Thursday, October 30, 2008

VJ#41/X?2008 : Keapatisan Politik dalam Sudut Pandang Psikologi


Pemilihan umum (baik legislatif maupun pilpres) 2009 akan diselenggarakan dalam waktu yang tidak lama lagi. Masing-masing kandidat telah mulai menunjukkan gerak-geriknya. Untuk yang individu, ada yang telah berteriak lantang tanpa ragu akan maju, sampai yang masih malu-malu tapi mau. Partai-partai juga semakin gencar menunjukkan eksistensinya. Segala ruang media dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dari yang elegan, misal lewat iklan televisi, radio, internet, dll, sampai dengan yang kampungan, misal memasang bendera partai--yang besarnya bisa mentupi gedung bertingkat-- di sembarang tempat (paling sering di atas pohon tinggi). Tak bisa dipungkiri memang, selama Negara kita masih berlandaskan demokrasi, maka selama itu pula pemilihan umum masih dibutuhkan dan menjadi tonggak utama jalannya pembaharuan dan perubahan (ke arah positif) buat Negara. Akan tetapi, menurut pengamatan penulis, nampaknya kecenderungan rakyat untuk memilih cenderung tidak antusias. Terutama di kalangan pemuda. Hal ini dibuktikan melalui suatu penelitian di 10 kota besar kota di Indonesia yang baru-baru ini penulis ikuti. Tidak antusias, membosankan, biasa aja, pesimis, dan kata-kata lain yang bernada sama keluar dari mulut pemuda untuk menjawab pendapat mengenai pemilihan umum atau politik pada umumnya.
***
Melihat perkembangan politik di Indonesia maka ada beberapa hal yang (mungkin) membuat pemuda (rakyat?) menjadi cenderung apatis dalam memandang politik ataupun pemilu. Dalam ilmu politik ada hal yang disebut dengan Keterlibatan psikologis, yaitu sebagai derajat ketertarikan atau perhatian seseorang pada politik dan kepercayaan bahwa partisipasi politiknya bermanfaat. Semakin kuat keterlibatan psikologis seseorang maka semakin cenderung ia untuk berpartisipasi dalam politik (misalnya dengan turut serta memberikan suara dalam pemilu), sedangkan non-pemilih cenderung memiliki keterlibatan psikologis yang rendah dimana investasi emosional mereka dan dukungan terhadap proses politik berada di bawah rata-rata pemilih. Dikaitkan dengan kondisi pemuda saat ini, banyaknya yang cenderung menjadi non-pemilih (golput) pada saat pemilu dapat disebabkan mereka memiliki keterlibatan psikologis yang rendah karena tidak percaya jika sumbangan suaranya akan bermanfaat bagi dirinya maupun peyelenggaraan negara. Hal ini dapat disebabkan adanya pengetahuan terdahulu (prior knowledge) bahwa keterlibatan diri dalam politik tidak akan membuat perubahan dalam kehidupannya. Dalam bahasa gaulnya “ngapain gue milih, tetap aja BBM mahal” atau “golput aja lah, politikus di mana-mana cuma bisa janji, aplikasi nya NOL”, dan sebagainya. Oleh hal-hal semacam itulah mereka menjadi terkesan tidak peduli dan apatis terhadap kehadiran pemilu. Selama para kandidat masih mengulang pola lama, yaitu hanya janji manis tanpa aplikasi, maka selama itu pula lah pemuda (rakyat) akan apatis.
***
Hal lain yang membuat partisipasi pemuda (rakyat?) yang rendah dalam kegiatan politik ini dipengaruhi oleh apa yang dinamakan dengan orientasi psikologis, yaitu keadaan nilai yang dimiliki seseorang, yang berperan dalam menentukan pola partisipasi orang tersebut dalam publik. Tentunya setiap orang memiliki sikap, belief dan nilai yang berbeda-beda. Mereka memperolehnya berdasarkan pengalaman sendiri, ataupun melalui pengamatan terhadap pengalaman orang lain (vicarious learning). Orientasi psikologis dalam politik juga merupakan faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Di dalam kehidupan bernegara, pemuda (rakyat) yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik, mempunyai kesetujuan tehadap demokrasi, memiliki nilai positif terhadap pemilu sebagai wadah memilih pemimpin, akan mempunyai mempunyai kecenderungan sikap, belief, dan nilai yang positif pula terhadap politik (dan pemilu). Sedangkan, bagi mahasiswa yang memiliki nilai dan keyakinan yang negatif mengenai politik akan memiliki tingkat partisipasi yang rendah atau bahkan keapatisan terhadap kegiatan-kegiatan politik.
***
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan psikologis seseorang dalam politik. Menurut Mangum (2003), keterlibatan psikologis memiliki tiga komponen yaitu: political engagement, efikasi politik, dan political trust. Sekarang penulis akan mencoba membahas satu per satu ketiga faktor tersebut. Pertama, political engagement, yaitu keterlibatan psikologis yang melibatkan level ketertarikan atau kepedulian voter potensial pada politik. Perilaku yang termasuk dalam faktor ini misalnya adalah mengikuti berita seputar pemerintah dan politik, tertarik pada kampanye pemilihan umum, serta peduli akan hasil pemilihan umum. Logikanya adalah banyaknya pengetahuan tentang stimulus politik akan meningkatkan ketertarikan, mengkristalisasi opini, dan mensolidkan keputusan partisipasi politik seseorang. Jadi, salah satu penyebab kenapa pemuda (rakyat) tidak tertarik untuk terlibat dalam pemilu (politik) adalah karena tidak adanya political engagement dalam diri mereka, yang artinya tidak ada ketertarikan untuk mengikuti berita mengenai kampanye Caleg/Capres serta berita lainnya seputar pemilu, bahkan tidak peduli akan hasil pemilu itu sendiri. Bagi mereka, “siapapun yang menang..., terserah!”. Hingga ada sebagian yang akhirnya bilang “milih-nggak milih, gak ngaruuuh”. Para pemuda (rakyat?) tersebut bukan saja tidak aware dengan adanya penyelenggaraan pemilu, tetapi mereka juga menganggap bahwa pemilu tidaklah memiliki arti penting bagi diri mereka. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang optimalnya pemerintah membuat pembelajaran politik dan pengkristalisasian opini yang berkembang mengenai pentingnya keterlibatan pemuda (rakyat) dalam berpartisipasi memberikan suara pada pemilu.
***
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah Efikasi Politik (EP) yang, dalam pandangan tradisional, diartikan sebagai persepsi yang dimiliki seseorang tentang dirinya dan kemampuannya untuk mempengaruhi politik pada situasi tertentu). EP dibagi menjadi dua, yaitu EP eksternal dan EP internal. EP eksternal adalah keyakinan seseorang bahwa pejabat publik cukup responsif terhadap minatnya dan bahwa pemerintah serta institusi politik membantu para pejabat pemerintah untuk menjadi responsif. Sedangkan EP internal adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu memahami politik dan pemerintah serta dapat mempengaruhi politik dan pemerintah melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Terkait dengan kondisi yang ada pada pemuda (rakyat), maka ketidakpedulian pada pemilu dan hal-hal yang terkait lebih kepada karena memiliki EP eksternal dan internal yang rendah. EP eksternal yang rendah memiliki arti bahwa kemungkinan pemuda (rakyat) memiliki keyakinan rendah disebabkan oleh pejabat pemerintah dianggap tidak dapat merespon apa yang diharapkan serta merasa sia-sia untuk ikut berpartisipasi dalam perpolitikan. Sementara itu EP internal yang rendah menyebabkan enggan untuk berpartisipasi, karena mereka tidak memahami seluk-beluk pemilu serta mengganggap suara yang mereka berikan tidak akan memiliki pengaruh terhadap perubahan. ]
***
Jika ingin dikaji lebih mendalam, Efikasi Politik (EP) internal yang rendah dapat dikaitkan dengan learned helplessness. Pengertian learned helplessness menurut Seligman adalah kepercayaan yang dimiliki seseorang bahwa hasil atau keluaran dari sesuatu terlepas dari segala aksi atau kegiatan yang telah dilakukan olehnya. Learned helplessness dapat pula dipahami sebagai perubahan performa berupa kinerja yang memburuk setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang karena keyakinan bahwa hasil yang diperoleh tidak ada hubungannya (independen) dengan usaha, melainkan dipengaruhi oleh faktor eksternal (misalnya kemampuan yang dimiliki seseorang atau ketidakberuntungan). Jadi, kepercayaan akan ketiadaan kendali yang dapat dipegang oleh pemuda (rakyat) ini tidak hanya membuat mereka berpikir bahwa suara mereka pada saat pemilu tidak akan membuat perubahan pada negara, namun mereka juga akan berpikir bahwa perubahan negara tidak akan terjadi baik jika turut memberikan suara ataupun tidak. Selain itu, ada juga pemuda (rakyat) yang pernah ikut mencoblos pada saat pemilu sebelumnya namun tidak mau untuk ikut mencoblos lagi, karena mereka menganggap usaha mereka dalam memberikan suara pada pemilu gagal berulang-ulang untuk membuat perubahan pada negara. Tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak pemuda (rakyat) yang tidak mau ikut mencoblos pada saat pemilu karena mereka berpikir bahwa peran serta mereka dalam memberikan suara tidak akan berpengaruh terhadap perubahan negara.
***
Oleh karena itu, aplikasi nyata para kandidat lebih ditunggu saat ini.
Rakyat tidak butuh janji. Janji tidak bisa membuat perut kenyang.
Rakyat tidak butuh iklan dengan kuantitas tinggi di televisi. Iklan tidak bisa membuat mereka pintar.
Rakyat tidak butuh bendera yang ukurannya bahkan (kadang) lebih besar dari rumah mereka. Bendera tidak bisa membuat mereka aman dan nyaman.
Rakyat butuh aksi konkret. Sekarang!

