Knapa harus berjilbab??
Jilbab..
Pasti elo semua pernah mendengar tentang kata yang satu itu kan?..Jilbab mungkin di benak lo semua hanyalah sebuah pakaian yang merupakan simbol keagamaan dari agama Islam, dimana orang-orang yang memakainya haruslah seseorang yang telah siap lahir batin, telah mengetahui dan memahami tentang ajaran Islam, atau lebih ekstremnya, adalah orang-orang yang sudah menyerahkan dirinya ke kehidupan akhirat dan menomorduakan kehidupan duniawi.
Gue tidak mengatakan bahwa hal-hal yang disebutkan di atas adalah hal yang salah. Namun gue juga tidak menyebutkan bahwa hal tersebut sepenuhnya benar.
Simak kutipan berikut ini :
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka,atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
(QS. 24:31)
"Hai nabi katakanlah kepada istri2 mu,anak-anak Perempuanmu,danistri2 orang mukmin,hendaklah mereka memakai jilbabmereka,keseluruh tubuh mereka,supaya mereka lebihmudah utk dikenal,karena itu mereka tidak diganggu.DanAllah maha pengampun lagi maha penyayang" (surah al Ahzaab ayat 63) .
Sabda Rasulullah :
"Wahai Fatimah,perempuan itu bila sudahaqil baligh,maka tidak boleh lagi kelihatandaripadanya kecuali ini dan itu(sambil menunjut wajah dan dua telapak tangannya). (Hadist Rasulullah pada Fatimah Ra)
Get The Point??Kalau kita mencermati kedua kutipan di atas yang diambil dari Al-Quran serta Hadist Rasullulah SAW, maka jelas termaktub bahwa memakai Jilbab itu adalah wajib, atas perintah Allah, bagi setiap wanita Muslimah yang sudah aqil baligh.Mengapa dikatakan wajib? Karena jelas itu adalah perintah dari Allah SWT dan RasulNya. Nah atas dasar dua perintah diatas itulah makanya Jilbab wajib dipakai oleh kaum Muslimah yang sudah baligh, tanpa ada tawar menawar Sekedar berbagi aja ama lo lo semua, setelah cukup banyak membaca mengenai “fenomena” berjilbab ini, gue jadi tertarik untuk melakukan survey kecil2an (yang amat diragukan ke validannya) ke beberapa orang temen-temen main gue (muslimah) yang belum (sekali lagi, BELUM) berjilbab, mengenai alasan mereka untuk belum mengenakan jilbab. Berikut petikannya :
Gue : “knapa , oh, knapa??”
X1 : “Panaaass!!”
Gue : “Knapa sih?”
X2 : “Nanti saja berjilbabnya bila sudah menikah, sekarang mumpung belum ada Ikatan”
Gue : “why..why..why??”
X3 : “Belum siap mental” (jawaban mayoritas;red)
Gue : “Kalo elo knapa?”
X4 : “Wanita berjilbab aja masih banyak yang kelakuannya gak mencerminkan keislamannya, jadi gue memilih lebih baik gak make aja”
Gue : “n u?”
X5 : “Gue masih pacaran, jadi masih kelihatan orang,jadi nggak enak,kalau pakai jilbab,sementara kita pacaran,jadi enakan pakaian biasa saja dulu,ntar memalukan orang berjilbab lagi,dan merusak nama Islam,karena berjilbab kok pacaran?jadi pakailah saja dulu pakaian non muslimah ini”
Jawaban-jawaban di atas udah gue ambil berdasarkan jawaban terbanyak dari beraneka ragam jawaban lainnya. Kebetulan jawaban-jawaban ini sama persis dengan alasan-alasan muslimah belum berjilbab yang gue dapet dari situs www.mail-archive.com/rantau-net@rantaunet.com/msg08403.html. Nah, kalau lo semua mencermati kutipan-kutipan dari Al-Quran dan Hadist yang gue cantumkan di atas, maka akan timbul sebuah disonansi kognitif kan? Di satu sisi, jelas-jelas dikatakan di kitab suci kita (umat Islam,;red) bahwa memakai jilbab bagi wanita yang telah dewasa adalah sebuah kewajiban, tanpa ada tawar menawar, tetapi di sisi lain, ada berbagai alasan yang dapat diberikan untuk menentang perintah Allah SWT tersebut.
Tapi tepatkah alasan-alasan tersebut??
Atau alasan-alasan tersebut adalah suatu pembenaran dari muslimah yang belum paham akan arti berjilbab?
Kalau dari sudut pandang orang awam kaya gue (yang amat mengakui masih kurang paham tentang ajaran-ajaran Islam), maka gue melihat ada satu alasan utama mengapa wanita muslimah yang telah dewasa itu wajib memakai jilbab.
Bagi para pembaca pria pasti mengakui deh, betapa sulitnya untuk melepaskan pandangan kepada seorang wanita yang wajahnya cantik nan rupawan (halaaah, bahasa gue!!) yang kebetulan lewat di depannya. Apalagi ditambah dengan cara berpakaiannya yang seksi, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya (yang mudah2an enak utk diliat, kalo nggak, wah gak tau malu tuh cewek!), bahkan menunjukkan aurat nya (seperti memakai u can see, hipster, atau rok mini). Nah, kalo sudah begitu, sudah pasti gambar yang tertangkap oleh mata tersebut akan disalurkan ke otak dengan cepat melalui saraf-saraf kita.
Kalau lo lo semua adalah pria yang tau diri nan alim, maka otak lo akan dengan cepat membuang gambar-gambar tersebut (bahkan utk sekedar di recycle bin) dan dengan tulus melanjutkan aktivitas lo sebelum melihat wanita itu. Akan tetapi, sayangnya, setau gue, setelah cukup banyak makan asam garam sebagai lelaki tulen, mayoritas pria-pria akan berpikir 10000 kali untuk membuang gambar itu begitu saja. Gambar-gambar tersebut pasti akan disave, direname, kemudian diolah menjadi data baru, yang akan langsung dikirim ke organ vital mereka!! (waahh, gawat!). Tapi ada yang lebih gawat lagi, yaitu apabila rangsangan pada organ vital tersebut membuat lahirnya suatu dorongan untuk memuaskan rangsangan dengan mewujudkannya dalam suatu tingkah laku yang tidak baik dengan menajadikan wanita tadi sebagai obyeknya (pemerkosaan, penganiayaan;red). Intinya adalah, dengan wanita memakai jilbab maka akan dapat mengurangi dorongan pria untuk menjadikan wanita sebagai obyek pemuas nafsu belaka.
Jadi kalo lo semua merasa masih memakai pakaian yang kurang sempurna menurut ajaran Islam, apalagi kalo pakaian itu masih menunjukkan aurat serta menampilkan lekuk2 tubuh, maka jangan BETE atau MARAH apabila ada lawan jenis (atau bahkan sesama jenis) yang memandang elo dengan pandangan yang kurang ajar dan seakan2 “menelanjangi” diri lo!!
Sebelum menyalahkan orang lain, cobalah untuk “melihat” kepada diri sendiri...
(Tulisan ini dibuat bukan tanpa maksud menyindir siapapun juga. Tulisan ini dibuat hanya sebagai buah pikiran gue yang jujur apa adanya. Dan yang pasti, tulisan ini masih jauh dari sempurna. THX 4 READING)
Wassalam,
Arya Verdi R.
