, memiliki tingkat sosial ekomoni menengah, perempuan menikah yang memiliki tingkat pendidikan di atas SMU dan mempunyai anak yang masih dalam usia sekolah (Gerard, Hettman & Jenkins, dalam Thoits & Hewitt, 2001). Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh sukarelawan (volunteering) antara lain partisipasi masyarakat dalam memberikan jasa atau bantuan kepada orang lain secara langsung, kelompok aksi masyarakat, advokasi mengenai suatu masalah, individu maupun kelompok, partisipasi pada kegiatan pemerintah, self-help, dan rentang yang luas pada kegiatan menolong informal (informal helping activities) (Thoits & Hewitt, 2001). Volunteering Australia Inc, sebuah perusahaan pusat untuk kegiatan sukarela di Australia (2005), menyebutkan bahwa dalam kegiatan sukarela aktivitas yang dilakukan bukan untuk organisasi atau proyek yang profit (menghasilkan keuntungan) yang dilakukan dengan beberapa syarat, antara lain untuk menghasilkan keuntungan bagi komunitas masyarakat dan sukarelawan yang melakukannya kegiatan sukarela tersebut, dilakukan oleh sukarelawan atas keinginan sendiri dan tanpa paksaan dari pihak manapun, dan dilakukan bukan untuk mendapatkan pembayaran secara finansial. <br /><br />Goverment of Alberta (2006) menjelaskan kegiatan sukarela (volunteering) sebagai berikut :<br />1. Membagi keahlian dan waktu yang dimiliki kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun.<br />2. Menunjukkan kepedulian kita kepada suatu hal atau orang lain<br />3. Menunjukkan suatu tanda kedewasaan, yaitu dapat berpikir hal-hal lain selain kebutuhan atau keinginan sendiri.<br />4. Mengekspresikan kepercayaan dan nilai-nilai melalui jasa atau pelayanan untuk orang lain<br />5. Meningkatkan well-being diri sendiri melalui memberikan bantuan untuk orang lain.<br /><br />Melihat penjabaran di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa suatu kegiatan dapat disebut sebagai kegiatan sukarela apabila kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi orang lain, yang dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan berupa jasa atau layanan, dimana kegiatan tersebut memberikan manfaat tidak hanya pada komunitas masyarakat namun juga individu yang melakukannya. Titik tekan dari kegiatan sukarela adalah bahwa orang yang melakukannya tidak mengharapkan adanya imbalan atas perbuatan yang mereka lakukan tersebut. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Alasan Menjadi Volunteer</span><br />Alasan menjadi sukarelawan : <br />1. Volunteer Motivations Model<br />Menekankan pada motivasi individu untuk mencapai tujuan sebagai sukarelawan. Penelitian mengungkapkan bahwa masing-masing individu mempunyai motivasi yang berbeda-beda dalam memutuskan untuk menjadi sukarelawan, antara lain untuk mempelajari keahlian-keahlian baru, untuk mengembangkan diri sendiri, untuk meningkatkan harga diri, untuk mempersiapkan karir di masa depan, untuk mengekspresikan nilai-nilai personal dan komitmen terhadap masyarakat, dan untuk mengurangi konflik-ego (Omoto & Snyder, Janoski, Musick, & Wilson, dalam Thoits & Hewitt, 2001).<br />2. Values and Attitudes Model<br />Model ini menekankan pada hubungan antara menjadi sukarelawan dengan kepercayaan individu mengenai pentingnya seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang memikirkan kepentingan umum (Janoski; Sundeen, dalam Thoits & Hewitt 2001)<br />3. Role-identity Model <br />Model ini menekankan bahwa pengalaman menjadi sukarelawan di masa lalu mengantarkan pada pengembangan “volunteer role-identity”, yang pada akhirnya memotivasi seseorang untuk melakukan aktivitas sukarela di masa depan (Callero; Charng, Piliavin, & Callero, dalam Thoits & Hewitt 2001). Model lain yang berhubungan adalah Group-Identity Model, yang mengatakan bahwa individu memiliki motivasi untuk menolong orang-orang yang secara kolektif mereka anggap memiliki identitas yang sama dengan diri individu tersebut. Contohnya adalah seorang gay yang teridentifikasi dengan komunitas gay akan cenderung membantu orang-orang dengan HIV/AIDS (Simon, Sturmer, & Steffens; Stark & Deaux, dalam Thoits & Hewitt 2001)<br />4. The Volunteer Personality Model<br />Faktor kepribadian menjadi motivasi seseorang untuk menjadi sukarelawan. Penelitian yang dilakukan oleh Penner dan Finkelstein (dalam Thoits & Hewitt 2001) menunjukkan bahwa kepribadian prososial memiliki hubungan positif dengan panjang dan lamanya waktu yang diberikan untuk menjadi sukarelawan.<br />5. The Personal Well-Being Model<br />Model ini merupakan model yang paling jarang diteliti dibandingkan model lainnya dalam penelitian mengenai sukarelawan. Dalam model ini, karakter kepribadian dan kesehatan mental maupun fisik sebagai sumber yang dibutuhkan untuk dapat terlibat dalam kegiatan sukarela (menjadi sukarelawan). Hal-hal yang termasuk di dalamnya adalah kepercayaan diri, kontrol diri, harga diri, dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah (Thoits & Hewitt 2001)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Prinsip-Prinsip dan Manfaat Volunteering (Kegiatan Sukarela)</span><br />Dalam kegiatan sukarela ada beberapa prinsip yang perlu diberikan perhatian serta manfaat-manfaat yang dapat diperoleh oleh orang-orang yang melakukannya. Adapun beberapa prinsip dalam kegiatan sukarela adalah sebagai berikut : (Govenrment of Alberta, 2006) . <br />1. Kegiatan tersebut memberikan keuntungan bagi komunitas masyarakat dan sukarelawan<br />2. Pekerja sukarela tidak mendapatkan bayaran dalam melakukan kegiatan tersebut.<br />3. Kegiatan sukarela dilakukan atas dasar pilihan sendiri (tanpa paksaan pihak manapun).<br />4. Kegiatan sukarela bukan sebuah kegiatan wajib yang dilakukan untuk mendapatkan dana pensiun ataupun tunjangan dari pemerintah<br />5. Kegiatan sukarela adalah sebuah kegiatan yang legal yang masyarakat dapat berpartisipasi<br />6. Kegiatan sukarela adalah sebuah kegiatan yang dilakukan hanya pada sektor non-profit<br />7. Kegiatan sukarela bukan suatu subsitusi dari suatu pekerjaan yang mendapatkan bayaran.<br />8. Sukarelawan tidak menggantikan posisi pekerja yang berbayar ataupun mengancam keamanan kerja dari pekerja yang berbayar<br />9. Kegiatan sukarela menghormati hak, kehormatan, dan budaya dari orang lain.<br />10. Kegiatan sukarela mengedepankan hak azasi manusia dan persamaan hak.<br /><br />Sedangkan beberapa manfaat melakukan kegiatan sukarela yang dapat diraih oleh oleh-orang yang melakukannya, antara lain : (Govenrment of Alberta, 2006) <br />1. Mendapatkan pengalaman dalam bekerja <br />2. Menunjukkan keahlian-keahlian yang telah dimiliki sebelumnya sekaligus mempelajari keahlian-keahlian baru<br />3. Bertemu dengan orang-orang baru dan membuat suatu jaringan yang dapat membantu untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan<br />4. Mencoba (try out) rencana karir yang dipunya dengan bekerja sukarela di bidang yang memang menjadi minat<br />5. Menunjukkan dan melatih kedewasaan yang berguna saat bekerja dalam perusahaan sesungguhnya<br />6. Untuk mengeksrpesikan nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut<br />7. Membuat perasaan menjadi lebih baik<br />8. Merasa lebih percaya diri akan keahlian yang dimiliki<br />9. Mengubah hal-hal yang diminati menjadi suatu tindakan nyata<br />10. Membuat perubahan karir<br />11. Mengekspresikan diri<br />12. Mengeksplorasi lingkungan sekitar<br />13. Mengetahui atau mengenali diri sendiri<br /><br />Bagi orang-orang yang melakukan kegiatan sukarela maka akan mendapatkan berbagai manfaat. Khusus mengenai remaja sukarela maka dengan melakukan kegiatan sukarela maka dapat membantu untuk memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia mereka. Beberapa tugas perkembangan yang dapat terpenuhi dengan melakukan kegiatan sukarela adalah dalam hal menseleksi dan menyiapkan pekerjaan untuk dirinya, mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep yang dibutuhkan dalam masyarakat, dan mencapai hubungan sosial yang baru dan lebih dewasa dengan teman sebaya, baik yang sejenis maupun lawan jenis.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-7696448032804759822009-04-12T23:33:00.000-07:002009-04-13T00:02:17.340-07:00VJ#42/IV/2009 : Citizenship in Democratic Society<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 12"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 12"><link rel="File-List" href="file:///D:%5CDOCUME%7E1%5CVerdi%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="City"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="country-region"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="PlaceName"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="PlaceType"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="place"></o:smarttagtype><link rel="themeData" href="file:///D:%5CDOCUME%7E1%5CVerdi%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx"><link rel="colorSchemeMapping" href="file:///D:%5CDOCUME%7E1%5CVerdi%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" name="Hyperlink"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id="ieooui"></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} a:link, span.MsoHyperlink {mso-style-unhide:no; color:blue; text-decoration:underline; text-underline:single;} a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed {mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; color:purple; mso-themecolor:followedhyperlink; text-decoration:underline; text-underline:single;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;">Sudah lama saya tidak menulis di blogs ini. Karena kesibukan, dan juga karena kemalasan. Kangen. Tiba-tiba teringat sebuah essay mengenai masyarakat demokrasi, kewarganegaraan, kepemimpinan dan peran remaja pada tiga hal itu, yang sejatinya saya tujukan untuk sebuah lomba essay. Sungguh sayang apabila essay ini hanya berakhir di folder terdalam dari PC saya. Oleh karena itu, saya ingin membaginya dengan anda para pembaca blogs setia saya.
<br />Selamat menikmati (Dialih bahasa oleh sahabat saya, Sekar Rara) :</p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;">
<br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SeLeFk6ZS3I/AAAAAAAAALg/cgdEHl0hylg/s1600-h/Citizenship.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 188px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SeLeFk6ZS3I/AAAAAAAAALg/cgdEHl0hylg/s320/Citizenship.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5324061896894663538" border="0"></a></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;">As one of the countries supporting democracy in South East Asia, The Republic of Indonesia has indeed a lot of resources that other developed countries would need. Regarding the world trade, <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> is strategically located, because it is surrounded by the main two continents (e.g. Asian and Australian), as well as two oceans (e.g. Hindia and Pacific). Following <st1:country-region st="on">China</st1:country-region> and <st1:country-region st="on">India</st1:country-region>, <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> is in the third place having the largest population, which makes this country become the third largest country supporting democracy, and have the largest Moslem citizen in the world. In addition, <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> has proudly announced its independency for over 60 years, indicating that Indonesian citizen has had a great amount of opportunities to independently manage their country natural resources. These resources supposedly have been used to satisfy the citizens’ well-being and wealth without any interventions from other countries. However, those amazing facts have not been able to include <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> in one of the world most developed countries. Instead, United Nations and all developed countries put Indonesia in the category of developing countries. In other words, the term of “developing country” has been used as a more polite term to explain poor and under-developed countries. Unfortunately, the decision to view <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> as a developing country is surprisingly true. Recent facts have shown that the development in the field of economy, education, and technology is far behind its neighbors (e.g. <st1:country-region st="on">Malaysia</st1:country-region> and <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Singapore</st1:country-region></st1:place>). The irony can further be well-described by an famous idiom in Indonesia “rat that dies in the middle of rice barn”. To be precise, there are still a lot of very poor people in <st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region> that have not been able to meet their daily needs while in fact, <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> has many natural resources. As cited in Antara News website, Susilo Bambang Yudhoyono, the current president of <st1:place st="on"><st1:placetype st="on">Republic</st1:placetype> of <st1:placename st="on">Indonesia</st1:placename></st1:place>, mentioned that there were still 19.2 milion poor families or about 36.3% of the total population. Similarly, World Bank stated that there were 108 million poor families (about 49% of the total population), and this amount showed the biggest and the worst poverty that has happened in <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> since the last 36 years. The government‘s efforts to support economic development have also been delayed due to the increased amount of people having no job, as been stated by one of representatives of Indonesian Parliement (. In 2004, the case of jobless people reached 9.7%, and this number increased to 10.3% in 2005. Work opportunities in <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> also showed no positive trends in 2006, because the unemployed people were increasing to 11.1%. In total, there were more than 40 million people had no job at the end of 2006.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;">Several factors may contribute to the incapability of the Indonesian government to pursue similar progresses in developing the country, as what other countries would do. However, I would mostly like to point out that the primary cause of the poor development is due to the serious cases of corruption that have happened for ages, and have caused some deficits in the Revised National Budget. Additionally, corruption has become the most common thing that Indonesian people do, from those who work in formal institutions (e.g. from government elite to staffs), as well as those who have jobs in other fields (e.g. businessman). The statement was supported by Transparency International (TI) by conducting a survey regarding the measure of corruption level from September-December 2008. In particular, many businessmen in <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> were asked about their perceptions whether it was common or not for the government agents in the level of province to perform corruptions. The survey also measured the government’s efforts to seriously fight against corruptions. The results then showed that based on the Corruption Perception Index (IPK) measured in the survey, Indonesia was on the 126<sup>th</sup> rank from 180 countries, and scored 2.6 points (e.g. scales ranges from 1 = the most corruption cases, to 10 = the least corruption cases). Further, there was only a slight increase from last year, when <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> scored 2.3 points in 2007. As cited in Kompas Newspaper dated on the February 25<sup>th, </sup>2008, Indonesian Corruption Perception Index (IPK) scored 2.72 points during the last few years in average. Other news from similar resource also cited the facts from Political and Economic Risk Consultancy (PERC) that Indonesia was always included in the top-three countries having the most corruption cases for the last 4 years (since 2004).</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;">Therefore, due to the severe actions of corruptions, there are a lot of negative consequences do occur. The most serious problem is that there has been a significant increase in the number of poverty in the last five years. This terrible situation has further failed this government responsibilities stated in the 1945 Constitution of Indonesian Republic to be appropriately executed. Unfortunately, the crisis does not only occur in some under-developed provinces in <st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region>, but also arises in <st1:city st="on">Jakarta</st1:city>, which becomes the capital city of <st1:city st="on">Republic</st1:city> of <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. As the most modern and the biggest city in <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>, there still are a lot of people living in terrible poverties. In addition, the number of poor people increased almost double fold when Indonesian global crisis occurred in 1998. Another consequence of the crisis was many children in <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city> could not continue their studies due to financial reasons. Therefore, these children are inevitably forced to work, which includes becoming newspaper boys, beggars, or doing any other possible informal works. However, at the end of 2008, Indonesian government was still doing some attempts to deal with the children who quit school. In its cooperation with the World Bank and the Asian Development Bank, <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> was given US$113 million or approximately 1.4 trillion Rupiahs for funding the free school programs for these children. In particular, the programs include “Let’s go to school” (“Ayo, Sekolah! “), making school free for everyone. However, those interesting programs have failed to invite the children to study and enjoy the facilities given. The need to get a proper education is indeed lower than the need to support their life and families, so they choose to keep on working instead. As cited in <a href="http://www.ypha.or.id/"><font style="text-decoration: none;" color="#000000">www.ypha.or.id</font></a>, the number of children quitting their elementary school and junior high school are still high. According to National Education Department, there were 1002 elementary school and 2172 junior high school students that were not able to higher educations in 2006/2007. Additionally, it was found that the main reason for quitting school was because they have to support their family needs. Unemployed and bankrupt parents, as well as children having low interests in education may also contribute to a high number of children giving up their school for informal street jobs.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;">Given the terrible facts about the problems that Indonesian citizens experience, are there any contributions from young generations to help the country achieve better condition?. Indeed, participations from young people have had play significant roles in many national events that support <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> development. Their roles, for example, may be obviously shown in continuous massive supports to achieve Indonesian Independency in 1945, as well as overthrowing the authority of previous president, Soeharto, in 1998. This may happen because there were some believes occuring in public that young generations were seen as the most effective agents of change, as well as the only trusted community agent supporting citizen main privileges. A lot of people indeed put much more hopes to this young generation than the local government in making <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> as a better place to live. However, in recent times, there has been a growing pessimism that young generations can no longer be the agents of change. The main reason is that nowadays, many young people become more materialistic and consumptive due to the capitalism attacks in 3F (Food, Fashion, and Films). This tendency was indeed confirmed by the recent surveys conducted by Surindo in 2000, which was investigating the patterns of teenage behaviors in 9 big cities in Indonesia (e.g Jakarta, Bandung, and Surabaya). The results showed that their living styles were mostly glamorous. Students from various institutions shopping in malls were the participants, and it was found that their behaviors showed more tendencies of ignoring other surroundings, chatting with the same teenagers in big cliques and smoking a lot. These facts are not surprising, considering that these behaviors have become the common teenage styles for the last few years. Additionally, as cited in another source, <a href="http://kapmi.tripod.com/artikel/dakwah_sekolah.htm"><font style="text-decoration: none;" color="#000000">http://kapmi.tripod.com/artikel/dakwah_sekolah.htm</font></a>, in the last 10-15 years, teenagers living in big cities in <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> have shown more juvenile sexual and social deviances in public. Fighting with other teenagers from different schools and any other kind of deviances exposed by the media has made public have a lot of negative perceptions about teenagers, such as, community perceives that teenagers are now not able to fight for the equity of public privileges, as well as becoming great agents of change for the country. Teenagers are now mostly viewed as young people who love to hanging out with friends in consumptive and materialistic patterns.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;">Furthermore, pessimistic views about young generations can never be changed or become worse if we, as one of the young people, do not create the changes. Now, it is the time for young generations to show up in the front line in supporting the development of <st1:place st="on"><st1:placetype st="on">Republic</st1:placetype> of <st1:placename st="on">Indonesia</st1:placename></st1:place>, so they further can give their contributions to the country. They can not only perform several acts of demonstrations on the street, but also perform more concrete actions that can directly make benefits to the community. However, to do such great attempts is not easy, considering the fact that young people are frequently having difficulties to give their constructive opinion to the government. Hence, what is the most effective way to encourage good changes in this country? One of the tangible actions is improving the quality of the education system through establishing independent education institutions. The aim is to share knowledge to students who are not able to study in formal schools, for free. According to National Education Department the number of Non-Government Organization asking permission to create the center of learning activities for students increased significantly from previous years. This learning center is a place that allows any kind of active learning processes to occur, which is managed independently by NGO as one form of community social responsibilities (e.g. from providing facilities, teachers, and ensure the continuity of learning process). It is amazing to know that in fact, the number of such learning center reached 427 in 2007, and they are located in different places in <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. The most importantly, there are 6825 students studying in these independent learning centers. Therefore, as what expected by all principals in this independent institution, those students can learn about formal and moral educations, which further lead to the shaping of good individual behaviors and characters. As a consequence, the number of cases showing moral degradations (e.g. corruptions) is expected to decrease, because these children has been taught not to take something that does not belong to him or her in school. However, there is still one big challenge to run the learning centre independently, considering that government do not give much financial supports. Hence, in order to manage the learning activities to operate smoothly, the organization has to actively promote these activities so they can attract companies (e.g. sponsorships) and other people who want to personally donate. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;">Moreover, many young people are working in one of those independent learning centers as volunteers. Thoits and Hewiit (2001) defines volunteering as an activity in which someone can give his or her time and skills possessed in performing some tasks or works without expecting any direct financial benefits. Additionally, Volunteering Australia Inc, also states that volunteering means activities that are not performed for profitable organizations or projects. Instead, volunteering includes activities that give benefits to society and the volunteers, and those activities are performed without being forced to do so by others, as well as without any financial compensation. To give a clear explanation about volunteering, I conducted an interview to one of the teenage volunteers in 2008, investigating the reasons to volunteer. She then explained that by volunteering, she was able to practice the way she taught, because she planned to be a kindergarten teacher in the future. She also mentioned that volunteering has given her the ultimate happiness in her life; because by sharing knowledge to others, she could help a lot of poor children achieve their bright future. This could be an interesting point because despite the more patterns of hedonistic behaviors in teenager that has occurred these days, there are still teenagers doing good social activities aiming to help others. Therefore, by doing concrete actions presented above, it is promising to say that all teenagers could give tangible contributions to their country if they have strong wills to do that. One of the most plausible strategies is to show our belongingness to society, or in this case, our citizenship. This may be done by being an active member who always supports any good progresses that happen in his or her own society. As cited in <a href="http://josephsoninstitute.org/MED/MED-2sixpillars.html"><font style="text-decoration: none;" color="#000000">http://josephsoninstitute.org/MED/MED-2sixpillars.html</font></a>, it is stated that the dimensions of citizenship include sharing with others, wanting to cooperate, encouraging a better school and environment, participating in most community events, as well as physically and socially ensuring the security of one’s own surroundings. Therefore, being a volunteer in an independent learning center has clearly shown that someone or teenager who does it, has already had high sense of citizenship. If a teenager has made contributions to the country, it means that he has had his own future vision and mission about what he expects the society to become in the future. That is to say that he already has got his own strategies to voice and act his opinion without directly seeing the government elite or staff. Regarding this case, we could learn much from the current President of United Stated of America, President Barrack Obama. He could amazingly convince most American people and especially to the world, that he has the greatest vision and mission about how he would view <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">America</st1:place></st1:country-region> in the future. Obama starts his jobs as an agent of change in <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">America</st1:country-region></st1:place> by asking his citizens to altogether support his programs, as well as supporting many poor people that previously had difficulties in taking benefits from their rights as American citizen. We could also learn from Obama that age does not matter in determining someone’s credibility to be a world leader. It will be more objective to view whether someone is appropriate or not to be a leader by considering the level of one’s integrity, commitment, and how well he personally understands his own people. Therefore, many young people should be confident admitting that they have their own strengths such as competency, integrity, capability, creativity, idealism, and the most importantly, moral commitment as basic skills and knowledge required to develop their country, Republic of Indonesia.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b style=""><u>References :<o:p></o:p></u></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Thoits, Peggy A., & Hewitt, Lyndi N. (2001). <i style="">Volunteer Work and Well-Being</i>. Journal of Health and Social Behavior, 42, 115-131.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">Volunteering Australia Inc. (2005). Definitions and Principles of<font style=""> </font>Volunteering. Australia</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><u>http://www.ti.or.id/researchsurvey/90/tahun/2008/bulan/09/tanggal/23/id/3465/ <a href="http://www.antara.co.id/arc/2007/7/6/kondisi-indonesia-saat-ini-terburuk-dalam-36tahun/"><font color="#000000">http://www.antara.co.id/arc/2007/7/6/kondisi-indonesia-saat-ini-terburuk-dalam-36tahun/</font></a><o:p></o:p></u></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><u><font style="" lang="SV"><a href="http://www.jejak.htmlplanet.com/"><font color="#000000" lang="EN-US">www.jejak.htmlplanet.com</font></a></font><o:p></o:p></u></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><u>http://josephsoninstitute.org/MED/MED-2sixpillars.html<o:p></o:p></u></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><u><a href="http://kapmi.tripod.com/artikel/dakwah_sekolah.htm"><font color="#000000">http://kapmi.tripod.com/artikel/dakwah_sekolah.htm</font></a><o:p></o:p></u></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><u><font style=""><a href="http://www.ypha.or.id/information.php?subaction=showfull&id=1182937298&archive=&start_from=&ucat=2&"><font color="#000000">http://www.ypha.or.id/information.php?subaction=showfull&id=1182937298&archive=&start_from=&ucat=2&</font></a></font><o:p></o:p></u></i></p> Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-40093131739911913952008-10-30T11:25:00.000-07:002009-07-02T18:41:51.161-07:00VJ#41/X?2008 : Keapatisan Politik dalam Sudut Pandang Psikologi<div align="justify"><a href="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SQn9LKjC_WI/AAAAAAAAALA/cTjWjjeNZwI/s1600-h/untitled2.bmp"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5263016007810874722" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 217px; CURSOR: hand; HEIGHT: 160px" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SQn9LKjC_WI/AAAAAAAAALA/cTjWjjeNZwI/s320/untitled2.bmp" border="0" /></a><br /></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify">Pemilihan umum (baik legislatif maupun pilpres) 2009 akan diselenggarakan dalam waktu yang tidak lama lagi. Masing-masing kandidat telah mulai menunjukkan gerak-geriknya. Untuk yang individu, ada yang telah berteriak lantang tanpa ragu akan maju, sampai yang masih malu-malu tapi mau. Partai-partai juga semakin gencar menunjukkan eksistensinya. Segala ruang media dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dari yang elegan, misal lewat iklan televisi, radio, internet, dll, sampai dengan yang kampungan, misal memasang bendera partai--yang besarnya bisa mentupi gedung bertingkat-- di sembarang tempat (paling sering di atas pohon tinggi). Tak bisa dipungkiri memang, selama Negara kita masih berlandaskan demokrasi, maka selama itu pula pemilihan umum masih dibutuhkan dan menjadi tonggak utama jalannya pembaharuan dan perubahan (ke arah positif) buat Negara. Akan tetapi, menurut pengamatan penulis, nampaknya kecenderungan rakyat untuk memilih cenderung tidak antusias. Terutama di kalangan pemuda. Hal ini dibuktikan melalui suatu penelitian di 10 kota besar kota di Indonesia yang baru-baru ini penulis ikuti. Tidak antusias, membosankan, biasa aja, pesimis, dan kata-kata lain yang bernada sama keluar dari mulut pemuda untuk menjawab pendapat mengenai pemilihan umum atau politik pada umumnya.<br />***<br />Melihat perkembangan politik di Indonesia maka ada beberapa hal yang (mungkin) membuat pemuda (rakyat?) menjadi cenderung apatis dalam memandang politik ataupun pemilu. Dalam ilmu politik ada hal yang disebut dengan Keterlibatan psikologis, yaitu sebagai derajat ketertarikan atau perhatian seseorang pada politik dan kepercayaan bahwa partisipasi politiknya bermanfaat. Semakin kuat keterlibatan psikologis seseorang maka semakin cenderung ia untuk berpartisipasi dalam politik (misalnya dengan turut serta memberikan suara dalam pemilu), sedangkan non-pemilih cenderung memiliki keterlibatan psikologis yang rendah dimana investasi emosional mereka dan dukungan terhadap proses politik berada di bawah rata-rata pemilih. Dikaitkan dengan kondisi pemuda saat ini, banyaknya yang cenderung menjadi non-pemilih (golput) pada saat pemilu dapat disebabkan mereka memiliki keterlibatan psikologis yang rendah karena tidak percaya jika sumbangan suaranya akan bermanfaat bagi dirinya maupun peyelenggaraan negara. Hal ini dapat disebabkan adanya pengetahuan terdahulu (prior knowledge) bahwa keterlibatan diri dalam politik tidak akan membuat perubahan dalam kehidupannya. Dalam bahasa gaulnya “ngapain gue milih, tetap aja BBM mahal” atau “golput aja lah, politikus di mana-mana cuma bisa janji, aplikasi nya NOL”, dan sebagainya. Oleh hal-hal semacam itulah mereka menjadi terkesan tidak peduli dan apatis terhadap kehadiran pemilu. Selama para kandidat masih mengulang pola lama, yaitu hanya janji manis tanpa aplikasi, maka selama itu pula lah pemuda (rakyat) akan apatis. </div><div align="justify">***<br />Hal lain yang membuat partisipasi pemuda (rakyat?) yang rendah dalam kegiatan politik ini dipengaruhi oleh apa yang dinamakan dengan orientasi psikologis, yaitu keadaan nilai yang dimiliki seseorang, yang berperan dalam menentukan pola partisipasi orang tersebut dalam publik. Tentunya setiap orang memiliki sikap, belief dan nilai yang berbeda-beda. Mereka memperolehnya berdasarkan pengalaman sendiri, ataupun melalui pengamatan terhadap pengalaman orang lain (vicarious learning). Orientasi psikologis dalam politik juga merupakan faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Di dalam kehidupan bernegara, pemuda (rakyat) yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik, mempunyai kesetujuan tehadap demokrasi, memiliki nilai positif terhadap pemilu sebagai wadah memilih pemimpin, akan mempunyai mempunyai kecenderungan sikap, belief, dan nilai yang positif pula terhadap politik (dan pemilu). Sedangkan, bagi mahasiswa yang memiliki nilai dan keyakinan yang negatif mengenai politik akan memiliki tingkat partisipasi yang rendah atau bahkan keapatisan terhadap kegiatan-kegiatan politik. </div><div align="justify">***<br />Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan psikologis seseorang dalam politik. Menurut Mangum (2003), keterlibatan psikologis memiliki tiga komponen yaitu: political engagement, efikasi politik, dan political trust. Sekarang penulis akan mencoba membahas satu per satu ketiga faktor tersebut. Pertama, political engagement, yaitu keterlibatan psikologis yang melibatkan level ketertarikan atau kepedulian voter potensial pada politik. Perilaku yang termasuk dalam faktor ini misalnya adalah mengikuti berita seputar pemerintah dan politik, tertarik pada kampanye pemilihan umum, serta peduli akan hasil pemilihan umum. Logikanya adalah banyaknya pengetahuan tentang stimulus politik akan meningkatkan ketertarikan, mengkristalisasi opini, dan mensolidkan keputusan partisipasi politik seseorang. Jadi, salah satu penyebab kenapa pemuda (rakyat) tidak tertarik untuk terlibat dalam pemilu (politik) adalah karena tidak adanya political engagement dalam diri mereka, yang artinya tidak ada ketertarikan untuk mengikuti berita mengenai kampanye Caleg/Capres serta berita lainnya seputar pemilu, bahkan tidak peduli akan hasil pemilu itu sendiri. Bagi mereka, “siapapun yang menang..., terserah!”. Hingga ada sebagian yang akhirnya bilang “milih-nggak milih, gak ngaruuuh”. Para pemuda (rakyat?) tersebut bukan saja tidak aware dengan adanya penyelenggaraan pemilu, tetapi mereka juga menganggap bahwa pemilu tidaklah memiliki arti penting bagi diri mereka. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang optimalnya pemerintah membuat pembelajaran politik dan pengkristalisasian opini yang berkembang mengenai pentingnya keterlibatan pemuda (rakyat) dalam berpartisipasi memberikan suara pada pemilu. </div><div align="justify">***<br />Faktor selanjutnya yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah Efikasi Politik (EP) yang, dalam pandangan tradisional, diartikan sebagai persepsi yang dimiliki seseorang tentang dirinya dan kemampuannya untuk mempengaruhi politik pada situasi tertentu). EP dibagi menjadi dua, yaitu EP eksternal dan EP internal. EP eksternal adalah keyakinan seseorang bahwa pejabat publik cukup responsif terhadap minatnya dan bahwa pemerintah serta institusi politik membantu para pejabat pemerintah untuk menjadi responsif. Sedangkan EP internal adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu memahami politik dan pemerintah serta dapat mempengaruhi politik dan pemerintah melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Terkait dengan kondisi yang ada pada pemuda (rakyat), maka ketidakpedulian pada pemilu dan hal-hal yang terkait lebih kepada karena memiliki EP eksternal dan internal yang rendah. EP eksternal yang rendah memiliki arti bahwa kemungkinan pemuda (rakyat) memiliki keyakinan rendah disebabkan oleh pejabat pemerintah dianggap tidak dapat merespon apa yang diharapkan serta merasa sia-sia untuk ikut berpartisipasi dalam perpolitikan. Sementara itu EP internal yang rendah menyebabkan enggan untuk berpartisipasi, karena mereka tidak memahami seluk-beluk pemilu serta mengganggap suara yang mereka berikan tidak akan memiliki pengaruh terhadap perubahan. ]</div><div align="justify">***</div><div align="justify">Jika ingin dikaji lebih mendalam, Efikasi Politik (EP) internal yang rendah dapat dikaitkan dengan learned helplessness. Pengertian learned helplessness menurut Seligman adalah kepercayaan yang dimiliki seseorang bahwa hasil atau keluaran dari sesuatu terlepas dari segala aksi atau kegiatan yang telah dilakukan olehnya. Learned helplessness dapat pula dipahami sebagai perubahan performa berupa kinerja yang memburuk setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang karena keyakinan bahwa hasil yang diperoleh tidak ada hubungannya (independen) dengan usaha, melainkan dipengaruhi oleh faktor eksternal (misalnya kemampuan yang dimiliki seseorang atau ketidakberuntungan). Jadi, kepercayaan akan ketiadaan kendali yang dapat dipegang oleh pemuda (rakyat) ini tidak hanya membuat mereka berpikir bahwa suara mereka pada saat pemilu tidak akan membuat perubahan pada negara, namun mereka juga akan berpikir bahwa perubahan negara tidak akan terjadi baik jika turut memberikan suara ataupun tidak. Selain itu, ada juga pemuda (rakyat) yang pernah ikut mencoblos pada saat pemilu sebelumnya namun tidak mau untuk ikut mencoblos lagi, karena mereka menganggap usaha mereka dalam memberikan suara pada pemilu gagal berulang-ulang untuk membuat perubahan pada negara. Tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak pemuda (rakyat) yang tidak mau ikut mencoblos pada saat pemilu karena mereka berpikir bahwa peran serta mereka dalam memberikan suara tidak akan berpengaruh terhadap perubahan negara.<br />***<br />Oleh karena itu, aplikasi nyata para kandidat lebih ditunggu saat ini.<br />Rakyat tidak butuh janji. Janji tidak bisa membuat perut kenyang.<br />Rakyat tidak butuh iklan dengan kuantitas tinggi di televisi. Iklan tidak bisa membuat mereka pintar.<br />Rakyat tidak butuh bendera yang ukurannya bahkan (kadang) lebih besar dari rumah mereka. Bendera tidak bisa membuat mereka aman dan nyaman.<br />Rakyat butuh aksi konkret. Sekarang!<br /><br />Sumber :<br />Departemen Litbang Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi Periode 2005-2006; Sujarwadi. BENARKAH MAHASISWA UI APATIS?? </div>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-71933154338881774142008-10-21T08:02:00.000-07:002008-10-21T08:29:18.327-07:00VJ#40/X/2008 : Depresi : definisi, dampak, dan treatment<a href="http://1.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SP3z3NChW7I/AAAAAAAAAKw/Y7fikTz-bnA/s1600-h/depresi.bmp"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5259628069557197746" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 197px; CURSOR: hand; HEIGHT: 197px" height="273" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SP3z3NChW7I/AAAAAAAAAKw/Y7fikTz-bnA/s320/depresi.bmp" width="197" border="0" /></a><br /><p><br />Kehidupan manusia modern saat ini -sepertinya- tidak bisa lepas dari kondisi lingkungan yang dirasakan semakin menekan. Tekanan itu dapat datang dari segala hal, baik dari keluarga, lingkungan pertemanan, lingkungan kerja, atau bahkan karena kondisi negara. Apabila seseorang tidak dapat mengatasi tekanan-tekanan tersebut dengan baik maka berpotensi untuk menimbulkan ketegangan-ketegangan yang tertahan dalam diri, yang pada akhirnya dapat mengarah ke kondisi depresi. Kata terakhir ini tentu sudah bukan hal asing di telinga kita. Entah mengetahuinya dari media, melihat langsung di lingkungan, atau bahkan pernah mengalaminya sendiri. Apa dan bagaimana sebenarnya depresi itu, dampaknya, dan bagaimana kah penanganannya pada org/klien yg depresi??</p><br /><p>Tulisan ini mencoba memberikan penjelasan singkat mengenai depresi tersebut.<br /><br /><strong><u>Definisi Depresi<br /></u></strong>Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang", meliputi seluruh tubuh, suasana perasaan dan pikiran. ia juga mempengaruhi pola makan dan tidur. Gangguan ini tidak sama dengan seorang yang dalam keadaan kelelahan atau malas. Seorang yang mengalami gangguan depresi tidak dapat "menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat kembali pada keadaannya seperti semula. Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala tersebut mengakibatkan terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya dari seseorang dan gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih lama. Penatalaksanaan yang sesuai dapat menolong seseorang yang mengalami depresi untuk cepat kembali seperti semula lebih baik. Definisi gangguan depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan dengan rasa sedih yang dalam dan berkepanjangan. Penderita hilang minat (interest) pada sesuatu yang sebelumnya menyenangkan baginya. Biasanya disertai dengan perubahan-perubahan lain pada dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah lelah dan berkurangnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.<br /><br /><strong><u>Faktor Penyebab Depresi<br /></u></strong>Untuk menemukan penyebab depresi kadang-kadang sulit sekali karena ada sejumlah penyebab dan mungkin beberapa diantaranya bekerja pada saat yang sama. Dari sekian banyak penyebab itu, antara lain adalah :<br /><br />Faktor Psikososial<br />Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan dapat berpengarubdalam terjadinya depresi pada seseorang. Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi. Salah satu bentuk peristiwa kehidupan adalah kehilangan, yang dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :<br />a. Kehilangan abstrak: kehilangan harga diri, kasih sayang, harapan atau ambisi.<br />b. Kehilangan sesuatu yang konkrit: rumah, mobil, protet, orang atau bahkan binatang kesayangan.<br />c. Kehilangan hal yang bersifat khayal (tanpa fakta) : merasa tidak disukai atau dipergunjingkan orang.<br />d. Kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang: menunggu hasil tes kesehatan, menunggu hasi ujian, dan lain-lain.</p><br /><p><br />Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Hawari (1999) bahwa seseorang yang kehilangan kebutuhan afeksional (kasih sayang) dapat jatuh dalam depresi, seperti kehilangan orang yang dicintai karena meninggal atau kehilangan jabatan/pekerjaan.<br /></p><br /><p><strong><u>Reaksi Stres<br /></u></strong>Paykel dan Hollyman; Leff & Vaughn; Brown et. al (dalam Comer, 1991) menemukan bahwa dokter-dokter terkemuka mengatakan bahwa depresi itu berasal dari peristiwa-peristiwa yang penuh dengan stress. Peristiwa hidup yang penuh stress juga mengawali munculnya schizoprenia, anxiety disorder dan gangguan psikogis lainnya, tetapi orang yang depresi dilaporkan lebih mudah terpengaruh daripada orang lain. Sumber stress seperti kehilangan orang yang dicintai, perceraian, kegagalan dan tekanan pekerjaan dapat memberi sumbangan untuk munculnya depresi (Coyne et al; Eckennode Lewinsohn & Amenson; Stone & Neale dalam Rathus & Nevid, 1991). Sarason & Sarason (1993) menyatakan bahwa depresi dapat juga disebabkan karena ada faktor gen atau karena tidak berfungsinya beberapa faktor fisiologis yang mungkin diwarisi ataupun tidak.<br /><br /><strong><u>Gejala-Gejala Depresi<br /></u></strong>Secara lengkap gambaran depresi menurut DSM IV adalah sebagai berikut :<br />a. Mood depresi sepanjang hari, hampir sepanjang hari, terindikasi baik melalui perasaan subjektif (perasaan sedih atau kosong) maupun melalui observasi orang lain (tampak sedih)<br />b. Ditandai dengan berkurangnya minat atau gairah pada segala hal, atau hampir segala hal, dalam aktivitas sepanjang hari, ataupun hampir sepanjang hari.<br />c. Berat badan menurun secara signifikan tanpa melakukan diet atau penaikan berat badan (perubahan lebih 5 % dari berat badan setiap bulan), atau penaikan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari.<br />d. Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.<br />e. Agitasi dan retadasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tidak berdaya).<br />f. Psikomotor menjadi lebih lambat (atas observasi orang lain)<br />g. Fatique atau kehilangan energi hampir setiap hari.<br />h. Perasaan tidak berharga atau perasan bersalah yang berlebihan dan tidak sesuai (dapat berupa delusi) hampir setiap hari.<br />e. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari.<br />f. Pikiran berulang tentang kematian, pikiran berulang untuk bunuh diri tapa rencana yang spesifik, adanya percobaan untuk bunuh diri atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.<br /></p><br /><p><strong><u>Treatment yang dapat digunakan</u></strong></p><br /><p>a. Relaksasi Teknik Stabilisasi (Lightstream)<br />Klien dilatih untuk melakukan relaksasi ketika ia sedang merasa tertekan. Ia diminta untuk menutup mata dan menarik nafas perlahan-lahan lalu melepaskannya. Kemudian, Ia diminta untuk membayangkan adanya sebuah sinar yang dapat membuat dirinya merasa nyaman.<br /><br />b. Cognitive Behavior Therapy<br />- Mengubah pemikiran-pemikiran negatif klien yang membuatnya depresi menjadi positif<br />- Mengenali automatic thought<br />Klien diminta untuk memperhatikan apa yang ia pikirkan ketika ia mengetahui adanya rasa tertekan muncul. Pada tahap ini, klien diarahkan untuk mengenali situasi-situasi saat rasa tertekan muncul sehingga menimbulkan automatic thought pada dirinya.<br />- Mengonfrontasi automatic thought<br />Pemeriksa kemudian meminta UY untuk mengonfrontasi automatic thoughtnya tersebut, salah satunya dengan cara menanyakan “ Apakah kamu 100% yakin bahwa (automatic thought) akan terjadi?”<br /><br />c. Membuat garis peristiwa hidup yang dilengkapi dengan tingkat kecemasan (range 0-100) pada setiap peristiwa bermakna yang dilaluinya. Hal ini dilakukan untuk membuat klien lebih dapat mengenali perasaan tertekannya selama ini.<br /><br />d. Memberikan psikoedukasi mengenai pentingnya untuk tetap berkegiatan, seperti olahraga, bekerja, dan bersosialisasi dengan lingkungan. Hal-hal tersebut dapat membantu untuk mengurangi depresi atau kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri.</p><br /><p>e. Pemberian psikoedukasi mengenai manfaat berbagi dan bersikap terbuka dengan orang lain. Dengan berbagi masalah maka dapat membantu klien untuk mengurangi kecemasan, membuat perasaan menjadi lebih baik, dan dapat pula membantu untuk memecahkan masalah. </p><br /><p><span style="font-size:85%;">Sumber :<br />American Psychiatric Association. (2000). Desk Reference To The Diagnostic Criteria from DSM-IV-TR. USA : American Psychiatric Publishing, Inc.</span><span style="font-size:85%;"><br />Subotnik, Rona B., Harris, Gloria G. (2005) Surviving Infidelity : Making decision, recovering from the pain (3rd edition). Canada : Adams Media<br /></span><a href="http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=5&iddtl=260"><span style="font-size:85%;">http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=5&iddtl=260</span></a><span style="font-size:85%;"> diakses 24 September 2008<br /></span><a href="http://pdskjijaya.com/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid1"><span style="font-size:85%;">http://pdskjijaya.com/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid1</span></a><span style="font-size:85%;"> diakses 24 September 2008<br /></span><a href="http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/156_07DepresiParkinson.pdf/156_07DepresiParkinson.html%20diakses%2024%20September%202008"><span style="font-size:85%;">http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/156_07DepresiParkinson.pdf/156_07DepresiParkinson.html diakses 24 September 2008</span></a><br /><a href="http://www.geocities.com/andryan_pwt/depresi.html?200825"><span style="font-size:85%;">http://www.geocities.com/andryan_pwt/depresi.html?200825</span></a><span style="font-size:85%;"> diakses 24 September 2008</span></p>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-23709487417867764222008-09-18T09:55:00.000-07:002008-09-18T10:02:41.247-07:00VJ#39/IX/2008 : Gagal Ginjal, Stres, dan Perawatannya<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SNKJmbitVsI/AAAAAAAAAIE/P3yeqzSL-UI/s1600-h/narmada-kidney-foundation.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 213px; height: 240px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SNKJmbitVsI/AAAAAAAAAIE/P3yeqzSL-UI/s320/narmada-kidney-foundation.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5247407809161418434" border="0" /></a><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Sumber : </span><br />Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006<br />(dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/06010311.pdf diakses 10 Agustus 2008)</span><br /><br />Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh. Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan ke arah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis serangan gagal ginjal, yaitu akut dan kronik. Gagal Ginjal Akut (GGA), timbulnya mendadak, bila dikelola baik akan sembuh sempurna, sedangkan gagal Ginjal Kronik (GGK), terjadinya perlahan-lahan, tidak dapat sembuh.<br /><br />Penanganan serta pengobatan gagal ginjal tergantung dari penyebab terjadinya kegagalan fungsi ginjal itu sendiri. Pada intinya, tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi dan memperlambat perkembangan penyakit. Sebagai contoh, pasien mungkin perlu melakukan diet penurunan intake sodium, kalium, protein, dan cairan. Bila diketahui penyebabnya adalah dampak penyakit lain, maka dokter akan memberikan obat-obatan atau terapi misalnya pemberian obat untuk pengobatan hipertensi, anemia, atau mungkin kolesterol yang tinggi. Seseorang yang mengalami kegagalan fungsi ginjal sangat perlu dimonitor pemasukan (intake) dan pengeluaran (output) cairan, sehingga tindakan dan pengobatan yang diberikan dapat dilakukan secara baik. Dalam beberapa kasus serius, pasien akan disarankan atau diberikan tindakan pencucian darah {Haemodialisa (dialysis)}. Kemungkinan lainnya adalah dengan tindakan pencangkokan ginjal atau transplantasi ginjal.<br />Ginjal memegang banyak peranan penting bagi tubuh kita, selain peranan utamanya dalam produksi urin, ginjal juga berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh kita, pengaturan status asam-basa (pH darah), pembentukan sel darah merah, pengaturan tekanan darah hingga pembentukan vitami D aktif. Bila ginjal gagal melaksanakan fungsinya, maka fungsi-fungsi di atas juga akan terganggu, urin tidak dapat diproduksi dan dikeluarkan, keseimbangan cairan terganggu yang dapat menyebabkan tubuh bengkak dan sesak napas, racun-racun akan menumpuk, tekanan darah dapat tak terkendali, anemia yang akan memperberat kerja jantung hingga gangguan pembentukan tulang. Komplikasi di atas akan mempengaruhi fungsi organ lain mulai dari jantung, hati, pencernaan hingga otak yang akan meningkatkan risiko morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (kematian).<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Gagal ginjal dan Stres</span><br />Keadaan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya mengakibatkan<br />terjadinya perubahan dalam kehidupan penderita gagal ginjal terminal yang melakukan terapi<br />hemodialisa (biasanya disingkat dengan pasien hemodialisa). Moos dan Schaefer serta Sarason<br />dan Sarason (dalam Sarafino, 1998) mengatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres. Sarafino dan Taylor (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa keadaan stres dapat menghasilkan perubahan, baik secara fisiologis maupun psikologis, yang mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Stres juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu. Hal ini jelas menunjukkan adanya keadaan stres akan memperburuk kondisi kesehatan penderita dan menurunkan kualitas hidupnya.<br />Moos dalam Sarafino (1998) mengemukakan beberapa strategi dalam mengatasi stres yang dapat dilakukan oleh penderita gangguan kesehatan, yaitu :<br />1. Mengingkari atau meminimalisasi keseriusan situasi.<br />2. Mempertahankan kebiasaan rutin sebisa mungkin.<br />3. Memperkirakan kejadian dan keadaan stres yang mungkin muncul di masa yang akan datang.<br />4. Mencoba memiliki pandangan baru tentang masalah kesehatan tersebut dan perawatannya dengan menemukan tujuan jangka panjang atau makna dari pengalaman tersebut.<br />5. Mencari informasi tentang masalah kesehatan tersebut dan prosedur perawatannya.<br />6. Mencari dukungan instrumental dan emosional dari keluarga, teman dan praktisi kesehatan yang terlibat dengan menunjukkan kebutuhan dan perasaan.<br /><br />Agar dapat menjalankan strategi tersebut dengan baik, individu membutuhkan bantuan<br />dari orang lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang<br />dekat dengan teman dan kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka<br />yang sedang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki<br />keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne, 1994; Sheridan & Radmacher, 1992). Secara<br />umum dikatakan pula bahwa individu yang merasa menerima penghiburan, perhatian dan<br />pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih<br />mudah mengikuti nasehat medis (DiMatteo & DiNicola dalam Sarafino, 1998).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Perawatan dengan Konseling Paliatif</span><br />Perawatan atau konseling paliatif adalah bentuk perawatan yang bertujuan untuk berusaha meningkatkan kualitas hidup pasien saat menghadapi penyakitnya. Perawatan paliatif berfokus untuk meredakan gejala-gejala seperti rasa sakit dan kondisi seperti kesepian, yang dapat menyebabkan depresi dan mengganggu pasien untuk dapat menjalani hidup. Pengobatan ini juga berusaha memastikan bahwa keluarga dapat tetap berfungsi normal dan utuh serta memberikan dukungan kepada pasien. Adapun bentuk-bentuk perawatan paliatif yang dapat diterapkan kepada pasien antara lain sebagai berikut :<br />• Mengurangi rasa sakit dan gejala tidak nyaman lainnya. Hal ini dilakukan dengan berkonsultasi dengan dokter terkait.<br />• Memberikan psikoedukasi mengenai arti kehidupan dan memandang kematian sebagai suatu proses yang normal.<br />• Melakukan terapi kelompok dengan sesama penderita gagal ginjal. Tujuannya antara lain agar peserta terapi, termasuk pasien, dapat saling memberi dukungan, berbagi pengalaman, dan mendapat informasi seputar penyakit gagal ginjal dari sesama anggota kelompok<br />• Meningkatkan kualitas hidup dan memberikan pengaruh positif selama sakit, antara lain dengan mendorong pasien agar tetap aktif dalam berkegiatan (seperti olahraga dan bekerja) dan membuat perencanaan terperinci mengenai rencana masa depan, termasuk bidang pekerjaan yang akan didalami.<br />• Memberikan psikoedukasi kepada keluarga pasien mengenai pentingnya dukungan keluarga bagi pasien dalam menghadapi penyakitnya.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-42929819885619298722008-08-05T08:10:00.000-07:002008-08-05T08:18:27.140-07:00VJ#38/VIII/2008 : Disgust Test<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SJhuIhuGfQI/AAAAAAAAAH8/1Ty7YPAzU34/s1600-h/disgust.gif"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 326px; height: 184px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SJhuIhuGfQI/AAAAAAAAAH8/1Ty7YPAzU34/s320/disgust.gif" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5231052059960573186" border="0" /></a><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Disgust..<br />Pernah mendengar kata itu?<br />Dalam bahasa indonesia artinya kurang lebih adalah jijik atau jorok..Disgust di sini dalam arti hal-hal yang membuat kita akan menyipitkan mata, menyeringai, atau berteriak "hiii", saat melihatnya..Mau tahu seberapa tingkat "disgust" anda terhadap barang-barang atau hal-hal di sekitar anda..??<br /><br />Pliz Klik <a style="font-weight: bold;" href="http://www.bbc.co.uk/science/humanbody/mind/surveys/disgust/index.shtml">YANG SATU INI</a><br /><br />Enjoy!<br /><br />Arya Verdi R.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-63873267776107711952008-07-26T11:11:00.000-07:002008-07-26T11:25:25.355-07:00VJ#37/VII/2008 : MOOD DISORDERS<a href="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SItradZcfiI/AAAAAAAAAHM/Y08vXaB3ITg/s1600-h/depressed13.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5227389894805716514" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 635px; CURSOR: hand; HEIGHT: 175px" height="175" alt="" src="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SItradZcfiI/AAAAAAAAAHM/Y08vXaB3ITg/s320/depressed13.jpg" width="386" border="0" /></a><br /><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;"></span></em></div><div><em><span style="font-size:85%;">courtesy of mitta and imel, KLD XII</span></em></div><div> </div><div></div><div></div><div>KARAKTERISTIK UMUM GANGGUAN MOOD</div><div><strong></strong></div><div><strong>Tanda dan Gejala Depresi</strong><br />Depresi adalah keadaan emosional yang ditandai kesedihan yang sangat, perasaan bersalah dan tidak berharga, menarik diri dari orang lain, kehilangan minat untuk tidur, seks, serta hal-hal menyenangkan lainnya. Orang yang depresi mungkin:<br />- Sulit konsentrasi, bicaranya pelan, kata-kata monoton, suara pelan<br />- Memilih untuk sendirian dan berdiam diri; atau justru tidak bisa diam<br />- Sulit menemukan solusi permasalahan<br />Tanda dan gejala depresi mungkin bervariasi bergantung usia, anak-anak yang depresi seringkali menunjukkan keluhan somatis, seperti sakit perut atau sakit kepala, sedangkan orang dewasa yang depresi seringkali mudah lupa dan mudah terdistraksi.<br /><br /><strong>Tanda dan Gejala Mania<br /></strong>Mania adalah keadaan emosi/ mood yang meningkat, sangat gembira tanpa alasan yang jelas, seringkali diiringi hiperaktivitas, cerewet, flight of ideas (perasaan subyektif bahwa pikiran seperti berlomba), tidak praktis, mudah terdistraksi, serta meningkatnya kepercayaan diri atau ide kebesaran. Episode mania biasanya berlangsung beberapa hari atau bulan.<br />Simtom mania antara lain: tiba-tiba teriak, kadang sangat humoris, sering kaget dengan benda-benda dan kejadian di sekelilingnya.<br /><br /><strong>Diagnostik Formal Gangguan Mood Menurut DSM IV-TR<br /></div></strong><br /><div>A. Diagnosis Depresi (Depresi Mayor/ Unipolar)<br />- Minimal 2 minggu kehilangan minat dan kesenangan dan mood depresif.<br />- Minimal muncul 4 diantara simptom additional berikut ini, yaitu: gangguan tidur dan nafsu makan, hilang energi, worthlessness, suicidal thought, dan sulit konsentrasi.<br />- Subclinical depression: individu yang simtomnya kurang dari 5, memiliki kesulitan dalam fungsi psikologisà mirip<br />- Depresi 2-3x lebih sering pada wanita daripada pria; lebih sering terjadi pada golongan ekonomi bawah; dewasa muda<br />- Depresi cenderung muncul berulang à 80 % penderita mengalami episode lain<br /><br />B. Diagnosis Gangguan Bipolar<br />- Gangguan Bipolar I: episode mania/ campuran, terdapat simtom mania dan depresi. Episode mania disini minimal muncul 3 simtom additional (4 simptom jika mood hanya irrirable).<br />- Gangguan bipolar lebih jarang muncul daripada depresi mayor<br />- Rata-rata onset: umur 20an, seimbang antara pria dan wanita<br /><br />Heterogenitas Kategori DSM-IV<br />- Banyak penderita dengan gejala heterogen, tapi dikelompokkan pada diagnosis yang sama.<br />- Munculnya delusi dapat membedakan penderita depresi unipolar à tidak reaktif terhadap terapi obat-obatan biasa, kecuali dikombinasikan dengan terapi psikotik.<br />- Sejumlah pasien depresi mengalami fitur melankolis (tidak bahagia/ senang meski terjadi peristiwa menggembirakan, bangun tidur 2 jam lebih cepat, cemas berlebihan) à reaktif terhadap terapi biologis.<br />- Episode manik dan depresif mungkin ditandai fitur katatonik (gangguan motorik, aktifitas tidak bertujuan).<br />- Gangguan bipolar dan unipolar mungkin sifatnya musiman bila pasien secara teratur mengalaminya.<br /><br /><strong>Gangguan Mood Kronik<br /></strong>à Jangka panjang, minimal 2 tahun, belum cukup mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan.<br />Ada 2 jenis:<br />a. Gangguan cyclothymic<br />à Periode depresi dan hipomania berulang. Selama depresi pasien merasa inadekuat, selama hipomania self esteem meningkat. Menarik diri, tidur terlalu sering atau terlalu sebentar, sulit konsentrasi, dan jarang berbicara.<br /><br />b. Gangguan dysthymic<br />à Depresi kronis, feeling blue, sedikit sekali merasa senang, insomnia atau justru terlalu banyak tidur, tidak efektif, letih, pesimis, sulit konsentrasi, dan berpikir jernih, menghindari bersama-sama dengan orang lain. Pasien distimia mengalami 3 atau lebih simtom additional, meliputi mood depresif tapi bukan suicidal thought. Minimal berlangsung selama 2 bulan.<br /><br /><strong>Gangguan Mood dan Kreativitas<br /></strong>Sejumlah artis, komposer, dan penulis yang pernah mengalami gangguan mood adalah impulsif, seperti Michael Angelo, van Gogh, Schumann, dll. Mungkin keadaan manic memicu kreativitas terkait adanya peningkatan mood, energi, pikiran yang muncul tiba-tiba, dan kemampuan menghubung-hubungkan ide. Menurut Weisberg (1994), perubahan mood mempengaruhi motivasi untuk menghasilkan karya kreatif daripada proses kreatif itu sendiri<br /><br /><strong>Gangguan Mood dan Depresi<br /></strong>- Individu yang depresi lebih sedikit menunjukkan ekspresi wajah positif dan mengalami emosi menyenangkan<br />- Gangguan kecemasan biasanya muncul bersamaan dengan depresi.<br /></div><br /><div></div><br /><div><strong>TEORI PSIKOLOGI TENTANG GANGGUAN MOOD<br /></strong><u>Teori Psikoanalisis Tentang Depresi<br /></u>Menurut Freud (1917/ 1950) potensi depresi muncul pada awal masa kanak-kanak. Pada fase oral anak mungkin kurang/ terlalu terpenuhi kebutuhannya, sehingga ia terfiksasi pada fase ini à mengakibatkan individu dependen, low self esteem.<br />Hipotesanya adalah, setelah kehilangan orang yang dicintai, ia mengidentifikasi diri dengan orang tersebut seolah untuk mencegah kehilangan. Lama-lama ia malah marah pada dirinya sendiri, merasa bersalah.<br /><br /><u>Teori Kognitif Tentang Depresi<br /></u>a. Teori depresi Beck (1967)<br />Individu menjadi depresi akibat interpretasi negatif yang bias. Pada waktu kecil/ remaja muncul skema negatif akibat kejadian-kejadian burukà ia merasa akan selalu sial/ gagal, dipadu dengan bias kognitif muncul triad negatif (pandangan sangat negatif tentang diri, dunia, masa depan)<br /><br />b. Teori helplessness/ hopelessness<br />1. Learned helplessness: kepasifan individu dan perasaan tak berdaya mengontrol hidupnya, didapat dari pengalaman-pengalaman buruk/ trauma, mengarah pada depresi<br />2. Attribution and learned helplessness: pada situasi dimana individu pernah gagal, ia akan mencoba mengatribusikan penyebab kegagalan. Individu depresi bila mereka mengatribusikan kejadian negatif bersifat stabil dan global. Individu depresi biasanya menunjukkan depressive attributional styleàmengatribusikan rasa hasil negatif sebagai personal, global, penyebabnya stabil<br />3. Teori hopelessness<br />Sejumlah bentuk depresi dianggap sebagai akibat hopelessnessà merasa hasil yang diharapkan takkan pernah muncul, individu tak bisa merubah situasi. Kemungkinan muncul akibat self esteem yang rendah, kecenderungan anggapan bahwa kejadian negatif akan mengakibatkan sejumlah hal negatif<br /><br /><strong>Teori Interpersonal Tentang Depresi<br /></strong>- Individu depresi cenderung terbatas jaringan dan dukungan sosialnyaàmengurangi kemampuan individu mengatasi kejadian negatif, rentan terhadap depresi<br />- Individu depresi berusaha meyakinkan diri bahwa orang lain benar peduli. Namun ketika yakin, rasa puasnya hanya sebentar. Berhubungan dengan konsep diri negatif.<br />- Kompetensi sosial yang rendah diperkirakan memunculkan depresi pada anak usia TK<br />- Interpersonal problem solving skill yang rendah dapat meningkatkan depresi pada remaja<br /><br /><strong>Teori Psikologi Tentang Gangguan Bipolar</strong><br />- Tekanan hidup adalah faktor penting munculnya gangguan bipolar<br />- Dukungan sosial dapat mempercepat penyembuhan simptom depresi, tapi tidak simtom mania<br />- Attributional style + sikap disfungsi + kejadian buruk ---->peningkatan simptom depresi ataupun mania pasien bipolar<br />- Self esteem individu mania mungkin sangat rendah<br /><br />TEORI BIOLOGI TENTANG GANGGUAN MOOD<br /><strong>Genetic Data<br /></strong>Penelitian mengenai faktor genetis pada gangguan unipolar dan bipolar melibatkan keluarga dan anak kembar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10-15% keluarga dari pasien yang mengalami gangguan bipolar pernah mengalami satu episode gangguan mood (Gherson, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pada gangguan unipolar, meskipun faktor genetis mempengaruhi, namun kurang menentukan dibandingkan gangguan bipolar. Resiko akan meningkat pada keluarga pasien yang memiliki onset muda saat mengalami gangguan. Berdasarkan beberapa data diperoleh bahwa onset awal untuk depresi, munculnya delusi, dan komorbiditas dengan gangguan kecemasan dan alkoholisme meningkatkan resiko pada keluarga (Goldstein, et al., 1994; Lyons et al., 1998, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).<br /><br /><strong>Neurochemistry dan Mood Disorders<br /></strong>Dua neurotransmitter yang berperan dalam gangguan mood adalah norepinephrine dan serotonin. Norepinephrine terkait dengan gangguan bipolar dimana tingkat norephinephrine yang rendah menyebabkan depresi dan tingkat yang tinggi menyebabkan mania. Sedangkan untuk serotonin, tingkatnya yang rendah juga menyebabkan depresi. Terdapat dua kelompok obat untuk depresi, yaitu tricyclics dan monoamine oxidase (MAO) inhibitors. Tricyclics seperti imipramine (tofranil) adalah obat antidepresan yang berfungsi untuk mencegah pengambilan kembali norephinephrine dan serotonin oleh presynaptic neuron setelah sebelumnya dilepaskan, meninggalkan lebih banyak neurotransmitter pada synapse sehingga transmisi pada impuls syaraf berikutnya menjadi lebih mudah. Monoamine oxidase (MAO) inhibitors merupakan obat antidepresan yang dapat meningkatkan serotonin dan norephineprhine. Terdapat pula obat yang dapat secara efektif mengatasi gangguan unipolar, yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors, seperti Prozac. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat efek samping dari berbagai obat antidepresan tersebut sehingga peningkatan dari norephineprhine dan serotonin tidak menimbulkan komplikasi lainnya.<br /><br /><strong>Sistem Neuroendokrin<br /></strong>Area limbik di otak berhubungan dengan emosi dan mempengaruhi hipotalamus. Hipotalamus kemudian mengontrol kelenjar endokrin dan tingkat hormon yang dihasilkannya. Hormon yang dihasilkan hipotalamus juga mempengaruhi kelenjar pituitary. Relevansinya terkait dengan simtom vegetatif pada gangguan depresi, seperti gangguan tidur dan rangsangan selera. Berbagai temuan mendukung hal tersebut, bahwa orang yang depresi memiliki tingkat dari cortisol (hormon adrenocortical) yang tinggi, hal itu disebabkan produksi yang berlebih dari pelepasan hormon rotropin oleh hipotalamus (Garbutt, et al., 1994 dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Produksi yang berlebih dari cortisol pada orang yang depresi juga menyebabkan semakin banyaknya kelenjar adrenal (Rubun et al., 1995, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Banyaknya cortisol tersebut juga berhubungan dengan kerusakan pada hipoccampus dan penelitian juga telah membuktikan bahwa pada orang depresi menunjukkan hipoccampal yang tidak normal. Penelitian mengenai Cushing’s Syndrome juga dikaitkan dengan tingginya tingkat cortisol pada gangguan depresi.<br /><br /><strong>An Integrated Theory of Bipolar Disorder<br /></strong>Gangguan bipolar merefleksikan adanya gangguan pada sistem motivasional yang disebut dengan behavioral activation system atau BAS. BAS memfasilitasi kemampuan manusia unuk mendekati atau memperoleh reward dari lingkungannya dan ini telah dikaitkan dengan positive emotional states, karakteristik kepribadian seperti ekstrovert, peningkatan energi, dan berkurangnya kebutuhan untuk tidur. Secara biologis, BAS diyakini terkait dengan jalur syaraf dalam otak yang melibatkan dopamine neurotransmitter dan juga terkait dengan perilaku untuk memperoleh reward. Peristiwa kehidupan yang melibatkan pencapaian tujuan atau reward diprediksi meningkatkan simtom mania. Sedangkan peristiwa positif lainnya tidak terkait dengan perubahan pada simtom mania, dan pencapaian tujuan tidak terkait dengan perubahan dalam simtom depresi. Dengan demikian, BAS dan manifestasi perilakunya, yaitu pencapaian tujuan diasosiasikan dengan simtom mania dari gangguan bipolar.<br /><br /><strong>BERBAGAI TERAPI UNTUK GANGGUAN MOOD<br /></strong>Terapi-terapi Psikologis untuk Depresi<br /><u>Terapi Psikodinamik<br /></u>Disebabkan depresi dianggap berasal dari perasaan akan kehilangan yang kemudian direpres dan juga kemarahan yang secara tidak disadari diarahkan ke diri sendiri, maka terapi psikoanalis mencoba untuk membantu pasiennya memperoleh insight mengenai konflik yang direpres dan mendorong pelepasan kemarahan yang selama ini diarahkan ke dalam dirinya. Tujuan dari terapi psikoanalis adalah untuk membuka motivasi tersembunyi tentang depresi pasien. Pasien seringkali menyalahkan dirinya sendiri atas kurangnya kasih sayang yang diberikan orang tua dan kemudian me-repres keyakinan tersebut. Terapis harus membimbing pasiennya untuk mengkonfrontasi kenyataan dan membantu pasien untuk menyadari rasa bersalah yang tidak berdasar tersebut. Selain itu juga membebaskan pasien dari lingkungan masa kecilnya yang penuh dengan tekanan. Tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari terapi psikodinamik ini.<br />Terdapat pula terapi interpersonal (IPT) dari Klerman dan Weissman’s yang dapat mengatasi gangguan depresi dengan menekankan pada peningkatan kemampuan interpersonal atau sosial, serta interaksi dengan orang lain. Terapi tersebut lebih kepada terapi kelompok yang menekankan pada pemahaman yang baik mengenai masalah interpersonal yang mendorong depresi. Pasien dibebaskan untuk mendiskusikan berbagai masalah interpersonal saat ini dan bukan masa lampau.<br /><br /><u>Terapi Cognitive-Behavioral<br /></u>Depresi terjadi karena skema yang negatif dan kesalahan dalam proses berpikir. Terapis mencoba mempersuasi pasien depresi untuk mengubah pandangan tentang dirinya sendiri dan peristiwa. Terapis juga meminta pasien untuk memperhatikan pernyataan pribadinya dan mengidentifikasi semua pola pikirnya yang menyebabkan depresi agar dapat membuat asumsi yang lebih positif serta realistis. Dapat pula dikembangkan metode Ellis’s rational emotive dan analisis Beck. Melalui metode tersebut, pasien dapat diminta untuk melakukan hal positif ketika mengalami depresi atau terapis memberikan aktivitas pada pasien yang berkaitan dengan pengalaman akan kesuksesan dan membuat pasien berpikir positif mengenai dirinya sendiri. Dengan demikian pendekatannya adalah melakukan perubahan struktur kognitif dengan cara mempersuasi pasien memperoleh perbedaan dalam berpikir.<br /></div><br /><div>· The NIMH Treatment of Depression Collaborative Research Program<br />National Institute of Mental Health (NIMH) melakukan penelitian mengenai terapi kognitif Beck (CT) yang kemudian dibandingkan dengan terapi interpersonal (IPT) dan farmakoterapi, yaitu penggunaan Tofranil (Elkin et al., 1985, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pemilihan terapi berdasarkan pada fokus yang sama pada penanganan depresi dan memiliki instruksi yang eksplisit dan terstandardisasi. Hasil menunjukkan bahwa pasien dengan IPT dan CT menyatakan kepuasannya karena melalui terapi tersebut mereka dapat mengembangkan kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain dan menyadari sumber depresi yang dimilikinya dibandingkan dengan pasien dengan farmakoterapi (Blatt, et al., 2000, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).<br /></div><br /><div>· Mindfulness-Based Cognitive Therapy<br />Difokuskan pada pencegahan timbulnya kembali gangguan yang biasanya mengikuti keberhasilan treatment pada depresi (Segal et al., 1996; Segal et al., 2001; Teasdale et al., 1995, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Gangguan dapat timbul kembali dari pengulangan asosiasi antara mood yang depresi dan pola pikir yang salah selama episode depresi mayor. Berdasarkan hal tersebut, maka jika individu yang mulai membaik merasakan kesedihan kembali, maka mereka akan kembali berpikir dengan cara yang sama dengan pikiran yang digunakan ketika mereka mengalami depresi. Tujuan terapi ini adalah untuk mengajarkan individu agar menyadari bahwa ketika mereka mengalami depresi, maka mereka harus melihatnya sebagai peristiwa mental yang tidak sesuai dengan kenyataan sehingga mereka tidak kembali membentuk pola berpikir yang salah.<br /><br /><u>Social-skill Training<br /></u>Difokuskan pada peningkatan interaksi sosial, karena salah satu karakteristik dari depresi adalah kurangnya pengalaman yang memuaskan dengan orang lain.<br /><br /><u>Behavioral Activation Therapy<br /></u>Fokusnya adalah keterlibatan pasien pada perilaku tertentu dan aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan penguatan yang positif dan akan membantu untuk mengatasi depresi. Hal tersebut disebabkan secara umum, perilaku yang terlihat dari pasien depresi adalah tidak adanya aktivitas, menarik diri dari berbagai aktivitas atau tidak bersemangat untuk beraktivitas. Selain perubahan pada pola pikir pasien, keterlibatan pasien dalam berbagai kegiatan positif juga menjadi hal yang penting.<br /><br /><strong>Terapi-terapi Psikologis untuk Gangguan Bipolar<br /></strong>Intervensi cognitive-behavioral dapat dilakukan dengan target pada pemikiran dan perilaku interpersonal yang buruk pada saat mood mudah berpindah sehingga lebih efektif. Selain itu, pemberian pengetahuan mengenai gangguan bipolar dan treatment-nya juga dapat meningkatkan ketaatan penyembuhan dengan menggunakan lithium, dimana membantu mengurangi mood yang mudah berpindah dan membuat kehidupan pasien lebih stabil (Craighead et al., 1998; Peet & Harvey, 1991; Vant Gent, 2000, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Masalah yang timbul adalah pasien cenderung kehilangan insight tentang perilaku mereka yang tidak sesuai dan cenderung merusak. Hal itu membuat intervensi juga perlu dilakukan pada keluarga dengan mengajarkan mereka tentang gangguan dan bagaimana harus memperlakukan pasien serta menciptakan suasana yang mendukung kesembuhan pasien. Dapat pula dilakukan family-focused treatment (FFT), yaitu pemberian pengetahuan pada keluarga mengenai gangguan, meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan melatih kemampuan untuk menyelesaikan masalah (Miklowitz, 2001; Miklowitz & Goldstein, 1997, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Kombinasi antara terapi obat dan terapi ini lebih efektif dibandingkan menggunakan terapi obat saja.<br /><br /><strong>Terapi-terapi Biologis untuk Gangguan Mood<br /></strong><u>Electroconvulsive therapy (ECT)<br /></u>Meskipun masih kontrovesial, ECT yang dikemukakan oleh Cerletti dan Bini dianggap merupakan pengobatan yang paling optimal untuk depresi yang parah. Elektroda dengan kekuatan antara 70-130 volt diletakkan pada setiap sisi kepala memungkinkan untuk melewati kedua hemisfer otak, metode ini adalah bilateral ECT. Namun, saat ini lebih sering diletakkan pada satu hemisfer saja (kiri) untuk mengurangi efek samping pada kognisi, seperti hilangnya memori. Dulu, pasien melalui ECT dalam keadaan sadar sehingga terkadang dapat menimbulkan tulang patah. Saat ini, pasien diberikan bius singkat dan suntikan relaksasi otot sebelum dilakukan ECT. Mekanisme kerja dari ECT tidak diketahui. Secara umum, ECT mengurangi aktivitas metabolisme dan sirkulasi darah ke otak. Biasanya dilakukan setelah terapi lainnya mengalami kegagalan.<br /><br /><u>Drug therapy<br /></u>Umumnya, obat-obatan lebih sering digunakan untuk mengatasi gangguan mood. Namun tidak dapat diterapkan pada setiap pasien dan efek samping yang ditimbulkan biasanya serius.<br />· Terapi Obat untuk Gangguan Depresi<br />Obat-obat utama untuk depresi adalah<br />1. Tricyclics, seperti imipramine (Tofranil), dan amitriptyline (Elavil).<br />2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), seperti fluoxetine (Prozac) dan sertraline (Zoloft).<br />3. Monoamine oxidase (MAO) inhibitors, seperti tranylcypromine (Parnate).<br />Dari ketiga jenis obat tersebut, MAO inhibitors memiliki efek samping yang paling besar sehingga yang paling banyak digunakan adalah dua jenis obat yang lainnya. Penggunaan obat antidepresan ini biasanya juga dikombinasikan dengan penggunaan terapi lainnya. Obat antidepresan biasanya digunakan untuk depresi yang parah, namun meskipun penggunaannya mengurangi episode depresi, secara umum kekambuhan dapat muncul setelah penggunaan obat dihentikan (Reimherr et al., 2001, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).