Sumber :
Departemen Litbang Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi Periode 2005-2006; Sujarwadi. BENARKAH MAHASISWA UI APATIS??

Tuesday, October 21, 2008

VJ#40/X/2008 : Depresi : definisi, dampak, dan treatment



Kehidupan manusia modern saat ini -sepertinya- tidak bisa lepas dari kondisi lingkungan yang dirasakan semakin menekan. Tekanan itu dapat datang dari segala hal, baik dari keluarga, lingkungan pertemanan, lingkungan kerja, atau bahkan karena kondisi negara. Apabila seseorang tidak dapat mengatasi tekanan-tekanan tersebut dengan baik maka berpotensi untuk menimbulkan ketegangan-ketegangan yang tertahan dalam diri, yang pada akhirnya dapat mengarah ke kondisi depresi. Kata terakhir ini tentu sudah bukan hal asing di telinga kita. Entah mengetahuinya dari media, melihat langsung di lingkungan, atau bahkan pernah mengalaminya sendiri. Apa dan bagaimana sebenarnya depresi itu, dampaknya, dan bagaimana kah penanganannya pada org/klien yg depresi??


Tulisan ini mencoba memberikan penjelasan singkat mengenai depresi tersebut.

Definisi Depresi
Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang", meliputi seluruh tubuh, suasana perasaan dan pikiran. ia juga mempengaruhi pola makan dan tidur. Gangguan ini tidak sama dengan seorang yang dalam keadaan kelelahan atau malas. Seorang yang mengalami gangguan depresi tidak dapat "menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat kembali pada keadaannya seperti semula. Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala tersebut mengakibatkan terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya dari seseorang dan gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih lama. Penatalaksanaan yang sesuai dapat menolong seseorang yang mengalami depresi untuk cepat kembali seperti semula lebih baik. Definisi gangguan depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan dengan rasa sedih yang dalam dan berkepanjangan. Penderita hilang minat (interest) pada sesuatu yang sebelumnya menyenangkan baginya. Biasanya disertai dengan perubahan-perubahan lain pada dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah lelah dan berkurangnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.

Faktor Penyebab Depresi
Untuk menemukan penyebab depresi kadang-kadang sulit sekali karena ada sejumlah penyebab dan mungkin beberapa diantaranya bekerja pada saat yang sama. Dari sekian banyak penyebab itu, antara lain adalah :

Faktor Psikososial
Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan dapat berpengarubdalam terjadinya depresi pada seseorang. Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi. Salah satu bentuk peristiwa kehidupan adalah kehilangan, yang dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
a. Kehilangan abstrak: kehilangan harga diri, kasih sayang, harapan atau ambisi.
b. Kehilangan sesuatu yang konkrit: rumah, mobil, protet, orang atau bahkan binatang kesayangan.
c. Kehilangan hal yang bersifat khayal (tanpa fakta) : merasa tidak disukai atau dipergunjingkan orang.
d. Kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang: menunggu hasil tes kesehatan, menunggu hasi ujian, dan lain-lain.



Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Hawari (1999) bahwa seseorang yang kehilangan kebutuhan afeksional (kasih sayang) dapat jatuh dalam depresi, seperti kehilangan orang yang dicintai karena meninggal atau kehilangan jabatan/pekerjaan.


Reaksi Stres
Paykel dan Hollyman; Leff & Vaughn; Brown et. al (dalam Comer, 1991) menemukan bahwa dokter-dokter terkemuka mengatakan bahwa depresi itu berasal dari peristiwa-peristiwa yang penuh dengan stress. Peristiwa hidup yang penuh stress juga mengawali munculnya schizoprenia, anxiety disorder dan gangguan psikogis lainnya, tetapi orang yang depresi dilaporkan lebih mudah terpengaruh daripada orang lain. Sumber stress seperti kehilangan orang yang dicintai, perceraian, kegagalan dan tekanan pekerjaan dapat memberi sumbangan untuk munculnya depresi (Coyne et al; Eckennode Lewinsohn & Amenson; Stone & Neale dalam Rathus & Nevid, 1991). Sarason & Sarason (1993) menyatakan bahwa depresi dapat juga disebabkan karena ada faktor gen atau karena tidak berfungsinya beberapa faktor fisiologis yang mungkin diwarisi ataupun tidak.

Gejala-Gejala Depresi
Secara lengkap gambaran depresi menurut DSM IV adalah sebagai berikut :
a. Mood depresi sepanjang hari, hampir sepanjang hari, terindikasi baik melalui perasaan subjektif (perasaan sedih atau kosong) maupun melalui observasi orang lain (tampak sedih)
b. Ditandai dengan berkurangnya minat atau gairah pada segala hal, atau hampir segala hal, dalam aktivitas sepanjang hari, ataupun hampir sepanjang hari.
c. Berat badan menurun secara signifikan tanpa melakukan diet atau penaikan berat badan (perubahan lebih 5 % dari berat badan setiap bulan), atau penaikan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari.
d. Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.
e. Agitasi dan retadasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tidak berdaya).
f. Psikomotor menjadi lebih lambat (atas observasi orang lain)
g. Fatique atau kehilangan energi hampir setiap hari.
h. Perasaan tidak berharga atau perasan bersalah yang berlebihan dan tidak sesuai (dapat berupa delusi) hampir setiap hari.
e. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari.
f. Pikiran berulang tentang kematian, pikiran berulang untuk bunuh diri tapa rencana yang spesifik, adanya percobaan untuk bunuh diri atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.


Treatment yang dapat digunakan


a. Relaksasi Teknik Stabilisasi (Lightstream)
Klien dilatih untuk melakukan relaksasi ketika ia sedang merasa tertekan. Ia diminta untuk menutup mata dan menarik nafas perlahan-lahan lalu melepaskannya. Kemudian, Ia diminta untuk membayangkan adanya sebuah sinar yang dapat membuat dirinya merasa nyaman.

b. Cognitive Behavior Therapy
- Mengubah pemikiran-pemikiran negatif klien yang membuatnya depresi menjadi positif
- Mengenali automatic thought
Klien diminta untuk memperhatikan apa yang ia pikirkan ketika ia mengetahui adanya rasa tertekan muncul. Pada tahap ini, klien diarahkan untuk mengenali situasi-situasi saat rasa tertekan muncul sehingga menimbulkan automatic thought pada dirinya.
- Mengonfrontasi automatic thought
Pemeriksa kemudian meminta UY untuk mengonfrontasi automatic thoughtnya tersebut, salah satunya dengan cara menanyakan “ Apakah kamu 100% yakin bahwa (automatic thought) akan terjadi?”

c. Membuat garis peristiwa hidup yang dilengkapi dengan tingkat kecemasan (range 0-100) pada setiap peristiwa bermakna yang dilaluinya. Hal ini dilakukan untuk membuat klien lebih dapat mengenali perasaan tertekannya selama ini.

d. Memberikan psikoedukasi mengenai pentingnya untuk tetap berkegiatan, seperti olahraga, bekerja, dan bersosialisasi dengan lingkungan. Hal-hal tersebut dapat membantu untuk mengurangi depresi atau kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri.


e. Pemberian psikoedukasi mengenai manfaat berbagi dan bersikap terbuka dengan orang lain. Dengan berbagi masalah maka dapat membantu klien untuk mengurangi kecemasan, membuat perasaan menjadi lebih baik, dan dapat pula membantu untuk memecahkan masalah.


Sumber :
American Psychiatric Association. (2000). Desk Reference To The Diagnostic Criteria from DSM-IV-TR. USA : American Psychiatric Publishing, Inc.

Subotnik, Rona B., Harris, Gloria G. (2005) Surviving Infidelity : Making decision, recovering from the pain (3rd edition). Canada : Adams Media
http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=5&iddtl=260 diakses 24 September 2008
http://pdskjijaya.com/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid1 diakses 24 September 2008
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/156_07DepresiParkinson.pdf/156_07DepresiParkinson.html diakses 24 September 2008
http://www.geocities.com/andryan_pwt/depresi.html?200825 diakses 24 September 2008

Thursday, September 18, 2008

VJ#39/IX/2008 : Gagal Ginjal, Stres, dan Perawatannya


Sumber :
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006
(dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/06010311.pdf diakses 10 Agustus 2008)


Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh. Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan ke arah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis serangan gagal ginjal, yaitu akut dan kronik. Gagal Ginjal Akut (GGA), timbulnya mendadak, bila dikelola baik akan sembuh sempurna, sedangkan gagal Ginjal Kronik (GGK), terjadinya perlahan-lahan, tidak dapat sembuh.

Penanganan serta pengobatan gagal ginjal tergantung dari penyebab terjadinya kegagalan fungsi ginjal itu sendiri. Pada intinya, tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi dan memperlambat perkembangan penyakit. Sebagai contoh, pasien mungkin perlu melakukan diet penurunan intake sodium, kalium, protein, dan cairan. Bila diketahui penyebabnya adalah dampak penyakit lain, maka dokter akan memberikan obat-obatan atau terapi misalnya pemberian obat untuk pengobatan hipertensi, anemia, atau mungkin kolesterol yang tinggi. Seseorang yang mengalami kegagalan fungsi ginjal sangat perlu dimonitor pemasukan (intake) dan pengeluaran (output) cairan, sehingga tindakan dan pengobatan yang diberikan dapat dilakukan secara baik. Dalam beberapa kasus serius, pasien akan disarankan atau diberikan tindakan pencucian darah {Haemodialisa (dialysis)}. Kemungkinan lainnya adalah dengan tindakan pencangkokan ginjal atau transplantasi ginjal.
Ginjal memegang banyak peranan penting bagi tubuh kita, selain peranan utamanya dalam produksi urin, ginjal juga berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh kita, pengaturan status asam-basa (pH darah), pembentukan sel darah merah, pengaturan tekanan darah hingga pembentukan vitami D aktif. Bila ginjal gagal melaksanakan fungsinya, maka fungsi-fungsi di atas juga akan terganggu, urin tidak dapat diproduksi dan dikeluarkan, keseimbangan cairan terganggu yang dapat menyebabkan tubuh bengkak dan sesak napas, racun-racun akan menumpuk, tekanan darah dapat tak terkendali, anemia yang akan memperberat kerja jantung hingga gangguan pembentukan tulang. Komplikasi di atas akan mempengaruhi fungsi organ lain mulai dari jantung, hati, pencernaan hingga otak yang akan meningkatkan risiko morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (kematian).


Gagal ginjal dan Stres
Keadaan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya mengakibatkan
terjadinya perubahan dalam kehidupan penderita gagal ginjal terminal yang melakukan terapi
hemodialisa (biasanya disingkat dengan pasien hemodialisa). Moos dan Schaefer serta Sarason
dan Sarason (dalam Sarafino, 1998) mengatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres. Sarafino dan Taylor (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa keadaan stres dapat menghasilkan perubahan, baik secara fisiologis maupun psikologis, yang mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Stres juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu. Hal ini jelas menunjukkan adanya keadaan stres akan memperburuk kondisi kesehatan penderita dan menurunkan kualitas hidupnya.
Moos dalam Sarafino (1998) mengemukakan beberapa strategi dalam mengatasi stres yang dapat dilakukan oleh penderita gangguan kesehatan, yaitu :
1. Mengingkari atau meminimalisasi keseriusan situasi.
2. Mempertahankan kebiasaan rutin sebisa mungkin.
3. Memperkirakan kejadian dan keadaan stres yang mungkin muncul di masa yang akan datang.
4. Mencoba memiliki pandangan baru tentang masalah kesehatan tersebut dan perawatannya dengan menemukan tujuan jangka panjang atau makna dari pengalaman tersebut.
5. Mencari informasi tentang masalah kesehatan tersebut dan prosedur perawatannya.
6. Mencari dukungan instrumental dan emosional dari keluarga, teman dan praktisi kesehatan yang terlibat dengan menunjukkan kebutuhan dan perasaan.

Agar dapat menjalankan strategi tersebut dengan baik, individu membutuhkan bantuan
dari orang lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang
dekat dengan teman dan kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka
yang sedang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki
keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne, 1994; Sheridan & Radmacher, 1992). Secara
umum dikatakan pula bahwa individu yang merasa menerima penghiburan, perhatian dan
pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih
mudah mengikuti nasehat medis (DiMatteo & DiNicola dalam Sarafino, 1998).

Perawatan dengan Konseling Paliatif
Perawatan atau konseling paliatif adalah bentuk perawatan yang bertujuan untuk berusaha meningkatkan kualitas hidup pasien saat menghadapi penyakitnya. Perawatan paliatif berfokus untuk meredakan gejala-gejala seperti rasa sakit dan kondisi seperti kesepian, yang dapat menyebabkan depresi dan mengganggu pasien untuk dapat menjalani hidup. Pengobatan ini juga berusaha memastikan bahwa keluarga dapat tetap berfungsi normal dan utuh serta memberikan dukungan kepada pasien. Adapun bentuk-bentuk perawatan paliatif yang dapat diterapkan kepada pasien antara lain sebagai berikut :
• Mengurangi rasa sakit dan gejala tidak nyaman lainnya. Hal ini dilakukan dengan berkonsultasi dengan dokter terkait.
• Memberikan psikoedukasi mengenai arti kehidupan dan memandang kematian sebagai suatu proses yang normal.
• Melakukan terapi kelompok dengan sesama penderita gagal ginjal. Tujuannya antara lain agar peserta terapi, termasuk pasien, dapat saling memberi dukungan, berbagi pengalaman, dan mendapat informasi seputar penyakit gagal ginjal dari sesama anggota kelompok
• Meningkatkan kualitas hidup dan memberikan pengaruh positif selama sakit, antara lain dengan mendorong pasien agar tetap aktif dalam berkegiatan (seperti olahraga dan bekerja) dan membuat perencanaan terperinci mengenai rencana masa depan, termasuk bidang pekerjaan yang akan didalami.
• Memberikan psikoedukasi kepada keluarga pasien mengenai pentingnya dukungan keluarga bagi pasien dalam menghadapi penyakitnya.

Tuesday, August 5, 2008

VJ#38/VIII/2008 : Disgust Test












Disgust..
Pernah mendengar kata itu?
Dalam bahasa indonesia artinya kurang lebih adalah jijik atau jorok..Disgust di sini dalam arti hal-hal yang membuat kita akan menyipitkan mata, menyeringai, atau berteriak "hiii", saat melihatnya..Mau tahu seberapa tingkat "disgust" anda terhadap barang-barang atau hal-hal di sekitar anda..??

Pliz Klik YANG SATU INI

Enjoy!

Arya Verdi R.

Saturday, July 26, 2008

VJ#37/VII/2008 : MOOD DISORDERS


courtesy of mitta and imel, KLD XII
KARAKTERISTIK UMUM GANGGUAN MOOD
Tanda dan Gejala Depresi
Depresi adalah keadaan emosional yang ditandai kesedihan yang sangat, perasaan bersalah dan tidak berharga, menarik diri dari orang lain, kehilangan minat untuk tidur, seks, serta hal-hal menyenangkan lainnya. Orang yang depresi mungkin:
- Sulit konsentrasi, bicaranya pelan, kata-kata monoton, suara pelan
- Memilih untuk sendirian dan berdiam diri; atau justru tidak bisa diam
- Sulit menemukan solusi permasalahan
Tanda dan gejala depresi mungkin bervariasi bergantung usia, anak-anak yang depresi seringkali menunjukkan keluhan somatis, seperti sakit perut atau sakit kepala, sedangkan orang dewasa yang depresi seringkali mudah lupa dan mudah terdistraksi.

Tanda dan Gejala Mania
Mania adalah keadaan emosi/ mood yang meningkat, sangat gembira tanpa alasan yang jelas, seringkali diiringi hiperaktivitas, cerewet, flight of ideas (perasaan subyektif bahwa pikiran seperti berlomba), tidak praktis, mudah terdistraksi, serta meningkatnya kepercayaan diri atau ide kebesaran. Episode mania biasanya berlangsung beberapa hari atau bulan.
Simtom mania antara lain: tiba-tiba teriak, kadang sangat humoris, sering kaget dengan benda-benda dan kejadian di sekelilingnya.

Diagnostik Formal Gangguan Mood Menurut DSM IV-TR

A. Diagnosis Depresi (Depresi Mayor/ Unipolar)
- Minimal 2 minggu kehilangan minat dan kesenangan dan mood depresif.
- Minimal muncul 4 diantara simptom additional berikut ini, yaitu: gangguan tidur dan nafsu makan, hilang energi, worthlessness, suicidal thought, dan sulit konsentrasi.
- Subclinical depression: individu yang simtomnya kurang dari 5, memiliki kesulitan dalam fungsi psikologisà mirip
- Depresi 2-3x lebih sering pada wanita daripada pria; lebih sering terjadi pada golongan ekonomi bawah; dewasa muda
- Depresi cenderung muncul berulang à 80 % penderita mengalami episode lain

B. Diagnosis Gangguan Bipolar
- Gangguan Bipolar I: episode mania/ campuran, terdapat simtom mania dan depresi. Episode mania disini minimal muncul 3 simtom additional (4 simptom jika mood hanya irrirable).
- Gangguan bipolar lebih jarang muncul daripada depresi mayor
- Rata-rata onset: umur 20an, seimbang antara pria dan wanita

Heterogenitas Kategori DSM-IV
- Banyak penderita dengan gejala heterogen, tapi dikelompokkan pada diagnosis yang sama.
- Munculnya delusi dapat membedakan penderita depresi unipolar à tidak reaktif terhadap terapi obat-obatan biasa, kecuali dikombinasikan dengan terapi psikotik.
- Sejumlah pasien depresi mengalami fitur melankolis (tidak bahagia/ senang meski terjadi peristiwa menggembirakan, bangun tidur 2 jam lebih cepat, cemas berlebihan) à reaktif terhadap terapi biologis.
- Episode manik dan depresif mungkin ditandai fitur katatonik (gangguan motorik, aktifitas tidak bertujuan).
- Gangguan bipolar dan unipolar mungkin sifatnya musiman bila pasien secara teratur mengalaminya.

Gangguan Mood Kronik
à Jangka panjang, minimal 2 tahun, belum cukup mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan.
Ada 2 jenis:
a. Gangguan cyclothymic
à Periode depresi dan hipomania berulang. Selama depresi pasien merasa inadekuat, selama hipomania self esteem meningkat. Menarik diri, tidur terlalu sering atau terlalu sebentar, sulit konsentrasi, dan jarang berbicara.

b. Gangguan dysthymic
à Depresi kronis, feeling blue, sedikit sekali merasa senang, insomnia atau justru terlalu banyak tidur, tidak efektif, letih, pesimis, sulit konsentrasi, dan berpikir jernih, menghindari bersama-sama dengan orang lain. Pasien distimia mengalami 3 atau lebih simtom additional, meliputi mood depresif tapi bukan suicidal thought. Minimal berlangsung selama 2 bulan.

Gangguan Mood dan Kreativitas
Sejumlah artis, komposer, dan penulis yang pernah mengalami gangguan mood adalah impulsif, seperti Michael Angelo, van Gogh, Schumann, dll. Mungkin keadaan manic memicu kreativitas terkait adanya peningkatan mood, energi, pikiran yang muncul tiba-tiba, dan kemampuan menghubung-hubungkan ide. Menurut Weisberg (1994), perubahan mood mempengaruhi motivasi untuk menghasilkan karya kreatif daripada proses kreatif itu sendiri

Gangguan Mood dan Depresi
- Individu yang depresi lebih sedikit menunjukkan ekspresi wajah positif dan mengalami emosi menyenangkan
- Gangguan kecemasan biasanya muncul bersamaan dengan depresi.


TEORI PSIKOLOGI TENTANG GANGGUAN MOOD
Teori Psikoanalisis Tentang Depresi
Menurut Freud (1917/ 1950) potensi depresi muncul pada awal masa kanak-kanak. Pada fase oral anak mungkin kurang/ terlalu terpenuhi kebutuhannya, sehingga ia terfiksasi pada fase ini à mengakibatkan individu dependen, low self esteem.
Hipotesanya adalah, setelah kehilangan orang yang dicintai, ia mengidentifikasi diri dengan orang tersebut seolah untuk mencegah kehilangan. Lama-lama ia malah marah pada dirinya sendiri, merasa bersalah.

Teori Kognitif Tentang Depresi
a. Teori depresi Beck (1967)
Individu menjadi depresi akibat interpretasi negatif yang bias. Pada waktu kecil/ remaja muncul skema negatif akibat kejadian-kejadian burukà ia merasa akan selalu sial/ gagal, dipadu dengan bias kognitif muncul triad negatif (pandangan sangat negatif tentang diri, dunia, masa depan)

b. Teori helplessness/ hopelessness
1. Learned helplessness: kepasifan individu dan perasaan tak berdaya mengontrol hidupnya, didapat dari pengalaman-pengalaman buruk/ trauma, mengarah pada depresi
2. Attribution and learned helplessness: pada situasi dimana individu pernah gagal, ia akan mencoba mengatribusikan penyebab kegagalan. Individu depresi bila mereka mengatribusikan kejadian negatif bersifat stabil dan global. Individu depresi biasanya menunjukkan depressive attributional styleàmengatribusikan rasa hasil negatif sebagai personal, global, penyebabnya stabil
3. Teori hopelessness
Sejumlah bentuk depresi dianggap sebagai akibat hopelessnessà merasa hasil yang diharapkan takkan pernah muncul, individu tak bisa merubah situasi. Kemungkinan muncul akibat self esteem yang rendah, kecenderungan anggapan bahwa kejadian negatif akan mengakibatkan sejumlah hal negatif

Teori Interpersonal Tentang Depresi
- Individu depresi cenderung terbatas jaringan dan dukungan sosialnyaàmengurangi kemampuan individu mengatasi kejadian negatif, rentan terhadap depresi
- Individu depresi berusaha meyakinkan diri bahwa orang lain benar peduli. Namun ketika yakin, rasa puasnya hanya sebentar. Berhubungan dengan konsep diri negatif.
- Kompetensi sosial yang rendah diperkirakan memunculkan depresi pada anak usia TK
- Interpersonal problem solving skill yang rendah dapat meningkatkan depresi pada remaja

Teori Psikologi Tentang Gangguan Bipolar
- Tekanan hidup adalah faktor penting munculnya gangguan bipolar
- Dukungan sosial dapat mempercepat penyembuhan simptom depresi, tapi tidak simtom mania
- Attributional style + sikap disfungsi + kejadian buruk ---->peningkatan simptom depresi ataupun mania pasien bipolar
- Self esteem individu mania mungkin sangat rendah

TEORI BIOLOGI TENTANG GANGGUAN MOOD
Genetic Data
Penelitian mengenai faktor genetis pada gangguan unipolar dan bipolar melibatkan keluarga dan anak kembar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10-15% keluarga dari pasien yang mengalami gangguan bipolar pernah mengalami satu episode gangguan mood (Gherson, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pada gangguan unipolar, meskipun faktor genetis mempengaruhi, namun kurang menentukan dibandingkan gangguan bipolar. Resiko akan meningkat pada keluarga pasien yang memiliki onset muda saat mengalami gangguan. Berdasarkan beberapa data diperoleh bahwa onset awal untuk depresi, munculnya delusi, dan komorbiditas dengan gangguan kecemasan dan alkoholisme meningkatkan resiko pada keluarga (Goldstein, et al., 1994; Lyons et al., 1998, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

Neurochemistry dan Mood Disorders
Dua neurotransmitter yang berperan dalam gangguan mood adalah norepinephrine dan serotonin. Norepinephrine terkait dengan gangguan bipolar dimana tingkat norephinephrine yang rendah menyebabkan depresi dan tingkat yang tinggi menyebabkan mania. Sedangkan untuk serotonin, tingkatnya yang rendah juga menyebabkan depresi. Terdapat dua kelompok obat untuk depresi, yaitu tricyclics dan monoamine oxidase (MAO) inhibitors. Tricyclics seperti imipramine (tofranil) adalah obat antidepresan yang berfungsi untuk mencegah pengambilan kembali norephinephrine dan serotonin oleh presynaptic neuron setelah sebelumnya dilepaskan, meninggalkan lebih banyak neurotransmitter pada synapse sehingga transmisi pada impuls syaraf berikutnya menjadi lebih mudah. Monoamine oxidase (MAO) inhibitors merupakan obat antidepresan yang dapat meningkatkan serotonin dan norephineprhine. Terdapat pula obat yang dapat secara efektif mengatasi gangguan unipolar, yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors, seperti Prozac. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat efek samping dari berbagai obat antidepresan tersebut sehingga peningkatan dari norephineprhine dan serotonin tidak menimbulkan komplikasi lainnya.

Sistem Neuroendokrin
Area limbik di otak berhubungan dengan emosi dan mempengaruhi hipotalamus. Hipotalamus kemudian mengontrol kelenjar endokrin dan tingkat hormon yang dihasilkannya. Hormon yang dihasilkan hipotalamus juga mempengaruhi kelenjar pituitary. Relevansinya terkait dengan simtom vegetatif pada gangguan depresi, seperti gangguan tidur dan rangsangan selera. Berbagai temuan mendukung hal tersebut, bahwa orang yang depresi memiliki tingkat dari cortisol (hormon adrenocortical) yang tinggi, hal itu disebabkan produksi yang berlebih dari pelepasan hormon rotropin oleh hipotalamus (Garbutt, et al., 1994 dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Produksi yang berlebih dari cortisol pada orang yang depresi juga menyebabkan semakin banyaknya kelenjar adrenal (Rubun et al., 1995, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Banyaknya cortisol tersebut juga berhubungan dengan kerusakan pada hipoccampus dan penelitian juga telah membuktikan bahwa pada orang depresi menunjukkan hipoccampal yang tidak normal. Penelitian mengenai Cushing’s Syndrome juga dikaitkan dengan tingginya tingkat cortisol pada gangguan depresi.

An Integrated Theory of Bipolar Disorder
Gangguan bipolar merefleksikan adanya gangguan pada sistem motivasional yang disebut dengan behavioral activation system atau BAS. BAS memfasilitasi kemampuan manusia unuk mendekati atau memperoleh reward dari lingkungannya dan ini telah dikaitkan dengan positive emotional states, karakteristik kepribadian seperti ekstrovert, peningkatan energi, dan berkurangnya kebutuhan untuk tidur. Secara biologis, BAS diyakini terkait dengan jalur syaraf dalam otak yang melibatkan dopamine neurotransmitter dan juga terkait dengan perilaku untuk memperoleh reward. Peristiwa kehidupan yang melibatkan pencapaian tujuan atau reward diprediksi meningkatkan simtom mania. Sedangkan peristiwa positif lainnya tidak terkait dengan perubahan pada simtom mania, dan pencapaian tujuan tidak terkait dengan perubahan dalam simtom depresi. Dengan demikian, BAS dan manifestasi perilakunya, yaitu pencapaian tujuan diasosiasikan dengan simtom mania dari gangguan bipolar.

BERBAGAI TERAPI UNTUK GANGGUAN MOOD
Terapi-terapi Psikologis untuk Depresi
Terapi Psikodinamik
Disebabkan depresi dianggap berasal dari perasaan akan kehilangan yang kemudian direpres dan juga kemarahan yang secara tidak disadari diarahkan ke diri sendiri, maka terapi psikoanalis mencoba untuk membantu pasiennya memperoleh insight mengenai konflik yang direpres dan mendorong pelepasan kemarahan yang selama ini diarahkan ke dalam dirinya. Tujuan dari terapi psikoanalis adalah untuk membuka motivasi tersembunyi tentang depresi pasien. Pasien seringkali menyalahkan dirinya sendiri atas kurangnya kasih sayang yang diberikan orang tua dan kemudian me-repres keyakinan tersebut. Terapis harus membimbing pasiennya untuk mengkonfrontasi kenyataan dan membantu pasien untuk menyadari rasa bersalah yang tidak berdasar tersebut. Selain itu juga membebaskan pasien dari lingkungan masa kecilnya yang penuh dengan tekanan. Tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari terapi psikodinamik ini.
Terdapat pula terapi interpersonal (IPT) dari Klerman dan Weissman’s yang dapat mengatasi gangguan depresi dengan menekankan pada peningkatan kemampuan interpersonal atau sosial, serta interaksi dengan orang lain. Terapi tersebut lebih kepada terapi kelompok yang menekankan pada pemahaman yang baik mengenai masalah interpersonal yang mendorong depresi. Pasien dibebaskan untuk mendiskusikan berbagai masalah interpersonal saat ini dan bukan masa lampau.