Saturday, December 23, 2006
Wednesday, December 20, 2006
VJ # 4/XII/2006 : "Kebahagiaan dan Agama"
Bagian I (Opening)
Beberapa waktu belakangan ini ada suatu term yang amat menggoda gue untuk lebih mengetahui dan memperdalam maknanya. Suatu istilah, yang sepertinya, merupakan tujuan akhir dari seluruh umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Suatu term yang seperti hantu. Banyak orang yang membicarakannya, namun hanya sebagian kecil dapat (atau pernah) merasakannya. Term ini begitu abstrak dan relatif wujudnya, namun karena efeknya yang begitu dahsyat, maka tidak sedikit manusia yang tidak segan akan melakukan apapun (apapun!) untuk mendapatkannya dengan cara mereka masing-masing.
Sebuah term yang disebut KEBAHAGIAAN
(Dalam psikologi, ilmu yang gue dalamin, seorang tokoh yang bernama Bradburn (dalam Ryff, 1989) menyamakan kebahagiaan dengan istilah psychological well-being)
Bagian II (Kebahagiaan)
Seperti disebutkan di atas, bahwa wujud dari kebahagiaan ini begitu abstrak dan relatif. Abstrak karena kita tidak bisa melihat (kasat mata) wujud dari kebahagiaan tersebut. Hal yang dapat kita lihat adalah efek dari kebahagiaan tersebut. Relatif karena kebahagiaan menurut satu orang, belum tentu kebahagiaan menurut orang yang lain. Selain itu, kerelativan juga muncul dalam usaha untuk meraihnya. Untuk dapat mencapai kebahagiaan tidak akan sama orang per orang. Banyak teman bisa berarti kebahagiaan bagi beberapa orang, namun tidak cukup untuk sebagian orang lainnya. Berkeluarga adalah suatu hal yang membahagiakan bagi sebagian orang, namun dianggap tidak penting bagi pengusung hidup single. Mempunyai jabatan tinggi, baik di institusi maupun di masyarakat, dapat melahirkan kebahagiaan bagi mereka yang menikmatinya, namun mendatangkan siksaan bagi yang tidak. Semua ini dapat terjadi karena di pikiran masing-masing individu telah terbentuk “arti” dari kebahagiaan bagi diri sendiri! (dipengaruhi oleh lingkungan, pola asuh orang tua, pendidikan, dsb). Walaupun demikian, ada satu hal yang (mungkin) menjadi pilihan pertama sebagian besar umat manusia ketika mereka diminta untuk “mencari” kebahagiaan. Sesuatu yang (sekali lagi, mungkin) menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan bagi mereka yang mempercayainya. Sesuatu, yang mungkin, bahkan lebih abstrak daripada kebahagiaan itu sendiri. Sesuatu yang kita sebut agama.
Bagian III (Agama)
Paloutzian (1996) mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai agama, maka kita akan menemukan beragam pengertian. Keragaman pengertian tersebut terjadi karena tergantung dari sudut pandang, pendekatan, atau bidang ilmu yang digunakan oleh pemberi pengertian. Bahkan Yinger (dalam Paloutzian, 1996) mengatakan bahwa suatu pengertian agama hanya dapat memberi kepuasan bagi pemberi pengertian itu sendiri. Oleh karena itu, Paloutzian (1996), mengutip Spilka, Hood, dan Gorsuch, mengatakan bahwa untuk tujuan penelitian psikologi maka tidak akan banyak manfaat apabila kita hanya terpaku pada suatu definisi agama yang kaku. Agama harus dipahami sebagai variabel multidimensi. Salah satu ahli yang memahami agama sebagai variabel multidimensi adalah Glock (dalam Paloutzian, 1996). Ia memperkenalkan suatu konsep yang disebut komitmen religius, yaitu penjelasan cara dan alasan seseorang dalam menjalankan agamanya, serta memberikan gambaran mengenai keterikatan seseorang terhadap agamanya.
Bagian IV (Hubungan Agama dan Kebahagiaan)
Beberapa penelitian yang gue temukan membuktikan bahwa komitmen religius mempunyai hubungan dengan psychological well-being. Salah satunya yang dilakukan oleh Bergin, Sttinchfield, Gaskin, Masters dan Sullivan, 1988; Brown dan Garry, 1985; Linton, Levine, Kuechenmeister dan White, 1978 (dalam Shams & Jackson, 1993) yang menyatakan bahwa ada suatu bukti bahwa kekuatan komitmen religius dan psychological well-being mempunyai hubungan yang positif. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Shams dan Jackson (1993) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai komitmen religius maka semakin baik pula psychological well-being seseorang. Hasil ini dijelaskan oleh Shams dan Jackson (1993) merujuk pada hasil penelitian McCrae dan Costa (1986) yang menunjukkan bahwa pengamalan keyakinan agama secara signifikan dapat mengurangi gejala afektif yang negatif dan merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi kesulitan hidup. Selain itu, sistem kepercayaan dan komitmen religius juga dapat membantu seseorang untuk memanipulasi lingkungan yang mengancam dalam satu cara tertentu sehingga individu dapat mengambil tindakan yang positif untuk mengatasinya (Shams & Jackson, 1993). Pada akhirnya hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk mempunyai psychological well-being yang baik. Disebutkan oleh Ryff (1989) individu dengan psychological well-being yang baik akan memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya.
Hal lain yang mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah tingkat menjalankan ritual agama seseorang, yang dapat dilihat dari kualitas dan kuantitas. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Hepworth, 1980; Kilpatrick dan Trew, 1985 (dalam Shams & Jackson, 1993) yang menunjukkan hubungan yang konsisten antara psychological well-being dengan menjalankan ritual pada masyarakat pemeluk agama Islam di negara Inggris. Semakin baik ritual maka semakin baik pula psychological well-being yang dirasakan. Tidak hanya sekedar menjalankan ritual, namun yang lebih penting adalah nilai tujuan seseorang yang ingin dicapai dengan menjalankan ritual tersebut (Shams & Jackson, 1993). Penelitian lain juga membuktikan bahwa komitmen religius mempunyai hubungan dengan salah satu dimensi psychological well-being yaitu hubungan positif dengan orang lain. Semakin baik komitmen religius seseorang maka semakin baik pula tingkat hubungan dengan lingkungannya karena dengan berbagi aktivitas keagamaan maka dapat meningkatkan rasa solidaritas kelompok dan memperkuat ikatan kekeluargaan (Lovinger, 1984; Spero, 1985, dalam Shams & Jackson, 1993).
Bagian Akhir (Penutup)
Bagi para pembaca yang awam dengan istilah-istilah psikologi (sehingga malas membaca postingan gue ini), gue mohon maaf yang sebesar-besarnya. Oleh karena psikologi adalah ilmu yang gue dalami, maka gue selalu berusaha untuk menggunakannya dalam memandang suatu masalah yang menarik diri gue. Dalam postingan ini, gampangnya, gue berusaha untuk memberikan alternatif kepada para pembaca yang sedang berusaha untuk menemukan arti dan cara mencapai kebahagiaan. Hal yang dapat disimpulkan dari pendapat-pendapat gue di atas adalah bahwasanya kebahagiaan adalah suatu konsep yang amat relatif. Bahagia bagi satu orang, belum tentu dapat dirasakan oleh orang lain. Cara pencapaiaannya pun demikian. Tidak ada satu cara yang pasti ampuh untuk semua orang!. Walaupun demikian, gue hadir disini dengan satu alternatif (didukung dengan data dan fakta hasil penelitian) bahwa dengan agama dan segala hal yang melengkapinya (percaya ada Tuhan, Merasakan ada Tuhan, Menjalankan ritualnya, dsb) dapat menjadi alternatif (utama?) bagi para pembaca yang budiman untuk pencapaian kebahagiaan. Tidak setuju dengan gue tidak masalah karena sepeti yang gue bilang, ini hanya alternatif. Namun kalo gue boleh kasih saran, jangan sampai lo mencari kebahagiaan dengan hal-hal yang dapat merusak diri lo sendiri dan orang-orang yang lo sayangin (free sex, drugs, stealing, etc!)....
