Pembuka
Salah satu karakteristik yang menunjukkan bahwa kita adalah manusia normal adalah adanya kemampuan untuk mengekspresikan, menerima, dan merasakan emosi. Untuk dikategorikan normal, tentu saja, emosi-emosi tersebut harus ditunjukkan dalam situasi dan kondisi yang sesuai. Apabila anda senang dan bahagia saat mendengar suatu berita buruk, atau menangis kesal dan tersedu-sedu ketika mendapat kabar bahwa anda memenangkan hadiah sebuah rumah mewah, berarti mungkin saja ada sesuatu yang abnormal pada diri anda.
Orang awam lebih mengenal "emosi" dengan kata-kata seperti marah, sedih, senang, bahagia, takut, dan lain sebagainya. Saya yakin, bila diminta untuk menyebutkan emosi-emosi lain selain yang telah saya sebutkan, maka anda dapat melakukannya dengan mudah. Namun, sebenarnya bagaimanakan emosi tersebut "terbentuk" dan faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh?.
Regulasi Emosi
Tahap-tahap proses terjadinya emosi yang melatari pengalaman dan perilaku emosional menurut Frijda (1986) adalah sebagai berikut :
1. Stimulus: stimulus diterima dan dikodekan
2. Komparator: terjadi penilaian relevansi stimulus, yang dinamakan penilaian primer dan merupakan hasil perbandingan antara peristiwa sebagaimana dipersepsi oleh individu dengan kepedulian individu.
3. Pendiagnosis: melakukan evaluasi selanjutnya dari stimulus sebagai keseluruhan dalam kaitannya dengan apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan individu, yang disebut evaluasi konteks atau penilaian sekunder.
4. Evaluator: melakukan evaluasi atas semua masukan dibandingkan dengan informasi yang telah ada sebelumnya. Perbandingan tersebut menjadi isyarat untuk terjadinya interupsi perilaku yang sedang berlangsung atau terpecahnyaperhatian individu dari perilaku tersebut, yang disebut juga control precedence.
5. Perubahan Kesiapan Aksi: merupakan ciri utama dari control precedence, yang dapat terjadi suatu rencana tindakan atau terjadi modus aktivasi tertentu.
6. Timbulnya Perubahan Faali: masukan dari tahap perubahan kesiapan aksi menimbulkan perubahan faal dan seleksi aksi yang dapat dilakukan, yang ditentukan oleh modus aktivasi dan regulasi.
Regulasi terjadi karena ada norma-norma yang sudah diinternalisasi individu, dan norma-norma lain yang ada pada saat itu.
Frijda (1986) mengatakan bahwa pengalaman emosi dapat disadari melalui dua cara, yaitu :
1. Reflektif (Penilaian Sekunder)
Pengalaman reflektif adalah hasil intropeksi dari suatu yang telah berlangsung, dimana yang menjadi pusat perhatian aedalah kesadaran itu sendiri dan obyek pengalaman direduksi menjadi penginderaan.
2. Irreflektif (Penilaian Primer)
Dalam pengalaman irreflektif yang menjadi fokus adalah kegiatan kesadaran yang terarah pada obyek. Misalnya pada situasi yang menimbulkan emosi takut, subyek memandang situasi secara langsung atau intuitif sebagai sesuatu yang mengancam kesejahteraan dirinya tanpa melakukan penalaran sistematik.
Dapat dikatakan bahwa pengalaman reflektif lebih disadari oleh subyek dibandingkan dengan pengalaman irreflektif.
Selanjutnya Frijda (1986) mengatakan bahwa terdapat tiga jenis komponen penilaian situasi yang berkaitan dengan jenis-jenis pengalaman emosi, yaitu :
1. Komponen Inti
Merupakan komponen yang dapat menjelaskan apakah situasi merupakan situasi emosional atau tidak, yang menyangkut relevansi emosional dan menjadi bagian pengalaman emosi itu sendiri.
2. Komponen Konteks
Komponen ini memberi ciri pada struktur arti situasi yang menentukan sifat emosi, yaitu emosi apa yang akan muncul dan seberapa kuat intensitasnya. Selain itu, komponen ini juga menyangkut apa yang menurut subyek dapat ia lakukan atau tidak dapat dilakukan terhadap situasi.
3. Komponen Obyek
Komponen ini berkaitan dengan sifat obyek yang menimbulkan emosi. Contoh komponen obyek yang diberikan oleh Frijda (1986) antara lain adalah :
a. ego sebagai obyek
Misalnya dalam emosi malu, yaitu subyek menilai dirinya sendiri dan bagaimana orang lain memandang dirinya.
b. obyek fate vs subject fate
Yang dinilai adalah apakah emosi tersebut mempengaruhi kesejahteraan diri sendiri atau kesejahteraan orang lain
MARAH
Marah, menurut Izard dalam Plutchik (1994), termasuk ke dalam 8 emosi dasar, yaitu takut marah, bahagia, menarik (interest), jijik, terkejut (surprise), malu, terhina (contempt), distress, dan guilt. Selain itu Plutchik (1994) juga menyatakan bahwa yang termasuk 8 emosi dasar, marah, takut, sedih, bahagia, jijik, antisipasi (anticipation), dan terkejut (surprise). Sedangkan menurut Epstein dalam Plutchik (1994), terdapat 5 emosi dasar, takut, marah, sedih, bahagia, dan cinta. Melalui penjelasan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa marah merupakan salah satu dari beberapa emosi dasar.
Marah menimbulkan dorongan untuk menyerang menurut Lazarus & Lazarus (1984). Emosi marah ini dapat ditimbulkan karena adanya penghinaan terhadap diri sendiri serta hal-hal yang dimiliki oleh diri. Namun, keadaan yang dianggap sebagai penghinaan tidak selalu merupakan kejadian yang dialami sendiri oleh individu.
Persepsi terhadap suatu keadaan sebagai penghinaan atau bukan tergantung pada beberapa hal, yaitu orang lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut dan perasaan aman akan identitas diri. (Lazarus & Lazarus, 1994). Realisasi emosi marah ke dalam bentuk perilaku dapat dipengaruhi oleh adanya pandangan mengenai keadaan diri dan lingkungan sosialnya. Hal tersebut berkaitan dengan standar sosial yang telah diinternalisasikannya.
Ekman dan Friesen (1975) menjelaskan berbagai hal yang dapat merangsang timbulnya emosi marah, diantaranya gangguan terhadap aktivitas atau pencapaian tujuan. Selain itu, marah juga dapat ditimbulkan oleh ancaman fisik dan tingkah laku atau perkataan orang lain yang menyakiti secara psikologis. Emosi marah berkaitan dengan kegagalan seseorang untuk memenuhi harapan yang kita inginkan dan kemarahan orang lain ditujukan kepada kita.
Emosi marah, menurut Frijda, Kuipers, dkk (1989) merupakan suatu emosi yang didominasi kesiapan untuk beraksi. Dari penelitian yang mereka lakukan, disimpulkan bahwa ada dua unsur dalam emosi marah, yaitu unsur bergerak melawan atau moving against (kecenderungan untuk antagonis seperti menyerang atau beroposisi) dan boiling inwardly (mendidih di dalam).
Pengaruh Peran Gender (Gender-Role) Terhadap Regulasi Emosi Marah
Peran gender adalah tingkah laku, minat, sikap, kemampuan, dan sifat yang dalam kebudayaan tertentu dianggap sesuai dengan jenis kelamin seseorang (Papalia, Olds, & Feldman). Dalam masyarakat, perempuan mendapat peran yang bersifat ekspresif, yaitu peran yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan hubungan dengan orang lain (Wrightsman, dalam Indryastuti, 1998). Menurut Gershung (dalam Indryastuti, 1998), perempuan dianggap memiliki sifat-sifat feminin, yang sebagian di antaranya adalah inkompeten, submisif, tergantung, dan ragu-ragu/malu-malu.
Dalam pembuatan Bem Sex-Role Inventory (dalam Baron & Byrne, 2000), partisipan penelitian menyebutkan lebih dari 400 sifat yang menurut mereka sesuai (socially desirable) masing-masing bagi perempuan dan laki-laki. Di antara 20 karakter perempuan tersebut terdapat karakter-karakter seperti “tidak menggunakan kata-kata kasar”, “berbicara dengan halus”, “lembut”, “simpatik”, dan “penuh pengertian”.
Dengan karakter demikian yang dianggap sesuai bagi perempuan di masyarakat, sangat mungkin bahwa perempuan mengalami kesulitan dalam mengekspresikan kemarahannya. Menurut Lerner (dalam Indryastuti, 1998), kebanyakan perempuan takut mengekspresikan kemarahan mereka secara efektif dan langsung. Ekspresi kemarahan yang terbuka dan langsung membuat seorang perempuan terlihat bertingkah laku tidak pantas bagi perempuan terhormat, tidak feminin, tidak keibuan, dan tidak menarik secara seksual (Tavris, dalam Indryastuti, 1998).