Terapi Cognitive-Behavioral
Depresi terjadi karena skema yang negatif dan kesalahan dalam proses berpikir. Terapis mencoba mempersuasi pasien depresi untuk mengubah pandangan tentang dirinya sendiri dan peristiwa. Terapis juga meminta pasien untuk memperhatikan pernyataan pribadinya dan mengidentifikasi semua pola pikirnya yang menyebabkan depresi agar dapat membuat asumsi yang lebih positif serta realistis. Dapat pula dikembangkan metode Ellis’s rational emotive dan analisis Beck. Melalui metode tersebut, pasien dapat diminta untuk melakukan hal positif ketika mengalami depresi atau terapis memberikan aktivitas pada pasien yang berkaitan dengan pengalaman akan kesuksesan dan membuat pasien berpikir positif mengenai dirinya sendiri. Dengan demikian pendekatannya adalah melakukan perubahan struktur kognitif dengan cara mempersuasi pasien memperoleh perbedaan dalam berpikir.

· The NIMH Treatment of Depression Collaborative Research Program
National Institute of Mental Health (NIMH) melakukan penelitian mengenai terapi kognitif Beck (CT) yang kemudian dibandingkan dengan terapi interpersonal (IPT) dan farmakoterapi, yaitu penggunaan Tofranil (Elkin et al., 1985, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pemilihan terapi berdasarkan pada fokus yang sama pada penanganan depresi dan memiliki instruksi yang eksplisit dan terstandardisasi. Hasil menunjukkan bahwa pasien dengan IPT dan CT menyatakan kepuasannya karena melalui terapi tersebut mereka dapat mengembangkan kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain dan menyadari sumber depresi yang dimilikinya dibandingkan dengan pasien dengan farmakoterapi (Blatt, et al., 2000, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

· Mindfulness-Based Cognitive Therapy
Difokuskan pada pencegahan timbulnya kembali gangguan yang biasanya mengikuti keberhasilan treatment pada depresi (Segal et al., 1996; Segal et al., 2001; Teasdale et al., 1995, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Gangguan dapat timbul kembali dari pengulangan asosiasi antara mood yang depresi dan pola pikir yang salah selama episode depresi mayor. Berdasarkan hal tersebut, maka jika individu yang mulai membaik merasakan kesedihan kembali, maka mereka akan kembali berpikir dengan cara yang sama dengan pikiran yang digunakan ketika mereka mengalami depresi. Tujuan terapi ini adalah untuk mengajarkan individu agar menyadari bahwa ketika mereka mengalami depresi, maka mereka harus melihatnya sebagai peristiwa mental yang tidak sesuai dengan kenyataan sehingga mereka tidak kembali membentuk pola berpikir yang salah.

Social-skill Training
Difokuskan pada peningkatan interaksi sosial, karena salah satu karakteristik dari depresi adalah kurangnya pengalaman yang memuaskan dengan orang lain.

Behavioral Activation Therapy
Fokusnya adalah keterlibatan pasien pada perilaku tertentu dan aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan penguatan yang positif dan akan membantu untuk mengatasi depresi. Hal tersebut disebabkan secara umum, perilaku yang terlihat dari pasien depresi adalah tidak adanya aktivitas, menarik diri dari berbagai aktivitas atau tidak bersemangat untuk beraktivitas. Selain perubahan pada pola pikir pasien, keterlibatan pasien dalam berbagai kegiatan positif juga menjadi hal yang penting.

Terapi-terapi Psikologis untuk Gangguan Bipolar
Intervensi cognitive-behavioral dapat dilakukan dengan target pada pemikiran dan perilaku interpersonal yang buruk pada saat mood mudah berpindah sehingga lebih efektif. Selain itu, pemberian pengetahuan mengenai gangguan bipolar dan treatment-nya juga dapat meningkatkan ketaatan penyembuhan dengan menggunakan lithium, dimana membantu mengurangi mood yang mudah berpindah dan membuat kehidupan pasien lebih stabil (Craighead et al., 1998; Peet & Harvey, 1991; Vant Gent, 2000, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Masalah yang timbul adalah pasien cenderung kehilangan insight tentang perilaku mereka yang tidak sesuai dan cenderung merusak. Hal itu membuat intervensi juga perlu dilakukan pada keluarga dengan mengajarkan mereka tentang gangguan dan bagaimana harus memperlakukan pasien serta menciptakan suasana yang mendukung kesembuhan pasien. Dapat pula dilakukan family-focused treatment (FFT), yaitu pemberian pengetahuan pada keluarga mengenai gangguan, meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan melatih kemampuan untuk menyelesaikan masalah (Miklowitz, 2001; Miklowitz & Goldstein, 1997, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Kombinasi antara terapi obat dan terapi ini lebih efektif dibandingkan menggunakan terapi obat saja.

Terapi-terapi Biologis untuk Gangguan Mood
Electroconvulsive therapy (ECT)
Meskipun masih kontrovesial, ECT yang dikemukakan oleh Cerletti dan Bini dianggap merupakan pengobatan yang paling optimal untuk depresi yang parah. Elektroda dengan kekuatan antara 70-130 volt diletakkan pada setiap sisi kepala memungkinkan untuk melewati kedua hemisfer otak, metode ini adalah bilateral ECT. Namun, saat ini lebih sering diletakkan pada satu hemisfer saja (kiri) untuk mengurangi efek samping pada kognisi, seperti hilangnya memori. Dulu, pasien melalui ECT dalam keadaan sadar sehingga terkadang dapat menimbulkan tulang patah. Saat ini, pasien diberikan bius singkat dan suntikan relaksasi otot sebelum dilakukan ECT. Mekanisme kerja dari ECT tidak diketahui. Secara umum, ECT mengurangi aktivitas metabolisme dan sirkulasi darah ke otak. Biasanya dilakukan setelah terapi lainnya mengalami kegagalan.

Drug therapy
Umumnya, obat-obatan lebih sering digunakan untuk mengatasi gangguan mood. Namun tidak dapat diterapkan pada setiap pasien dan efek samping yang ditimbulkan biasanya serius.
· Terapi Obat untuk Gangguan Depresi
Obat-obat utama untuk depresi adalah
1. Tricyclics, seperti imipramine (Tofranil), dan amitriptyline (Elavil).
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), seperti fluoxetine (Prozac) dan sertraline (Zoloft).
3. Monoamine oxidase (MAO) inhibitors, seperti tranylcypromine (Parnate).
Dari ketiga jenis obat tersebut, MAO inhibitors memiliki efek samping yang paling besar sehingga yang paling banyak digunakan adalah dua jenis obat yang lainnya. Penggunaan obat antidepresan ini biasanya juga dikombinasikan dengan penggunaan terapi lainnya. Obat antidepresan biasanya digunakan untuk depresi yang parah, namun meskipun penggunaannya mengurangi episode depresi, secara umum kekambuhan dapat muncul setelah penggunaan obat dihentikan (Reimherr et al., 2001, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

· Terapi Obat untuk Gangguan Bipolar
Berkaitan dengan gangguan bipolar, terapi menggunakan lithium karena dapat mengatasi episode mania dan depresi secara efektif. Dilakukan dengan mengontrol dosis dari lithium carbonate, yang lebih efektif digunakan pada gangguan bipolar dibandingkan unipolar. Lithium memberikan pengaruhnya secara bertahap, biasanya terapi diawali dengan penggunaan lithium dan antipsikotik seperti Hafdol untuk memberikan efek penenang dengan cepat. Pasien harus melakukan tes darah secara teratur untuk memastikan tingkat penggunaan lithium tidak terlalu tinggi sehingga menjadi racun bagi tubuh. Penggunan lithium juga harus secara teratur karena kekambuhan gangguan masih dapat terjadi.

DEPRESI PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA
Simtom dan Prevalensi
Anak-anak dan remaja menunjukkan kemiripan dengan orang dewasa dalam hal mood yang depresif, tidak mampu untuk merasakan kesenangan, kelelahan, sulit konsentrasi, dan ide bunuh diri. Perbedaannya pada tingkat usaha untuk bunuh diri dan rasa bersalah yang lebih tinggi pada anak dan remaja, sering bangun lebih awal di pagi hari, kehilangan selera dan berat badan, dan depresi di pagi hari pada orang dewasa. Terkadang depresi disebut sebagai masked depression, yaitu menampilkan perilaku agresif dan menyimpang, yang biasanya pada orang dewasa tidak dilihat sebagai refleksi dari depresi. Masalah dalam melakukan diagnosis depresi pada anak-anak adalah seringkali merupakan komorbiditas dengan gangguan lain, misalnya kecemasan. Lebih dari 70% dari anak-anak yang depresi juga memiliki gangguan kecemasan atau simtom kecemasan yang signifikan (Anderson et al., 1987: Brady & Kendall, 1992; Kovacs, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Telah ditemukan bahwa anak-anak yang lebih muda dengan gangguan depresi dan gangguan lainnya mengalami pengalaman depresi yang parah dan membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhan (Keller et al., 1988; Kovacs et al., 1984, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).
Secara umum, depresi muncul kurang dari 1% pada anak-anak prasekolah (Kashani & Carlson, 1987; Kashani, Hoalcomb, & Orvaschel, 1986, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) dan 2–3% pada anak usia sekolah (Cohen et al., 1993; Costello et al., 1988, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pada remaja, rata-rata penderita depresi sama dengan orang dewasa, dengan rata-rata yang biasanya tinggi (7-13%) pada anak perempuan (Angold & Rutter, 1992; Kashani et al., 1987, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

Etiologi
Depresi pada anak-anak dan remaja juga dapat disebabkan oleh faktor genetik atau disebabkan oleh keluarga dan hubungan dengan orang lain sebagai sumber stress yang kemudian berinteraksi dengan penyebab biologis tersebut. Mempunyai ibu yang depresi meningkatkan resiko depresi pada anak dan remaja, namun tidak diketahui mengenai pengaruh dari ayah (Kaslow, Deering, & Racusin, 1994, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Orang tua serta anak yang depresi akan berinteraksi secara negatif, seperti kurangnya kasih sayang dan saling menyakiti.