Wassalam,
Arya Verdi R.
Beberapa waktu belakangan ini ada suatu term yang amat menggoda gue untuk lebih mengetahui dan memperdalam maknanya. Suatu istilah, yang sepertinya, merupakan tujuan akhir dari seluruh umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Suatu term yang seperti hantu. Banyak orang yang membicarakannya, namun hanya sebagian kecil dapat (atau pernah) merasakannya. Term ini begitu abstrak dan relatif wujudnya, namun karena efeknya yang begitu dahsyat, maka tidak sedikit manusia yang tidak segan akan melakukan apapun (apapun!) untuk mendapatkannya dengan cara mereka masing-masing.
Sebuah term yang disebut KEBAHAGIAAN
(Dalam psikologi, ilmu yang gue dalamin, seorang tokoh yang bernama Bradburn (dalam Ryff, 1989) menyamakan kebahagiaan dengan istilah psychological well-being)
Bagian II (Kebahagiaan)
Seperti disebutkan di atas, bahwa wujud dari kebahagiaan ini begitu abstrak dan relatif. Abstrak karena kita tidak bisa melihat (kasat mata) wujud dari kebahagiaan tersebut. Hal yang dapat kita lihat adalah efek dari kebahagiaan tersebut. Relatif karena kebahagiaan menurut satu orang, belum tentu kebahagiaan menurut orang yang lain. Selain itu, kerelativan juga muncul dalam usaha untuk meraihnya. Untuk dapat mencapai kebahagiaan tidak akan sama orang per orang. Banyak teman bisa berarti kebahagiaan bagi beberapa orang, namun tidak cukup untuk sebagian orang lainnya. Berkeluarga adalah suatu hal yang membahagiakan bagi sebagian orang, namun dianggap tidak penting bagi pengusung hidup single. Mempunyai jabatan tinggi, baik di institusi maupun di masyarakat, dapat melahirkan kebahagiaan bagi mereka yang menikmatinya, namun mendatangkan siksaan bagi yang tidak. Semua ini dapat terjadi karena di pikiran masing-masing individu telah terbentuk “arti” dari kebahagiaan bagi diri sendiri! (dipengaruhi oleh lingkungan, pola asuh orang tua, pendidikan, dsb). Walaupun demikian, ada satu hal yang (mungkin) menjadi pilihan pertama sebagian besar umat manusia ketika mereka diminta untuk “mencari” kebahagiaan. Sesuatu yang (sekali lagi, mungkin) menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan bagi mereka yang mempercayainya. Sesuatu, yang mungkin, bahkan lebih abstrak daripada kebahagiaan itu sendiri. Sesuatu yang kita sebut agama.
Bagian III (Agama)
Paloutzian (1996) mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai agama, maka kita akan menemukan beragam pengertian. Keragaman pengertian tersebut terjadi karena tergantung dari sudut pandang, pendekatan, atau bidang ilmu yang digunakan oleh pemberi pengertian. Bahkan Yinger (dalam Paloutzian, 1996) mengatakan bahwa suatu pengertian agama hanya dapat memberi kepuasan bagi pemberi pengertian itu sendiri. Oleh karena itu, Paloutzian (1996), mengutip Spilka, Hood, dan Gorsuch, mengatakan bahwa untuk tujuan penelitian psikologi maka tidak akan banyak manfaat apabila kita hanya terpaku pada suatu definisi agama yang kaku. Agama harus dipahami sebagai variabel multidimensi. Salah satu ahli yang memahami agama sebagai variabel multidimensi adalah Glock (dalam Paloutzian, 1996). Ia memperkenalkan suatu konsep yang disebut komitmen religius, yaitu penjelasan cara dan alasan seseorang dalam menjalankan agamanya, serta memberikan gambaran mengenai keterikatan seseorang terhadap agamanya.
Bagian IV (Hubungan Agama dan Kebahagiaan)
Beberapa penelitian yang gue temukan membuktikan bahwa komitmen religius mempunyai hubungan dengan psychological well-being. Salah satunya yang dilakukan oleh Bergin, Sttinchfield, Gaskin, Masters dan Sullivan, 1988; Brown dan Garry, 1985; Linton, Levine, Kuechenmeister dan White, 1978 (dalam Shams & Jackson, 1993) yang menyatakan bahwa ada suatu bukti bahwa kekuatan komitmen religius dan psychological well-being mempunyai hubungan yang positif. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Shams dan Jackson (1993) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai komitmen religius maka semakin baik pula psychological well-being seseorang. Hasil ini dijelaskan oleh Shams dan Jackson (1993) merujuk pada hasil penelitian McCrae dan Costa (1986) yang menunjukkan bahwa pengamalan keyakinan agama secara signifikan dapat mengurangi gejala afektif yang negatif dan merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi kesulitan hidup. Selain itu, sistem kepercayaan dan komitmen religius juga dapat membantu seseorang untuk memanipulasi lingkungan yang mengancam dalam satu cara tertentu sehingga individu dapat mengambil tindakan yang positif untuk mengatasinya (Shams & Jackson, 1993). Pada akhirnya hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk mempunyai psychological well-being yang baik. Disebutkan oleh Ryff (1989) individu dengan psychological well-being yang baik akan memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya.
Hal lain yang mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah tingkat menjalankan ritual agama seseorang, yang dapat dilihat dari kualitas dan kuantitas. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Hepworth, 1980; Kilpatrick dan Trew, 1985 (dalam Shams & Jackson, 1993) yang menunjukkan hubungan yang konsisten antara psychological well-being dengan menjalankan ritual pada masyarakat pemeluk agama Islam di negara Inggris. Semakin baik ritual maka semakin baik pula psychological well-being yang dirasakan. Tidak hanya sekedar menjalankan ritual, namun yang lebih penting adalah nilai tujuan seseorang yang ingin dicapai dengan menjalankan ritual tersebut (Shams & Jackson, 1993). Penelitian lain juga membuktikan bahwa komitmen religius mempunyai hubungan dengan salah satu dimensi psychological well-being yaitu hubungan positif dengan orang lain. Semakin baik komitmen religius seseorang maka semakin baik pula tingkat hubungan dengan lingkungannya karena dengan berbagi aktivitas keagamaan maka dapat meningkatkan rasa solidaritas kelompok dan memperkuat ikatan kekeluargaan (Lovinger, 1984; Spero, 1985, dalam Shams & Jackson, 1993).
