Kota-kota besar di berbagai belahan dunia ini selalu bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, kota besar adalah sebuah kota yang sering kali menjadi pusat dari segala kegiatan, seperti pusat pendidikan, pusat budaya, maupun pusat pemerintahan, namun di sisi lain kota besar juga menyimpan berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang umumnya terdapat di kota besar, adalah biaya hidup yang tinggi, tingginya tingkat kriminalitas, tingginya tingkat pengangguran, kesenjangan hidup antara kaya dan miskin yang besar, dan lain sebagainya. Kota Jakarta sebagai salah satu kota besar dunia tidak terlepas dari dua sisi mata uang tersebut. Pada satu sisi Jakarta terkenal dengan kemajuan pembangunannya sehingga mengundang banyak orang berurbanisasi ke kota ini, namun di sisi lain kota Jakarta juga menyimpan berbagai masalah yang tak kunjung terselesaikan. Saputra (dalam www.beritaiptek.com, 2007) menyebutkan bahwa Jakarta, yang merupakan barometer kota-kota besar di Tanah Air, seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan pengelolaan kota yang baik, yang menyediakan kenyamanan tempat tinggal, berkarya dan berinteraksi antar anggota masyarakatnya. Namun, kondisi tersebut nampaknya masih jauh dari kenyataan. Beban pencemaran yang semakin berat didukung oleh tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi, pengangguran, sarana transportasi massal yang minim pelayanan, dan sarana atau fasilitas umum yang semakin langka menjadikan Jakarta dapat dikatakan berat untuk menyandang kota yang manusiawi.
Salah satu Permasalahan cukup mencolok yang terdapat di kota Jakarta adalah masih tingginya jumlah warga Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah tersebut semakin meningkat sejak Indonesia ditimpa oleh krisis ekonomi pada tahun 1998. Selain meningkatnya jumlah penduduk miskin, Fajriati (dalam www.jejak.htmlplanet.com) menyebutkan bahwa krisis tersebut juga menyebabkan hampir 30 persen dari semua anak-anak usia sekolah di Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Anak-anak putus sekolah mulai bermunculan. Sebagai akibatnya, di kota-kota besar, termasuk Jakarta bermunculan anak-anak yang bekerja menjadi loper koran, pembersih kaca mobil, pengamen, 'polisi cepek' dan juga pengemis. Mereka bekerja, atau lebih tepatnya dipekerjakan, dengan alasan untuk membiayai sekolah. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam mengatasi masalah anak-anak putus sekolah ini. Akhir tahun 1998, Pemerintah menggandeng Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang akhirnya menyuntikkan dana sebesar US$ 133 juta atau sekitar 1,4 trilyun rupiah (nilai saat itu). Pemerintah menggunakan dana ini untuk membiayai program pendidikan bagi anak putus sekolah, yang kemudian dikenal dengan program 'Ayo Sekolah'. Selain itu, Pemerintah juga membebaskan SPP bagi siswa-siswa yang tergolong rawan ekonomi. Namun, di Indonesia,- khususnya di kota-kota besar- anak-anak jalanan yang berprofesi dari pengemis hingga pengamen justru semakin banyak. Pembebasan SPP, Program Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN OTA), dan beasiswa tidak mendorong anak-anak kembali ke bangku sekolah. Tekanan ekonomi inilah yang mungkin mendorong mereka ke jalanan. Situs www.ypha.or.id menyebutkan bahwa jumlah siswa putus sekolah di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Jakarta masih tinggi. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) DKI Jakarta tahun ajaran 2006/2007, sebanyak 1.002 siswa SD dan 2.172 siswa SMP negeri dan swasta dinyatakan tidak melanjutkan pendidikan. Menurut situs tersebut pula, banyak siswa dari keluarga tidak mampu memutuskan berhenti sekolah karena harus membantu ekonomi keluarga. Fenomena tersebut, lanjutnya, bisa disebabkan orangtua siswa terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara mendadak, atau usaha orang-tuanya yang bangkrut, sehingga anggaran untuk biaya pendidikan anaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain ekonomi, faktor individu seperti minat anak untuk sekolah juga dapat menjadi penyebab siswa putus sekolah