<br /><br />· Terapi Obat untuk Gangguan Bipolar<br />Berkaitan dengan gangguan bipolar, terapi menggunakan lithium karena dapat mengatasi episode mania dan depresi secara efektif. Dilakukan dengan mengontrol dosis dari lithium carbonate, yang lebih efektif digunakan pada gangguan bipolar dibandingkan unipolar. Lithium memberikan pengaruhnya secara bertahap, biasanya terapi diawali dengan penggunaan lithium dan antipsikotik seperti Hafdol untuk memberikan efek penenang dengan cepat. Pasien harus melakukan tes darah secara teratur untuk memastikan tingkat penggunaan lithium tidak terlalu tinggi sehingga menjadi racun bagi tubuh. Penggunan lithium juga harus secara teratur karena kekambuhan gangguan masih dapat terjadi.<br /><br /><strong>DEPRESI PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA<br /></strong><u>Simtom dan Prevalensi<br /></u>Anak-anak dan remaja menunjukkan kemiripan dengan orang dewasa dalam hal mood yang depresif, tidak mampu untuk merasakan kesenangan, kelelahan, sulit konsentrasi, dan ide bunuh diri. Perbedaannya pada tingkat usaha untuk bunuh diri dan rasa bersalah yang lebih tinggi pada anak dan remaja, sering bangun lebih awal di pagi hari, kehilangan selera dan berat badan, dan depresi di pagi hari pada orang dewasa. Terkadang depresi disebut sebagai masked depression, yaitu menampilkan perilaku agresif dan menyimpang, yang biasanya pada orang dewasa tidak dilihat sebagai refleksi dari depresi. Masalah dalam melakukan diagnosis depresi pada anak-anak adalah seringkali merupakan komorbiditas dengan gangguan lain, misalnya kecemasan. Lebih dari 70% dari anak-anak yang depresi juga memiliki gangguan kecemasan atau simtom kecemasan yang signifikan (Anderson et al., 1987: Brady & Kendall, 1992; Kovacs, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Telah ditemukan bahwa anak-anak yang lebih muda dengan gangguan depresi dan gangguan lainnya mengalami pengalaman depresi yang parah dan membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhan (Keller et al., 1988; Kovacs et al., 1984, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).<br />Secara umum, depresi muncul kurang dari 1% pada anak-anak prasekolah (Kashani & Carlson, 1987; Kashani, Hoalcomb, & Orvaschel, 1986, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) dan 2–3% pada anak usia sekolah (Cohen et al., 1993; Costello et al., 1988, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pada remaja, rata-rata penderita depresi sama dengan orang dewasa, dengan rata-rata yang biasanya tinggi (7-13%) pada anak perempuan (Angold & Rutter, 1992; Kashani et al., 1987, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).<br /><br /><u>Etiologi<br /></u>Depresi pada anak-anak dan remaja juga dapat disebabkan oleh faktor genetik atau disebabkan oleh keluarga dan hubungan dengan orang lain sebagai sumber stress yang kemudian berinteraksi dengan penyebab biologis tersebut. Mempunyai ibu yang depresi meningkatkan resiko depresi pada anak dan remaja, namun tidak diketahui mengenai pengaruh dari ayah (Kaslow, Deering, & Racusin, 1994, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Orang tua serta anak yang depresi akan berinteraksi secara negatif, seperti kurangnya kasih sayang dan saling menyakiti.<br /><br /><u>Treatment<br /></u>Anak-anak dan remaja dengan depresi mayor juga kurang memiliki keterampilan sosial, terkait hubungannya dengan saudara dan teman. Berbagai terapi orang dewasa juga dapat digunakan pada anak-anak dan remaja. Namun perhatian utama mengenai terapi yang baik adalah yang melibatkan keluarga dan sekolah (Hammen, 1997; Stark er al., 1996, 1998, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).<br /><br /><strong>BUNUH DIRI<br /></strong>Pasien dengan gangguan mood seringkali memunculkan pemikiran atau usaha bunuh diri. Diperkirakan sekitar 15% orang yang didiagnosa gangguan depresi mayor melakukan usaha bunuh diri (Maris et al., 1992, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Berikut ini adalah rangkuman mengenai bunuh diri menurut Fremouw et al. (1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004):<br /><br /><br /><strong>Berbagai Sudut Pandang Mengenai Bunuh Diri<br /></strong><u>Sudut Pandang Psikologis<br /></u>Freud memandang bunuh diri menampilkan agresi yang diarahkan ke dalam diri seseorang akibat kehilangan seseorang yang dicintai dan dibenci. Semakin kuat perasaan tersebut, maka seseorang akan semakin mungkin melakukan bunuh diri.<br /><br /><br /><u>Sudut Pandang Sosiologis<br /></u>Emile Durkheim (1897, 1951, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) menggolongkan 3 kategori bunuh diri, yaitu: 1) Egoistis, yaitu bunuh diri yang terjadi pada mereka yang tidak terintegrasi kuat pada berbagai kelompok sosial, kurang memperoleh dukungan sosial, 2) Altruistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan karena integrasi yang berlebihan terhadap suatu kelompok dan bunuh diri merupakan upaya untuk menumbuhkan integrasi kelompok, dan 3) Anomik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang integrasinya dengan masyarakat terganggu, sehingga tidak mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat.<br /><br /><u>Sudut Pandang Biologis<br /></u>Usaha untuk bunuh diri dapat disebabkan oleh kurangnya serotonin pada pasien depresi.<br /><br /><strong>Pendekatan Shneidman Mengenai Bunuh Diri<br /></strong>Shneidman telah membuat daftar mengenai 10 karakteristik umum dari bunuh diri, namun tidak semua ditemukan dalam setiap kasus dan semua kasus. Pandangannya mengenai bunuh diri berdasarkan bahwa seseorang secara sadar berusaha untuk menemukan solusi dari masalahnya yang telah menyebabkan penderitaan. Semua harapan dan tindakan konstruktif telah menghilang. Menurutnya, seseorang yang merencanakan bunuh diri biasanya mengkomunikasikan niatnya tersebut, terkadang menangis untuk meminta bantuan, terkadang menarik diri dari orang lain. </div><br /><div></div><br /><div><u>Berikut ini adalah 10 karakteristik dari bunuh diri menurut Shneidman:<br /></u>Fungsi umum dari bunuh diri adalah untuk mencari solusi.<br />Tujuan umum dari bunuh diri adalah penghentian kesadaran.<br />Stimulus umum dalam bunuh diri adalah penderitaan psikologis yang tidak tertahankan.<br />Stressor umum dalam bunuh diri adalah frustrasi kebutuhan psikologis.<br />Emosi umum dalam bunuh diri berkaitan dengan hopelessness-helplessness.<br />Cognitive state umum dalam bunuh diri adalah ambivalen.<br />Perceptual state umum dalam bunuh diri adalah sempit.<br />Tindakan umum dari bunuh diri adalah egression.<br />Tindakan interpersonal umum dalam bunuh diri adalah komunikasi mengenai intensi.<br />Konsistensi umum mengenai bunuh diri adalah dengan pola coping seumur hidup.<br /><br /><u>Prediksi Mengenai Bunuh Diri Melalui Tes Psikologis<br /></u>Beberapa penelitian menemukan bahwa rasa putus asa merupakan prediktor yang kuat dari bunuh diri (Beck, 1986b; Beck, et al., 1985, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) bahkan lebih kuat dari depresi (Beck, Kovacs, & Weissman, 1975, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Penelitian juga menunjukkan bahwa seseorang dengan ketidakpuasan yang tinggi dengan kehidupannya cenderung memiliki usaha untuk bunuh diri. Penelitian lainnya menemukan bahwa individu yang bunuh diri lebih kaku dalam mendekati masalah yang dialaminya dan kurang memiliki pemikiran yang fleksibel (Levenson, 1972, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Penelitian yang melibatkan orang yang tidak pernah berusaha untuk bunuh diri, orang yang usaha bunuh dirinya tidak menyebabkan cedera yang serius dikaitkan dengan low-lethal, dan orang yang usaha bunuh dirinya mendekati kematian dikaitkan dengan high-lethal, menemukan bahwa orang depresi yang pernah melakukan usaha bunuh diri khususnya terkait dengan high-lethal, lebih memiliki keterbatasan dalam membuat rencana, menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dibandingkan dengan dua orang lainnya.<br /><br /><u>Pencegahan Bunuh Diri<br /></u>Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah bunuh diri adalah dengan memberikan treatment yang tepat pada mereka yang mengalami gangguan mental, meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan mengontrol emosi. Selain itu, terapis juga dapat menciptakan hubungan empati atau terapeutik yang melibatkan kepercayaan dan harapan. Adanya fasilitas pusat atau komunitas pencegahan bunuh diri juga dapat membantu, karena biasanya seseorang yang ingin bunuh diri memberikan peringatan atau meminta bantuan sebelum menjalankan usahanya. </div>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-50705003814191646082008-06-21T10:40:00.000-07:002008-06-21T10:48:08.907-07:00VJ#36/VI/2008 : Fake Vs Genuine Smile<a href="http://1.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SF0-QbJcTwI/AAAAAAAAAHE/ECM6ytlDon0/s1600-h/smile.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5214392395451092738" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 218px; CURSOR: hand; HEIGHT: 243px" height="300" alt="" src="http://1.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SF0-QbJcTwI/AAAAAAAAAHE/ECM6ytlDon0/s320/smile.jpg" width="218" border="0" /></a><br /><div>Tersenyum..</div><br /><div>Kata orang, dengan tersenyum maka membuat diri kita menjadi lebih sehat dan awet muda..</div><br /><div>Kata orang pula, itu adalah Salah satu hal yang termudah untuk menandakan suasana hati seseorang, bahwa ia sedang dalam keadaan senang..</div><br /><div>Tapi tunggu dulu? benarkan senyum itu selalu menandakan orang sedang senang?</div><br /><div>Bagaimana kalo orang tersebut tidak benar2 tersenyum? Bagaimana kalo orang tersebut hanya berpura2?</div><br /><div>Sejauh apakah anda dapat mengetahui seseorang sedang </div><div>TERSENYUM atau sedang BERPURA2 TERSENYUM?</div><br /><div>Try this following link</div><br /><div><a href="http://www.bbc.co.uk/science/humanbody/mind/surveys/smiles/"><span style="font-size:130%;color:#ff0000;">http://www.bbc.co.uk/science/humanbody/mind/surveys/smiles/</span></a></div>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-87249919398397928662008-06-20T09:20:00.000-07:002008-06-20T09:25:14.628-07:00VJ#35/VI/2008 : GANGGUAN SOMATOFORM DAN DISOSIATIF(<a href="http://4.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SFvZvrHgbVI/AAAAAAAAAG8/-qrdp9t5cY8/s1600-h/m.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5214000406662770002" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="http://4.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SFvZvrHgbVI/AAAAAAAAAG8/-qrdp9t5cY8/s320/m.jpg" border="0" /></a> <em><span style="font-size:85%;">courtesy of Ocha Elmut, KLD XII)</span></em><br /><div><span style="font-family:georgia;"></span> </div><div><span style="font-family:georgia;">Gangguan somatoform dan disosiatif, berkaitan dengan gangguan kecemasan. Pada gangguan somatoform, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan disosiatif, individu mengalami gangguan kesadaran, ingatan, dan identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan dengan beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul secara bersamaan.<br /><br />GANGGUAN SOMATOFORM (SOMATOFORM DISORDERS)<br /><br />Soma berarti tubuh. Pada gangguan somatoform, masalah psikologis tampak dalam bentuk fisik. Gejala fisik dari gangguan somatoform, dimana tidak ada penjelasan secara fisiologis dan tidak dapat dikontrol secara sadar, berkaitan dengan faktor psikologis, biasanya kecemasan, dan untuk itu diasumsikan bahwa gangguan ini disebabkan oleh faktor psikologis. Pada bagian ini akan lebih dibahas mengenai dua gangguan somatoform yakni gangguan conversion dan gangguan somatization. Akan tetapi sebelumnya juga perlu diketahui bahwa dalam kategori DSM-IV-TR terdapat tiga bentuk lain dari gangguan somatoform, yakni pain disorder, body dysmorphic disorder, dan hypochondriasis.<br /><br />PENGERTIAN DAN GEJALA<br />A. Pain Disorder<br />Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).<br /><br />B. Body Dysmorphic Disorder<br />Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.<br /><br />C. Hypochondriasis<br />Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.<br /><br />D. Conversion disorder<br />Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.<br />Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).<br /><br />E. Somatization Disorder<br />Menurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami.<br />Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).<br /><br /><br /><strong>ETIOLOGI</strong><br />Etiologi dari Somatization Disorder<br />Diketahui bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan behavioral dari somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress (Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian yang diterima.<br /><br />Teori Psikoanalisis dari Conversion Disorder<br />Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut.<br />Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.<br /><br />Teori Behavioral dari Conversion Disorder<br />Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ?<br />Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.<br /><br />Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder<br />Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya.<br />Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).<br /><br />Faktor Biologis pada Conversion Disorder<br />Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).<br /><br />TERAPI<br />Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.<br /><br />Terapi untuk Somatization Disorder<br />Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).<br /><br />Terapi untuk Hypochondriasis<br />Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).<br /><br />Terapi untuk Pain Disorder<br />Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut :<br />memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita<br />relaxation training<br />memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri<br /><br />Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.<br /><br />GANGGUAN DISOSIATIF<br /><br />Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.<br />Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:<br />ingatan masa lalu<br />kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate sensations)<br />kontrol terhadap gerakan tubuh<br /><br />PENGERTIAN DAN GEJALA<br />A. Amnesia Disosiatif<br />Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres.<br />Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya.<br /><br />B. Fugue Disosiatif<br />Fugue disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan menciptakan identitas baru.<br />Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan beraktivitas dengan menggunakan identitas baru.<br /><br />C. Gangguan Depersonalisasi<br />Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah.<br />Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.<br /><br />D. Gangguan Identitas Disosiatif<br />Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.<br />Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:<br />a. Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas<br />b. Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang<br />c. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.<br /><br />ETIOLOGI<br />Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.<br />Pandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.<br /><br />Etiologi GID. Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (Gleaves, 1996).<br />Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID terjadi dan menetap.<br /><br />TERAPI<br />Gangguan disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain, kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres.<br />Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.<br />Terapi GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan dialami oleh pasien. Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut.<br />Terdapat beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID, terlepas dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross, 1989)<br />Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian<br />Setiap kepribadian harus dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian- kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri.<br />Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman, bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan otonom.<br />Seluruh kepribadian harus diperlakukan secara adil<br />Terapis harus mendorong empati dan kerjasama diantara berbagai kepribadian<br />Diperlukan kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian.<br /><br />Tujuan setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.<br /><br /><br /><br /></div></span>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-55654229575251179162008-06-20T08:55:00.000-07:002008-06-20T09:18:47.812-07:00VJ#34/VI/2008 : SCHIZOPHRENIA<a href="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SFvVa-nhxpI/AAAAAAAAAG0/7d_nM5MvUMA/s1600-h/untitled.bmp"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5213995653073585810" style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SFvVa-nhxpI/AAAAAAAAAG0/7d_nM5MvUMA/s320/untitled.bmp" border="0" /></a> Sudah pernah menonton<em> A Beautiful Mind? </em>Sebuah film yang memenangi Academy Award. Apa menurut anda yang membuat film tersebut bisa menjadi kampiun Oscar? Tentu jawabnya bisa beraneka ragam. Namun, bagi saya, film tersebut layak mendapatkan oscar karena tema dari film itu sendiri.<br />Film ini menceritakan tentang kehidupan John Forbes Nash, Jr. , seorang genius peraih Nobel. Ia tidak peraih NObel "sembarangan", namun hal yang membuat Nash menjadi lebih spesial adalah karena dia adalah seorang penderita sakit jiwa. Ya, SAKIT JIWA.<br />Salah satu bentuk gangguannya adalah bahwa ia mempunyai teman bicara, yang ia amat yakini keberadaannya, disaat orang lain tidak ada satupun yang dapat melihat teman Nash tersebut. Bagi orang awam, tingkah laku Nash tidak lebih dari dari tingkah laku seorang yang disebut"gila" , "sedeng", "gendeng", dan lain sebagainya, yang kerap kali kita temui di jalanan.<br />Dalam konteks Psikologi, apa yang diderita oleh Nash lebih dikenal dengan istilah Schizophrenia.<br />Apa dan bagaimana kah Schizophrenia tersebut? Dalam post kali ini saya mencoba untuk mengupasnya untuk anda. Selamat membaca.<br /><br /><em><span style="font-size:85%;">(Courtesy of KLD XII)</span></em><br /><em><span style="font-size:85%;"></span></em><br /><strong>Sejarah<br /></strong>Gangguan skizofrenia sebenarnya telah dibicarakan sejak ratusan tahun lalu. Dua tokoh yang dianggap memberikan sumbangan paling penting adalah Emil Kraeplin & Eugen Bleuler. Pada awalnya, Kraeplin menyebut gangguan ini sebagai dementia precox. Akan tetapi, berbagai simptom atau gejala yang muncul tidak lagi cocok akan definisi Kraeplin. Bleuler-lah yang kemudian mengenalkan istilah schizophrenia untuk gangguan ini. Hingga saat ini, gangguan ini merupakan gangguan mental yang dianggap paling parah.<br /><br /><strong>Definisi</strong><br />Skizofrenia adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “schizein” (terpisah atau pecah) dan “phrenia” (jiwa). Arti dari kedua kata ini menjelaskan karakteristik utama sekaligus definisi dari gangguan ini, yaitu adanya pemisahan emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Gangguan ini termasuk dalam gangguan psikotik karena salah satu ciri utamanya adalah kegagalan untuk berhubungan dengan kehidupan nyata (reality testing).<br /><br /><strong>Simtom-simptom</strong><br />Kemunculan simptom gangguan ini biasanya dimulai pada masa remaja akhir ataupun dewasa muda, dengan kecenderungan terjadi lebih awal pada pria. Akan tetapi, banyaknya kasus tidak menunjukkan adanya perbedaan prevalensi antara pria dan wanita.<br />Beberapa simtom yang muncul pada klien dengan gangguan ini melibatkan gangguan pada berbagai area atau fungsi tubuh utama. Beberapa fungsi tersebut diantaranya fungsi untuk mempersepsikan dan memberi atensi, motorik, afek atau emosi, dan fungsi hidup lainnya. Menurut Bleuler (dalam Fausiah, 2005), ada empat simtom dasar (primer) dari gejala ini, yaitu Asosiasi, Afek, Autisme, dan Ambivalensi. Sedangkan, halusinasi dan delusi merupakan simtom sekundernya.<br />Lain halnya dengan Bleuler, Davison, Neale & Kring (2001) menyebutkan bahwa ada tiga simtom utama dari gangguan ini. Berikut ini penjelasan ketiga simtom tersebut:<br />Simtom Positif<br />Simtom ini ditandai dengan adanya pikiran, perasaan, dan perilaku yang berlebihan dan biasanya tidak terdapat pada orang normal. Ada dua hal yang termasuk dalam simtom positif ini, yaitu:<br /><br /><br /><p><br /><u>Delusi / Waham<br /></u>Merupakan suatu keyakinan yang salah ataupun bertentangan dengan kenyataan. Orang dengan gangguan ini biasanya tidak akan mengubah keyakinannya tersebut meskipun telah terdapat bukti-bukti yang menyangkal keyakinannya tersebut. Beberapa penjelasan mengenai bentuk delusi adalah sebagai berikut:<br />- klien percaya bahwa pikirannya bukanlah pikirannya sendiri, melainkan milik orang lain / sumber ekternal yang menempatkan pikiran tersebut padanya<br />- merasa bahwa pikirannya seolah disiarkan atau terdengar oleh orang lain sehingga ia merasa -semua orang mengetahui apa yang sedang dipikirkannya<br />- mengalami kecemasan bahwa pikirannya telah dicuri<br />percaya bahwa pikiran ataupun perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya<br /><br /><u>Halusinasi / Gangguan persepsi lainnya</u><br />Merupakan penghayatan yang dialami melalui panca indera, tetapi tanpa adanya stimulus eksternal. Hal ini membedakannya dengan ilusi di mana stimulusnya nyata dan yang terjadi adalah kesalahan dalam mempersepsikan stimulus tersebut. Beberapa jenis halusinasi adalah auditorik, visual, olfaktori, haptic, dan liliput. Diantara berbagai jenis halusinasi, auditorik adalah yang paling sering dialami klien dengan gangguan skizofrenia.<br />Adapun beberapa bentuk halusinasi, antara lain:<br />- klien merasa mendengar pikirannya sendiri diungkapkan atau dikatakan oleh suara orang lain<br />- mendengar suara-suara yang beradu argumen atau bertengkar<br />- mendengar suara-suara yang mengomentari / mengkritik perilaku klien tersebut<br /><br /><strong>Simtom Negatif</strong><br />Simptom ini ditandai dengan adanya defisit perilaku. Klien dengan gangguan ini tidak dapat menampilkan perilaku yang seharusnya dilakukan oleh orang normal. Beberapa simtom yang termasuk dalam simptom ini adalah: </p><br /><br /><p><br /><u>Avolition / apathy</u><br />simtom ini merujuk pada kurangnya energi dan tidak adanya minat ataupun kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas rutin, seperti membersihkan diri. Biasanya orang dengan simtom ini menghabiskan banyak waktunya hanya untuk duduk dan tidak melakukan apa-apa. </p><br /><br /><p><br /><u>Alogia</u><br />Merupakan gangguan berpikir yang negatif. Beberapa bentuknya adalah kurangnya pembicaraan sehingga cenderung berdiam diri, sedangkan pada kurangnya isi pembicaraan klien akan tetap berbicar seperti biasa, tetapi hanya memiliki sedikit informasi yang benar-benar berarti. </p><br /><br /><p><br /><u>Anhedonia<br /></u>Simtom ini membuat orang kehilangan kemampuan untuk merasakan kesenangan. Hal ini diwujudkan melalui kurangnya minat untuk melakukan rekreasi, kegagalan untuk mengembangkan hubungan yang dekat dengan orang lain, serta tidak adanya ketertarikan pada sex.<br /><br /><br /><u>Flat affect<br /></u>Pada klien dengan simptom ini, biasanya tidak ada stimulus apa pun yang dapat memunculkan respon emosional dari klien. Klien biasanya hanya bisa menatap kosong dan saat berbicara suaranya terdengan datar dan tanpa perbedaan intonasi. Meski demikian, didapati bahwa sesungguhnya mereka masih bisa merasakan berbagai emosi seperti yang dirasakan oleh orang normal, hanya saja mereka tidak bisa mengekspresikannya. </p><br /><br /><p><br /><u>Asociality</u><br />Beberapa klien dengan gangguan skizofrenia memiliki kerusakan yang parah dalam hubungan sosialnya. Mereka hanya memiliki sedikit ketertarikan untuk berelasi dengan oran lain sehingga akibatnya mereka hanya memiliki sedikit teman. Simtom ini biasanya yang pertama kali muncul sebelum simtom-simtom lain yang lebih psikotik.<br /><br /><strong>Simtom Tak terorganisasi (Disorganized Symptoms)</strong><br /><u>Pembicaraan yang tak terorganisasi (Disorganized Speech)</u><br />Simtom ini meliputi masalah dalam pengorganisasian ide-ide dan dalam berbicara. Ada inkoherensi yang ditemukan ketika berbicara dengan klien yang memiliki gangguan skizofrenia. Pembicaraan juga terganggu oleh loose associations atau derailment, yaitu keadaan saat klien dapat melakukan pembicaraan secara normal, tetapi mengalami kesulitan untuk fokus pada satu topik tertantu. Klien akan cenderung berganti topik terus menerus dan akhirnya tidak dapat mengemukakan topik awal yang sebenarnya hendak disampaikan. </p><br /><br /><p><br /><u>Bizarre Behavior<br /></u>Perilaku aneh yang ditampilkan dapat nampak dalam berbagai bentuk. Pada dasarnya mereka kehilangan kemampuan untuk mengorganisasikan perilakunya agar dapat sesuai dengan standar masyarakat sekitarnya.<br /><br /><strong>4. Simtom Lainnya<br /></strong>Ada dua simtom lainnya dari gangguan skizofrenia yang tidak sesuai dengan berbagai definisi simtom yang telah dijelaskan di atas. Oleh karenanya dikelompokkan pada bagian ini. </p><br /><br /><p><br />a. Catatonia<br />Merupakan beberapa abnormalitas yang terjadi pada sistem motorik. Klien yang mengalami simtom ini dapat melakukan suatu gerakan secara berulang-ulang. Gerakan ini nampak aneh dan melibatkan rangkaian yang kompleks dari berbagai organ tubuh seperti jari, tangan, dan lengan. Meski demikian gerakan-gerakan ini nampak berguna. Selain gerakan yang dilakukan berulang-ulang, terdapat juga yang disebut dengan catatonic immobility. Ketika mengalami hal ini klien hanya akan diam saja dalam satu posisi yang aneh dan mempertahankan posisi ini untuk jangka waktu yang lama. Bahkan tak jarang orang lain dapat memindahkan posisinya ke bentuk lain yang kemudian akan dipertahankan klien secara terus menerus. Hal ini disebut sebagai waxy flexibility. </p><br /><br /><p><br />b. Inappropriate Affect<br />Respon emosional yang diberikan oleh klien dengan simtom ini tidak sesuai dengan emosi yang dirasakan. Sebagai contoh seseorang dengan simtom ini justru akan tertawa terbahak-bahak ketika mendengar ibunya meninggal. Selain itu, klien juga seringkali berpindah dari suatu keadaan emosi ke emosi yang berlawanan secara ekstrim tanpa alasan yang jelas.<br /><br /><strong>Kriteria gangguan skizofrenia menurut DSM-IV-TR</strong><br />Beberapa kriteria untuk mendefinisikan suatu gangguan merupakan gangguan kepribadian skizofrenia menurut Davison, Neale & Kring (2001) adalah:<br />1. memiliki dua atau lebih dari simtom-simtom berikut ini sekurang-kurangnya selama 1 bulan, yaitu delusi, halusinasi, pembicaraan yang tak terorganisasi, perilaku katatonik atau tak terorganisasi, dan simtom negatif.<br />2. penurunan fungsi sosial dan pekerjaan sejak munculnya onset perilaku<br />3. ada tanda-tanda gangguan selama sekurang-kurangnya 6 bulan<br /><br /><strong>Kategori / Jenis Gangguan Skizofrenia</strong><br />Menurut Davison, Neale & Kring (2001) ada beberapa jenis / kategori dari gangguan skizofrenia, yaitu:<br />1. Disorganized Schizophrenia<br />Ditandai dengan adanya kesulitan untuk berbicara atau mengorganisasikan kata-kata sehingga sulit bagi pendengar untuk mengerti apa yang dibicarakan. Terkadang diiringi dengan kekonyolan atau tawa. Selain itu, klien dengan gangguan ini juga memiliki simtom afek datar ataupun perpindahan emosi yang drastis. Pada dasarnya muncul simtom-simtom yang tidak terorganisasi, tanpa diikuti dengan simtom yang tergolong katatonik. </p><br /><br /><p><br />2. Catatonic Schizophrenia<br />Untuk dapat digolongkan pada jenis ini, pada klien harus nampak simtom katatonik yang telah disebutkan sebelumnya. Klien dapat berpindah dari catatonic immobility ataupun pergerakan yang berlebihan. Seringkali jenis ini terlihat karena penggunaan terapi obat-obatan (drug therapy) </p><br /><br /><p><br />3. Paranoid Schizophrenia<br />Jenis ini ditandai dengan munculnya delusi. Salah satu yang paling sering muncul adalah persekusi, tetapi bisa juga mengalami grandiose delusions, di mana klien melebih-lebihkan kepentinga, kekuatan, pengetahuan, ataupun identitasnya. Selain itu, juga terdapat delusional jelousy yang menganggap pasangan seksual mereka bersikap tidak setia. Perlu ditekankan bahwa pada klien dengan jenis gangguan ini tidak terjadi gangguan pada sistem bicara.<br /><br /><br />4. Undifferentiated Schizophrenia<br />Klien dikategorikan pada jenis ini jika memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi tidak untuk ketiga kategori yang telah disebutkan sebelumnya. </p><br /><br /><p><br />5. Residual Schizophrenia<br />Jika seorang klien tidak memenuhi seluruh kriteria dari salah satu kategori dari ketiga kategori yang pertama kali disebutkan tetapi masih menunjukkan tanda-tanda gangguan skizofrenia, maka klien tersebut disebut sebagai klien dengan gangguan jenis residual ini.<br /><br /><strong>ETIOLOGI SCHIZOPHRENIA</strong><br /><br /><u>MODEL DIATESIS STRESS<br /></u>Teori ini mengintegrasikan faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Beranggapan bahwa seseornag mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis), yang jika diaktifkan oleh pengaruh stress, akan memungkinkan berkembang skizofrenia. Stressor atau diatesis ini mungkin bersifat biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (seperti situasi kematian orang terdekat).<br /><br /><u>Sudut Pandang Biologis</u><br />Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun, sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya skizofrenia. Penelitian pada beberapa dekade terakhir mengindikasikan peran patofisiologis dari area tertentu di otak; termasuk sistem limbik, kirteks frontal dan ganglia basalis.<br />Kemungkinan dari abnormalitas otak ini salah satunya adalah terjadinya kerusakan pada proses kelahiran atau pada saat kelahiran bayi. Banyak penelitian menunjukkan rating yang tinggi pada individu yang mengalami gangguan skizofrenia bahwa mereka mengalami komplikasi pada saat proses kelahiran mereka. Komplikasi tersebut mungkin menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke otak sehingga mengakibatkan hilangnya kortikal abu-abu. Kemungkinan lainnya adalah adanya virus yang menyerang otak dan merusak otak pada saat perkembangan janin dalam kandungan.</p><br /><br /><p><u>Hipotesis Dopamin<br /></u>Menurut hipotesis ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter Dopaminergic. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, meningkatnya jumlah reseptor dopamin, turunnya nilai ambang atau hipersensitivitas reseptor dopamin, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.<br /><br /><u>Sudut Pandang Genetik</u><br />Penelitian yang dilakukan melalui family studies, twin studies dan adoption studies menunjukkan bukti adanya komponen genetik dalam pewarisan skizofrenia.<br /></p><br /><br /><p><u>Family Studies<br /></u>Pewarisan predisposisi genetik pada pasien skizofrenia, telah terbukti melalui beberapa penelitian tentang keluarga dan skizofrenia.<br /><br /><u>Sudut Pandang Psikososial</u><br />1. Teori tentang Individu Pasien<br />Teori Psikoanalitik<br />Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego deficit) memberikan kontribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Sedangkan menurut Sullivan, gangguan skizofrenia disebabkan karena kesulitan interpersonal yang terjadi sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan pola pengasuhan ibu yang salah, yaitu cemas berlebihan.<br />Secara umum, dalam pandangan ini, gangguan terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara ibu dan anak (bayi).</p><br /><br /><p><br />Teori Psikodinamik<br />Pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.<br />Simtom positif diasosiakan dengan onset akut sebagi respon terhadap faktor pemicu dan memiliki kaitan yang erat dengan adanya konflik.<br />Simton negatif berkaitan erat dengan faktor biologis dan memiliki karakteristik absennya perilaku/fungsi tertentu.<br />Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.</p><br /><br /><p><br />Teori Belajar<br />Menurut teori ini, anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir yang tidak rasional dengan mengimitasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa kanak-kanak mereka belajar dari model yang buruk.<br /><br />2. Teori tentang keluarga<br />Beberapa pasien skizofrenia, berasal dari keluarga yang disfungsi. Selain itu, perilaku keluarga yang patologis dapat meningkatkan stress emosional pada pasien skizofrenia. Perilaku keluarga yang patologis tersebut, antara lain:</p><br /><br /><p>Double-Bind<br />Keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari orangtua yang berkaitan dengan perilaku, sikap maupun perasaannya.</p><br /><br /><p>Schisms and Skewed Families<br />Pada pola keluarga schisms, terdapat perpecahan yang jelas antara orangtua. Sehingga salah satu orangtua akan menjadi sangat dekat dengan anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed, hubungan skewed melibatkan perebutan kekuasaan dan dominasi dari salah satu orang tua.</p><br /><br /><p>Pseudomutual and Pseudohostile Families<br />Dimana keluarga men-supress ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atai pseudohostile secara konsisten. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang salah dari orangtua dapat menjadi salah satu penyebab dari gangguan skizofrenia.</p><br /><br /><p>Ekspresi Emosi<br />Banyak penelitian yang menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dapat meningkatkan relapse pada pasien skizofrenia.<br /><br />3. Teori Sosial<br />Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Selain itu, persentase paling tinggi pasien skizofrenia ditemukan pada penduduk yang tinggal di tengah kota dan berada pada kelas sosial ekonomi rendah.</p><br /><br /><p><br />The Sociogenic Hypotesis<br />Stressor dikaitkan dengan keberadaan pada kelas sosial ekonomi yang rendah dapat mengakibatkan atau memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia. Perilaku yang berbeda yang diterima individu dari orang lain, rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya penghargaan dan kesempatan, menjadikan semua hal tersebut menjadi pengalaman yang stresful dan dapat mengakibatkan individu, yang telah memiliki predisposisi skozofrenia, mengembangkan skizofrenia.</p><br /><br /><p>Social-selection Theory<br />Selama berkembangnya psikosis, individu dengan skizofrenia dapat tersingkir ke daerah miskin yang tersisihkan dari kota. Berkembangnya permasalahan pada kognitif dan emosional, mengakibatkan lumpuhnya kemampuan individu tersebut agar dapat hidup ditempat lain. Atau mereka memilih untuk tinggal di suatu area dimana terdapat sedikit tekanan sosial yang mereka terima dan mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang intens.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></p>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-86619978430259119742008-06-08T06:26:00.000-07:002008-06-08T06:39:17.884-07:00VJ#33/VI/2008 : PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SEvg3nqbLMI/AAAAAAAAAGA/ZGVf5EjsBlk/s1600-h/per.jpeg"><img src="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SEvg3nqbLMI/AAAAAAAAAGA/ZGVf5EjsBlk/s320/per.jpeg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5209504640128462018" /></a><br />written by KLD XII<br /><br />Gangguan kepribadian adalah kelompok gangguan yang sangat heterogen. Gangguan tersebut diberi kode pada aksis II dalam DSM dan dianggap sebagai pola perilaku dan pengalaman internal yang bertahan lama, pervasif, dan tidak fleksibel yang menyimpang dari ekspektasi budaya orang yang bersangkutan dan dapat menggangu dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Beberapa diantaranya dapat menyebabkan distress emosional. Individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian apabila ciri kepribadiannya menampakkan pola perilaku maladaptif dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Pola tersebut muncul pada setiap situasi serta menggangu fungsi kehidupannya sehari-hari.<br /><br /> Gangguan kepribadian digolongkan menjadi tiga kelompok dalam DSM-IV-TR, yaitu:<br />1. Kelompok A (odd/eccentric cluster),<br />terdiri dari gangguan kepribadian paranoid, schizoid, dan schizotypal. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku yang aneh dan eksentrik.<br /><br />2. Kelompok B (dramatic/erratic cluster),<br />terdiri dari gangguan kepribadian antisosial, borderline, histrionic, dan narcissistic. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku yang dramatik atau berlebih-lebihan, emosional dan eratik (tidak menentu atau aneh).<br /><br />3. Kelompok C (anxious/fearful cluster),<br />terdiri dari gangguan kepribadian avoidant, dependent, dan obsessive-compulsive. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku cemas dan ketakutan.<br /><br /><br /><strong>KELOMPOK A (ODD/ECCENTRIC CLUSTER)<br /></strong><u>Paranoid Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Paranoid)</u><br />Individu yang mengalami gangguan kepribadian paranoid biasanya ditandai dengan adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan yang kuat terhadap orang lain. Mereka juga diliputi keraguan yang tidak beralasan terhadap kesetiaan orang lain atau bahwa orang lain tersebut dapat dipercaya.<br /><br />Orang-orang yang mengalami gangguan ini merasa dirinya diperlakukan secara salah dan dieksploitasi oleh orang lain sehingga berperilaku selalu waspada terhadap orang lain.<br />Mereka sering kali kasar dan mudah marah terhadap apa yang mereka anggap sebagai penghinaan. Individu semacam ini enggan mempercayai orang lain dan cenderung menyalahkan mereka serta menyimpan dendam meskipun bila ia sendiri juga salah. Mereka sangat pencemburu dan tanpa alasan dapat mempertanyakan kesetiaan pasangannya.<br /><br />Individu dengan gangguan ini tidak mampu terlibat secara emosional dan menjaga jarak dengan orang lain, mereka tidak hangat. Gangguan kepribadian paranoid paling banyak terjadi pada kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Gangguan ini banyak dialami bersamaan dengan gangguan kepribadian schizotipal, borderline, dan avoidant. Prevalensi pada gangguan ini adalah berkisar 2 persen dari populasi pada umumnya.<br /><br />Gangguan paranoid memiliki perbedaan diagnosis dengan skizofrenia, karena pada gangguan paranoid tidak muncul simtom halusinasi dan delusi. Perbedaannya dengan gangguan borderline adalah gangguan paranoid lebih sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan perbedaannya dengan gangguan antisosial adalah paranoid tidak memiliki sejarah antisosial. Perbedaannya dengan schizoid adalah gangguan ini tidak memiliki ide-ide paranoid atau tidak memiliki kecurigaan.<br /><br /><u>Schizoid Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Skizoid)<br /></u>Individu yang mengalami gangguan ini tidak menginginkan atau menikmati hubungan sosial dan biasanya tidak memiliki teman akrab. Mereka tampak tumpul, datar, dan menyendiri serta tidak memiliki perasaan yang hangat dan tulus terhadap orang lain. Mereka jarang memiliki emosi kuat, tidak tertarik pada hubungan seks, serta bersikap masa bodoh terhadap pujian, kritik, dan perasaan orang lain. Individu yang mengalami gangguan ini adalah seorang penyendiri dan menyukai kegiatan yang dilakukan sendirian.<br /><br />Individu dengan gangguan kepribadian skizoid menampilkan perilaku menarik diri, mereka merasa tidak nyaman bila berinteraksi dengan orang lain, cenderung introvert. Mereka terlihat sebagai individu yang eksentrik, terkucil, dingin, dan penyendiri. Dalam kesehariannya, individu lebih menyenangi kegiatan yang tidak melibatkan orang lain dan berhasil pada bidang-bidang yang tidak melibatkan orang lain. Prevalensi gangguan skizoid diperkirakan 7,5 persen dari populasi. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan diperkirakan 2 : 1 untuk laki-laki.<br /><br /><u>Schizotypal Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Skizotipal)<br /></u>Individu dengan gangguan kepribadian skizotipal biasanya memiliki kepercayaan yang aneh. Mereka memiliki pemikiran yang ajaib/aneh (magical), ide-ide yang ganjil, ilusi, dan derealisasi yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Individu dengan gangguan ini memiliki masalah dalam berpikir dan berkomunikasi. Dalam pembicaraan, mereka dapat menggunakan kata-kata dengan cara yang tidak umum dan tidak jelas sehingga hanya diri mereka saja yang mengerti artinya.<br /><br />Dari perilaku dan penampilan, mereka juga tampak eksentrik. Sebagai contoh, mereka berbicara kapada diri sendiri dan memakai pakaian yang kotor serta kusut. Ciri yang umum terjadi adalah ideas of reference (keyakinan bahwa berbagai kejadian memiliki makna khusus dan tidak biasa bagi orang yang bersangkutan), kecurigaan, dan pikiran paranoid. Mereka pun memiliki kemampuan yang rendah dalam berinteraksi dengan orang lain dan kadang kala bertingkah laku aneh sehingga akhirnya mereka sering kali terkucil dan tidak memiliki banyak teman.<br /><br />Prevelensi gangguan ini diperkirakan kurang dari 1 persen. Gangguan kepribadian skizotipal lebih banyak muncul pada keluarga yang memiliki penderita skizofrenia. Gangguan kepribadian skizotipal adalah titik awal dari skizofrenia. Walaupun sama-sama muncul simtom halusinasi, namun perbedaan gangguan ini dengan gangguan skizofrenia adalah halusinasi pada skizotipal biasanya berlangsung dalam waktu singkat.<br /><br /><u>Etiologi Kelompok A</u><br />Berbagai studi tentang keluarga memberikan beberapa bukti bahwa gangguan kepribadian kelompok A berhubungan dengan skizofrenia. Pada gangguan skizotipal, pasien mengalami kelemahan kognitif dan kurangnya fungsi neuropsikologis yang sama dengan terjadinya skizofrenia. Selain itu, pasien dengan gangguan kepribadian skizotipal memiliki rongga otak yang lebih besar dan lebih sedikit bagian abu-abu di lobus temporalis.<br /><br /><strong>KELOMPOK B (DRAMATIC/ERRATIC CLUSTER)</strong><br /><u>Borderline Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Ambang)</u><br />Disebut dengan kepribadian ambang (borderline) karena berada di perbatasan antara gangguan neurotik dan skizofrenia. Ciri-ciri utama gangguan ini adalah impulsivitas dan ketidakstabilan dalam hubungan dengan orang lain dan memiliki mood yang selalu berubah-ubah. Contohnya, sikap dan perasaan terhadap orang lain dapat berubah-ubah secara signifikan dan aneh dalam kurun waktu yang singkat. Individu yang mengalami gangguan borderline memiliki karakter argumentatif, mudah tersinggung, sarkastik, cepat menyerang, dan secara keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama mereka.<br /><br />Perilaku mereka yang tidak dapat diprediksi dan impulsif, boros, aktivitas seksual yang tidak pandang bulu, penyalahgunaan zat, dan makan berlebihan, berpotensi merusak diri sendiri. Mereka tidak tahan berada dalam kesendirian, memiliki rasa takut diabaikan, dan menuntut perhatian. Mudah mengalami perasaan depresi dan perasaan hampa yang kronis, mereka sering kali mencoba bunuh diri.<br /><br />Gangguan kepribadian borderline bermula pada masa remaja atau dewasa awal, dengan prevelensi sekitar 1 persen, dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.<br /><br /><u>Etilogi Gangguan Kepribadian Borderline</u><br />Penyebab terjadinya gangguan kepribadian borderline antara lain dapat dijelaskan oleh kedua pandangan berikut:<br />• Faktor biologis<br />Faktor-faktor biologis antara lain disebabkan oleh faktor genetis. Gangguan kepribadian borderline dialami oleh lebih dari satu anggota dalam satu keluarga. Beberapa data menunjukkan adanya kelemahan fungsi lobus frontalis, yang sering diduga berperan dalam perilaku impulsif. Individu dengan gangguan borderline mengalami peningkatan aktivasi amigdala, suatu struktur dalam otak yang dianggap sangat penting dalam pengaturan emosi.<br /><br />• Object Relations Theory<br />Teori ini merupakan teori dari psikoanalisa yang memfokuskan diri pada bagaimana cara anak mengintroyeksikan nilai-nilai dan gambaran yang berhubungan dengan orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya, misalnya orang tua. Dengan kata lain, fokus dari teori ini adalah cara anak mengidentifikasikan diri dengan orang lain di mana ia memiliki emotional attachment yang kuat dengan orang tersebut. Orang-orang yang diintroyeksikan tersebut menjadi bagian dari ego si anak pada masa dewasa, tetapi dapat menimbulkan konflik dengan harapan, tujuan, dan ideal-idealnya.<br />Teori ini beranggapan bahwa individu bereaksi terhadap dunia melalui perspektif dari orang-orang penting dalam hidupnya pada masa lalu, terutama orang tua atau caregiver. Terkadang perspektif tersebut berlawanan harapan dan minat dari individu yang bersangkutan. Otto Kernberg, salah seorang tokoh dalam teori ini menyatakan bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa kanak-kanak, misalnya mempunyai orang tua yang memberikan cinta dan perhatian secara tidak konsisten (menghargai prestasi anak, tetapi tidak dapat memberikan dukungan emosional dan kehangatan), dapat menyebabkan anak mengembangkan insecure egos (bentuk umum dari gangguan kepribadian borderline).<br /><br />Individu dengan gangguan kepribadian borderline sering kali mengembangkan mekanisme defense yang disebut splitting, yaitu mendikotomikan objek menjadi semuanya baik atau semuanya buruk dan tidak dapat mengintegrasikan aspek positif dan negatif orang lain atau diri menjadi suatu keutuhan. Hal itu menimbulkan kesulitan yang ekstrem dalam meregulasi emosi karena individu borderline melihat dunia, termasuk dirinya sendiri, dalam dikotomi hitam-putih. Bagaimanapun juga, defense ini melindungi ego yang lemah dari kecemasan yang tidak dapat ditoleransi.<br /><br />Beberapa hasil penelitian juga mendukung teori ini. Individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline menyatakan kurangnya kasih sayang dari ibu. Mereka memandang keluarga mereka tidak ekspresif secara emosional, tidak memiliki kedekatan emosional, dan sering terjadi konflik dalam keluarga. Selain itu, mereka biasanya juga mengalami kekerasan seksual dan fisik serta sering mengalami perpisahan dengan orang tua pada masa kanak-kanak.<br />Bagaimanapun juga, hasil-hasil penelitian tersebut masih belum dapat menyatakan secara jelas apakah pengalaman-pengalaman itu memang hanya dialami oleh mereka dengan gangguan kepribadian borderline saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline mempunyai pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan. Namun belum jelas apakah pengalaman tersebut bersifat spesifik bagi gangguan ini.<br /><br />• Linehan’s Diathesis-Stress Theory<br />Menurut teori ini, gangguan kepribadian borderline berkembang ketika individu dengan diatesis biologis (kemungkinan genetis) di mana ia mengalami kesulitan untuk mengontrol emosi, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang salah (invalidating). Dalam teori ini, diatesis biologis disebut sebagai emotional dysregulation. Sedangkan invalidating experience adalah pengalaman di mana keinginan dan perasaan individu diabaikan dan tidak dihormati; usaha individu untuk mengkomunikasikan perasaannya tidak dipedulikan atau bahkan diberi hukuman. Salah satu contoh ekstremnya adalah kekerasan pada anak, baik secara seksual maupun nonseksual.<br />Dengan kata lain, emotional dysregulation saling berinteraksi dengan invalidate experience anak yang sedang berkembang. Hal itulah yang kemudian memicu perkembangan kepribadian borderline.<br /><br /><u>Histrionic Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Histrionik)<br /></u>Gangguan kepribadian histrionik sebelumnya dikenal disebut kepribadian histerikal, ditegakkan bagi orang-orang yang selalu dramatis dan mencari perhatian. Mereka sering kali menggunakan ciri-ciri penampilan fisik yang dapat menarik perhatian orang kepada dirinya, misalnya pakaian yang mencolok, tata rias, atau warna rambut. Mereka berpusat pada diri sendiri, terlalu mempedulikan daya tarik fisik mereka, dan merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian. Mereka dapat sangat provokatif dan tidak senonoh secara seksual tanpa mempedulikan kepantasan serta mudah dipengaruhi orang lain.<br />Diagnosis ini memiliki prevelensi sekitar 2 persen dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Gangguan kepribadian histrionik lebih banyak terjadi pada mereka yang mengalami perpisahan atau perceraian, dan hal ini diasosiasikan dengan depresi dan kesehatan fisik yang buruk. Gangguan ini sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline.<br /><br /><u>Etiologi Gangguan Kepribadian Histrionik</u><br />Gangguan ini dijelaskan berdasarkan pendekatan psikoanalisa. Perilaku emosional dan ketidaksenonohan secara seksual didorong oleh ketidaksenonohan orang tua, terutama ayah terhadap anak perempuannya. Kebutuhan untuk menjadi pusat perhatian dipandang sebagai cara untuk mempertahankan diri dari perasaan yang sebenarnya yaitu self-esteem yang rendah.<br /><br /><u>Narcissistic Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Narsistik)</u><br />Individu dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki pandangan berlebihan mengenai keunikan dan kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa dirinya spesial dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh sebab itu, mereka sulit menerima kritik dari orang lain. Hubungan interpersonal mereka terhambat karena kurangnya empati, perasaan iri, dan arogansi, dan memanfaatkan/menghendaki orang lain melakukan sesuatu yang istimewa untuk mereka tanpa perlu dibalas. Individu pada gangguan ini sangat sensitif terhadap kritik dan takut akan kegagalan. Terkadang mereka mencari sosok lain yang dapat mengidealkan karena mereka kecewa terhadap diri sendiri, tetapi mereka biasanya tidak mengizinkan siapa pun untuk benar-benar berhubungan dekat dengan mereka.<br /><br />Hubungan personal mereka sedikit dan dangkal; ketika orang lain menjatuhkan harapan mereka yang tidak realistis, mereka akan marah dan menolak. Prevelensi gangguan ini kurang dari 1 persen.<br /><br /><u>Etiologi Gangguan Kepribadian Narsistik</u><br />Penyebab gangguan kepribadian narsistik dapat dipandang dari segi psikoanalisa. Orang yang mengalami gangguan ini dari luar tampak memiliki perasaan yang luar biasa akan pentingnya dirinya. Namun dipandang dari psikoanalisa, karakteristik tersbut merupakan topeng bagi self-esteem yang rapuh.<br />Menurut Heinz Kohut, self muncul pada awal kehidupan sebagai struktur bipolar dengan immature grandiosity pada satu sisi dan overidealisasi yang bersifat dependen di sisi lain. Kegagalan mengembangkan self-esteem yang sehat terjadi bila orang tua tidak merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan oleh anak-anaknya. Dengan demikian, anak tidak bernilai bagi harga diri mereka sendiri, tetapi bernilai sebagai alat untuk meningkatkan self-esteem orang tua.<br /><br /><u>Antisocial Personality Disorder and Psychopathy (Gangguan Kepribadian Antisosial dan Psikopati)<br /></u>Orang dewasa yang mengalami gangguan antisosial menunjukkan perilaku tidak bertanggung jawab dan antisosial dengan bekerja secara tidak konsisten, melanggar hukum, mudah tersinggung, agresif secara fisik, tidak mau membayar hutang, sembrono, ceroboh, dan sebagainya. Mereka impulsif dan tidak mampu membuat rencana ke depan. Mereka sedikit atau bahkan tidak merasa menyesal atas berbagai tindakan buruk yang mereka lakukan. Gangguan ini lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dan lebih banyak terjadi di kalangan anak muda daripada dewasa yang lebih tua. Gangguan ini lebih umum terjadi pada orang dengan status sosioekonomi rendah.<br />Sementara itu, salah satu karakteristik psychopathy adalah kemiskinan emosi, baik positif maupun negatif. Orang-orang psychopathy tidak memiliki rasa malu, bahkan perasaan mereka yang tampak positif terhadap orang lain hanyalah sebuah kepura-puraan. Penampilan psikopat menawan dan memanipulasi orang lain untuk memperoleh keuntungan pribadi. Kadar kecemasan yang rendah membuat psikopat tidak mungkin belajar dari kesalahannya. Kurangnya emosi positif mendorong mereka berperilaku secara tidak bertanggung jawab dan berperilaku kejam terhadap orang lain.<br /><br /><u>Etiologi Gangguan Kepribadian Antisosial dan Psychopathy</u><br />Penyebab gangguan ini berkaitan dengan peran keluarga. Kurangnya afeksi dan penolakan berat orang tua merupakan penyebab utama perilaku psychopathy. Selain itu, juga disebabkan oleh tidak konsistennya orang tua dalam mendisiplinkan anak dan dalam mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain. Orang tua yang sering melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya dapat menyebabkan gangguan ini. Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh kehilangan orang tua. Di samping itu, ayah dari penderita psikopat kemungkinan memiliki perilaku antisosial. Faktor lingkungan di sekitar individu yang buruk juga dapat menyebabkan gangguan ini.<br /><br /><strong>KELOMPOK C (ANXIOUS/FEARFUL CLUSTER)<br /> </strong>Seperti yang telah disebutkan, kelompok ini terbagi menjadi tiga gangguan kepribadian, yaitu:<br />• Avoidant personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang memiliki ketakutan dalam situasi sosial.<br />• Dependent personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang kurang percaya diri dan sangat bergantung pada orang lain.<br />• Obsessive-compulsive personality disorder, yaitu gangguan pada individu yang mempunyai gaya hidup yang perfeksionis.<br />Berikut ini akan dijelaskan secara lebih rinci tentang ketiga gangguan kepribadian tersebut.<br /><br /><u>Avoidant Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Menghindar)<br /> </u>Individu dengan gangguan ini adalah individu yang memiliki ketakutan yang besar akan kemungkinan adanya kritik, penolakan atau ketidaksetujuan, sehingga merasa enggan untuk menjalin hubungan, kecuali ia yakin bahwa ia akan diterima.<br /><br />Individu tersebut bahkan terkadang menghindari pekerjaan yang banyak memerlukan kontak interpersonal. Dalam situasi sosial, ia sangat mengendalikan diri (kaku) karena sangat amat takut mengatakan sesuatu yang bodoh atau dipermalukan atau tanda-tanda lain dari kecemasan. Ia merasa yakin bahwa dirinya tidak kompeten dan inferior, serta tidak berani mengambil risiko atau mencoba hal-hal baru.<br /> <br />Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria dari avoidant personality disorder adalah sebagai berikut:<br />• Penghindaran terhadap kontak interpersonal karena takut kritik dan penolakan.<br />• Ketidakmampuan untuk terlibat dengan orang lain kecuali ia merasa yakin akan disukai atau diterima.<br />• Kekakuan dalam hubungan yang intim karena takut dipermalukan atau dicemooh.<br />• Perhatian yang berlebihan terhadap kritik atau penolakan.<br />• Perasaan tidak mampu.<br />• Perasaan inferior.<br />• Keengganan yang ekstrem untuk mencoba hal-hal baru karena takut dipermalukan.<br /><br />Prevalensi dari gangguan ini sekitar 5 persen dan sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian dependen dan borderline. Avoidant personality disorder juga sering bercampur dengan diagnosis Axis I depresi dan generalized social phobia. Gangguan ini memiliki gejala yang serupa dengan generalized social phobia, tetapi gangguan ini sebenarnya merupakan jenis generalized social phobia yang lebih kronik.<br /><br />Baik avoidant personality disorder atau social phobia berhubungan dengan gejala yang muncul di Jepang, yang disebut dengan taijin kyoufu. ”Taijin” berarti interpersonal dan ”kyoufu” berarti takut. Seperti pada avoidant personality disorder dan social phobia, individu yang mengalami taijin kyoufu sangat sensitif dan menghindari kontak interpersonal. Namun, hal yang ditakuti berbeda dengan hal-hal yang umumnya ditakuti pada diagnosis DSM. Individu dengan taijin kyoufu cenderung cemas atau malu tentang bagaimana ia mempengaruhi atau tampak di depan orang lain, misalnya takut bahwa mereka tampak jelek atau bau.<br /><br /><u>Dependent Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Dependen)</u><br /> Ciri utama dari gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya rasa percaya diri dan otonomi. Individu dengan gangguan kepribadian ini memandang dirinya lemah dan orang lain lebih kuat. Ia juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk diperhatikan atau dijaga oleh orang lain yang sering kali menyebabkan munculnya perasaan tidak nyaman ketika sendirian. Ia mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk meyakinkan bahwa ia tidak merusak hubungan yang telah terjalin dengan orang lain. Ketika hubungan dekat berakhir, individu yang mengalami gangguan ini segera berusaha menjalin hubungan lain untuk menggantikan hubungan yang telah berakhir tersebut.<br /> <br />Kriteria dalam DSM pada umumnya mendeskripsikan individu yang mengalami gangguan kepribadian dependen sebagai orang yang sangat pasif, misalnya memiliki kesulitan dalam memulai sesuatu atau mengerjakan sesuatu sendiri, tidak mampu menolak, dan meminta orang lain mengambil keputusan untuk dirinya. Bagaimanapun juga, penelitian mengindikasikan bahwa sifat-sifat pasif tersebut tidak mencegah individu melakukan hal-hal penting untuk menjaga hubungan dekat, misalnya menjadi sangat penurut dan pasif, tetapi dapat juga mengambil langkah aktif untuk menjaga hubungan.<br /><br />Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria gangguan kepribadian dependen yaitu sebagai berikut:<br />• Kesulitan dalam mengambil keputusan tanpa nasihat dan dukungan yang berlebihan dari orang lain.<br />• Kebutuhan terhadap orang lain untuk memikul tanggung jawab dalam hidupnya.<br />• Kesulitan dalam mengatakan atau melakukan penolakan terhadap orang lain karena takut kehilangan dukungan dari orang lain.<br />• Kesulitan dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu sendiri karena kurang percaya diri.<br />• Melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan baginya sebagai cara untuk memperoleh penerimaan dan dukungan dari orang lain.<br />• Perasaan tidak berdaya ketika sendiri karena kurang percaya pada kemampuan diri dalam menyelesaikan sesuatu tanpa bantuan orang lain.<br />• Segera mencari hubungan baru ketika hubungan yang sedang terjalin telah berakhir.<br />• Sangat ketakutan untuk mengurus atau menjaga diri sendiri.<br /><br />Prevalensi dari gangguan ini adalah sekitar 1,5 persen, lebih banyak ditemukan di India dan Jepang. Hal itu kemungkinan dikarenakan lingkungan di kedua negara tersebut yang memicu perilaku dependen. Gangguan kepribadian ini muncul lebih banyak pada wanita daripada pria, kemungkinan karena perbedaan pengalaman sosialisasi pada masa kanak-kanak antara wanita dan pria. Gangguan kepribadian dependen sering kali muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline, skizoid, histrionik, skizotipal, dan avoidant, sama seperti diagnosis Axis I gangguan bipolar, depresi, gangguan kecemasan, dan bulimia.<br /><br /><u>Obsessive-Compulsive Personality Disorder (Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif)</u><br /> Individu dengan obsessive-compulsive personality bersifat perfeksionis, sangat memperhatikan detail, aturan, jadwal, dan sebagainya. Individu yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif sangat memperhatikan detail sehingga kadang ia tidak dapat menyelesaikan hal yang dikerjakannya. Ia lebih berorientasi pada pekerjaan daripada bersantai-santai dan sangat sulit mengambil keputusan karena takut membuat kesalahan. Selain itu, ia juga sangat sulit mengalokasikan waktu karena terlalu memfokuskan diri pada hal-hal yang tidak seharusnya. Biasanya ia memiliki hubungan interpersonal yang kurang baik karena keras kepala dan meminta segala sesuatu dilakukan sesuai dengan keinginannya. Istilah yang umum digunakan sebagai julukan bagi individu seperti itu adalah “control freak”. Individu dengan gangguan kepribadian ini pada umumnya bersifat serius, kaku, formal dan tidak fleksibel, terutama berkaitan dengan isu-isu moral. Ia tidak mampu membuang objek yang tidak berguna, walaupun objek tersebut tidak bernilai. Di samping itu, ia juga pelit atau kikir.<br /><br />Berdasarkan DSM-IV-TR, kriteria dependent personality disorder yaitu sebagai berikut:<br />• Sangat perhatian terhadap aturan dan detail secara berlebihan sehingga poin penting dari aktivitas hilang.<br />• Perfeksionisme yang ekstrem pada tingkat di mana pekerjaan jarang terselesaikan.<br />• Ketaatan yang berlebihan terhadap pekerjaan sehingga mengesampingkan waktu senggang dan persahabatan.<br />• Kekakuan dalam hal moral.<br />• Kesulitan dalam membuang barang-barang yang tidak berguna.<br />• Tidak ingin mendelegasikan pekerjaan kecuali orang lain megacu pada satu standar yang sama dengannya.<br />• Kikir atau pelit.<br />• Kaku dan keras kepala.<br /><br />Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif agak berbeda dengan gangguan obsesif kompulsif. Pada gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, tidak terdapat obsesi dan kompulsi seperti pada gangguan obsesif-kompulsif. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif paling sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian avoidant dan memiliki prevalensi sekitar 2 persen.<br /><br /><u>Etiologi Kelompok C</u><br /> Tidak banyak data yang menjelaskan penyebab dari gangguan kepribadian kelompok anxoius/fearful. Salah satu penyebab yang memungkinkan adalah hubungan antara orang tua dan anak. Sebagai contoh, gangguan kepribadian dependen disebabkan oleh pola asuh yang overprotektif dan authoritarian, sehingga menghambat berkembangnya self-efficacy.<br /> <br />Di samping itu, gangguan kepribadian dependen juga dapat disebabkan oleh masalah attachment. Pada masa kanak-kanak, anak mengembangkan attachment terhadap orang dewasa dan menggunakan orang dewasa tersebut sebagai dasar yang aman untuk mengeksplorasi dan mengejar tujuan lain. Perpisahan dari orang dewasa dapat menimbulkan kemarahan dan distress. Seiring dengan proses perkembangan, anak tersebut kemudian menjadi tidak terlalu dependen pada figur attachment. Pada attachment yang tidak normal, perilaku yang dapat dilihat pada individu yang mengalami gangguan kepribadian dependen merefleksikan kegagalan dalam proses perkembangan yang biasanya, yang muncul dari gangguan pada hubungan awal antara orang tua dan anak yang disebabkan oleh kematian, pengabaian, penolakan, atau pengasuhan yang overprotektif.<br /><br />Individu yang mengalami gangguan ini menggunakan berbagai cara untuk menjaga hubungan dengan orang tua atau orang lain, misalnya dengan selalu menuruti mereka.<br /> Sedangkan gangguan kepribadian avoidant kemungkinan merefleksikan pengaruh lingkungan, di mana anak diajarkan untuk takut pada orang dan situasi yang pada umumnya dianggap tidak berbahaya. Misalnya ayah atau ibu memiliki ketakutan yang sama, yang kemudian diturunkan pada anak melalui modeling. Kenyataan bahwa gangguan ini terjadi di keluarga, dapat mengindikasikan adanya peran faktor genetik.<br /> <br />Freud berpendapat bahwa obsessive-compulsive personality traits disebabkan oleh fiksasi pada tahap awal dari perkembangan psikoseksual. Sedangkan teori psikodinamik kontemporer menjelaskan bahwa gangguan kepribadian obsesif-kompulsif disebabkan oleh ketakutan akan hilangnya kontrol yang diatasi dengan overkompensasi. Sebagai contoh, seorang pria workaholic yang kompulsif kemungkinan takut bahwa hidupnya akan hancur jika ia bersantai-santai dan bersenang-senang.<br /><br /><strong>TERAPI UNTUK GANGGUAN KEPRIBADIAN<br /> </strong>Terapi psikodinamik bertujuan untuk mengubah pandangan individu saat ini tentang masalah-masalah pada masa kanak-kanak yang diasumsikan menjadi penyebab dari gangguan kepribadian, misalnya terapis membimbing individu yang mengalami gangguan kepribadian obsesif-kompulsif pada kenyataan bahwa pencarian kasih sayang dari orang tua pada masa kanak-kanak dengan cara menjadi sempurna tidak perlu dilakukan pada masa dewasa. Ia tidak harus menjadi sempurna untuk memperoleh penerimaan dari orang lain, sehingga ia berani mengambil risiko dan membuat kesalahan.<br /> <br />Terapis behavioral dan kognitif lebih menekankan perhatian pada faktor situasi daripada sifat. Terapis behavioral dan kognitif cenderung menganalisa masalah individu yang merefleksikan gangguan kepribadian. Sebagai contoh, individu yang didiagnosa memiliki kepribadian paranoid atau avoidant bersifat sangat sensitif terhadap kritik. Sensitivitas tersebut dapat dikurangi dengan behavioral rehearsal (social skills training), systematic desentizitation, atau rational-emotive behavior therapy. Contoh lain dapat dilihat pada individu dengan kepribadian paranoid yang bersifat hostile dan argumentatif ketika menyatakan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap orang lain.<br /><br />Dalam hal ini, terapis behavior dapat membantu individu paranoid belajar untuk mengutarakan ketidaksetujuan dalam cara yang lebih baik. Bagi mereka dengan kepribadian avoidant, social-skills training dalam suatu kelompok dapat membantu mereka untuk lebih asertif terhadap orang lain.<br /> <br />Pada terapi kognitif, gangguan dianalisa dalam hubungannya dengan logical errors dan dysfunctional schemata. Misalnya, pada terapi kognitif bagi individu yang mengalami gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, pertama-tama dibantu untuk menerima konsep bahwa perasaan dan tingkah laku merupakan fungsi dari pikiran. Kesalahan berpikir (errors in logic) kemudian dieksplorasi, misalnya saat individu menyimpulkan bahwa ia tidak mampu melakukan semua hal dengan benar hanya karena kegagalan dalam satu hal saja (melakukan overgeneralisasi). Selain itu, terapis juga mencari asumsi atau skema dysfunctional yang mungkin mendasari pikiran dan perasaan individu tersebut, misalnya keyakinan individu bahwa setiap keputusan harus selalu benar.<br /><br /><strong>Terapi Untuk Kepribadian Ambang (Borderline Personality)<br /> </strong>Pada individu dengan kepribadian borderline, rasa percaya sulit diciptakan dan dijaga, sehingga mempengaruhi huubungan terapeutik. Individu cenderung mengidealkan dan menjelek-jelekkan terapis, meminta perhatian khusus pada satu waktu, memohon pengertian dan dukungan, tetapi tidak mau membahas topik-topik tertentu. Apabila tingkah laku individu sudah tidak dapat dikendalikan atau ketika ancaman bunuh diri tidak dapat diatasi lagi, maka sering kali individu tersebut perlu dirawat di rumah sakit.<br /> <br />Pada farmakoterapi bagi individu berkepribadian borderline, diberikan beberapa macam obat. Umumnya obat-obatan yang diberikan tersebut merupakan antidepresan dan antipsikotik. Berikut ini terdapat dua jenis terapi bagi individu yang berkepribadian borderline.<br /><br /><strong>• Object-Relations Psychoterapy<br /> </strong>Terapi yang dilakukan bertujuan untuk memperkuat ego yang lemah, sehingga individu tidak lagi melakukan dikotomi. Selain itu, individu juga diberi saran konkret untuk bertingkah laku adaptif dan merawat individu di rumah sakit jika tingkah lakunya membahayakan diri sendiri maupun orang lain.<br /><strong><br />• Dialectical Behavior Therapy (DBT)<br /> </strong>DBT merupakan pendekatan yang mengkombinasikan client-centered empathy dan penerimaan dengan menyelesaikan masalah secara kognitif-behavioral dan social-skills training. DBT mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:<br />1. Mengajari individu untuk mengatur dan mengendalikan tingkah laku dan emosi yang ekstrem.<br />2. Mengajari individu untuk menoleransi perasaan distress.<br />3. Mengajari individu belajar untuk mempercayai pikiran dan emosinya sendiri.<br /><br />Istilah ”dialectic” mengacu pada sikap yang berlawanan, yaitu di mana terapis harus menerima individu borderline apa adanya sekaligus membantu individu tersebut untuk berubah. Istilah ”dialectic” juga mengacu pada kenyataan bahwa individu borderline tidak perlu membagi dunia secara dikotomi, tetapi dapat mencapai suatu sintetsis. Dengan kata lain, salah satu tujuan DBT adalah mengajari individu untuk memandang dunia secara dialektik, suatu pemahaman bahwa hidup terus berubah dan suatu hal tidak semuanya buruk atau semuanya baik.<br /><br />Sedangkan aspek kognitif-behavioral dari DBT, baik yang dilakukan secara individual atau dalam kelompok, terdiri dari membantu individu belajar menyelesaikan masalah, membantu untuk memperoleh penyelesaian masalah yang lebih efektif dan dapat diterima secara sosial dan mengendalikan emosi, meningkatkan kemampuan interpersonal, dan mengendalikan amarah dan kecemasan.<br /><br /><strong>Terapi Untuk Psychopathy</strong><br /> Kebanyakan ahli menyatakan bahwa membantu individu dengan kepribadian psychopathy untuk berubah merupakan hal yang sia-sia. Hal tersebut dikarenakan individu tidak dapat dan tidak termotivasi untuk membina hubungan yang jujur dan menumbuhkan kepercayaan pada terapis. Namun, pendapat tersebut ternyata tidak sesuai dengan hasil-hasil penelitian tentang psikopat.<br /><br />Hasil penelitian membuktikan bahwa psikoterapi psikoanalitik sangat membantu dalam beberapa hal, seperti hubungan interpersonal yang lebih baik, peningkatan kapasitas dalam perasaan menyesal dan empati, mengurangi kebiasaan berbohong, terbebas dari masa percobaan, dan bertahan pada satu pekerjaan. Efek yang serupa juga dapat dilihat pada beberapa penelitian yang menggunakan teknik kognitif-behavioral. Semakin muda individu, maka semakin baik efek yang dihasilkan dari terapi.<br /> <br />Banyak penderita psychopathy yang dipenjara karena melakukan tindak kriminal. Namun sayangnya, sesuai dengan pendapat para kriminolog, sistem yang diterapkan di penjara lebih menyerupai sekolah kriminal daripada tempat di mana para psychopath dan pelaku tindak kriminal direhabilitasi. Bagaimanapun juga, terdapat bukti bahwa psikopat biasanya mulai hidup lebih baik di usia dewasa madya (40-an). Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perubahan biologis, insight terhadap self-defeating (mengalahkan diri sendiri), atau merasa lelah dan tidak dapat melanjutkan hidup yang penuh dengan tipuan, bahkan kekerasan.<br /><br /><br />Sumber:<br />Davidson, Gerald C., John M. Neale, & Ann M. Kring. (2004). Abnormal Psychology (9th edition). US: John Wiley & Sons, Inc.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com12tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-55501133284919834362008-06-08T06:02:00.001-07:002008-06-08T06:26:24.506-07:00VJ#33/VI/2008 : Gangguan Identitas Gender<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SEvdrsOJ94I/AAAAAAAAAF4/4U0hKJ-3Dq4/s1600-h/gender.jpg"><img src="http://1.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SEvdrsOJ94I/AAAAAAAAAF4/4U0hKJ-3Dq4/s320/gender.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5209501136658757506" /></a><br />Beberapa waktu belakangan yang lalu, saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman dengan tema "seorang pria yang hidup di raga yang salah". Diskusi ini berawal dari perbincangan mengenai salah satu tugas kuliah seorang teman yang "kebetulan" mengangkat topik homoseksual. <br /><br />Dari topik tersebut, perbincangan berkembang menjadi pembahasan yang telah disebutkan di atas. Maksud dari ungkapan yang diberikan tanda petik tentu tidak perlu lagi saya jelaskan. Tentu kita seringkali melihat (apalagi di jaman sekarang) bahwa ada orang-orang yang dilahirkan sebagai pria, ditandai dengan alat kelamin dan hormon2 yang mengikutinya, namun bertingkah laku dan bersifat layaknya seorang perempuan. Hal tersebut dapat dilihat hal2 yang kasat mata sampai yang tidak, misal dari cara berpakaian, cara berbicara, teman2 sepermainan, atau orientasi seksual.<br /><br />Bagi sebagian dari kita (apalagi di budaya timur) fenomena demikian masih dianggap sebagai hal yang aneh, anomali, devian, atau apapun istilah yang menerangkan kata "tidak wajar". Memang sah-sah saja apabila orang menganggap demikian. Akan tetapi, satu hal yang perlu kita ingat, bahwasanya kita tidak bisa (atau tidak boleh) lalu semena-mena menyalahkan orang-orang tersebut, karena pada dasarnya mereka juga mungkin tidak mau menjadi seperti mereka saat ini.<br /><br />Cobalah berempati terhadap mereka. Bayangkan bahwa anda adalah seorang perempuan, menyukai segala hal yang berhubungan dengan kecantikan, kebersihan atau kelembutan, senang sekali untuk berbelanja, ingin selalu bergosip dengan teman2 "gank" anda,serta menyukai barang-barang yang lucu, terutama tas dan sepatu.<br /><br />Namun, Saat anda terbangun di pagi hari (setiap hari), saat menuju kamar mandi lalu melepaskan segala pakaian yang melekat di tubuh anda, anda dengan mudah menemukan sebuah penis tergantung di selangkangan anda, kumis yang tumbuh dengan kasar karena belum dicukur, jakun di leher anda, dan bulu dada yang tumbuh dengan cukup lebat.<br /><br />Apa yang anda rasakan??<br /><br />Apa yang sebenarnya terjadi?<br /><br /><strong>Gangguan Identitas Gender</strong><br />Identitas gender, atau kesadaran terhadap diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan, telah tertanam sejak dini. Mayoritas orang tetap mengetahui dengan pasti akan gendernya pada situasi apapun. Identitas gender berbeda dengan orientasi seksual, yaitu preferensi kita dalam memilih partner seks. Misalnya, seorang laki-laki dapat tertarik pada laki-laki lain (orietasi seksual) tanpa meyakini bahwa dirinya adalah perempuan (identitas gender).<br /><br /><strong>I. Karakteristik<br /></strong>Orang dengan gangguan identitas gender, atau biasa disebut transeksual, merasa bahwa dirinya adalah anggota jenis kelamin yang berlawanan. Orang dengan gangguan identitas gender tidak menyukai pakaian ataupun aktivitas yang biasa dilakukan orang dengan jenis kelaminnya, dan sering memilih untuk melakukan cross-dressing. Transeksual pada umunya mengalami kecemasan atau depresi, yang kemungkinan berkaitan dengan perlakuan negatif yang didapat dari masyarakat.<br />Gangguan identitas gender biasanya dimulai pada masa kanak-kanak, dan dapat terdeteksi oleh orang tua sejak usia 2 hingga 4 tahun (Green & Blanchard, 1995). Gangguan identitas gender lebih banyak terjadi pada laki-laki, dengan perbandingan 6:1 (Zucker, Bradley, & Sanikhani, 1997).<br /><br /><strong>II. Penyebab<br /></strong>Saat ini, masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif.<br />Faktor lain yang dianggap dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis. Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya, kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk hidup sebagai laki-laki.<br /><strong><br />III. Terapi</strong><br /><u>Body Alterations</u><br />Pada terapi jenis ini, usaha yang dilakukan adalah mengubah tubuh seseorang agar sesuai dengan identitas gendernya. Untuk melakukan body alterations, seseorang terlebih dahulu diharuskan untukmengikuti psikoterapi selama 6 hingga 12 bulan, serta menjalani hidup dengan gender yang diinginkan (Harry Benjamin International Gender Dysphoria Association, 1998). Perubahan yang dilakukan antara lain bedah kosmetik, elektrolisis untuk membuang rambut di wajah, serta pengonsumsian hormon perempuan. Sebagian transeksual bertindak lebih jauh dengan melakukan operasi perubahan kelamin.<br />Keuntungan operasi perubaha mengn kelamin telah banyak diperdebatkan selama bertahun-tahun. Di satu sisi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan sosial yang bisa didapatkan dari operasi tersebut. Namun penelitian lain menyatakan bahwa pada umumnya transeksual tidak menyesal telah menjalani operasi, serta mendapat keuntungan lain seperti kepuasan seksual yan lebih tinggi.<br /><u><br />Pengubahan Identitas Gender<br /></u>Walaupun sebagian besar transeksual memilih melakukan body alterations sebagai terapi, ada kalanya transeksual memilih untuk melakukan pengubahan identitas gender, agar sesuai dengan tubuhnya. Pada awalnya, identitas gender dianggp mengakar terlalu dalam untuk dapat diubah. Namun dalam beberapa kasus, pengubahan identitas gender melalui behavior therapy dilaporkan sukses. Orang-orang yang sukses melakukan pengubahan gender kemungkinan berbeda dengan transeksual lain, karena mereka memilih untuk mengikuti program terapi pengubahan identitas gender.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-41247686220557045402008-05-14T01:47:00.000-07:002008-05-14T02:13:52.953-07:00VJ#32/V/2008 : Marriage Problems (poligami?)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqrXRI6TjI/AAAAAAAAAFw/3wabfZdMSA8/s1600-h/couple1.jpg"><img src="http://4.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqrXRI6TjI/AAAAAAAAAFw/3wabfZdMSA8/s320/couple1.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5200157135978778162" /></a><br /><span>Selamat pagi, siang, sore, malam para pembaca blogs setia. setelah dalam beberapa tulisan, saya banyak membuat seputar teori kepribadian dari berbagai tokoh, maka kali ini saya mencoba menyajikan sebuah tulisan yang saya buat mengenai pernikahan dan permasalahnnya. Tulisan ini saya ambil dari salah satu tugas dalam menangani kasus seorang klien yang di poligami oleh suaminya.Setelah tulisan ini selesai, saya berpikir "kenapa tidak saya post di verdi's journals?". alasannya adalah karena apabila berbicara pernikahan dan permasalahannya tentu tidak akan ada habisnya- karena pasti dialami oleh semua pasangan yang telah menikah - apalagi bila berbicara mengenai poligami.<br /><br />Sampai detik ini, poligami masih menjadi perdebatan panjang, dengan pihak pro dan pihak kontra sama kuat dan "ngotot" dalam mempertahankan pendapat. tulisan ini tidak bermaksud untuk memihak pihak manapun namun lebih mencoba menyoroti masalah-masalah pernikahan (termasuk di dalamnya poligami - bila anda sepakat dengan saya bahwa hal tersebut termasuk potensi menjadi masalah pernikahan ), dampaknya, dan cara seseorang (istri?) atau biasa disebut <i>coping</i> untuk menghadapinya.<br /><br />Saya mengambil teori <i>coping</i> pada perselingkuhan karena di dunia barat poligami tidak begitu populer sehingga saya kesulitan menemukan teoeri <i>coping</i> pada masalah poligami. Mengapa perselingkuhan? karena <i>Coping</i> yang saya berikan di sini adalah dalam kasus apabila seorang suami berpoligami dengan di awali sebuah hubungan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan istrinya.<br /><br />Semoga tulisan ini cukup netral untuk menyoroti masalah-masalah yang disebutkan di atas dari sudut pandang psikologi. Selamat menikmati dan jangan segan memberikan komentar.<br /></span><span><br /></span><span style="font-family:lucida grande;">TULISAN ITU :<br /><br /><strong>I. Pernikahan</strong><br />a. Definisi Pernikahan<br />Apabila berbicara mengenai pernikahan maka akan dapat ditemukan banyak definisi mengenainya. Misalnya yang dikemukakan oleh Duvall dan Miller (1985) bahwa pernikahan adalah :<br /><br /><i>“Marriage can be most accurately defined as the socially recognized relationship between a man and a woman that provides for sexual relations, legitimizes childbearing and establish a division of labor between spouses.” (Duvall & Miller, 1985 hal. 6).