Bagian Akhir (Penutup)
Bagi para pembaca yang awam dengan istilah-istilah psikologi (sehingga malas membaca postingan gue ini), gue mohon maaf yang sebesar-besarnya. Oleh karena psikologi adalah ilmu yang gue dalami, maka gue selalu berusaha untuk menggunakannya dalam memandang suatu masalah yang menarik diri gue. Dalam postingan ini, gampangnya, gue berusaha untuk memberikan alternatif kepada para pembaca yang sedang berusaha untuk menemukan arti dan cara mencapai kebahagiaan. Hal yang dapat disimpulkan dari pendapat-pendapat gue di atas adalah bahwasanya kebahagiaan adalah suatu konsep yang amat relatif. Bahagia bagi satu orang, belum tentu dapat dirasakan oleh orang lain. Cara pencapaiaannya pun demikian. Tidak ada satu cara yang pasti ampuh untuk semua orang!. Walaupun demikian, gue hadir disini dengan satu alternatif (didukung dengan data dan fakta hasil penelitian) bahwa dengan agama dan segala hal yang melengkapinya (percaya ada Tuhan, Merasakan ada Tuhan, Menjalankan ritualnya, dsb) dapat menjadi alternatif (utama?) bagi para pembaca yang budiman untuk pencapaian kebahagiaan. Tidak setuju dengan gue tidak masalah karena sepeti yang gue bilang, ini hanya alternatif. Namun kalo gue boleh kasih saran, jangan sampai lo mencari kebahagiaan dengan hal-hal yang dapat merusak diri lo sendiri dan orang-orang yang lo sayangin (free sex, drugs, stealing, etc!)....
Wassalam,
Arya Verdi R.
Saturday, December 16, 2006
VJ # 3/XII/2006 : "Religiusitas (re-post)"
Gue mau nanya sesuatu ama lo semua para pembaca setia blogs gue. “ Apakah lo semua udah merasa sebagai seorang yang religius?”
(FYI, pertanyaan di atas tidak berlaku buat seorang God-apathis, atheist, atau seorang hypocrite). Apapun jawaban lo semua terhadap pertanyaan di atas, lo mesti simak hasil penelitian yang telah gue buat beberapa bulan belakangan ini.
Part 1.
Untuk disebut seorang yang religius, seseorang tidak cukup hanya dengan rajin melakukan ibadah. Tidak cukup hanya dengan meyakini bahwa Tuhan itu benar2 ADA. Tidak cukup hanya dengan mengetahui sejarah-sejarah dibalik latar belakang lahirnya perjalanan suatu agama. Tidak cukup hanya dengan mengaku bahwa lo punya perasaan dekat dengan Tuhan. Dan yang pasti tidak cukup dengan beralasan bahwa dalam kehidupan sehari2 lo telah menjalankan perintah dan menjauhkan larangan Tuhan. Menurut Glock (dalam Paloutzian, 1996) untuk dapat mengetahui tingkat komitmen religius seseorang terhadap agamanya, maka diperlukan suatu variabel multidimensi untuk dapat memberikan gambaran seberapa baik komitmen religius muncul dalam diri seseorang. Kelima dimensi tersebut adalah dimensi keyakinan, pengetahuan, perasaan, ritual, dan konsekuensi sehari2.
Part 2.
Secara singkat dan padat akan gue jelasin satu per satu. Dimensi Keyakinan artinya lo yakin bahwa agama lo benar dan Tuhan itu benar adanya. Dimensi Pengetahuan artinya lo mengetahui dengan baik mengenai sejarah dan ilmu2 agama lo. Dimensi Perasaan artinya lo mempunyai ruh ketuhanan dan merasa kedekatan dengan Tuhan, Maha Pencipta Alam. Dimensi ritual artinya lo menjalankan ritual2 yang diperintahkan, baik wajib maupun tidak wajib. Dan dimensi konsekuensi artinya lo telah menjalankan perintah2 agama dengan baik dalam perilaku sehari2, contoh tidak mabuk, menjauhi judi, tidak berbuat mesum, dsb.
Part 3.
Dari penelitian yang gue lakukan, yang mengambil subjek Remaja Berjilbab yang Berpacaran, maka hasil yang gue dapet cukup unik. FYI, dalam agama gue, Islam, bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrim {saudara) adalah FORBIDDEN. Dan biasanya, dalam pacaran kita melakukan sentuhan dengan pacar kita, yg notabene bukan muhrim. Oleh karena itu, beberapa orang berpendapat bahwa Islam melarang pacaran dan lebih menganjurkan pernikahan, walau sepengetahuan gue, tidak ada ayat Al-Quran yang menyinggung larangan pacaran. {correct me if im wrong}.
Oleh karena itu, gue mengambil subjek remaja jilbab yang pacaran. Di satu sisi ia memakai jilbab, suatu langkah luar biasa bagi remaja muslimah dewasa ini, namun di sisi lain ia berpacaran, hal yang ”terlarang”. Singkat cerita, penelitian tersebut memperlihatkan bahwa keempat subjek memperlihatkan adanya keyakinan terhadap agamanya, memperlihatkan adanya perasaan dekat dengan Tuhan, dan memperlihatkan bahwa mereka menjalankan ritual dengan cukup baik. Namun, mereka BELUM menampakkan pengetahuan yang baik tentang agamanya (alias masih dalam tahap belajar) dan BELUM menampakkan perintah agama dalam perilaku sehari2. Akan tetapi, mereka mengakui gak ada masalah dengan dirinya yang pacaran, karena menyadari masih dalam proses belajar. Selain itu, mereka mengaku bahwa amat menjaga diri selama pacaran. Means: No kiss, No holding hand, no Hughing, etc.
Part 4.
Dari paparan di atas, terlihat kenapa dewasa ini ada aja kejadian yg unik2. Mantan menteri agama ternyata korupsi. Ada orang yang rajin bgt sholat (buat yg muslim) namun tetep mabok2an or judi bola pas world cup. Ada orang yang gak pernah sholat tapi juga gak pernah buat maksiat. Oleh karena itu, JANGAN SEMBARANGAN dalam menjudge seseorang mengenai tingkat religiusnya karena religiusitas itu gak sesimple “Ada” or ”Tidak Ada”, melainkan terdiri dari variabel multidimensi. Nah, kalo lo kira2 bagus n gak bagus di dimensi mana??
Part 5.
Semoga tulisan ini bisa menjadi perbaikan buat kita semua,Amien
pS: mohon maaf apabila ada kata2 yang kurang berkenan di dalam tulisan di atas. Mohon kritik, saran, dan komentarnya!
Wassalam,
Arya Verdi R.
(FYI, pertanyaan di atas tidak berlaku buat seorang God-apathis, atheist, atau seorang hypocrite). Apapun jawaban lo semua terhadap pertanyaan di atas, lo mesti simak hasil penelitian yang telah gue buat beberapa bulan belakangan ini.
Part 1.
Untuk disebut seorang yang religius, seseorang tidak cukup hanya dengan rajin melakukan ibadah. Tidak cukup hanya dengan meyakini bahwa Tuhan itu benar2 ADA. Tidak cukup hanya dengan mengetahui sejarah-sejarah dibalik latar belakang lahirnya perjalanan suatu agama. Tidak cukup hanya dengan mengaku bahwa lo punya perasaan dekat dengan Tuhan. Dan yang pasti tidak cukup dengan beralasan bahwa dalam kehidupan sehari2 lo telah menjalankan perintah dan menjauhkan larangan Tuhan. Menurut Glock (dalam Paloutzian, 1996) untuk dapat mengetahui tingkat komitmen religius seseorang terhadap agamanya, maka diperlukan suatu variabel multidimensi untuk dapat memberikan gambaran seberapa baik komitmen religius muncul dalam diri seseorang. Kelima dimensi tersebut adalah dimensi keyakinan, pengetahuan, perasaan, ritual, dan konsekuensi sehari2.
Part 2.