Treatment
Anak-anak dan remaja dengan depresi mayor juga kurang memiliki keterampilan sosial, terkait hubungannya dengan saudara dan teman. Berbagai terapi orang dewasa juga dapat digunakan pada anak-anak dan remaja. Namun perhatian utama mengenai terapi yang baik adalah yang melibatkan keluarga dan sekolah (Hammen, 1997; Stark er al., 1996, 1998, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

BUNUH DIRI
Pasien dengan gangguan mood seringkali memunculkan pemikiran atau usaha bunuh diri. Diperkirakan sekitar 15% orang yang didiagnosa gangguan depresi mayor melakukan usaha bunuh diri (Maris et al., 1992, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Berikut ini adalah rangkuman mengenai bunuh diri menurut Fremouw et al. (1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004):


Berbagai Sudut Pandang Mengenai Bunuh Diri
Sudut Pandang Psikologis
Freud memandang bunuh diri menampilkan agresi yang diarahkan ke dalam diri seseorang akibat kehilangan seseorang yang dicintai dan dibenci. Semakin kuat perasaan tersebut, maka seseorang akan semakin mungkin melakukan bunuh diri.


Sudut Pandang Sosiologis
Emile Durkheim (1897, 1951, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) menggolongkan 3 kategori bunuh diri, yaitu: 1) Egoistis, yaitu bunuh diri yang terjadi pada mereka yang tidak terintegrasi kuat pada berbagai kelompok sosial, kurang memperoleh dukungan sosial, 2) Altruistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan karena integrasi yang berlebihan terhadap suatu kelompok dan bunuh diri merupakan upaya untuk menumbuhkan integrasi kelompok, dan 3) Anomik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang integrasinya dengan masyarakat terganggu, sehingga tidak mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat.

Sudut Pandang Biologis
Usaha untuk bunuh diri dapat disebabkan oleh kurangnya serotonin pada pasien depresi.

Pendekatan Shneidman Mengenai Bunuh Diri
Shneidman telah membuat daftar mengenai 10 karakteristik umum dari bunuh diri, namun tidak semua ditemukan dalam setiap kasus dan semua kasus. Pandangannya mengenai bunuh diri berdasarkan bahwa seseorang secara sadar berusaha untuk menemukan solusi dari masalahnya yang telah menyebabkan penderitaan. Semua harapan dan tindakan konstruktif telah menghilang. Menurutnya, seseorang yang merencanakan bunuh diri biasanya mengkomunikasikan niatnya tersebut, terkadang menangis untuk meminta bantuan, terkadang menarik diri dari orang lain.


Berikut ini adalah 10 karakteristik dari bunuh diri menurut Shneidman:
Fungsi umum dari bunuh diri adalah untuk mencari solusi.
Tujuan umum dari bunuh diri adalah penghentian kesadaran.
Stimulus umum dalam bunuh diri adalah penderitaan psikologis yang tidak tertahankan.
Stressor umum dalam bunuh diri adalah frustrasi kebutuhan psikologis.
Emosi umum dalam bunuh diri berkaitan dengan hopelessness-helplessness.
Cognitive state umum dalam bunuh diri adalah ambivalen.
Perceptual state umum dalam bunuh diri adalah sempit.
Tindakan umum dari bunuh diri adalah egression.
Tindakan interpersonal umum dalam bunuh diri adalah komunikasi mengenai intensi.
Konsistensi umum mengenai bunuh diri adalah dengan pola coping seumur hidup.

Prediksi Mengenai Bunuh Diri Melalui Tes Psikologis
Beberapa penelitian menemukan bahwa rasa putus asa merupakan prediktor yang kuat dari bunuh diri (Beck, 1986b; Beck, et al., 1985, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) bahkan lebih kuat dari depresi (Beck, Kovacs, & Weissman, 1975, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Penelitian juga menunjukkan bahwa seseorang dengan ketidakpuasan yang tinggi dengan kehidupannya cenderung memiliki usaha untuk bunuh diri. Penelitian lainnya menemukan bahwa individu yang bunuh diri lebih kaku dalam mendekati masalah yang dialaminya dan kurang memiliki pemikiran yang fleksibel (Levenson, 1972, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Penelitian yang melibatkan orang yang tidak pernah berusaha untuk bunuh diri, orang yang usaha bunuh dirinya tidak menyebabkan cedera yang serius dikaitkan dengan low-lethal, dan orang yang usaha bunuh dirinya mendekati kematian dikaitkan dengan high-lethal, menemukan bahwa orang depresi yang pernah melakukan usaha bunuh diri khususnya terkait dengan high-lethal, lebih memiliki keterbatasan dalam membuat rencana, menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dibandingkan dengan dua orang lainnya.

Pencegahan Bunuh Diri
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah bunuh diri adalah dengan memberikan treatment yang tepat pada mereka yang mengalami gangguan mental, meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan mengontrol emosi. Selain itu, terapis juga dapat menciptakan hubungan empati atau terapeutik yang melibatkan kepercayaan dan harapan. Adanya fasilitas pusat atau komunitas pencegahan bunuh diri juga dapat membantu, karena biasanya seseorang yang ingin bunuh diri memberikan peringatan atau meminta bantuan sebelum menjalankan usahanya.

Saturday, June 21, 2008

VJ#36/VI/2008 : Fake Vs Genuine Smile


Tersenyum..

Kata orang, dengan tersenyum maka membuat diri kita menjadi lebih sehat dan awet muda..

Kata orang pula, itu adalah Salah satu hal yang termudah untuk menandakan suasana hati seseorang, bahwa ia sedang dalam keadaan senang..

Tapi tunggu dulu? benarkan senyum itu selalu menandakan orang sedang senang?

Bagaimana kalo orang tersebut tidak benar2 tersenyum? Bagaimana kalo orang tersebut hanya berpura2?

Sejauh apakah anda dapat mengetahui seseorang sedang
TERSENYUM atau sedang BERPURA2 TERSENYUM?

Try this following link

Friday, June 20, 2008

VJ#35/VI/2008 : GANGGUAN SOMATOFORM DAN DISOSIATIF

( courtesy of Ocha Elmut, KLD XII)
Gangguan somatoform dan disosiatif, berkaitan dengan gangguan kecemasan. Pada gangguan somatoform, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada gangguan disosiatif, individu mengalami gangguan kesadaran, ingatan, dan identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan dengan beberapa pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul secara bersamaan.

GANGGUAN SOMATOFORM (SOMATOFORM DISORDERS)

Soma berarti tubuh. Pada gangguan somatoform, masalah psikologis tampak dalam bentuk fisik. Gejala fisik dari gangguan somatoform, dimana tidak ada penjelasan secara fisiologis dan tidak dapat dikontrol secara sadar, berkaitan dengan faktor psikologis, biasanya kecemasan, dan untuk itu diasumsikan bahwa gangguan ini disebabkan oleh faktor psikologis. Pada bagian ini akan lebih dibahas mengenai dua gangguan somatoform yakni gangguan conversion dan gangguan somatization. Akan tetapi sebelumnya juga perlu diketahui bahwa dalam kategori DSM-IV-TR terdapat tiga bentuk lain dari gangguan somatoform, yakni pain disorder, body dysmorphic disorder, dan hypochondriasis.

PENGERTIAN DAN GEJALA
A. Pain Disorder
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

B. Body Dysmorphic Disorder
Pada body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini & Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya. Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran mereka (Veale dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Body dysmorphic disorder muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola makan.

C. Hypochondriasis
Hypochondriasis adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur, berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood.

D. Conversion disorder
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

E. Somatization Disorder
Menurut DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological; gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan dalam memberikan kondisi medis yang dialami.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).


ETIOLOGI
Etiologi dari Somatization Disorder
Diketahui bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al., 1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Kemungkinan lainnya adalah bahwa mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain (Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan behavioral dari somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri, ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki kadar cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress (Rief et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang ekstrim pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh perhatian yang diterima.

Teori Psikoanalisis dari Conversion Disorder
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion disebutkan dapat berhubungan seba-akibat dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut.
Freud juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.

Teori Behavioral dari Conversion Disorder
Pandangan behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ?
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti literatur.

Faktor Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder
Salah satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya.
Selain itu peran faktor sosial dan budaya juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).

Faktor Biologis pada Conversion Disorder
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

TERAPI
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.

Terapi untuk Somatization Disorder
Para ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Terapi untuk Hypochondriasis
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Terapi untuk Pain Disorder
Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut :
memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita
relaxation training
memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri

Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.

GANGGUAN DISOSIATIF

Disosiasi psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Gejala utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
ingatan masa lalu
kesadaran identitas dan penginderaan (awareness of identity and immediate sensations)
kontrol terhadap gerakan tubuh

PENGERTIAN DAN GEJALA
A. Amnesia Disosiatif
Amnesia disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres.
Pada amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya.