Dengan demikian, regulasi emosi marah yang terjadi pada seorang perempuan hanya akan terjadi sampai tahap generator kesiapan aksi. Jika kemarahan tersebut diregulasi sampai pada tingkah laku overt, amat mungkin tingkah laku tersebut telah dikurangi atau dipalsukan.
Pengalaman emosi (kasus teman wanita penulis) :
Pengalaman emosi marah, saya alami kira-kira pada saat ujian tengah semester kedua. Kejadiannya; ada dua orang sahabat saya sedang main ke rumah dan memang hari sudah malam. Kedatangan mereka membuat saya senang karena menjadi hiburan setelah penat belajar untuk ujian. Bingung memilih tempat ngobrol karena di bawah masih ada orang tua tetapi karena pertimbangan tidak ada tempat yang private lagi, maka saya tetap mengajak keduanya ke kamar saya. Sempat terpikir apakah sopan mengajak mereka masuk ke kamar karena salah satu teman saya yang datang adalah laki-laki, maka pintu kamar pun tidak ditutup.
Namun, malam itu kakak tertua saya yang telah menikah sedang mengalami maasalah dan menginap sementara di rumah kami. Dengan emosi dan perasaan yang mungkin sedang kalut, ia mudah sekali marah. Ketika sedang asyiknya mengobrol di kamar, teman saya yang laki-laki permisi keluar sebentar untuk menelepon. Tiba- tiba kakak saya memanggil saya keluar, dan mengatakan bahwa ia telah menegur teman laki-laki saya agar tidak masuk ke dalam kamar saya. Saya mungkin setuju dengannya, tetapi yang sangat saya sayangkan adalah ia menegur teman laki-laki saya dengan nada yang tidak sopan dan sepertinya menyinggung perasaan teman saya.
Merasa kesal, saya langsung menanyakan hal tersebut baik-baik kepadanya, tetapi ia membalasnya dengan nada marah dan langsung menghampiri saya. Saya tidak marah ia memperingatkan seperti itu, tetapi kenapa ia tidak bicara dahulu dengan saya. Mungkin dalam pengaruh stress menghadapi UTS, emosi marah saya juga ikut terpancing, sehingga pintu kamar pun saya pukul sebagai tindakan protes. Selanjutnya, kami pun saling berteriak menyalahkan, tidak berlangsung lama saya pun akhirnya menangis sejadi-jadinya. Teman-teman saya yang pada saat itu masih ada langsung menghampiri dan menenangkan saya. Perasaan yang ada dalam hati saya adalah marah, lega, sedih, sekaligus yang terutama malu.
Analisis Kasus
Pada ilustrasi kasus di atas, subyek yang mengalami emosi marah adalah wanita, dapat dilihat bahwa pada diri subyek telah terjadi regulasi emosi, yaitu :
Stimulus: Sang kakak menegur teman subyek dengan cara yang kurang baik.
Komparator: Subyek menilai situasi tresebut tidak sepantasnya dilakukan oleh sang
kakak, dan karena subyek merasa sngat tidak enak dengan temannya
tersebut.
Pendiagnosis : Pada tahap ini, subyek melakukan evaluasi terhadap stimulus, dalam
kaitannya dengan apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilakukan
oleh subyek.
Evaluator: melakukan evaluasi atas semua masukan dibandingkan dengan informasi yang telah ada sebelumnya, yang kemudian memunculkan emosi marah pada diri subyek
Perubahan Kesiapan Aksi: mendorong subyek untuk berteriak, mengeluarkan air mata,
dan memukul pintu.
Timbulnya Perubahan Faali : -
Dari uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa regulasi emosi marah yang terjadi pada diri subyek hanya terjadi sampai tahap generator kesiapan aksi. Jika kemarahan tersebut diregulasi sampai pada tingkah laku overt, amat mungkin tingkah laku tersebut telah dikurangi atau dipalsukan. Hal tersebut terjadi karena menurut Lerner (dalam Indryastuti, 1998), kebanyakan perempuan takut mengekspresikan kemarahan mereka secara efektif dan langsung. Ekspresi kemarahan yang terbuka dan langsung membuat seorang perempuan terlihat bertingkah laku tidak pantas bagi perempuan terhormat, tidak feminin, tidak keibuan, dan tidak menarik secara seksual (Tavris, dalam Indryastuti, 1998). Dalam kasus ini, mungkin subyek merasa takut dipandang buruk oleh teman-temannya apabila ia mengekpresikan emosi marahnya secara berlebihan.