Secara singkat dan padat akan gue jelasin satu per satu. Dimensi Keyakinan artinya lo yakin bahwa agama lo benar dan Tuhan itu benar adanya. Dimensi Pengetahuan artinya lo mengetahui dengan baik mengenai sejarah dan ilmu2 agama lo. Dimensi Perasaan artinya lo mempunyai ruh ketuhanan dan merasa kedekatan dengan Tuhan, Maha Pencipta Alam. Dimensi ritual artinya lo menjalankan ritual2 yang diperintahkan, baik wajib maupun tidak wajib. Dan dimensi konsekuensi artinya lo telah menjalankan perintah2 agama dengan baik dalam perilaku sehari2, contoh tidak mabuk, menjauhi judi, tidak berbuat mesum, dsb.
Part 3.
Dari penelitian yang gue lakukan, yang mengambil subjek Remaja Berjilbab yang Berpacaran, maka hasil yang gue dapet cukup unik. FYI, dalam agama gue, Islam, bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan muhrim {saudara) adalah FORBIDDEN. Dan biasanya, dalam pacaran kita melakukan sentuhan dengan pacar kita, yg notabene bukan muhrim. Oleh karena itu, beberapa orang berpendapat bahwa Islam melarang pacaran dan lebih menganjurkan pernikahan, walau sepengetahuan gue, tidak ada ayat Al-Quran yang menyinggung larangan pacaran. {correct me if im wrong}.
Oleh karena itu, gue mengambil subjek remaja jilbab yang pacaran. Di satu sisi ia memakai jilbab, suatu langkah luar biasa bagi remaja muslimah dewasa ini, namun di sisi lain ia berpacaran, hal yang ”terlarang”. Singkat cerita, penelitian tersebut memperlihatkan bahwa keempat subjek memperlihatkan adanya keyakinan terhadap agamanya, memperlihatkan adanya perasaan dekat dengan Tuhan, dan memperlihatkan bahwa mereka menjalankan ritual dengan cukup baik. Namun, mereka BELUM menampakkan pengetahuan yang baik tentang agamanya (alias masih dalam tahap belajar) dan BELUM menampakkan perintah agama dalam perilaku sehari2. Akan tetapi, mereka mengakui gak ada masalah dengan dirinya yang pacaran, karena menyadari masih dalam proses belajar. Selain itu, mereka mengaku bahwa amat menjaga diri selama pacaran. Means: No kiss, No holding hand, no Hughing, etc.
Part 4.
Dari paparan di atas, terlihat kenapa dewasa ini ada aja kejadian yg unik2. Mantan menteri agama ternyata korupsi. Ada orang yang rajin bgt sholat (buat yg muslim) namun tetep mabok2an or judi bola pas world cup. Ada orang yang gak pernah sholat tapi juga gak pernah buat maksiat. Oleh karena itu, JANGAN SEMBARANGAN dalam menjudge seseorang mengenai tingkat religiusnya karena religiusitas itu gak sesimple “Ada” or ”Tidak Ada”, melainkan terdiri dari variabel multidimensi. Nah, kalo lo kira2 bagus n gak bagus di dimensi mana??
Part 5.
Semoga tulisan ini bisa menjadi perbaikan buat kita semua,Amien
pS: mohon maaf apabila ada kata2 yang kurang berkenan di dalam tulisan di atas. Mohon kritik, saran, dan komentarnya!
Wassalam,
Arya Verdi R.
VJ # 2/XII/2006 : "Pemilihan Pasangan (re-post)"
“Apa sih yang menjadi pertimbangan utama ketika memilih seseorang untuk menjadi pasangan lo, baik sebagai kekasih maupun sebagai suami/istri?”
Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan yang cukup sering gue tanyakan ke orang-orang di sekeliling gue, baik sahabat, teman biasa, maupun orang2 yang baru gue kenal. Jawaban mereka beranekaragam. Mulai dari yang menjawab kepribadian, kecerdasan, agama yang dianut , background pendidikan, dan bahkan ada yang terang-terangan mengatakan materi sebagai faktor utama dalam memilih pasangan hidup.
Nah, dari keanekaragaman jawaban tersebut (heterogen;red), gue menemukan suatu fenomena unik, dimana mayoritas dari mereka mempunyai “pernyataan penutup” yang cukup homogen. Kurang lebih begini bunyi dari pernyataan tersebut
: “…yaaa, tapi gue gak mau munafik lah..bagi gue FISIK (baca : cantik, tampan, seksi, atletis, kulit halus) tetep menjadi perhatian gue, walau bukan yang utama…”
…hehehe, lucu yah, betapa jawaban yang serupa tersebut hampir selalu muncul di akhir dari jawaban mereka.
Awalnya, gue gak terlau serius menanggapi pernyataan tersebut..
yaa, paling senyum-semyum sendiri, karena sejujurnya kognitif gue mengambil keputusan tak berdasar bahwa sbenarnya FAKTOR FISIK lah yang menjadi pertimbangan utama org tersebut..namun ia “membungkusnya” secara halus..Nah setelah cukup banyak orang yang menjadi “sasaran” survey gue menjawab dengan intisari yang sama tapi berbeda pengkemasan, gue (HAMPIR) berani mengambil suatu kesimpulan, bahwa :
“FAKTOR FISIK adalah faktor penentu utama seseorang dalam menentukan pasangan hidup yang akan ia pilih” (Ramadhani, 2005)
Namun, gue belum berani untuk mempublikasikan kesimpulan gue di atas..Bukan karena takut gak valid dan reliable, tapi lebih kepada faktor kerendahan diri gue, yang amat sangat menghindari publisitas dan juga popularitas..
Untuk membuat tulisan ini menjadi lebih serius dan berbobot (setidaknya lebih berat dari bobot badan gue), gue mau melampirkan suatu hasil penelitian (teori;red) yang telah teruji kevalidan dan reliabilitasnya. Teori ini gak sengaja gue temuin ketika gue lagi berkutat untuk mencari bahan buat skripsi gue (cieee verdiii..skripsi lhoo..cuit..cuit…semangat yaaa..kamu pasti bisa..!!)..dan waktu ngebaca teori tersebut, gue cukup kaget dan butuh waktu lama untuk percaya..Alasannya, karena ternyata di belahan bumi lain yang amat jauh jaraknya dari gue, ada orang-orang yang mempunyai pemahaman yang sama dengan gue. Bahkan orang-orang tersebut sampai rela untuk mengahabiskan waktu bertahun-tahun untuk membuktikan pemahaman mereka tersebut. LUAR BIASA.
Untuk lebih jelasnya, maka gue lampirkan hasil penelitian tersebut :
Daya tarik fisik merupakan faktor satu-satunya yang berpengaruh secara signifikan terhadap kriteria pemilihan pasangan dalam suatu hubungan berpacaran (Walster, Aronson, Abrahams & Rottman, 1966)
Tuntutan yang diberikan laki-laki untuk pemilihan pasangannya adalah semata-mata yang berkaitan dengan penampilan fisik (Lynn & shurgot, 1984)
Faktor Kepribadian maupun intelegensi terbukti tidak memiliki pengaruh dalam menentukan ketertarikan interpersonal (Walster, Aronson, Abrahams & Rottman, 1966)
Hehehehe, ajaib kan hasil penelitiannya??
Ternyata apapun kata orang, disadari atau tidak, diakui atau tidak, faktor fisik menjadi faktor utama dalam penentuan pasangan hidup.
Hal ini diperkuat dengan buku Islam tentang Perkawinan yang pernah gue baca. Buku tersebut (maaf gue lupa judulnya;red) mengatakan bahwa sebaiknya sebelum lo melamar seseorang untuk dijadikan pasangan hidup, ada baiknya untuk melihat terlebih dahulu penampilan fisik dari “sang calon” tersebut, baik langsung maupun melalui foto, agar tidak menyesal di kemudian hari..!
Jadi…Apa pendapatmu???
Regards,
Arya Verdi Ramadhani
Pertanyaan di atas merupakan pertanyaan yang cukup sering gue tanyakan ke orang-orang di sekeliling gue, baik sahabat, teman biasa, maupun orang2 yang baru gue kenal. Jawaban mereka beranekaragam. Mulai dari yang menjawab kepribadian, kecerdasan, agama yang dianut , background pendidikan, dan bahkan ada yang terang-terangan mengatakan materi sebagai faktor utama dalam memilih pasangan hidup.
Nah, dari keanekaragaman jawaban tersebut (heterogen;red), gue menemukan suatu fenomena unik, dimana mayoritas dari mereka mempunyai “pernyataan penutup” yang cukup homogen. Kurang lebih begini bunyi dari pernyataan tersebut
: “…yaaa, tapi gue gak mau munafik lah..bagi gue FISIK (baca : cantik, tampan, seksi, atletis, kulit halus) tetep menjadi perhatian gue, walau bukan yang utama…”
…hehehe, lucu yah, betapa jawaban yang serupa tersebut hampir selalu muncul di akhir dari jawaban mereka.
Awalnya, gue gak terlau serius menanggapi pernyataan tersebut..
yaa, paling senyum-semyum sendiri, karena sejujurnya kognitif gue mengambil keputusan tak berdasar bahwa sbenarnya FAKTOR FISIK lah yang menjadi pertimbangan utama org tersebut..namun ia “membungkusnya” secara halus..Nah setelah cukup banyak orang yang menjadi “sasaran” survey gue menjawab dengan intisari yang sama tapi berbeda pengkemasan, gue (HAMPIR) berani mengambil suatu kesimpulan, bahwa :
“FAKTOR FISIK adalah faktor penentu utama seseorang dalam menentukan pasangan hidup yang akan ia pilih” (Ramadhani, 2005)
Namun, gue belum berani untuk mempublikasikan kesimpulan gue di atas..Bukan karena takut gak valid dan reliable, tapi lebih kepada faktor kerendahan diri gue, yang amat sangat menghindari publisitas dan juga popularitas..
Untuk membuat tulisan ini menjadi lebih serius dan berbobot (setidaknya lebih berat dari bobot badan gue), gue mau melampirkan suatu hasil penelitian (teori;red) yang telah teruji kevalidan dan reliabilitasnya. Teori ini gak sengaja gue temuin ketika gue lagi berkutat untuk mencari bahan buat skripsi gue (cieee verdiii..skripsi lhoo..cuit..cuit…semangat yaaa..kamu pasti bisa..!!)..dan waktu ngebaca teori tersebut, gue cukup kaget dan butuh waktu lama untuk percaya..Alasannya, karena ternyata di belahan bumi lain yang amat jauh jaraknya dari gue, ada orang-orang yang mempunyai pemahaman yang sama dengan gue. Bahkan orang-orang tersebut sampai rela untuk mengahabiskan waktu bertahun-tahun untuk membuktikan pemahaman mereka tersebut. LUAR BIASA.
Untuk lebih jelasnya, maka gue lampirkan hasil penelitian tersebut :
Daya tarik fisik merupakan faktor satu-satunya yang berpengaruh secara signifikan terhadap kriteria pemilihan pasangan dalam suatu hubungan berpacaran (Walster, Aronson, Abrahams & Rottman, 1966)
Tuntutan yang diberikan laki-laki untuk pemilihan pasangannya adalah semata-mata yang berkaitan dengan penampilan fisik (Lynn & shurgot, 1984)
Faktor Kepribadian maupun intelegensi terbukti tidak memiliki pengaruh dalam menentukan ketertarikan interpersonal (Walster, Aronson, Abrahams & Rottman, 1966)
Hehehehe, ajaib kan hasil penelitiannya??
Ternyata apapun kata orang, disadari atau tidak, diakui atau tidak, faktor fisik menjadi faktor utama dalam penentuan pasangan hidup.
Hal ini diperkuat dengan buku Islam tentang Perkawinan yang pernah gue baca. Buku tersebut (maaf gue lupa judulnya;red) mengatakan bahwa sebaiknya sebelum lo melamar seseorang untuk dijadikan pasangan hidup, ada baiknya untuk melihat terlebih dahulu penampilan fisik dari “sang calon” tersebut, baik langsung maupun melalui foto, agar tidak menyesal di kemudian hari..!
Jadi…Apa pendapatmu???
Regards,
Arya Verdi Ramadhani
Friday, December 15, 2006
VJ # 1/XII/2006 : "PoliGami on Verdis Mind"
PEMBUKA
Iseng-iseng kita diskusi yuk..
Bacaan Serius
Sejak seorang Da’i kondang Indonesia (inisial AG), memutuskan untuk mempunyai istri kedua (baca: menikah lagi), sebuah isu sensitif yang sifatnya kambuhan (kadang naik kadang turun) tiba-tiba melambung tinggi lagi ke permukaan perbincangan masyarakat Indonesia, khususnya kaum hawa. Sebuah isu yang pernah naik daun beberapa waktu lalu dipicu seorang pemilik restoran ayam bakar kenamaan yang mempunyai banyak istri. Dampak yang disebabkan oleh isu ini tergolong luar biasa lho. Simak artikel Koran Tempo, Edisi No. 1982/ TH. VI, 9 Des 2006, Hal. A4 yang melaporkan bahwa salah satu yang merasa paling terkena dampaknya adalah para pedagang di sekitar Pesantren Daarut Tauhid yang dipimpin oleh AG. Beberapa pedagang mengaku bahwa sejak AG memutuskan untuk menikah lagi, mereka mengalami penurunan drastis dalam omzet penjualan. Hal ini disebabkan menurunnya jumlah pengunjung yang datang ke Daarut Tauhid. Beberapa pengunjung mengaku kecewa dan tidak menyangka kalo AG bisa berlaku lain dari yang selama ini dia dakwahkan. Dan yang lebih luar biasa, entah ada hubungan atau tidak dengan perilaku AG, Presiden SBY sampai merasa perlu untuk memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan, Ibu Meutia Hatta utk menggulirkan wacana menilik ulang PP No.45 Thn 1990 Pasal 1 mengenai pengaturan perkawinan dan perceraian dengan memperluas cakupannya ke masyarakat umum. Gue rasa elo semua udah tahu persis bahwa isu yang dimaksud apa. Yup, its POLIGAMI.
Mohammad Subhi-Ibrahim, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Univ.Paramadina (dalam Koran Tempo, Edisi No. 1982/ TH. VI, 9 Des 2006, Hal. A9) mengatakan bahwa menyebutkan bahwa Islam memang memperbolehkan poligami. Dalam Al-Quran tertulis:
”Nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau emapat. Namun apabila kamu takut berlaku tidak adil, nikahilah seorang saja”
(QS Al-Nisa: 3)
Dari ayat tersebut terlihat bahwa poligami menjadi tawaran pertama dan monogami menjadi tawaran kedua bila tidak mampu memnuhi syarat poligami. Namun ia menambahkan bahwa meskipun Islam membolehkan Poligami, namun Islam menerapkan syarat yang ketat dan berat. Syarat itu hanya 4 huruf, A-D-I-L. Kalau pelaku poligami merasa tidak dapat berbuat adil, maka sekali-kali jangan berpikir untuk poligami. Hal tersebut tertuang dalam Al-Quran:
”..kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), meskipun kamu sungguh sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Namun, jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS Al-Nisa : 129).
Jadi ADIL adalah syarat mutlak untuk poligami. Dalam konteks poligami keadilan ada dua arti, yaitu keadilan psikologis dan keadilan material. Yang pertama berarti adil dalam kasih sayang, perhatian, dan cinta. Sedang yang terakhir berarti adil dalam nafkah lahir.
Seperti setuju dengan pendapat gue di paragraf pertama, Mohammad Subhi-Ibrahim mengatakan bahwa poligami memang isu sensitif yang terkait dengan hak-hak perempuan. Para penolak poligami khawatir bahwa jika poligami dibolehkan maka hak-hak perempuan akan diabaikan dan dianggap dapat membuka keran penyelewangan tujuan pernikahan.
Bacaaan Tidak Serius (asli pendapat gue ;red)
Sebagai seorang pria gue termasuk orang yang merasa betapa sulitnya menjalankan poligami. Betapa nggak. Wong jalanin hubungan pacaran (baru pacaran lho) dengan satu orang perempuan ajha terasa sulit banget. Apalagi dengan dua, tiga, atau empat perempuan. Wah gak kebayang deh betapa repotnya !(angkat gelas buat para peselingkuh yang ampe sekarang lancar2 ajha dan malah cenderung enjoy dengan selingkuhnya). Apabila tidak ada syarat adil, dan hanya untuk memenuhi gairah seks ajha, maka mungkin gue jadi barisan terdepan dalam mendukung poligami (he3, piss girl). Ya iya lah, poligami baru disebut poligami kalo udah terikat dalam pernikahan kan? Sedangkan dalam Islam, pernikahan (termasuk menggauli istri di dalamnya) adalah hal yang disukai Allah. Udah Enak, bisa gonta-ganti pasangan, dapat pahala lagi (wakakakak).
Tapii, berhubung ada syarat 4 huruf tersebut, A-D-I-L, maka gue akan mikir ribuan kali buat poligami. Kalo adil secara materi masih mungkin buat dipenuhi. Tapi kalo adil secara psikologis?Waahh, ini yang sulit. Susah bgt gak sih buat bener2 membagi kasih sayang? Seadil apapun kita, pasti nantinya tetep ada yang merasa kurang kasih sayang atau mungkin berlebih kasih sayang (ya iyalah, emang ada alat utk ngukur kasih sayang. Hari geneeee...paling harta yang jadi tolak ukur!!).
Beberapa hari yang lalu gue nonton tivi bahwa di suatu daerah di Indonesia ada sorang pengusaha yang punya 9 istri (anjriiiit, perkasaaa booo!)!. Kocaknya, nih orang selalu bawa 4-5 istrinya dalam satu mobil (toyota kijang) kalo lagi dalam perjalanan dinas ke kota-kota laen. Trus gue jadi keinget ama asa ADIL itu. Im wondering, kira2 yang duduk di depan ama dia sapa ya? Kan harus adil. Masa duduk depan semua. Kaga muat lah. Atau mungkin tengah or belakang semua ya? Trus yang duduk paling belakang sapa? Kan duduk belakang cenderung gampang muntah. Waaah, gak adiill donk. Satu hal lagi, kira-kira obrolan di mobil apa ya? Kalo gue mah, asli bakal bingung. Mo mesra2an, kaga bisa. Mau cium, berarti mesti cium 5 orang dong. Jontor noh bibir ! Susa ya boo utk adil!
Tapi itu blom apa-apa. At the same day, gue nonton News di CNN karena mencoba mencari alternatif setelah bosen ama infotainment atau berita seputar poligami. But, guess what. Pas banget gue ntn ttg orang di Amrik sono yang punya 20 (baca : DOEA POELOEH !) istri!!!!. Bujuk buneng dah tuh orang. Pelanggan Viagra nih mas??
Uedaannn.....
Salut deh gue buat para istri yang dipoligamikan. Mereka pasti punya hati baja nan ikhlas bin setia. Itu juga yang membuat gue salut Teteh Ninih (istri AG) yang berulang kali menyatakan bahwa dia amat ikhlas AG nikah lagi. Akan tetapi, seperti kata Dr. Boyke di Selebrty Jam, ”Pang Ketipang Ketipung Suara Gendang Bertalu-talu. Pura-pura bingung, DALAM HATI SAPE YANG TAUUU.” Well eniwei, gue cuma bisa berdoa supaya AG bisa menjalankan syarat ADIL itu dengan baik, kalo nggak, waaah bisa banyak kehilangan pengikutnya tuh orang.
Sebagai akhir dari artikel gue ini, gue mau menekankan kepada kaum pria di seluruh dunia, apabila anda sedang atau akan atau berpikir untuk berpoligami maka siapkan diri anda untuk bersikan ADIL, sekali lagi ADIL, dua kali lagi ADIL ADIL. Dan buat para penentang poligami, khususnya kaum hawa, anda semua mendapatkan satu suara dari seorang pria biasa non poligami bernama Arya Verdi Ramadhani!
Apa komentar anda??
Ps:
beberapa hari lalu gue denger di curhatan seorang cewek tentang pacarnya di radio. Dia bilang kalo cowoknya minta IZIN buat SELINGKUH, dan kalo gak diizinin maka nih cowok bakal mutusin dan gak mau berhubungan lagi ama nih cewek. Dan tau ga? Cewe itu ngijinin lho, walopun katanya nih hati sakiiiiiiiittt bgt...!. Y iyalaah , mbaaak...
Kalo gue jadi penyiarnya, gue bakal bilang dah, ”Eh cewe, emang kaga ada cowo laen?! Cikal bakal POLIGAMIERS BRENGSEK tuh cowo! Lagian cowo kan dimana-mana emang brengsek. Makanya gue GAK PERNAH pacaran ama cowo!
Wassalam,
Arya Verdi R.
Non-Poligamiers
Iseng-iseng kita diskusi yuk..
Bacaan Serius
Sejak seorang Da’i kondang Indonesia (inisial AG), memutuskan untuk mempunyai istri kedua (baca: menikah lagi), sebuah isu sensitif yang sifatnya kambuhan (kadang naik kadang turun) tiba-tiba melambung tinggi lagi ke permukaan perbincangan masyarakat Indonesia, khususnya kaum hawa. Sebuah isu yang pernah naik daun beberapa waktu lalu dipicu seorang pemilik restoran ayam bakar kenamaan yang mempunyai banyak istri. Dampak yang disebabkan oleh isu ini tergolong luar biasa lho. Simak artikel Koran Tempo, Edisi No. 1982/ TH. VI, 9 Des 2006, Hal. A4 yang melaporkan bahwa salah satu yang merasa paling terkena dampaknya adalah para pedagang di sekitar Pesantren Daarut Tauhid yang dipimpin oleh AG. Beberapa pedagang mengaku bahwa sejak AG memutuskan untuk menikah lagi, mereka mengalami penurunan drastis dalam omzet penjualan. Hal ini disebabkan menurunnya jumlah pengunjung yang datang ke Daarut Tauhid. Beberapa pengunjung mengaku kecewa dan tidak menyangka kalo AG bisa berlaku lain dari yang selama ini dia dakwahkan. Dan yang lebih luar biasa, entah ada hubungan atau tidak dengan perilaku AG, Presiden SBY sampai merasa perlu untuk memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan, Ibu Meutia Hatta utk menggulirkan wacana menilik ulang PP No.45 Thn 1990 Pasal 1 mengenai pengaturan perkawinan dan perceraian dengan memperluas cakupannya ke masyarakat umum. Gue rasa elo semua udah tahu persis bahwa isu yang dimaksud apa. Yup, its POLIGAMI.
Mohammad Subhi-Ibrahim, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Univ.Paramadina (dalam Koran Tempo, Edisi No. 1982/ TH. VI, 9 Des 2006, Hal. A9) mengatakan bahwa menyebutkan bahwa Islam memang memperbolehkan poligami. Dalam Al-Quran tertulis:
”Nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga, atau emapat. Namun apabila kamu takut berlaku tidak adil, nikahilah seorang saja”
(QS Al-Nisa: 3)
Dari ayat tersebut terlihat bahwa poligami menjadi tawaran pertama dan monogami menjadi tawaran kedua bila tidak mampu memnuhi syarat poligami. Namun ia menambahkan bahwa meskipun Islam membolehkan Poligami, namun Islam menerapkan syarat yang ketat dan berat. Syarat itu hanya 4 huruf, A-D-I-L. Kalau pelaku poligami merasa tidak dapat berbuat adil, maka sekali-kali jangan berpikir untuk poligami. Hal tersebut tertuang dalam Al-Quran:
”..kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), meskipun kamu sungguh sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Namun, jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS Al-Nisa : 129).
Jadi ADIL adalah syarat mutlak untuk poligami. Dalam konteks poligami keadilan ada dua arti, yaitu keadilan psikologis dan keadilan material. Yang pertama berarti adil dalam kasih sayang, perhatian, dan cinta. Sedang yang terakhir berarti adil dalam nafkah lahir.
Seperti setuju dengan pendapat gue di paragraf pertama, Mohammad Subhi-Ibrahim mengatakan bahwa poligami memang isu sensitif yang terkait dengan hak-hak perempuan. Para penolak poligami khawatir bahwa jika poligami dibolehkan maka hak-hak perempuan akan diabaikan dan dianggap dapat membuka keran penyelewangan tujuan pernikahan.
Bacaaan Tidak Serius (asli pendapat gue ;red)
Sebagai seorang pria gue termasuk orang yang merasa betapa sulitnya menjalankan poligami. Betapa nggak. Wong jalanin hubungan pacaran (baru pacaran lho) dengan satu orang perempuan ajha terasa sulit banget. Apalagi dengan dua, tiga, atau empat perempuan. Wah gak kebayang deh betapa repotnya !(angkat gelas buat para peselingkuh yang ampe sekarang lancar2 ajha dan malah cenderung enjoy dengan selingkuhnya). Apabila tidak ada syarat adil, dan hanya untuk memenuhi gairah seks ajha, maka mungkin gue jadi barisan terdepan dalam mendukung poligami (he3, piss girl). Ya iya lah, poligami baru disebut poligami kalo udah terikat dalam pernikahan kan? Sedangkan dalam Islam, pernikahan (termasuk menggauli istri di dalamnya) adalah hal yang disukai Allah. Udah Enak, bisa gonta-ganti pasangan, dapat pahala lagi (wakakakak).
Tapii, berhubung ada syarat 4 huruf tersebut, A-D-I-L, maka gue akan mikir ribuan kali buat poligami. Kalo adil secara materi masih mungkin buat dipenuhi. Tapi kalo adil secara psikologis?Waahh, ini yang sulit. Susah bgt gak sih buat bener2 membagi kasih sayang? Seadil apapun kita, pasti nantinya tetep ada yang merasa kurang kasih sayang atau mungkin berlebih kasih sayang (ya iyalah, emang ada alat utk ngukur kasih sayang. Hari geneeee...paling harta yang jadi tolak ukur!!).
Beberapa hari yang lalu gue nonton tivi bahwa di suatu daerah di Indonesia ada sorang pengusaha yang punya 9 istri (anjriiiit, perkasaaa booo!)!. Kocaknya, nih orang selalu bawa 4-5 istrinya dalam satu mobil (toyota kijang) kalo lagi dalam perjalanan dinas ke kota-kota laen. Trus gue jadi keinget ama asa ADIL itu. Im wondering, kira2 yang duduk di depan ama dia sapa ya? Kan harus adil. Masa duduk depan semua. Kaga muat lah. Atau mungkin tengah or belakang semua ya? Trus yang duduk paling belakang sapa? Kan duduk belakang cenderung gampang muntah. Waaah, gak adiill donk. Satu hal lagi, kira-kira obrolan di mobil apa ya? Kalo gue mah, asli bakal bingung. Mo mesra2an, kaga bisa. Mau cium, berarti mesti cium 5 orang dong. Jontor noh bibir ! Susa ya boo utk adil!
Tapi itu blom apa-apa. At the same day, gue nonton News di CNN karena mencoba mencari alternatif setelah bosen ama infotainment atau berita seputar poligami. But, guess what. Pas banget gue ntn ttg orang di Amrik sono yang punya 20 (baca : DOEA POELOEH !) istri!!!!. Bujuk buneng dah tuh orang. Pelanggan Viagra nih mas??
Uedaannn.....
Salut deh gue buat para istri yang dipoligamikan. Mereka pasti punya hati baja nan ikhlas bin setia. Itu juga yang membuat gue salut Teteh Ninih (istri AG) yang berulang kali menyatakan bahwa dia amat ikhlas AG nikah lagi. Akan tetapi, seperti kata Dr. Boyke di Selebrty Jam, ”Pang Ketipang Ketipung Suara Gendang Bertalu-talu. Pura-pura bingung, DALAM HATI SAPE YANG TAUUU.” Well eniwei, gue cuma bisa berdoa supaya AG bisa menjalankan syarat ADIL itu dengan baik, kalo nggak, waaah bisa banyak kehilangan pengikutnya tuh orang.
Sebagai akhir dari artikel gue ini, gue mau menekankan kepada kaum pria di seluruh dunia, apabila anda sedang atau akan atau berpikir untuk berpoligami maka siapkan diri anda untuk bersikan ADIL, sekali lagi ADIL, dua kali lagi ADIL ADIL. Dan buat para penentang poligami, khususnya kaum hawa, anda semua mendapatkan satu suara dari seorang pria biasa non poligami bernama Arya Verdi Ramadhani!
Apa komentar anda??
Ps:
beberapa hari lalu gue denger di curhatan seorang cewek tentang pacarnya di radio. Dia bilang kalo cowoknya minta IZIN buat SELINGKUH, dan kalo gak diizinin maka nih cowok bakal mutusin dan gak mau berhubungan lagi ama nih cewek. Dan tau ga? Cewe itu ngijinin lho, walopun katanya nih hati sakiiiiiiiittt bgt...!. Y iyalaah , mbaaak...
Kalo gue jadi penyiarnya, gue bakal bilang dah, ”Eh cewe, emang kaga ada cowo laen?! Cikal bakal POLIGAMIERS BRENGSEK tuh cowo! Lagian cowo kan dimana-mana emang brengsek. Makanya gue GAK PERNAH pacaran ama cowo!
Wassalam,
Arya Verdi R.
Non-Poligamiers
Subscribe to:
Posts (Atom)