<br /></i><br />Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan dikemukakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Ariyani, 2004). Dari kedua definisi di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga, yang diakui secara sosial. Selain itu, pernikahan itu membentuk adanya pembagian peran yang jelas antara suami dan istri sehingga pernikahan tersebut diharapkan dapat bahagia dan berlangsung selamanya.<br /><br />b. Masalah-masalah pada Pernikahan<br />Pada umumnya terdapat berbagai permasalahan selama suatu pernikahan berjalan. Dalam pernikahan, umumnya pasangan menyadari bahwa mereka harus melakukan penyesuaian diri agar dapat hidup bersama secara harmonis. Hal ini menunjukkan pentingnya proses penyesuaian diri dalam pernikahan. Adapun masalah dalam penyesuaian pernikahan meliputi kepuasan dalam pernikahan yang berkaitan dengan interaksi suami-istri, sehingga kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing dapat diketahui, dihormati, dan dipuaskan. Harapan yang tidak realistis dapat menimbulkan masalah dalam suatu hubungan. Masalah-masalah tersebut antara lain berkaitan dengan :<br />1. Pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga<br />2. Komunikasi dan konflik<br />3. Kehidupan seksual<br />Dalam kehidupan rumah tangga, terdapat pembagian tanggung jawab di antara pasangan. Isu yang terkait dengan hal tersebut adalah pembagian tanggung jawab yang dipersepsikan secara adil oleh masing-masing pasangan. Sementara itu, masalah-masalah yang terkait dengan komunikasi dan konflik antara lain yaitu hambatan dalam mengkomunikasikan perasaan yang mendalam, harapan, keinginan, dan kebutuhan pribadi. Hal ini didukung salah satu hasil penelitian tersebut yang menjelaskan mengenai beberapa area kesulitan penyesuaian yang umumnya muncul dalam pernikahan. Salah satu area tersebut adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif penting bagi keberhasilan pernikahan. Hasil penelitian juga mengidentifikasi area dari fungsi pernikahan yang membedakan antara pasangan yang merasa puas dan tidak puas. Dari tiga area fungsi terpenting, dua di antaranya melibatkan komunikasi, yaitu kenyamanan pasangan dalam membagi informasi satu sama lain dan kemauan mereka untuk mengenali dan menyelesaikan konflik di antara mereka. Area yang ketiga adalah kualitas hubungan seksual mereka.<br /><br />Sejumlah penelitian telah membandingkan pola komunikasi pada pernikahan yang bahagia dan tidak bahagia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasangan yang tidak bahagia terjadi hal-hal berikut ini:<br /><br />1. Mengalami kesulitan dalam menyampaikan pesan positif<br />2. Lebih sering mengalami kesalahpahaman satu sama lain<br />3. Kurang menyadari bahwa mereka telah salah paham<br />4. Lebih sering dan lebih intens dalam menggunakan pesan negatif<br />5. Sering kali berbeda dalam menginginkan seberapa erat kedekatan (self-disclosure) dalam hubungan (Noller & Fitzpatrick; Noller & Gallois; Sher & Baucom, dalam Weiten & Lloyd, 1997).<br /><br />Apabila masalah-masalah tersebut tidak terselesaikan dengan baik maka dapat berakibat suatu hubungan pernikahan. Ada beberapa cara suatu pernikahan dapat berakhir. Salah satunya adalah dengan annulment, yaitu berahirnya pernikahan secara legal, misalnya dengan salah satu pasangan menikah lagi (bigamy). Di Indonesia, bigamy lebih dikenal dengan istilah poligami, dan tidak ditandai dengan berakhirnya pernikahan terdahulu.<br /><br /><strong>II. Poligami<br /></strong>a. Pengertian Poligami<br />Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat. Hal ini berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Pada saat ini, masyarakat secara umum lebih mengenal poligami sebagai pernikahan satu suami dengan beberapa istri. Hal ini sejalan dengan Dacey dan Travers (dalam Ariyani, 2004) yang tidak lagi menggunakan istilah poligini dalam pembagian tipe pernikahan yang mereka ajukan namun menggunakan istilah poligami. Apabila dipandang dari sudut pandang agama maka tidak semua agama memperbolehkan praktik poligami. Salah satu agama yang melegalkan pernikahan poligami adalah agama Islam. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya Hal tersebut tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3.<br /><br />b. Dampak Poligami<br />Agama Islam, sebagai salah satu agama yang mengizinkan praktek poligami, memberikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang pria apabila mau melakukan poligami. Salah satu ketentuan yang tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 129 adalah pria tersebut harus dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Ketentuan ini untuk menghindari dampak negatif dari poligami, baik untuk sang pria maupun pihak perempuan. Dari beberapa penelitian telah ditemukan bahwa praktek poligami memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Salah satunya seperti yang disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) bahwa poligami akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise di hadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. Sedangkan pihak istri lebih sering mendapatkan dampak negatif dari pernikahan poligami. Beberapa kerugian bagi pihak perempuan disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) adalah bagi para istri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi masing-masing. Selain itu mereka juga harus berbagi wilayah domestik yang biasanya dipahami sebagai ranah perempuan, seperti dapur. Adapun bagi para istri yang tinggal di tempat yang berbeda dapat menyebabkan tekanan-tekanan kepribadian, seperti cemburu, konflik kepribadian, kompetisi, dan ketidaksenangan anak terhadap ibu yang berbeda. Jones (dalam Ariyani, 2004) menambahkan melalui hasil penelitiannya pada perempuan Suku Sasak di Lombok bahwa poligami mengakibatkan hal-hal seperti mimpi buruk, kepasrahan akan nasib, pertengkaran antar istri, perasaan dikhianati oleh suami, bunuh diri, dan bahkan menjadi gila.<br /><br />Beberapa dampak dari poligami terhadap seorang istri sebagai berikut :<br />a. Dampak psikologis<br />Perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.<br /><br />b. Dampak ekonomi rumah tangga<br />Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.<br /><br />c. Dampak hukum<br />Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.<br /><br />d. Dampak kesehatan<br />Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.<br /><br />e. Kekerasan terhadap perempuan,<br />Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.<br /><br />Sedangkan Jamruhi (2006) menyebutkan beberapa pengaruh negatif poligami terhadap istri sebagai berikut :<br /><br />a. Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para istri. Perasaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu istri dbandingkan dengan istri yang lain atau karena kurang adanya keadilan. Akan tetapi hal ini jarang terjadi apabila suami dan istri mengerti mengenai hak dan kewajibannya.<br /><br />b. Perasaan di atas juga bisasnya terwarisi kepada anak-anak dari masing-masing istri sehingga tidak mempunyai rasa persaudaraan.<br /><br />c. Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena biasanya suami akan lebih mencintai istri barunya. Perasaan ini mengakibatkan istri pertama merasa kurang bahagia dalam hidupnya.<br /><br /><strong>III. Coping pada Masalah Pernikahan (Perselingkuhan)<br /></strong>Dr Elisabeth Ross (dalam Subotnik dan Harris, 2005) mengidentifikasikan lima tahap coping pada seseorang yang pasangannya melakukan perselingkuhan pada suatu hubungan. Menurutnya, tidak semua orang melewati tahap-tahap ini dan tidak harus berurutan. Tahap-tahap tersebut adalah :<br />1. Denial (penyangkalan)<br />Penyangkalan merupakan reaksi yang sama yang dirasakan orang yang kehilangan dalam bentuk lain, seperti kematian. Reaksi awal saat mengetahui bahwa pasangan anda telah tidak jujur adalah tidak percaya. Salah satu cara yang dilakukan oleh seseorang dalam melindungi atau mengurangi rasa sakit hati.<br /><br />2. Anger<br />Setelah tahap denial, pasangan yang dikhianati biasanya mengalami ledakan kemarahan.pada tahap ini, beberapa orang menunjukkannya dengan teriakan atau tangisan, sedangkan yang lainnya ingin melakukan balas dendam. Jika anda bisa mengetahui rasa marah anda dan bisa mengekspresikannya dengan cara yang aman, maka anda sedang menuju jalan yang benar untuk mengatasi rasa sedih.<br /><br />3. Bargaining<br />Setelah tahap marah, dimulailah tahap bargaining. Saat anda menghadapi fakta bahwa pernikahan anda menghadapi krisis, anda mungkin saja mulai melakukan bargaining. Contohnya, ”saya berjanji akan lebih perhatian”, ”aku akan lebih mencinta dia”. Pada tahap ini, anda mungkin akan merasa sakit dan ketakutan akan kehilangan hubungan yang telah terjalin sehingga membuat anda tidak dapat berpikir secara rasional.<br /><br />4. Depression<br />Pada tahap ini, anda akan kehilangan minat pada dunia luar, sulit berkonsentrasi, selera makan yang tidak terkontrol, menjadi seorang yang pelupa, dan bingung. Depresi dapat juga diekspresikan dalam bentuk tangisan terus-menerus.<br /><br />5. Acceptance<br />Tahap terakhir, acceptance, dibutuhkan agar anda dapat bergerak maju. Ada dua tipe acceptance, yaitu intelektual (muncul lebih dahulu) dan emosional (muncul berikutnya). Intelektual artinya memahami apa yang telah terjadi, sedangkan emosional artinya anda dapat berdiskusi dengan pasangan mengenai perselingkuhan yang dilakukan tanpa memberikan reaksi pada tahap-tahap sebelumnya. Pada kasus kebanyakan, setelah waktu yang lama, kebanyakan orang dapat mengintegrasikan kedua tipe acceptance tersebut dalam menghadapi masalah mereka.<br /><br /></span><br /><span style="font-size:85%;">Sumber :<br />Ariyani, Mira. (2004). Faktor yang Berperan dan Proses yang Terjadi Dalam Keputusan<br />Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poiligami. Skripsi Sarjana. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.<br /><br />De De Genova, Mary Kay & Rice, F. Philip. (2005). Intimate relationships, marriages and families. 6th edition. New York: McGraw-Hill.<br /><br />Duvall, Evelyn M. & Miller, Brent C. (1985). Marriage and Family Development (6th Ed.). New York: Harper & Row Publishers.<br /><br />Green, Ernest J. (1978). Personal relationships: An approach to marriage and family. USA: McGraw-Hill Book Company.<br /><br />Subotnik, Rona B., Harris, Gloria G. (2005) Surviving Infidelity : Making decision, recovering from the pain (3rd edition). Canada : Adams Media<br /><br />Weiten, W. & Lloyd, M.A. (1997). Psychology applied to modern life: Adjustment in the 90s (5th ed). USA: Brooks / Cole Publishing Company.<br /><br />http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami diakses 23 Maret 2008<br />http://www.pks-kotatangerang.or.id diakses 23 Maret 200</span>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-72461647328911371422008-05-14T01:42:00.000-07:002008-05-14T01:46:03.794-07:00VJ#31/V/2008 : Social Learning Theory (Bandura)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqmfBI6TiI/AAAAAAAAAFo/GmeP0jnhP3w/s1600-h/graw_bandura.jpg"><img src="http://3.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqmfBI6TiI/AAAAAAAAAFo/GmeP0jnhP3w/s320/graw_bandura.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5200151771564625442" /></a><br /><i>written by : member of KLD</i><br /><br />Teori Belajar Sosial (Social Learning) oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu – individu lain yang menjadi model.<br /><br />Bandura menyatakan bahwa orang belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut.<br /><br />Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Selama jalannya Observational Learning, seseorang mencoba melakukan tingkah laku yang dilihatnya dan reinforcement/ punishment berfungsi sebagai sumber informasi bagi seseorang mengenai tingkah laku mereka.<br /><br />Teori belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan).<br /><br />Modeling lebih dari sekedar peniruan atau mengulangi perilaku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Modelling dilakukan melalui empat proses yaitu perhatian, representasi, peniruan tingkah laku, dan motivasi dan penguatan. Perhatian dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan orang yang diamati (model), sifat dari model tersebut, dan arti penting tingkah laku yang diamati. Representasi berarti tingkah laku yang akan ditiru harus disimbolisasikan dalam ingatan. Dalam peniruan tingkah laku, pengamat harus mempunyai kemampuan untuk menirukan perilaku dari model yang diamati. Modeling ini akan efektif jika orang yang mengamati mempunyai motivasi yang tinggi untuk meniru tokoh yang diamatinya.<br /><br />Satu konsep penting yang dikemukakan Bandura adalah reciprocal determinism, yaitu seseorang akan bertingkah laku dalam suatu situasi yang ia pilih secara aktif. Dalam menganalisis perilaku seseorang, ada tiga komponen yang harus ditelaah yaitu individu itu sendiri (P: person), lingkungan (E: environment), serta perilaku si inidividu tersebut (B: behavior). Individu akan memunculkan satu bentuk perilaku yang sama meskipun lingkungannya serupa, namun individu akan bertindak setelah ada proses kognisi atau penilaian terhadap lingkungan sebagai stimulus yang akan ditindaklanjuti. Bandura menyatakan bahwa kognisi adalah sebagai tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita mempengaruhi tingkah laku.<br /><br /><strong>Self efficacy<br /></strong>Ini adalah persepsi seseorang mengenai kemampuannya didalam menghadapi suatu situasi. 2 komponen dalam Self efficacy adalah:<br /><br />1. Outcome expectations : perkiraan individu bahwa suatu outcome tertentu akan muncul dan pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan<br /><br />2. Efficacy expectations : beliefs bahwa ia bisa melakukannya atau tidak.<br />Ditekankan bahwa self efficacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Segala tingkah laku, bisa tingkah laku dalam bekerja, akademis, rekreasi, sosial dipengaruhi oleh self efficacy.<br />Expectancy adalah variabel kognitif dalam hubungan antara stimulus dan respon. Outcome expectancy adalah antisipasi dari hubungan yang sistematik antara kejadian-kejadian atau objek-objek dalam suatu situasi. Bentuknya adalah “jika-maka” antara perilaku dan hasilnya. Gagalnya suatu peristiwa mengikuti bentuk “jika-maka” yang ada dalam pola pikir individu, maka jika harapan dari individu terlalu tinggi dan tidak dapat tercapai, individu tersebut akan lebih mudah mengalami gangguan karena ketidaknyamanan yang ia alami.<br /><br /><strong>Self Regulation</strong><br />Self regulation adalah kemampuan individu untuk mengatur perilakunya sendiri dengan internal standard dan penilaian untuk dirinya. Konsep ini menjelaskan mengapa manusia bisa mempertahankan perilakunya walaupun tidak adanya rewards yang berasal dari lingkungan eksternal. Konsep ini tidak dapat berjalan tanpa adanya internal standards seseorang.<br />Internal standards adalah pemikiran yang berasal dari pengaruh modelling sebelumnya dan juga berbagai reinforcement yang lalu. Dengan adanya pemaknaan terhadap fenomena tertentu yang menurutnya baik atau bernilai, maka nilai-nilai tersebut menjadi patokan nilai internal individu yang bersangkutan. Semakin tinggi internal standard seseorang, semakin besar harapannya untuk mencapai nilai tersebut dan semakin besar pula kemungkinan individu tersebut mengalami gangguan-gangguan.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-14933942770579534942008-05-14T01:35:00.000-07:002008-05-14T01:42:30.950-07:00VJ#30/V/2008 : Sociocultural Theory<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqlixI6ThI/AAAAAAAAAFg/xRk8wqWrj-A/s1600-h/bronfenbrenner_kids.jpg"><img src="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqlixI6ThI/AAAAAAAAAFg/xRk8wqWrj-A/s320/bronfenbrenner_kids.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5200150736477507090" /></a><br /><i>written by : member of KLD</i><strong><br /><br />Teori Bioekologi<br /></strong>Salah satu teori yang sangat terkenal dari pendekatan sosiokultural adalah Teori Bioekologi dari Urie Bronfenbrenner. Teori ini menggambarkan tentang tingkatan interaksi yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Menurutnya perkembangan<br />terjadi melalui proses interaksi yang regular, aktif, dua arah antara individu dan lingkungan sehari-harinya. Proses ini terjadi dalam lima sistem lingkungan yang saling berkaitan, yaitu:<br /><br />1. Mikrosistem<br />Merupakan sistem terdekat dengan individu, dimana individu terlibat dalam interaksi dua arah dengan orang lain dalam basis kehidupan sehari-hari dan menjadi agen sosialisasi. Sistem ini terdiri dri keluarga (orang tua), teman sebaya, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan tempat ibadah.<br /><br />2. Mesosistem<br />Merupakan sistem yang menghubungkan dua atau lebih mikrosistem dimana individu terlibat didalamnya. Misalnya: hubungan antara keluarga denagn teman sebaya, terjadi konflik nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dengan nilai-nilai teman sebayanya. Dalam sistem ini dapat terlihat sikap dan perilaku yang berbeda dari satu individu dalam setting lingkungan yang berbeda.<br /><br />3. Eksosistem<br />Terdiri dari dua atau lebih sistem yang saling berhubungan, namun tidak mempengaruhi individu secara langsung.<br /><br />4. Makrosistem<br />Merupakan sistem dari pola-pola kebudayaan yang mencakup seluruh mikro, meso dan eksosistem masyarakat seperti sistem perekonomian dan budaya (kapitalisme, sosialisme).<br /><br />5. Kronosistem<br />Menunjukan derajat kestabilan dan perubahan dalam dunia dimana individu berada. Misalnya perubahan komposisi keluarga hingga perubahan dalam lingkup yang lebih besar seperti peperangan, mobilitas kelas sosial.<br /><br />Menurut Urie Bronfenbrenner, individu bukan merupakan hasil dari suatu perkembangan, namun ia adalah pembentuk perkembangan itu. Orang lain dapat mempengaruhi perkembangan individu melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan kemampuan serta temperamen. Bronfenbrenner juga mengatakan bahwa individu tidak berkembang dalam isolasi, namun dalam keterkaitan konteks / sistem yang mempengaruhi dirinya melalui interaksi sosialisasi. Setiap agen sosialisasi memiliki peran untuk mempersiapkan individu dalam dua hal, yaitu stabilitas dan perubahan. Dalam hal stabilitas, agen sosialisasi meneruskan nilai-nilai budaya dan moral, tingkah laku, sikap dan peran individu dalam masyarakat namun disisi lain juga mempersiapkan individu untuk berubah menjadi dewasa yang kompeten dan bertanggung jawab dalam masyarakat. Agen sosialisasi pertama dalam kehidupan individu adalah keluarga. Untuk itulah diperlukan role model yang adekuat dalam keluarga.<br /><br />Keluarga sebagai mikrositem<br />Keluarga sebagai agen sosialisasi primer dalam mikrosistem dalam kehidupan anak memiliki beberapa fungsi, yaitu:<br />1. Sosialisasi dan edukasi<br />Keluarga menanamkan nilai-nilai, belief, sikap, pengetahuan dan kemampuan yang dianut masyarakat pada anaknya.<br /><br />2. Penugasan peran sosial<br />Keluarga menyediakan identitas (etnis, peran, gender) pada anaknya, dimana identitas ini memiliki konsekuensi dalam perilaku dan tugas-tugas tertentu. Misalnya sebagai anak harus menghormati orang tua, atau ayah sebagai kepala keluarga bertanggung jawab atas perekonomian keluarga.<br /><br />3. Dukungan ekonomi<br />Keluarga menyediakan tempat tinggal, pemenuhan gizi dan perlindungan. Orang tua diharapkan dapat menghasilkan uang untuk memenuhi dukungan ekonomi ini.<br /><br />4. Dukungan emosional<br />Keluarga merupakan pengalaman pertama anak dalam berinteraksi sosial. Interaksi ini sebaiknya intim, nurturing, bertahan lama dan menyediakan keamanan emosional pada anak. Keluarga yang sedang mengalami tekanan beresiko untuk mengalami disfungsi karena anak-anak dalam keluarga memiliki ketergantungan pada orang tua untuk memenuhi kebutuhan afeksi dan belajar bersosialisasi. Mereka belajar dari mengamati peran yang dijalankan oleh orang tuanya serta sikap dan perilaku orang tuanya. Hal ini dapat terjadi dalam hubungan antara orang tua dan anak dalam pola asuh.<br /><br />Baumrind (Berns, 1997) mengemukakan bahwa bentuk pola asuh tertentu akan menimbulkan perilaku spesifik pada anak sebagai dampak pengasuhannya. Baumrind membagi pola asuh dalam tiga kelompok, yaitu:<br />I<br />Pola Asuh : Authoritative (Democratic)<br /><br />Karakteristik : • Mengontrol tetapi fleksibel<br />• Demanding tetapi rasional<br />• Hangat<br />• Reseptif terhadap komunikasi dengan anak<br />• Menghargai kepercayaan diri, disiplin, dan keunikan individu<br /><br />Tingkah Laku Anak :<br />• Percaya diri<br />• Memiliki kontrol diri<br />• Eksploratif<br />• Merasa senang<br />• Kooperatif<br /><br />II.<br />Pola Asuh : Authoritarian (Adult-centered)<br /><br />Karakteristik :<br />• Kontrol yang kaku (keinginan diri di kekang oelh ukuran hukuman)<br />• Evaluasi perilaku & sikap anak berdasarkan standar absolut.<br />• Menghargai kepatuhan, hormat pada otoritas dan tradisi.<br /><br />Tingkah Laku Anak :<br />• Tidak merasa senang atau puas<br />• Merasa terkekang<br />• Tidak mempunyai tujuan<br />• Menarik diri<br />• Penuh ketakutan<br />• Penuh kecurigaan<br /><br />III.<br />Pola Asuh : Permissive (Child-centered)<br /><br />Karakteristik :<br />• Tidak ada kontrol<br />• Tidak ada permintaan dari orang tua<br />• Menerima keinginan anak<br /><br />Tingkah Laku Anak :<br />• Tidak percaya diri<br />• Impulsif (semua keinginan harus dipatuhi)<br />• Agresif<br />• Kurang mam[pu bereksplorasi<br />• Kurang mampu mengontrol diri<br /><br /><strong>Teman sebaya sebagai mikrosistem</strong><br />Teman sebaya merupakan salah satu agen sosialisasi dalam mikrosistem karena bersama teman sebaya, kebutuhan-kbutuhan tertentu dari seorang individu dapat terpenuhi; serta teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang baik pada perkembangan sosial, kognitif, dan psikologis.<br />Beberapa kebutuhan remaja yang terpenuhi dari keberadaan teman sebaya, adalah:<br /><br />1. Sense of belonging dan interaksi sosial<br />Bermain dengan teman sebaya dapat memenuhi kebutuhan remaja untuk menjadi bagian dalam suatu kelompok. Remaja menjadi sangat tergantung pada penerimaaan dan persetujuan dari teman sebaya daripada dengan orang tua. Ketika remaja bergabung dalam kelompok teman sebayanya, maka ia akan belajar berinteraksi sosial dengan orang lain dan memiliki pengalaman sebagai individu yang independent dari orang tua atau figure dewasa lainnya. Melalui sosialisasi dengan teman sebaya, remaja belajar untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri.<br /><br />2. Sense of self dan identitas personal<br />Sering kali terjadi perbedaan nilai dalam keluarga dan nilai dalam kelompok teman sebaya. Misalnya prestasi akademis menjadi nilai penting bagi keluarga namun penampilan modis yang mengikuti tren lebih bernilai bagi kelompok teman sebaya.<br /><br />Hans Sebald (dalam Berns, 1997) mengatakan bahwa remaja biasanya akan mengikuti orang tua dalam hal yang berkaitan dengan masa depan, sedangkan ia akan mengikuti teman sebayanya dalam hal berpakaian, kegiatan sosial, pacaran atau rekreasi.<br />Dalam mesosistem terdapat keterkaitan anatara keluarga dan teman sebaya. Hal ini tampak dari pola pengasuhan dalam keluarga terhadap interaksi anak dengan teman sebayanya.<br /><br />Orang tua dengan pola asuh authoritative yang menunjukkan kehangatan, menerima individu, tidak terlalu mengontrol atau terlalu melepaskan dan konsisten dalam perilakunya, biasanya memiliki anak yang merasa terikat oleh nilai-nilai keluarga yang terinternalisasi. Remaja dari keluarga ini memiliki sedikit kebutuhan untuk berperilaku memberontak atau mencari penerimaan dari teman sebaya. Biasanya remaja ini akan bersosialisasi dengan teman yang memiliki nilai yang sama dan tidak mengalami pengaruh negatif dari teman sebaya.<br /><br />Orang tua dengan pola asuh authoritarian yang sangat kaku dalam kontrol, dingin dan tidak menyesuaikan diri dengan kebutuhan otonomi remaja, biasanya memiliki anak yang merasa terpisah dari nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dan lebih tertarik dengan kelompok teman sebayanya untuk mendapatkan penerimaan dan dipahami. Remaja ini berisiko terhadap pengaruh negatif teman sebaya.<br /><br />Orang tua permissive yang selalu memaafkan anak-anaknya dengan tidak memberikan standar aturan atau konsekuensi dari tingkah laku dan mengabaikan kegiatan yang dilakukan anak, biasanya berisiko memiliki anak yang lebih tertarik pada antisocial peer group.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-29734047708084589762008-05-14T01:25:00.000-07:002008-07-22T05:06:28.872-07:00A. Teori Bioekologi<br />Salah satu teori yang sangat terkenal dari pendekatan sosiokultural adalah Teori Bioekologi dari Urie Bronfenbrenner. Teori ini menggambarkan tentang tingkatan interaksi yang dapat mempengaruhi perkembangan individu. Menurutnya perkembangan<br />terjadi melalui proses interaksi yang regular, aktif, dua arah antara individu dan lingkungan sehari-harinya. Proses ini terjadi dalam lima sistem lingkungan yang saling berkaitan, yaitu:<br /><br />1. Mikrosistem<br />Merupakan sistem terdekat dengan individu, dimana individu terlibat dalam interaksi dua arah dengan orang lain dalam basis kehidupan sehari-hari dan menjadi agen sosialisasi. Sistem ini terdiri dri keluarga (orang tua), teman sebaya, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan tempat ibadah.<br /><br />2. Mesosistem<br />Merupakan sistem yang menghubungkan dua atau lebih mikrosistem dimana individu terlibat didalamnya. Misalnya: hubungan antara keluarga denagn teman sebaya, terjadi konflik nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dengan nilai-nilai teman sebayanya. Dalam sistem ini dapat terlihat sikap dan perilaku yang berbeda dari satu individu dalam setting lingkungan yang berbeda.<br /><br /><br />3. Eksosistem<br />Terdiri dari dua atau lebih sistem yang saling berhubungan, namun tidak mempengaruhi individu secara langsung.<br /><br />4. Makrosistem<br />Merupakan sistem dari pola-pola kebudayaan yang mencakup seluruh mikro, meso dan eksosistem masyarakat seperti sistem perekonomian dan budaya (kapitalisme, sosialisme).<br /><br />5. Kronosistem<br />Menunjukan derajat kestabilan dan perubahan dalam dunia dimana individu berada. Misalnya perubahan komposisi keluarga hingga perubahan dalam lingkup yang lebih besar seperti peperangan, mobilitas kelas sosial.