B. Fugue Disosiatif
Fugue disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan menciptakan identitas baru.
Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan beraktivitas dengan menggunakan identitas baru.

C. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang terhadap diri sendiri berubah.
Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.

D. Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.
Secara singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:
a. Keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas
b. Sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang
c. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.

ETIOLOGI
Istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.
Pandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.

Etiologi GID. Terdapat dua teori besar mengenai GID. Salah satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (Gleaves, 1996).
Teori lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam teori ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID terjadi dan menetap.

TERAPI
Gangguan disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain, kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres.
Terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Terapi GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan dialami oleh pasien. Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut.
Terdapat beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID, terlepas dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross, 1989)
Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian
Setiap kepribadian harus dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian- kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri.
Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman, bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan otonom.
Seluruh kepribadian harus diperlakukan secara adil
Terapis harus mendorong empati dan kerjasama diantara berbagai kepribadian
Diperlukan kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian.

Tujuan setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.



VJ#34/VI/2008 : SCHIZOPHRENIA

Sudah pernah menonton A Beautiful Mind? Sebuah film yang memenangi Academy Award. Apa menurut anda yang membuat film tersebut bisa menjadi kampiun Oscar? Tentu jawabnya bisa beraneka ragam. Namun, bagi saya, film tersebut layak mendapatkan oscar karena tema dari film itu sendiri.
Film ini menceritakan tentang kehidupan John Forbes Nash, Jr. , seorang genius peraih Nobel. Ia tidak peraih NObel "sembarangan", namun hal yang membuat Nash menjadi lebih spesial adalah karena dia adalah seorang penderita sakit jiwa. Ya, SAKIT JIWA.
Salah satu bentuk gangguannya adalah bahwa ia mempunyai teman bicara, yang ia amat yakini keberadaannya, disaat orang lain tidak ada satupun yang dapat melihat teman Nash tersebut. Bagi orang awam, tingkah laku Nash tidak lebih dari dari tingkah laku seorang yang disebut"gila" , "sedeng", "gendeng", dan lain sebagainya, yang kerap kali kita temui di jalanan.
Dalam konteks Psikologi, apa yang diderita oleh Nash lebih dikenal dengan istilah Schizophrenia.
Apa dan bagaimana kah Schizophrenia tersebut? Dalam post kali ini saya mencoba untuk mengupasnya untuk anda. Selamat membaca.

(Courtesy of KLD XII)

Sejarah
Gangguan skizofrenia sebenarnya telah dibicarakan sejak ratusan tahun lalu. Dua tokoh yang dianggap memberikan sumbangan paling penting adalah Emil Kraeplin & Eugen Bleuler. Pada awalnya, Kraeplin menyebut gangguan ini sebagai dementia precox. Akan tetapi, berbagai simptom atau gejala yang muncul tidak lagi cocok akan definisi Kraeplin. Bleuler-lah yang kemudian mengenalkan istilah schizophrenia untuk gangguan ini. Hingga saat ini, gangguan ini merupakan gangguan mental yang dianggap paling parah.

Definisi
Skizofrenia adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “schizein” (terpisah atau pecah) dan “phrenia” (jiwa). Arti dari kedua kata ini menjelaskan karakteristik utama sekaligus definisi dari gangguan ini, yaitu adanya pemisahan emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Gangguan ini termasuk dalam gangguan psikotik karena salah satu ciri utamanya adalah kegagalan untuk berhubungan dengan kehidupan nyata (reality testing).

Simtom-simptom
Kemunculan simptom gangguan ini biasanya dimulai pada masa remaja akhir ataupun dewasa muda, dengan kecenderungan terjadi lebih awal pada pria. Akan tetapi, banyaknya kasus tidak menunjukkan adanya perbedaan prevalensi antara pria dan wanita.
Beberapa simtom yang muncul pada klien dengan gangguan ini melibatkan gangguan pada berbagai area atau fungsi tubuh utama. Beberapa fungsi tersebut diantaranya fungsi untuk mempersepsikan dan memberi atensi, motorik, afek atau emosi, dan fungsi hidup lainnya. Menurut Bleuler (dalam Fausiah, 2005), ada empat simtom dasar (primer) dari gejala ini, yaitu Asosiasi, Afek, Autisme, dan Ambivalensi. Sedangkan, halusinasi dan delusi merupakan simtom sekundernya.
Lain halnya dengan Bleuler, Davison, Neale & Kring (2001) menyebutkan bahwa ada tiga simtom utama dari gangguan ini. Berikut ini penjelasan ketiga simtom tersebut:
Simtom Positif
Simtom ini ditandai dengan adanya pikiran, perasaan, dan perilaku yang berlebihan dan biasanya tidak terdapat pada orang normal. Ada dua hal yang termasuk dalam simtom positif ini, yaitu:



Delusi / Waham
Merupakan suatu keyakinan yang salah ataupun bertentangan dengan kenyataan. Orang dengan gangguan ini biasanya tidak akan mengubah keyakinannya tersebut meskipun telah terdapat bukti-bukti yang menyangkal keyakinannya tersebut. Beberapa penjelasan mengenai bentuk delusi adalah sebagai berikut:
- klien percaya bahwa pikirannya bukanlah pikirannya sendiri, melainkan milik orang lain / sumber ekternal yang menempatkan pikiran tersebut padanya
- merasa bahwa pikirannya seolah disiarkan atau terdengar oleh orang lain sehingga ia merasa -semua orang mengetahui apa yang sedang dipikirkannya
- mengalami kecemasan bahwa pikirannya telah dicuri
percaya bahwa pikiran ataupun perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya

Halusinasi / Gangguan persepsi lainnya
Merupakan penghayatan yang dialami melalui panca indera, tetapi tanpa adanya stimulus eksternal. Hal ini membedakannya dengan ilusi di mana stimulusnya nyata dan yang terjadi adalah kesalahan dalam mempersepsikan stimulus tersebut. Beberapa jenis halusinasi adalah auditorik, visual, olfaktori, haptic, dan liliput. Diantara berbagai jenis halusinasi, auditorik adalah yang paling sering dialami klien dengan gangguan skizofrenia.
Adapun beberapa bentuk halusinasi, antara lain:
- klien merasa mendengar pikirannya sendiri diungkapkan atau dikatakan oleh suara orang lain
- mendengar suara-suara yang beradu argumen atau bertengkar
- mendengar suara-suara yang mengomentari / mengkritik perilaku klien tersebut

Simtom Negatif
Simptom ini ditandai dengan adanya defisit perilaku. Klien dengan gangguan ini tidak dapat menampilkan perilaku yang seharusnya dilakukan oleh orang normal. Beberapa simtom yang termasuk dalam simptom ini adalah:




Avolition / apathy
simtom ini merujuk pada kurangnya energi dan tidak adanya minat ataupun kemampuan untuk melakukan berbagai aktivitas rutin, seperti membersihkan diri. Biasanya orang dengan simtom ini menghabiskan banyak waktunya hanya untuk duduk dan tidak melakukan apa-apa.




Alogia
Merupakan gangguan berpikir yang negatif. Beberapa bentuknya adalah kurangnya pembicaraan sehingga cenderung berdiam diri, sedangkan pada kurangnya isi pembicaraan klien akan tetap berbicar seperti biasa, tetapi hanya memiliki sedikit informasi yang benar-benar berarti.




Anhedonia
Simtom ini membuat orang kehilangan kemampuan untuk merasakan kesenangan. Hal ini diwujudkan melalui kurangnya minat untuk melakukan rekreasi, kegagalan untuk mengembangkan hubungan yang dekat dengan orang lain, serta tidak adanya ketertarikan pada sex.


Flat affect
Pada klien dengan simptom ini, biasanya tidak ada stimulus apa pun yang dapat memunculkan respon emosional dari klien. Klien biasanya hanya bisa menatap kosong dan saat berbicara suaranya terdengan datar dan tanpa perbedaan intonasi. Meski demikian, didapati bahwa sesungguhnya mereka masih bisa merasakan berbagai emosi seperti yang dirasakan oleh orang normal, hanya saja mereka tidak bisa mengekspresikannya.




Asociality
Beberapa klien dengan gangguan skizofrenia memiliki kerusakan yang parah dalam hubungan sosialnya. Mereka hanya memiliki sedikit ketertarikan untuk berelasi dengan oran lain sehingga akibatnya mereka hanya memiliki sedikit teman. Simtom ini biasanya yang pertama kali muncul sebelum simtom-simtom lain yang lebih psikotik.

Simtom Tak terorganisasi (Disorganized Symptoms)
Pembicaraan yang tak terorganisasi (Disorganized Speech)
Simtom ini meliputi masalah dalam pengorganisasian ide-ide dan dalam berbicara. Ada inkoherensi yang ditemukan ketika berbicara dengan klien yang memiliki gangguan skizofrenia. Pembicaraan juga terganggu oleh loose associations atau derailment, yaitu keadaan saat klien dapat melakukan pembicaraan secara normal, tetapi mengalami kesulitan untuk fokus pada satu topik tertantu. Klien akan cenderung berganti topik terus menerus dan akhirnya tidak dapat mengemukakan topik awal yang sebenarnya hendak disampaikan.




Bizarre Behavior
Perilaku aneh yang ditampilkan dapat nampak dalam berbagai bentuk. Pada dasarnya mereka kehilangan kemampuan untuk mengorganisasikan perilakunya agar dapat sesuai dengan standar masyarakat sekitarnya.