Di tengah permasalahan makin tingginya anak putus sekolah tersebut masih terdapat orang-orang yang mau meluangkan harta, waktu, dan tenaga untuk meringankan masalah tersebut, yaitu dengan mendirikan sekolah yang tidak memungut biaya kepada anak didiknya (gratis). Tambahan lagi, pendiri sekolah tersebut terkadang mrangkap pula sebagai pengajar sekaligus orang tua asuh bagi anak-anak tersebut. Salah satunya adalah Yayasan Himmata (http://himmata.org/), sebuah yayasan yang didirikan oleh salah satu sahabat saya, Bapak H. Siswandi, yang memberi ruang bagi anak-anak bangsa yang kurang beruntung untuk dapat ikut serta merasakan nikmatnya mendapatkan pendidikan. Anak-anak tersebut tentunya tidak dipungut biaya apapun namun tetap mendapatkan fasilitas-fasilitas yang cukup menunjang dalam jalannya kegiatan ajar mengajar. Terletak di daerah plumpang, Yayasan Himmata didukung penuh oleh para penyandang dana, baik perorangan maupun kolektif. Saat menyempatkan diri untuk mengunjungi Yayasan tersebut, penulis sempat merasa amat kecil. Mengapa? Karena dengan segala kenikmatan yang saya punya, kadang-kadang masih saja merasa kurang. Sedangkan di tempat tersebut, saya melihat bahwa masih banyak orang-orang yang jauh lebih kekurangan daripada saya. Yang membuat saya lebih kecil lagi, bahwa ternyata pandangan skeptis saya bahwa di dunia ini tidak ada lagi orang baik adalah salah besar. Di tempat tersebut saya melihat bagaimana orang-orang pengurus yayasan bekerja ikhlas dengan satu niatan dasar, yaitu membantu orang lain, dalam hal ini anak-anak putus sekolah. Dalam benak kemudian mucul pertanyaan, ”untuk apa mereka melakukan semua ini? Mencurahkan tenaga dan pikiran ”hanya” untuk membantu orang lain? Apa yang mereka cari?.”
Setelah beberapa waktu berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya menemukan penjelasan subyektif, yang mungkin tidak dapat memuaskan orang lain kecuali saya sendiri. Menurut pemikiran saya, ada beberapa hal yang dapat dikedepankan sebagai alasan orang-orang tersebut memutuskan untuk mendirikan sekolah gratis. Salah satu alasan yang mungkin adalah orang-orang tersebut mencoba menemukan makna hidup dengan membantu sesama. Menurut Bastaman (2007), makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Ditambahkan olehnya apabila makna hidup berhasil ditemukan dan dipenuhi maka akan menyebabkan kehidupan sebagai sesuatu yang berarti dan berharga. Apabila kita berbicara mengenai makna hidup maka tak dapat dilepaskan dari Victor Frankl, seorang neuro-psikiater yang menemukan dan mengembangkan logoterapi (Frankl, 2006). Dalam bahasa Yunani. Logoterapi berasal dari kata Yunani yang “logos” berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi memandang bahwa makna hidup (meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful life) (Bastaman, 2007).
Hal yang dilakukan oleh orang-orang yang mendirikan sekolah gratis ini, dapat dikategorikan ke dalam creative values (Bastaman, 2007) dan self transcendence (Rekker, dalam Tri, 2001) mengenai sumber-sumber makna hidup, artinya orang-orang tersebut dapat menemukan maka hidupnya dengan bekerja dan berkarya, serta dengan mendirikan sekolah gratis berarti mereka telah membantu sesama, yaitu anak-anak kurang mampu dalam hal ekonomi yang putus sekolah Perlu dijelaskan bahwa bekerja dan berkarya tersebut hanya merupakan sarana, namun untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup tersebut tergantung pada pribadi yang bersangkutan dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu. Jadi, mereka mungkin menempatkan materi sebagai reward di urutan kesekian dan menempatkan rasa membantu antar sesame di urutan teratas. Luar Biasa apabila memang benar demikian. Niscaya apabila orang-orang di negara kita, atau bahkan dunia, dapat berlaku demikian, tentu saja bumi akan menjadi tempat yang jauh lebih nyaman untuk dihuni. Apa yang menjadi makna hidup anda?
.
2 comments:
Dunia Psikologi yg kita pelajari di kampus dengan dunia Himmata atau Kali Code...seperti langit dengan bumi. Ya anda akan makin kecil apalagi saat anda sudah berkecimpung melibatkan diri di dalamnya ketimbang saat kita memandangnya dari luar, malah bukan dengan mata kepala kita sendiri melainkan melalui perantara media cetak/elektronik.
Per, gw nemu link lo dari agregatornya anak elektro ITB 02. sadis pak, tenar nian dirimu sekarang. Eksissss... hihihi
Kangen membabi nih, kapan kita membabi lagi Pak?
Post a Comment