<br /><br />Menurut Urie Bronfenbrenner, individu bukan merupakan hasil dari suatu perkembangan, namun ia adalah pembentuk perkembangan itu. Orang lain dapat mempengaruhi perkembangan individu melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan kemampuan serta temperamen. Bronfenbrenner juga mengatakan bahwa individu tidak berkembang dalam isolasi, namun dalam keterkaitan konteks / sistem yang mempengaruhi dirinya melalui interaksi sosialisasi. Setiap agen sosialisasi memiliki peran untuk mempersiapkan individu dalam dua hal, yaitu stabilitas dan perubahan. Dalam hal stabilitas, agen sosialisasi meneruskan nilai-nilai budaya dan moral, tingkah laku, sikap dan peran individu dalam masyarakat namun disisi lain juga mempersiapkan individu untuk berubah menjadi dewasa yang kompeten dan bertanggung jawab dalam masyarakat. Agen sosialisasi pertama dalam kehidupan individu adalah keluarga. Untuk itulah diperlukan role model yang adekuat dalam keluarga.<br /><br />Keluarga sebagai mikrositem<br />Keluarga sebagai agen sosialisasi primer dalam mikrosistem dalam kehidupan anak memiliki beberapa fungsi, yaitu:<br />1. Sosialisasi dan edukasi<br />Keluarga menanamkan nilai-nilai, belief, sikap, pengetahuan dan kemampuan yang dianut masyarakat pada anaknya.<br /><br />2. Penugasan peran sosial<br />Keluarga menyediakan identitas (etnis, peran, gender) pada anaknya, dimana identitas ini memiliki konsekuensi dalam perilaku dan tugas-tugas tertentu. Misalnya sebagai anak harus menghormati orang tua, atau ayah sebagai kepala keluarga bertanggung jawab atas perekonomian keluarga.<br /><br />3. Dukungan ekonomi<br />Keluarga menyediakan tempat tinggal, pemenuhan gizi dan perlindungan. Orang tua diharapkan dapat menghasilkan uang untuk memenuhi dukungan ekonomi ini.<br /><br />4. Dukungan emosional<br />Keluarga merupakan pengalaman pertama anak dalam berinteraksi sosial. Interaksi ini sebaiknya intim, nurturing, bertahan lama dan menyediakan keamanan emosional pada anak. Keluarga yang sedang mengalami tekanan beresiko untuk mengalami disfungsi karena anak-anak dalam keluarga memiliki ketergantungan pada orang tua untuk memenuhi kebutuhan afeksi dan belajar bersosialisasi. Mereka belajar dari mengamati peran yang dijalankan oleh orang tuanya serta sikap dan perilaku orang tuanya. Hal ini dapat terjadi dalam hubungan antara orang tua dan anak dalam pola asuh.<br /><br />Baumrind (Berns, 1997) mengemukakan bahwa bentuk pola asuh tertentu akan menimbulkan perilaku spesifik pada anak sebagai dampak pengasuhannya. Baumrind membagi pola asuh dalam tiga kelompok, yaitu:<br />I.<br />Pola Asuh : Authoritative(Democratic)<br /><br />Karakteristik :<br />• Mengontrol tetapi fleksibel<br />• Demanding tetapi rasional<br />• Hangat<br />• Reseptif terhadap komunikasi dengan anak<br />• Menghargai kepercayaan diri, disiplin, dan keunikan individu<br /><br />Tingkah Laku Anak :<br />• Percaya diri<br />• Memiliki kontrol diri<br />• Eksploratif<br />• Merasa senang<br />• Kooperatif<br /><br />II.<br />Pola Asuh : Authoritarian (Adult-centered)<br /><br />Karakteristik :<br />• Kontrol yang kaku (keinginan diri di kekang oelh ukuran hukuman)<br />• Evaluasi perilaku & sikap anak berdasarkan standar absolut.<br />• Menghargai kepatuhan, hormat pada otoritas dan tradisi.<br /><br />Tingkah Laku Anak :<br />• Tidak merasa senang atau puas<br />• Merasa terkekang<br />• Tidak mempunyai tujuan<br />• Menarik diri<br />• Penuh ketakutan<br />• Penuh kecurigaan<br /><br />III.<br />Pola Asuh : Permissive (Child-centered)<br /><br />Karakteristik :<br />• Tidak ada kontrol<br />• Tidak ada permintaan dari orang tua<br />• Menerima keinginan anak<br /><br />Tingkah Laku Anak<br />• Tidak percaya diri<br />• Impulsif (semua keinginan harus dipatuhi)<br />• Agresif<br />• Kurang mampu bereksplorasi<br />• Kurang mampu mengontrol diri<br /><br /><strong>Teman sebaya sebagai mikrosistem<br /></strong>Teman sebaya merupakan salah satu agen sosialisasi dalam mikrosistem karena bersama teman sebaya, kebutuhan-kbutuhan tertentu dari seorang individu dapat terpenuhi; serta teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang baik pada perkembangan sosial, kognitif, dan psikologis.<br />Beberapa kebutuhan remaja yang terpenuhi dari keberadaan teman sebaya, adalah:<br />1. Sense of belonging dan interaksi sosial<br />Bermain dengan teman sebaya dapat memenuhi kebutuhan remaja untuk menjadi bagian dalam suatu kelompok. Remaja menjadi sangat tergantung pada penerimaaan dan persetujuan dari teman sebaya daripada dengan orang tua. Ketika remaja bergabung dalam kelompok teman sebayanya, maka ia akan belajar berinteraksi sosial dengan orang lain dan memiliki pengalaman sebagai individu yang independent dari orang tua atau figure dewasa lainnya. Melalui sosialisasi dengan teman sebaya, remaja belajar untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri.<br /><br />2. Sense of self dan identitas personal<br />Sering kali terjadi perbedaan nilai dalam keluarga dan nilai dalam kelompok teman sebaya. Misalnya prestasi akademis menjadi nilai penting bagi keluarga namun penampilan modis yang mengikuti tren lebih bernilai bagi kelompok teman sebaya.<br /><br />Hans Sebald (dalam Berns, 1997) mengatakan bahwa remaja biasanya akan mengikuti orang tua dalam hal yang berkaitan dengan masa depan, sedangkan ia akan mengikuti teman sebayanya dalam hal berpakaian, kegiatan sosial, pacaran atau rekreasi.<br />Dalam mesosistem terdapat keterkaitan anatara keluarga dan teman sebaya. Hal ini tampak dari pola pengasuhan dalam keluarga terhadap interaksi anak dengan teman sebayanya. Orang tua dengan pola asuh authoritative yang menunjukkan kehangatan, menerima individu, tidak terlalu mengontrol atau terlalu melepaskan dan konsisten dalam perilakunya, biasanya memiliki anak yang merasa terikat oleh nilai-nilai keluarga yang terinternalisasi. Remaja dari keluarga ini memiliki sedikit kebutuhan untuk berperilaku memberontak atau mencari penerimaan dari teman sebaya. Biasanya remaja ini akan bersosialisasi dengan teman yang memiliki nilai yang sama dan tidak mengalami pengaruh negatif dari teman sebaya.<br />Orang tua dengan pola asuh authoritarian yang sangat kaku dalam kontrol, dingin dan tidak menyesuaikan diri dengan kebutuhan otonomi remaja, biasanya memiliki anak yang merasa terpisah dari nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dan lebih tertarik dengan kelompok teman sebayanya untuk mendapatkan penerimaan dan dipahami. Remaja ini berisiko terhadap pengaruh negatif teman sebaya.<br />Orang tua permissive yang selalu memaafkan anak-anaknya dengan tidak memberikan standar aturan atau konsekuensi dari tingkah laku dan mengabaikan kegiatan yang dilakukan anak, biasanya berisiko memiliki anak yang lebih tertarik pada antisocial peer group.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-59630224184820140002008-05-14T01:18:00.000-07:002008-05-14T01:24:56.161-07:00VJ#29/V/2008: Teori Social-Cognitive (Bandura-Mischel)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqhjhI6TfI/AAAAAAAAAFQ/5A-EsVGnqc0/s1600-h/WheatleyetalFig1.JPG"><img src="http://1.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqhjhI6TfI/AAAAAAAAAFQ/5A-EsVGnqc0/s320/WheatleyetalFig1.JPG" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5200146351315897842" /></a><br /><span><i>written by : member of KLD 12</i><br /><br />I. Struktur Kepribadian<br />Menurut teori social-cognitive, struktur kepribadian individu terdiri dari empat konsep utama yaitu competencies-skills, belief-expectancies, evaluative standards, dan personal goal.<br />a. Compentencies-skills<br />Kompetensi atau skill adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk menyelesaikan dan menghadapi masalah dalam hidupnya. Kompetensi meliputi cara bepikir tentang masalah dalam kehidupan dan kemampuan bertingkah laku dalam menyelesaikan masalah. Skill adalah kompetensi yang dimiliki individu dalam konteks yang spesifik. Kompetensi diperoleh melalui interaksi sosial dan observasi terhadap dunia. Perkembangan kompetensi kognitif dan tingkah laku juga turut mempengaruhi delay gratification skill, kemampuan individu dalam menunda kepuasan impuls yang tidak tepat secara social atau secara potential membahayakan diri sendiri. Delay gratification skill ditentukan oleh hasil yang diinginkan, pengalaman pribadi di masa lalu serta observasi terhadap konsekuensi yang diterima oleh model.<br /><br />b. Belief-expectancies<br />Sebuah pemikiran melibatkan beliefs mengenai seperti apa dunia yang sesungguhnya dan seperti apa masa depan. Ketika beliefs diarahkan pada masa depan maka disebut dengan expectancies. Ekspektansi terhadap masa depan merupakan hal utama yang menentukan bagaimana kita bertingkah laku. Individu memiliki ekspektansi pada tingkah laku yang diterima oleh orang, reward dan punishment yang mengikuti tingkah laku tertentu, serta kemampuan individu untuk mengatasi stres dan tantangan. Inti dari kepribadian adalah pada perbedaan cara dimana manusia sebagai individu yang unik menerima suatu situasi, mengembangkan ekspektansi mengenai keadaan yang akan datang, dan menampilkan perbedaan pola perilaku sebagai hasil dari perbedaan persepsi dan ekspektansi tersebut. Sama halnya dengan kompetensi, ekspektansi yang dimiliki individu bersifat kontekstual.<br />Bandura (1997, 2001, dalam Pervin, Cervone, & John, 2005) telah menekankan bahwa ekpektansi manusia mengenai kemampuan performanya menjadi kunci dalam prestasi manusia dan kesejahteraannya. Bandura mengacu ekspektansi tersebut sebagai persepsi dari self-efficacy. Perceived self-efficacy kemudian mengacu pada persepsi seseorang terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk bertindak dalam situasi yang akan datang. Persepsi self-efficacy menjadi penting karena mempengaruhi keberhasilan seseorang.<br /><br />c. Evaluative Standard dan Personal Goal<br />Goal atau tujuan berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengantisipasi masa depan dan untuk memotivasi dirinya sendiri. Adanya tujuan dalam hidup dapat mengarahkan individu untuk membuat prioritas, mengabaikan pengaruh-pengaruh sementara dan mengorganisasi tingkah laku selama periode waktu tertentu. Goal bukan suatu sistem yang kaku, melainkan individu dapat memilih tujuannya tergantung dari apa yang dinilai paling penting bagi dirinya saat itu, kesempatan apa yang tersedia di lingkungan dan penilaiannya terhadap self -efficacy dalam mencapai tujuan, sesuai dengan tuntutan lingkungan.<br /><br />d. Evaluative Standards<br />Individu memiliki evaluative standards yang merepresentasikan tujuan yang akan dicapai dan landasan dalam mengharapkan reinforcement dari orang lain dan diri sendiri. Evaluative standard yang melibatkan pemikiran mengenai sesuatu harus seperti apa, yaitu kriteria mental untuk mengevaluasi baik atau buruknya suatu peristiwa. Hal ini meliputi pengalaman akan emosi seperti malu, bangga, merasa puas atau tidak puas terhadap dirinya. Evaluative standards yang dipelajari juga meliputi prinsip-prinsip moral dan etika dalam bertingkah laku. Di dalam evaluative standards yang dimiliki seseorang terdapat pengaruh eksternal meskipun berasal dari internal individu. Evaluative standards merupakan hal yang mendasari motivasi dan performance dari seseorang. Standar evaluasi sering memicu reaksi emosional. Seseorang merasa bangga bila mencapai standar performanya dan kecewa ketika gagal mencapai standar tersebut. Hal tersebut mengarah pada self-evaluation reactions, yaitu seseorang mengevaluasi tindakannya dan kemudian berespons secara emosional (puas atau tidak puas) sebagai hasil dari evaluasi.<br /><br />II. Dinamika Kepribadian<br />Menurut teori social-cognitive, fungsi-fungsi kompetensi, ekspektasi, goal dan evaluative standards dapat berkembang melalui observasi terhadap orang lain (observational learning dan vicarious conditioning) maupun dari pengalaman sendiri. Observational learning adalah keadaan di mana individu dapat belajar dengan cara mengobservasi atau mengamati tingkah laku orang lain (model). Sementara itu, vicarious conditioning dapat diartikan sebagai proses mempelajari reaksi emosional melalui observasi terhadap orang lain.<br />Bandura mengatakan bahwa terdapat dua prinsip teoritis yang harus digunakan untuk menganalisis dinamika proses kepribadian, yaitu penyebab perilaku yang disebut dengan reciprocal determinism. Lainnya adalah kerangka kerja untuk berpikir mengenai proses kepribadian internal yang disebut dengan cognitive-affective processing system (CAPS).<br />a. Reciprocal determinism<br />Tingkah laku seseorang dapat dijelaskan berdasarkan interaksi antara orang dengan lingkungan. Manusia dipengaruhi oleh faktor lingkungan, tetapi manusia juga memilih perilaku yang akan ditampilkannya. Manusia responsif terhadap situasi dan secara aktif mengkonstruk dan mempengaruhi situasi. Bandura tidak menggunakan prinsip faktor lingkungan yang menyebabkan suatu tingkah laku, namun terdapat hubungan timbal balik antara faktor lingkungan, tingkah laku dan personal. Personal adalah karakteristik individu seperti kapasitas kognitif dalam mengantisipasi maupun dalam memori dapat mempengaruhi baik lingkungan maupun tingkah laku. Personal dapat juga dalam bentuk kemampuan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya lingkungan dan tingkah laku dapat membentuk kemampuan seseorang untuk mengantisipasi suatu masalah.<br /><br />b. Cognitive-affective Processing System (CAPS)<br />Kepribadian harus dipahami sebagai sebuah sistem, yang mengacu pada sesuatu yang memiliki bagian-bagian dalam jumlah yang besar dan saling berinteraksi satu sama lain. Bagian-bagian yang saling berinteraksi tersebut sering menimbulkan bentuk yang kompleks dari suatu perilaku. Dinamika interaksi antara bagian-bagian tersebut menimbulkan kompleksitas dari sistem. CAPS (Mischel & Schoda, 1995, dalam Pervin, Cervone, & John, 2005) memiliki tiga ciri khas, yaitu: 1) Aspek kognitif dan emosi saling berkaitan satu sama lain. Pemikiran mengenai goals akan memicu pemikiran mengenai skills, dan akhirnya memicu pemikiran self-efficacy. Pada akhirnya mempengaruhi self-evaluations dan emosi, 2) Aspek situasi yang berbeda mengaktivasi bagian tertentu dari keseluruhan sistem kepribadian, dan 3) Apabila situasi yang berbeda mengaktivasi bagian tertentu dari keseluruhan sistem kepribadian, maka perilaku manusia harus berbeda dari satu situasi ke situasi lainnya.<br /><br />Sumber acuan:<br />Pervin, L.A. & John O.P. (2005). Personality : Theory and Research. New York: John Wiley & Sons, Inc</span>Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9154706463686685199.post-7132308973050558092008-05-14T01:10:00.000-07:002008-05-14T01:17:57.055-07:00VJ#28/V/2008 : Teori Alfred Adler<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqf9xI6TeI/AAAAAAAAAFI/u_EvlD91s4I/s1600-h/adler.jpg"><img src="http://2.bp.blogspot.com/_G5YtC53W8FY/SCqf9xI6TeI/AAAAAAAAAFI/u_EvlD91s4I/s320/adler.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5200144603264208354" /></a><i><br />written by : member of KLD 12</i><br /><br />Menurut Adler, masalah dalam kehidupan selalu bersifat sosial. Fungsi yang sehat bukan hanya mencintai dan bekerja, melainkan merasakan keberrsamaan dengan orang lain dan mempedulikan kesehjateraan mereka. Beberapa prinsip penting dalam teori Adler adalah sebagai berikut:<br />1. Setiap orang berjuang untuk mencapai superioritas atau kompetensi personal<br /><br />2. Setiap orang mengembangkan gaya hidup dan rencana hidup yang sebagian disadar atau direncanakan dan sebagian tidak disadari.<br />a. Gaya hidup seseorang mengindikasikan pendekatan yang konsisten pada banyak situasi<br />b. Rencana hidup dikembangkan berdasarkan pilihan seseorang dan mengarah pada tujuan yang diperjuangkan seseorang untuk dicapai<br /><br />3. Kualitas kepribadian yang sehat adalah kapasitas untuk mencapai “fellow feeling” atau Gemeinschaftgefuhli, yang fokus pada kesehjateraan orang lain. Adler menyebunya minat sosial.<br /><br />4. Ego merupakan bagian dari jiwa yang kreatif. Menciptakan realitas baru melalui proses menyusun tujuan dan membawanya pada suatu hasil, disebut dengan fictional goals.<br /><br />Inferioriy dan Superiority<br /> Manusia dimotivasi oleh adanya dorongan utama, yaitu mengatasi perasaan inferior dan menjadi superior. Dengan demikian perilaku kita dijelaskan berdasarkan tujuan dan ekspentasi akan masa depan. Inferioritas berarti merasa lemah dan tidak memiliki keterampilan untuk menghadapi tugas atau keadaan yang harus diselesaikan. Hal itu tidak berarti rendah diri terhadap orang lain dalam pengertian yang umum, meskipun ada unsur membandingkan kemampuan diri dengan kemampuan orang lain yang lebih matang dan berpengalaman. Sedangkan superiority bukan berarti lebih baik dibandingkan dengan orang lain, melainkan secara berkelanjutan mencoba untuk menjadi lebih baik, untuk menjadi semakin dekat dengan tujuan ideal seseorang.<br /> Beberapa keadaan khusus seperti dimanja dan ditolak, mungkin dapat membuat seseorang mengembangkan inferiority complex atau superiority complex. Dua kompleks tersebut berhubungan erat. Superiority complex selalu menyembunyikan atau bentuk kompensasi dari inferior. Sedangkan inferiority complex menyembunyikan perasaan superior. Adler meyakini bahwa motif utama setiap orang adalah untuk menjadi kuat, kompeten, berprestasi dan kreatif.<br /><br />Social Interest<br /> Social interest merupakan bentuk kepedulian atas kesehjateraan orang lain yang berkelanjutan sepanjang kehidupan untuk mengarahkan perilaku seseorang. Meskipun minat sosial dilahirkan, tetapi menurut Adler terlalu lemah atau kecil untuk dapat berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu menjadi tugas Ibu, yang menjadi orang pertama dalam pengalaman seorang anak, untuk mengembangkan potensi tersebut. Apabila ibu tidak dapat membantu anak untuk memperluas minat sosialnya, maka anak akan cenderung tidak memiliki kesiapan ketika menghadapi masalah dalam lingkungan sosialnya.<br /> Minat sosial memungkinkan seseorang untuk berjuang mencapai superior dengan cara yang sehat dan kurangnya minat sosial tersebut dapat mengarahkan pada fungsi yang maladaptif. Semua kegagalan seperti neurotik, psikotik, pemabuk, anak yang bermasalah dan lainnya disebabkan kurangnya memiliki minat sosial mereka mengatasi masalah pekerjaan, persahabatan dan seks tanpa memiliki keyakinan bahwa hal tersebut dapat diselesaikan dengan cara kerja sama. Makna yang diberikan pada kehidupan lebih bernilai pribadi. Tidak ada orang lain yang mendapatkan keuntungan dengan tercapainya tujuan mereka. Tujuan keberhasilan merupakan merasakan superioritas personal dan hanya berarti untuk diri mereka sendiri. sebagai manusia yang sehat, maka pada waktu yang bersamaan ia akan berjuang mencapai superior dengan membantu orang lain mencapai tujuan mereka.<br /><br />Style of Life<br /> Melalui konsep gaya hidup, Adler menjelaskan keunikan manusia. Setiap manusia memiliki tujuan, perasaan inferior, berjuang menjadi superior dan dapat mewarnai atau tidak mewarnai usaha mencapai superioritasnya itu dengan minat sosial. Akan tetapi, setiap manusia melakukannya dengan cara yang berbeda. Gaya hidup merupakan cara unik dari setiap orang dalam mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan dalam lingkungan hidup tertentu, di tempat orang tersebut berada. Gaya hidup berdasarkan atas makna yang seseorang berikan mengenai kehidupannya atau interpretasi unik seseorang mengenai inferioritasnya, setiap orang akan mengatur kehidupannya masing-masing unuk mencapai tujuan akhirnya dan mereka berjuang untuk mencapai hal tersebut.<br /> Gaya hidup terbentuk pada usia 4-5 tahun dan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan intrinsik (hereditas) dan lingkungan objektif, melainkan dibentuk oleh persepsi dan interpretasinya mengenai kedua hal tersebut. Seorang anak tidak memandang suatu situasi sebagaimana adanya, melainkan dipengaruhi oleh prasangka dan minatnya dirinya.<br /><br />Adler’s typology of personality<br /> Adler mengembangkan teori mengenai tipe kepribadian berdasakan derajat minat sosial dan aktivitas yang dimiliki seseorang, hal yang terpenting bagi Adler bukanlah bagaimana seseorang mengatasi perasaan inferioritasnya, melainkan sejauhmana seseorang mengembangkan gaya hidup yang konstruktif dibandingkan yang destruktif. Sejauhmana empati dan minat sosial dari masing-masing tipe. Kapasitas untuk berempati merupakan hal yang penting dalam kehidupan.<br /><br />Berikut adalah 4 tipe berdasarkan tipologi ini:<br />1. The Rulling-dominant Type: asertif, agresif fdan aktif. Ia memanipulasi dan menghadapi situasi kehidupan dan orang-orang didalamnya, tingkat aktivitasnya tinggi tetapi dikombinasikan denan minat sosial yang minimal. Aktivitas yang dilakukan dapat mengarah pada perilaku antisosial.<br /><br />2. The Getting-Leaning Type: mengharapkan orang lain memenuhi kebutuhannya dan mendukung minatnya, bergantung pada orang lain. Merupakan kombinasi antara minat sosial yang rendah dan tingkat aktivitas yang rendah.<br /><br />3. The Avoidant Type: menarik diri dari permasalahan. Menghadapi suatu tugas dengan cara menghindar. Memiliki minat sosail yang rendah dan tingkat aktivitas yang sangat rendah<br /><br />4. The Society Useful Type: Merupakan tipe yang paling sehat. Memiliki penilaian yang realistik atas masalah yang dihadapi. Memiliki orientasi sosial dan bekerjasama dengan orang lain untuk mengahadapi tugas kehidupan. Merupakan kombinasi antara tingat aktivitas dan minat sosial yang tinggi.<br /><br />Neurotic Safeguarding Strategies<br /> Semua orang neurotik menciptakan pengamanan atas harga dirinya, seperti defense mechanism menurut Freud. Pengamanan tersebut merupakan perlindungan terhadap self atau ego dari pengaruh luar, biasanya interpersonal, ancaman. Terdapat 3 strategi pengamanan, yaitu:<br /><br />1. Excuses atau strategi rasionalisasi<br />Seseorang mencoba untuk membebaskan dirinya dari tuntutan umum kehidupan dengan cara menekankan pada simtom neurotiknya, simtom neurotik digunakan sebagai alasan untuk melarikan diri dari tuntutan kehidupan sehingga tidak menunjukkan yang terbaik. Seseorang merasa aman karena adanya kebebasan untuk tidak melakukan yang terbaik dari tuntutannya yang kurang terhadap perkembangan diri.<br /><br />2. Aggresive Strategies<br />a. Depreciation: kecenderungan merendahkan orang lain sehingga orang tersebut tidak terlihat superior sebagai ancaman, melebihkan penilaian diri dalam hubungannya dengan orang lain. Strategi untuk mencapai superior dengan membuat orang lain merasa inferior.<br /><br />b. Accusation: perasaan tidak disadari yang menyalahkan orang lain atas perasaan inferior dan frustasi yang dialami. Mengarah pada ekspresi langsung kemarahan<br /><br />c. Self-accusation: menyalahkan diri sendiri atas ketidakberuntungan yang dialami. Hal itu dilakukan dengan cara yang dapat menarik perhatian, simpati atau bantuan dari orang lain.<br /><br />3. Distancing Strategies<br />Melindungi harga diri dengan membatasi keterlibatan dalam kehidupan dan menghindari tantangan yang memungkinkan adanya resiko kegagalan.<br />a. Moving backward: adanya konflik mendasar dimana seseorang menginginkan kesuksesan dan menghindari kegagalan. Pada akhirnya orang tersebut memiliki motivasi untuk tidak melakukan apapun atau kembali pada tahap perkembangan yang kurang mencerminkan kecemasan.<br /><br />b. Standing Still: seseorang tidak melakukan apapun dalam taraf yang lebih dramatis. Ia menolak tanggung jawab yang memungkinkan adanya evaluasi. Melindungi diri dari kegagalan dengan tidak melakukan apapun.<br /><br />c. Hesitation: secara tidak sadar menciptakan kesulitan pada diri dan juga menciptakan cara untuk tidak mengatasinya sehingga menjadi simtom neurotik. Mengulur waktu sehingga masalah tidak perlu lagi dihadapi.<br /><br />d. Construction of obstacles: bentuk pengecualian karena seseorang melihat masalah yang mungkin dapat mencegahnya untuk menunjukkan usaha yang lebih besar sehingga dapat melindungi harga dirinya.<br /><br />Faulty Life-styles<br /> Gaya hidup yang maladaptif merupakan hasil dari tiga kondisi, yaitu cacat fisik, gaya hidup dimanja dan gaya hidup diabaikan. Anak dengan cacat fisik cenderung memilki perasaan tidak adekuat dalam memenuhi tugas dalam hidupnya. Pengertian dari orangtua dapat membantu anaknya untuk mengembangkan kekuatan untuk mengkompensasikan kelemahannya itu. Anak yang dimanja gagal untuk mengembangkan minat sosial dan memenuhi harapan sosial. Ia memiliki kebutuhan untuk menerima tanpa memberi, anak akan sedikit atau tidak melakukan sesuatu untuk orang lain dan memanipulasi orang lain untk memuaskan kebutuhannya. Sedangkan anak yang diabaikan dapat menjadi musuh di lingkungannya dan didominasi oleh kebutuhan untuk balas dendam.<br /><br />Penelitian Khas Adler<br />Urutan Kelahiran<br />Sejalan dengan perhatian Adler terhadap penentu sosial kepribadian, ia mengamati bahwa kepribadian anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu dalam satu keluarga akan berlainan.<br /><br />1. Anak Pertama<br />Menurut Adler, anak pertama memiliki posisi yang unik, yaitu sebagai anak satu-satunya pada suatu waktu, dan kemudian mengalami pergeseran status ketika anak kedua lahir. Anak pertama awalnya mendapatkan perhatian utuh sampai terbagi saat adiknya lahir. Peristiwa tersebut mengubah situasi dan pandangan anak pertama terhadap dunia. Bila anak pertama berusia lebih tua 3 tahun atau lebih ketika memiliki adik, maka biasanya akan merasa permusuhan dan kebencian terhadap adiknya.<br /><br />2. Anak Tengah<br />Ciri anak tengah adalah ambisius. Ia selalu berusaha melebihi kakaknya dan cenderung memberontak atau iri hati. Tetapi pada umumnya ia dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik.<br /><br />3. Anak Bungsu<br />Anak bungsu adalah anak yang dimanjakan. Sama seperti anak sulung, kemungkinan ia akan menjadi anak yang bermasalah dan menjadi orang dewasa yang neurotik dan tidak mampu menyesuaikan diri.<br /><br /><br />Sumber: Hall, Calvin S. & Gardner Lindzey. (!985). Intoduction to Theories Personality. New York: John Wiley and Sons Inc.Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikologhttp://www.blogger.com/profile/15282298406268770115noreply@blogger.com1