4. Simtom Lainnya
Ada dua simtom lainnya dari gangguan skizofrenia yang tidak sesuai dengan berbagai definisi simtom yang telah dijelaskan di atas. Oleh karenanya dikelompokkan pada bagian ini.




a. Catatonia
Merupakan beberapa abnormalitas yang terjadi pada sistem motorik. Klien yang mengalami simtom ini dapat melakukan suatu gerakan secara berulang-ulang. Gerakan ini nampak aneh dan melibatkan rangkaian yang kompleks dari berbagai organ tubuh seperti jari, tangan, dan lengan. Meski demikian gerakan-gerakan ini nampak berguna. Selain gerakan yang dilakukan berulang-ulang, terdapat juga yang disebut dengan catatonic immobility. Ketika mengalami hal ini klien hanya akan diam saja dalam satu posisi yang aneh dan mempertahankan posisi ini untuk jangka waktu yang lama. Bahkan tak jarang orang lain dapat memindahkan posisinya ke bentuk lain yang kemudian akan dipertahankan klien secara terus menerus. Hal ini disebut sebagai waxy flexibility.




b. Inappropriate Affect
Respon emosional yang diberikan oleh klien dengan simtom ini tidak sesuai dengan emosi yang dirasakan. Sebagai contoh seseorang dengan simtom ini justru akan tertawa terbahak-bahak ketika mendengar ibunya meninggal. Selain itu, klien juga seringkali berpindah dari suatu keadaan emosi ke emosi yang berlawanan secara ekstrim tanpa alasan yang jelas.

Kriteria gangguan skizofrenia menurut DSM-IV-TR
Beberapa kriteria untuk mendefinisikan suatu gangguan merupakan gangguan kepribadian skizofrenia menurut Davison, Neale & Kring (2001) adalah:
1. memiliki dua atau lebih dari simtom-simtom berikut ini sekurang-kurangnya selama 1 bulan, yaitu delusi, halusinasi, pembicaraan yang tak terorganisasi, perilaku katatonik atau tak terorganisasi, dan simtom negatif.
2. penurunan fungsi sosial dan pekerjaan sejak munculnya onset perilaku
3. ada tanda-tanda gangguan selama sekurang-kurangnya 6 bulan

Kategori / Jenis Gangguan Skizofrenia
Menurut Davison, Neale & Kring (2001) ada beberapa jenis / kategori dari gangguan skizofrenia, yaitu:
1. Disorganized Schizophrenia
Ditandai dengan adanya kesulitan untuk berbicara atau mengorganisasikan kata-kata sehingga sulit bagi pendengar untuk mengerti apa yang dibicarakan. Terkadang diiringi dengan kekonyolan atau tawa. Selain itu, klien dengan gangguan ini juga memiliki simtom afek datar ataupun perpindahan emosi yang drastis. Pada dasarnya muncul simtom-simtom yang tidak terorganisasi, tanpa diikuti dengan simtom yang tergolong katatonik.




2. Catatonic Schizophrenia
Untuk dapat digolongkan pada jenis ini, pada klien harus nampak simtom katatonik yang telah disebutkan sebelumnya. Klien dapat berpindah dari catatonic immobility ataupun pergerakan yang berlebihan. Seringkali jenis ini terlihat karena penggunaan terapi obat-obatan (drug therapy)




3. Paranoid Schizophrenia
Jenis ini ditandai dengan munculnya delusi. Salah satu yang paling sering muncul adalah persekusi, tetapi bisa juga mengalami grandiose delusions, di mana klien melebih-lebihkan kepentinga, kekuatan, pengetahuan, ataupun identitasnya. Selain itu, juga terdapat delusional jelousy yang menganggap pasangan seksual mereka bersikap tidak setia. Perlu ditekankan bahwa pada klien dengan jenis gangguan ini tidak terjadi gangguan pada sistem bicara.


4. Undifferentiated Schizophrenia
Klien dikategorikan pada jenis ini jika memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi tidak untuk ketiga kategori yang telah disebutkan sebelumnya.




5. Residual Schizophrenia
Jika seorang klien tidak memenuhi seluruh kriteria dari salah satu kategori dari ketiga kategori yang pertama kali disebutkan tetapi masih menunjukkan tanda-tanda gangguan skizofrenia, maka klien tersebut disebut sebagai klien dengan gangguan jenis residual ini.

ETIOLOGI SCHIZOPHRENIA

MODEL DIATESIS STRESS
Teori ini mengintegrasikan faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Beranggapan bahwa seseornag mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis), yang jika diaktifkan oleh pengaruh stress, akan memungkinkan berkembang skizofrenia. Stressor atau diatesis ini mungkin bersifat biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (seperti situasi kematian orang terdekat).

Sudut Pandang Biologis
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun, sampai saat ini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya skizofrenia. Penelitian pada beberapa dekade terakhir mengindikasikan peran patofisiologis dari area tertentu di otak; termasuk sistem limbik, kirteks frontal dan ganglia basalis.
Kemungkinan dari abnormalitas otak ini salah satunya adalah terjadinya kerusakan pada proses kelahiran atau pada saat kelahiran bayi. Banyak penelitian menunjukkan rating yang tinggi pada individu yang mengalami gangguan skizofrenia bahwa mereka mengalami komplikasi pada saat proses kelahiran mereka. Komplikasi tersebut mungkin menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke otak sehingga mengakibatkan hilangnya kortikal abu-abu. Kemungkinan lainnya adalah adanya virus yang menyerang otak dan merusak otak pada saat perkembangan janin dalam kandungan.



Hipotesis Dopamin
Menurut hipotesis ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter Dopaminergic. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, meningkatnya jumlah reseptor dopamin, turunnya nilai ambang atau hipersensitivitas reseptor dopamin, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

Sudut Pandang Genetik
Penelitian yang dilakukan melalui family studies, twin studies dan adoption studies menunjukkan bukti adanya komponen genetik dalam pewarisan skizofrenia.



Family Studies
Pewarisan predisposisi genetik pada pasien skizofrenia, telah terbukti melalui beberapa penelitian tentang keluarga dan skizofrenia.

Sudut Pandang Psikososial
1. Teori tentang Individu Pasien
Teori Psikoanalitik
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Menurut Freud, kerusakan ego (ego deficit) memberikan kontribusi terhadap munculnya simtom skizofrenia. Sedangkan menurut Sullivan, gangguan skizofrenia disebabkan karena kesulitan interpersonal yang terjadi sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan pola pengasuhan ibu yang salah, yaitu cemas berlebihan.
Secara umum, dalam pandangan ini, gangguan terjadi akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara ibu dan anak (bayi).




Teori Psikodinamik
Pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas terhadap berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama masa kanak-kanak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal.
Simtom positif diasosiakan dengan onset akut sebagi respon terhadap faktor pemicu dan memiliki kaitan yang erat dengan adanya konflik.
Simton negatif berkaitan erat dengan faktor biologis dan memiliki karakteristik absennya perilaku/fungsi tertentu.
Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin timbul akibat konflik intrapsikis, namun mungkin juga berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.




Teori Belajar
Menurut teori ini, anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi dan cara berpikir yang tidak rasional dengan mengimitasi orang tua yang juga memiliki masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien skizofrenia berkembang karena pada masa kanak-kanak mereka belajar dari model yang buruk.

2. Teori tentang keluarga
Beberapa pasien skizofrenia, berasal dari keluarga yang disfungsi. Selain itu, perilaku keluarga yang patologis dapat meningkatkan stress emosional pada pasien skizofrenia. Perilaku keluarga yang patologis tersebut, antara lain:



Double-Bind
Keluarga dimana anak menerima pesan yang bertolak belakang dari orangtua yang berkaitan dengan perilaku, sikap maupun perasaannya.



Schisms and Skewed Families
Pada pola keluarga schisms, terdapat perpecahan yang jelas antara orangtua. Sehingga salah satu orangtua akan menjadi sangat dekat dengan anak yang berbeda jenis kelaminnya. Sedangkan pada pola keluarga skewed, hubungan skewed melibatkan perebutan kekuasaan dan dominasi dari salah satu orang tua.



Pseudomutual and Pseudohostile Families
Dimana keluarga men-supress ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang pseudomutual atai pseudohostile secara konsisten. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang salah dari orangtua dapat menjadi salah satu penyebab dari gangguan skizofrenia.



Ekspresi Emosi
Banyak penelitian yang menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dapat meningkatkan relapse pada pasien skizofrenia.

3. Teori Sosial
Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Selain itu, persentase paling tinggi pasien skizofrenia ditemukan pada penduduk yang tinggal di tengah kota dan berada pada kelas sosial ekonomi rendah.




The Sociogenic Hypotesis
Stressor dikaitkan dengan keberadaan pada kelas sosial ekonomi yang rendah dapat mengakibatkan atau memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia. Perilaku yang berbeda yang diterima individu dari orang lain, rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya penghargaan dan kesempatan, menjadikan semua hal tersebut menjadi pengalaman yang stresful dan dapat mengakibatkan individu, yang telah memiliki predisposisi skozofrenia, mengembangkan skizofrenia.



Social-selection Theory
Selama berkembangnya psikosis, individu dengan skizofrenia dapat tersingkir ke daerah miskin yang tersisihkan dari kota. Berkembangnya permasalahan pada kognitif dan emosional, mengakibatkan lumpuhnya kemampuan individu tersebut agar dapat hidup ditempat lain. Atau mereka memilih untuk tinggal di suatu area dimana terdapat sedikit tekanan sosial yang mereka terima dan mereka dapat melarikan diri dari hubungan sosial yang intens.