Monday, June 18, 2007

VJ # 8/VI/2007 : "TAUBAT"

Sebuah tulisan refleksi diri

Pada dewasa ini, semakin mudah saja kita menemukan manusia melakukan berbagai hal yang dilarang dalam ajaran-ajaran agama. Sebut saja seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, maraknya perjudian, penjualan minuman keras, perdagangan manusia, dan masih banyak lagi. Apabila penulis boleh menyebutkan, maka hal itu semua dapat terjadi karena manusia (yang melakukannya) tidak dapat mengontrol nafsunya sebagai makhluk hidup (yang memang menjadi fitrah manusia untuk mempunyai nafsu). Nafsu-nafsu tersebut antara lain seperti nafsu untuk menguasai, nafsu untuk memiliki segalanya, nafsu untuk mengeluarkan agresivitas, nafsu seksual, dan masih banyak lagi.
Pada dasarnya, manusia memang tidak berbeda jauh dengan hewan mengenai kepemilikan nafsu. Hanya yang membedakan, manusia diberikan anugrah tambahan untuk mengendalikan nafsu-nafsu tersebut. Yaitu dengan sesuatu yang disebut “akal”. Ya, akal. Dengan inilah (seharusnya) manusia menjadi beberapa tingkat di atas hewan dalam strata makhluk hidup. Akal-akal inilah (seharusnya) digunakan manusia untuk dapat membedakan nafsu jenis apa dan pada situasi kondisi seperti apa yang boleh disalurkan dalam kehidupannya. Akal-akal inilah (seharusnya ) dapat membuat manusia menjadi makhluk yang lebih mulia di hadapan Tuhan. Namun, ironis, akal-akal ini pulalah yang pada akhirnya mengantarkan manusia pada berbagai perilaku yang buruk karena penyaluran nafsu yang membabibuta.
Seperti telah disebutkan di atas, saat ini dapat dengan mudah kita menemukan berbagai peristiwa “nyeleneh” di berbagai media, baik media setak maupun elektronik. Ada Ayah memperkosa anaknya (nafsu seksual), anak membunuh ayahnya (nafsu agresivitas) istri membakar suami, atau sebaliknya (nafsu agresivitas), pejabat menguras uang rakyat lalu dengan mudahnya lepas dari hukum (nafsu memiliki segalanya), pembunuhan disertai dengan mutilasi hanya gara-gara kecemburuan (nafsu memiliki), dan lain sebagainya. Manusia seperti telah melepaskan kodratnya sebagai makhluk Tuhan, yang suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Manusia seperti telah lupa untuk menggunakan akalnya dan manusia seperti telah lupa dengan sesuatu yang disebut perbuatan dosa. Padahal tahu kah, bahwa pada ujung jalan, perbuatan dosa tersebut dapat membuat manusia menderita secara lahir dan batin?
Mengapa penulis menyatakan demikian?. Apa arti dari dosa itu?. Ash-Shiddieqy (2001) menjelaskan dosa sebagai menyalahi perintah-perintah Tuhan untuk meninggalkan suatu perbuatan maupun perintah untuk mengerjakan sesuatu. Perasaan berdosa dapat menyebabkan seseorang merasa negatif dan gelisah sehingga dapat timbul berbagai penyakit jiwa. Untuk mengatasinya, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan psikoterapi, yaitu dengan mengubah wawasan orang tersebut tentang berbagai pengalamannya sebelumnya yang menyebabkan timbul perasaan berdosa pada dirinya. Dengan wawasan baru tersebut, diharapkan orang yang mengalami perasan berdosa tersebut dapat mengurangi rasa penyalahan terhadap dirinya sendiri, yang pada akhirnya dapat menghilangkan perasan gelisah dan berbagai penyakit jiwa yang mungkin diderita.
Apabila kita menengok kepada agama, maka dalam agama Islam pun ditawarkan suatu metode yang dapat menyembuhkan perasaan berdosa. Metode tersebut, dalam kitab suci agama Islam, Al-Quran disebut dengan taubat (Najati, 2000). Ash-Shiddieqy (2001) memberikan pengertian taubat sebagai menyesal atas kesalahan dan dosa yang telah lalu, keluar dari kemungkaran, membersihkan kemungkaran pada diri kita dengan sebersih-bersihnya, lalu melaksanakan amal saleh. Salah satu ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan tentang taubat adalah Az-Zumar ayat 39, yang berbunyi :

”Katakanlah : Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS, Az-Zumar, 39 : 53)

Pada ayat di atas disebutkan bahwa taubat kepada Tuhan dapat membuat diampuninya berbagai dosa dan menguatkan diri manusia, sehingga dapat meredakan kegelisahan-kegeliasahannya. Taubat dapat mendorong manusia untuk memperbaiki dan meluruskan diri, sehingga tidak lagi terjerumus dalam kesalahan dan perbuatan dosa. Hal tersebut dapat membuat seseorang perhargaan dan kepercayaan diri sendiri, penerimaan diri, dan menimbulkan perasaan tenang dan tenteram dalam jiwa. Apabila seseorang benar-benar bertaubat, maka dirinya akan menjadi tenang, jiwa akan menjadi tenteram, dan perasaan berdosa yang menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan kepribadian akan sirna (Najati, 2000). Untuk dapat bertaubat maka Ash-Shiddieqy (2001) menyebutkan rukun-rukun taubat, yaitu perbuatan-perbuatan yang harus dipenuhi untuk menuju ketaubatan sempurna, yaitu :
1. Menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
2. Menyesali diri karena telah terlanjur melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
3. Berkemauan dan berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama (maksiat)
4. Meminta maaf dari yang mempunyai hak. Sesudah itu langsung mengerjakan dan memperjuangkan kebajikan
Dalam menjalankan rukun-rukun taubat, Najati (2000) menyebutkan terlebih dahulu seseorang harus percaya dan yakin bahwa Allah akan menerima, mengampuni dosa, dan tidak mengingkari janji-Nya. Keyakinannya tersebutlah yang akan mendorong ia untuk memohon ampunan kepada-Nya, dan menghindari tindakan-tindakan berdosa dengan harapan akan memperoleh ampunan Allah dan ridha-Nya.
Melihat penjabaran di atas maka sudah selayaknya kita manusia mulai merenungkan kembali mengenai perbuatan-perbuatan yang kita lakukan selama kita menghirup udara di dunia. Bila ditimbang, sudahkan kebaikan lebih berat dari perbuatan buruk?. Sudahkan kita merasa dekat dengan Tuhan?. Tidak heran apabila berbagai agama mengajarkan bahwa manusia harus senantiasa tunduk kepada Tuhan, maha pencipta alam. Betapa tidak. Manusia yang jelas-jelas telah khilaf dan berjalan jauh dari ajarannya senantiasa diberikan kesempatan untuk kembali kepada-Nya. Tak pernah lelah ia menunggu para ciptaan-Nya untuk tersadar. Jadi, kembalilah sebelum terlambat. Sebelum benar-benar dipanggil untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di dunia.

Wassalam,

Arya Verdi R.


REFERENSI

Ash-Shiddieqy, T.M.H. (2001). Al-Islam jilid 2. Semarang: Pustaka
Rizki Putra.

Najati, M. U. (2000). Al-Quran dan Ilmu Jiwa. Bandung : Penerbit Pustaka

No comments: