Tuesday, January 5, 2010
VJ#48/I/2010 : Cyberbullying? What the...?
Wanna be famous on twitter? just say something like "bb users are alay",and abrakadabra, ur name is on trending topics..such a ridicilous phenomenon..poor #rana :(
Saya menulis kalimat di atas pada status Facebook hari Senin 4 Januari 2010, pukul 23.42. Saat itu saya yang telah setengah tertidur (atau setengah sadar) sedang berusaha keras untuk membuat tubuh terlelap dengan cara yang biasa dipakai manusia “jaman sekarang” dan dengan media yang tidak kalah “jaman sekarang” nya. Yup, twitter-ing dengan memakai blackberry! .
Tidak ada yang istimewa ketika saya memulainya. Saya mendapati timeline dengan tweets yang “biasa-biasa” saja. Yah, mungkin layaknya timeline harian rekan-rekan pembaca yang juga tergabung di jagat maya berlambang burung kecil tersebut. Ada yang berisi curhat, kemarahan yang ditujukan ke orang secara anonim, atau bahkan lelucon lokal yang (kemungkinan besar) hanya dimengerti segelintir followers pemilik account. Saat mata ini sudah mulai mengalah kepada kekuatan rasa kantuk, perhatian saya tertuju kepada salah satu tweets rekan saya. Tweets yang tiba-tiba membuat saya terjaga kembali karena ingin tahu.
Secara singkat, tweets tersebut menunjukkan bahwa adanya hastag (#) baru yang, ternyata, sempat menjadi trending topics. So, what’s new? Tweeps asal Indonesia memang cukup sering sukses menempatkan hastag lokal merajai trending topics, sebut saja #indonesiaunite, #jamansd, dan banyak lagi. Namun, hashtag ini tidak lazim di mata saya, sehingga membuat saya heran mengapa bisa sukses menjadi trending topics dalam waktu relatif singkat. Hashtag itu singkat dan padat : #rana
Who’s #rana?
Rasa penasaran dengan gagah berani mengalahkan rasa kantuk sehingga membuat saya secara sadar mencari #rana melalui media “search topics”. Dengan singkat saya mengetahui bahwa Rana adalah seorang remaja yang pada hari itu melalui account-nya men-tweet dengan pesan bahwa para pengguna blackberry adalah seorang alay (istilah alay dapat anda search sendiri ya ). Entah apa maksud Rana mem-post tweet semacam itu, yang saya tahu, seperti dikomando, tiba-tiba malam itu para pengguna twitter ramai-ramai memberikan komentar, tentu tidak lupa dengan hastag #rana. Komentar yang diberikan beraneka ragam, mulai dari yang mendukung, menjadikan bercandaan ala plesetan, sampai yang mencaci maki. Walhasil, #rana sukses merajai trending topics. Bahkan kabarnya, #rana sempat pula menjadi pemberitaan di radio dan televisi. Wow!
Fenomena #rana ini membawa memori saya ke waktu belum lama ini saat seorang remaja lainnya bernama Ophi merajai trending topics dengan hashtag #ophiabubu. Sekedar menyegarkan ingatan, Ophi “terkenal” karena gaya penulisannya yang (lagi-lagi) dianggap alay. Fenomena ophi (bila boleh disebut demikian) bahkan dapat dikatakan jauh lebih dahsyat bila dibandingkan dengan fenomena #rana. Tidak hanya sebatas dibicarakan di jejaring sosial seperti facebook, twitter, blogs, atau menjadi thread khusus di kaskus, namun bahkan juga sempat menjadi artikel tersendiri dalam satu surat kabar lokal berbahasa asing yang amat terkenal untuk khusus membahas mengenai remaja perempuan tersebut!
Berangkat dari kedua “fenomena” itu saya mencoba menyusun tulisan serius tapi santai ini. Tenang saja, saya tidak akan berpanjang lebar membahas mengenai latar belakang kasus Rana maupun Ophi. Lebih penting, saya mencoba untuk sedikit membuka pemikiran pembaca semua mengenai gejala di masyarakat kita, terutama yang melek teknologi, yang sedikit demi sedikit mulai berkembang, yang saya khawatir bila tidak segera diingatkan maka akan menjadi suatu penyakit yang menggerogoti secara perlahan dan menyimpan potensi besar untuk menyebabkan sesuatu yang buruk di masa depan. Seram ya? Yah, tergantung bagaimana anda menilainya setelah membaca habis tulisan saya ini.
Apa rahasia Trending Topics?
Setelah mencari petunjuk melalui mbah Google, saya berhasil menemukan bagaimana sebuah hashtag bisa menjadi trending topics. Dalam suatu artikel yang ditulis Mada Azhari (dalam http://inventco.net/studi-kasus/trending-topics-di-twitter-mentahkan-konsep-the-tipping-point/), saya mengetahui bahwa Malcolm Gladwell, di buku larisnya yang berjudul The Tipping Point, menyebutkan bahwa semua itu dipicu oleh segelintir super influential. Lewat influencer, informasi menyebar kemudian mempengaruhi orang lain untuk meniru mereka. Tapi nampaknya tidak begitu dengan #indonesiaunite dan #jamanSD . Trend topic itu bergerak cepat, menviral bahkan dalam tempo hitungan jam. Kalau begini konsep The Tipping Point luntur nyaris tak berbekas. Untunglah suatu penelitian menjawab hal tersebut. Duncan Watts, saintis teori jejaring lulusan Columbia University yang kini bekerja di Yahoo!, melalui penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata sebuah trend dapat terjadi tanpa harus dipicu oleh segelintir influencer (orang amat berpengaruh). Tren bisa meledak, tanpa bergantung pada siapa yang memulai, namun tergantung pada kesiapan masyarakat untuk menyambutnya. Cocok dengan fenomena sosial media saat ini, artinya, “semua orang bisa memicu tren, tidak harus orang berpengaruh” katanya.
Lebih jauh, bila kita kategorikan maka yang terjadi pada #rana dan #ophiabubu adalah kategori Stream News. Semua orang menyampaikan spontan tanpa perlu ada influencer. Berita seputar seperti gempa, bom, bahkan seorang seleb yang baru mekar sekalipun seperti #mbah surip dapat cepat menjadi trending topics. Dalam kasus kedua remaja tersebut, orang-orang secara spontan memberikan komentarnya. Entah karena iseng, memang tidak suka dengan “perilaku” mereka, menumpahkan kekesalan, atau hanya sekedar konformitas alias ikut-ikutan. Tanpa rasa segan dan takut, mereka memberikan komentar-komentar sesuka mereka. Selain sebagian besar para komentator tidak mengenal secara pribadi kedua remaja tersebut, (mungkin) mereka juga berpikir “hei, semua orang melakukannya, kenapa saya tidak??”.
Khusus untuk pemberi komentar negatif, mungkin sebagian besar dari mereka memberikan komentar-komentar tersebut secara sadar, namun saya tidak yakin mereka juga sadar bahwa saat itu pula mereka telah “resmi” menjadi pelaku internet bullying atau lebih dikenal dengan istilah cyberbullying!
Cyberbullying? What the..?
Secara teoritis "Internet bullying/Cyberbullying" diartikan sebagai berikut
“..is a form of personal attack which employs threats, pressure and intimidation through the avenues of internet technology. The bullying may take place by the use of messaging sites, blogs, online forums, electronic mail and other means of cyber technology. When internet bullying takes place, its victims are harassed, intimidated and are left with damaged reputations.”
Supaya tidak bingung, kurang lebih bila dalam artian bebas saya menterjemahkan cyberbullying sebagai situasi dimana seseorang yang kuat (mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang dengan menggunakan melalui messaging sites, blogs, online forums, electronic mail, dimana sang korban tidak mampu membela diri krn lemah secara mental. Tipe bullying ini mulai menjadi fenomena baru seiring dengan berkembangnya teknologi. Manusia saat ini seperti hidup di dunia tanpa batas. Hampir semua orang terhubung dengan benda ajaib bernama “internet”. Data dan informasi dengan mudahnya tersebar sekejap mata. Dengan adanya internet, bullying semakin mudah untuk dilakukan. A single person’s small act of maligning someone can reach hundreds of people in a split-second!
Sepertinya bila melihat pengertian di atas, nampaknya kasus #rana dan #ophiabubu sudah lebih dari cukup untuk dikategorikan sebagai cyberbullying. Bagaimana tidak? Melalui media twitter, facebook, atau forum-forum diskusi, tidak sedikit para penghuni jagat maya yang memberikan komentar-komentar melecehkan, menghina, bahkan menggunakan kata-kata kasar untuk kedua anak remaja tersebut. Lalu mengapa hal tersebut sampai terjadi? Berbicara mengenai penyebab, maka ada beberapa hal yang bisa dikedepankan, misalnya karena pemberi komentar didorong oleh rasa amarah, balas dendam atau rasa frustrasi kepada sang korban atau kepada orang lain yang kemudian melimpahkan kekesalannya melalui dunia maya. Ada juga yang melakukannya untuk alasan-alasan sepele, seperti “hei,I’m doing it just for fun”, atau karena sedang merasa bosan serta mempunyai banyak waktu kosong untuk berbuat iseng, dan didukung juga oleh mudahnya pelaku untuk mengakses ”tech toys”, such as blackberry. Namun, ada juga beberapa orang pula yang melakukannya untuk mencari perhatian, dan agar sekedar dibilang “cool” atau “mengikuti trend”.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, saya cukup yakin bahwa mayoritas pemberi komentar tidak mengenal secara pribadi kedua remaja tersebut. Sehingga amat kecil kemungkinan pula bahwa kedua remaja tersebut pernah melakukan sesuatu yang menyinggung atau menyebabkan konflik secara personal kepada pada pemberi komentar. Apabila hipotesa penulis ini benar, lalu mengapa sampai kedua remaja tersebut harus dicaci maki sedemikian rupa? Mengapa mereka berdua mendapat perlakuan dipermalukan sceara besar-besaran di “muka umum”? Lalu apa pula yang memberikan hak kepada para pemberi komentar untuk “making fun of them”? .
Well, sepertinya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut saya kembalikan kepada anda. Namun sebelum anda menjawab, saya ingin sekedar berbagi informasi. Di dunia barat sana, yang notabene ilmu pengetahuan dan teknologi beberapa langkah lebih maju dibandingkan negara kita, telah secara sadar mengakui bahaya dari bullying, dalam kasus ini khususnya cyberbullying. Anda akan dengan mudah menemukan situs-situs yang khusus membahas mengenai cyberbullying, lengkap dengan cara-cara pencegahan. Bahkan mereka secara konkret telah menanamkan pendidikan mengenai bahaya bullying (baca : cyberbullying) sejak dini kepada para remaja disana, karena mereka sadar penuh bahwa generasi itulah yang akan selalu hidup berdampingan dengan teknologi, sehingga butuh kebijaksanaan dan kedewasaan untuk dapat menggunakan teknologui tersebut agar tidak menyimpang ke hal-hal yang tidak diinginkan. Bukan tanpa alasan mereka menanamkan hal tersebut semenjak dini. Beberapa kasus nyata memperlihatkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam bullying/cyberbullying memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena tidak tahan dengan cara orang-orang memperlakukan mereka (baca : menghina atau mempermalukan). Di Indonesia sendiri saya belum menemui kasus cyberbullying hingga korbannya bunuh diri (CMIIW), namun bila gejala di masyarakat yang sedang “ngetrend” ini tidak sejak sekarang dicegah, saya khawatir jatuhnya korban hanya tinggal menunggu waktu.
PS : Bila anda peduli, bantu saya menyebarkan informasi ini
Wassalam Wr. Wb,
Arya Verdi Ramadhani
Psikolog, Penggiat Anti-Bullying
Sumber :
http://inventco.net/studi-kasus/trending-topics-di-twitter-mentahkan-konsep-the-tipping-point/
http://www.stopcyberbullying.org/
http://www.internetbullying.com/
http://maryslarson.com/cyberbullying.jpg
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
I'll repost to my blog ya Ver. :)
nice info
Post a Comment