Sunday, January 3, 2010

VJ#47/I/2010 : Ujian Nasional? Why, Oh Why..


Silang Pendapat mengenai UN akhirnya diputuskan melalui keputusan MA (14 September 2009) yang menolak Permohonan Kasasi Pemerintah tentang Ujian Nasional. Dampaknya adalah pemerintah wajib menjalankan putusan tersebut. Dalam putusan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim telah menyatakan :
1.Pemerintah lalai dalam memenuhi hak asasi manusia terutama hak atas pendidikan dan hak- hak anak.
2.Memerintahkan kepada pemerintah untuk memperbaiki sarana prasarana, peningkatan kualitas guru dan akses informasi ke daerah sebelum ujian nasional dilaksanakan.
3.Memerintahkan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional.
4.Meninjau ulang sistem pendidikan nasional.

Pemerintah saat ini masih mencoba melakukan upaya hukum untuk memastikan tahun depan UN tetap dapat terlaksana. Hal yang dilakukan pemerintah ini bagi sebagian masyarakat dianggap tindakan yang kurang bijaksana karena menilai pelaksanaan UN secara yuridis bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain itu, secara pedagogis UN dianggap menghambat proses kreatif berpiikir anak untuk memperoleh penilaian secara holistic. Apa sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan sehingga UN telah bertahun ini memancing pro dan kontra?

* Mengapa Ujian Nasional Diperdebatkan? Perspektif Perlindungan Hak Anak :
Perspektif mengenai Perlindungan Hak Anak tertuang dalam Konvensi Hak-HAK Anak (KHA), yang kemudian mendasari berbagai ketentuan dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Persepektif tersebut didasari pada 4 prinsip :
1. Non Diskriminasi
Negara harus menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dll (Pasal 2 Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) ). UN dianggap diskriminatif karena kondisi siswa dan sekolah di NKRI yang amat beragam (geografis, budaya, dan sosek), tetapi anak-anak dituntut untuk mencapai target yang sama dengan adanya standar nasional.

2. Kepentingan Terbaik Bagi Anak
Segala tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislative, dan badan yudikatif, maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 2 UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). UN dianggap hanya implementasi dari target-target politik pemerintah pusat, pemda, dan sebagainya. Kebijakan UN yang berubah-ubah setiap tahun adakah bukti bahwa UM bukan produk dari proses perencanaan yang matang.

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan Perkembangan
Kebijakan atau tindakan dari negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua tidak boleh mematikan hidup dan kehidupan seorang anak, mematikan harapan, menekan secara psikologis, membangun ketakutan, perlakuan dengan kekerasan, sehingga anak justru tidak tumbuh daya nalar kreatifitasnya. UN dianggap telah menganggu tumbuh kembang anak karena dala persiapannya di dalamnya ada proses yang penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan cemas, gangguanpsikologis, serta ancaman kekerasan. Salah satu kasus nyata adalah Endang Lestari, siswi kelas III SMP Negeri 1 Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah yang nekat bunuh diri dengan cara gantung diri pada Sabtu 23 Juni 2007. Pihak keluarga menduga hal tersebut karena ia tidak lulus UN (Kompas, 25 Juni 2007). Selai itu, UN juga dianggap hanya mengukur kemampuan kognisi, sementara kemampuan afeksi dan psikomotor dikesampingkan.

4. Penghargaan Terhadap Pendapat Anak
Penghormatan terhadap hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pemgambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Prinsip-prinsip di atas juga tercantum di dalam Pasal 28 B Ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi”

* Pengalaman Ujian Nasional Negara Lain
Pandangan bahwa kualitas lingkungan belajar menentukan kualitas hasil pendidikan juga dianut oleh banyak negara lain. Undang-undang yang dinamakan No Child Left Behind (NCLB) di Amerika Serikat menganut pandangan ini. Kebijakan NCLB yang kemudian menjadi Elemntary and Secondary Education Act (ESEA) tahun 2002 mewajibkan adanya tes nasional, terhadap peserta didik di SD, SMP, dan SMA di Amerika Serikat, dengan tujuan untuk menjamin agar peserta didik mendapatkan layanan pendidikan berkualitas yang menjadi hak mereka. Hasil tes peserta ddik dijadikan salah satu dasar untuk menentukan kualitas pelayan pendidikan suatu sekolah dan bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik.

Data dari International Review of Curriculm and Assessment Frameworks Internet Archive yang disusun oleh Sharon O’Donnell dkk. (2002) menunjukan bahwa hampir semua negara Eropa, kecuali Italia dan Spanyol, tidak melakukan Ujian Negara di SD. Seperti Italia dan Spanyol, Singapura melakukan Ujian Negara di SD untuk melanjutkan ke jenjang SMP (Lower Secondary), tetapi hasil ujian tidak menyebabkan peserta didik tidak boleh melanjutkan pendidikan wajib belajarnya ke SMP. Ujian Negara yang dilakukan negara-negara Eropa, selain Hungaria dan Swiss, bukan untuk menentukan kelulusan seseorang dari satuan pendidikan SMP yang sedang diikutinya, tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang telah dimilikinya. Brdasarkan kemampuan tersebut, maka seorang peserta didik ditentukan apakah akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum ataukah sekolah jurusan. Di Jerman, misalnya, hasil penilaian guru, konselor dan orang tualah yang menentukan apakah seseorang peserta didik akan masuk ke gymnasium (untuk ke perguruan tinggi), realschule (untuk pendidikan umum) ataukah hauptschule (untuk bekerja).

Pada intinya, Ujian Negara yang dilakukan negara-negara Eropa, selain Hungaria dan Swiss, bukan untuk menentukan kelulusan seseorang dari satuan pendidikan yang sedang diikutinya, tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan kemampuan tersebut maka seorang peserta didik ditentukan apakah akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum ataukah sekolah kejuruan.

* Kejanggalan PP No.19 Tahun 2005
1. Pasal 63 ayat (1)
Pasal ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik selain kewenangan yang dimiliki oleh pendidik dan satuan pendidikan. Hal ini memperlihatkan intervensi pemerintah yang dalam terhadap ototnomi pendidik, seklaigus bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas yang memberikan kewenangan penuh kepada pendidik untuk menilai seluruh proses pembelajaran peserta didik, mulai dari awal hinggan akhir penentuan kelulusannya.

2. Pasal 72 Ayat (1) d
Menyebutkan bahwa peserta didik dinyakatan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi 4 syarat, yaitu ;
a. Telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran
b. Memperoleh nilai minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan
c. Lulus Ujian sekolah
d. Lulus ujian nasional
Syarat pertama dan kedua memang mencoba menghargai penilaian proses, namun bila dihadapkan pada syarat ketiga dan keempat maka pada akhirnya proses pembelajaran tidak lagi berarti. Sebab, dalam kenyataan banyak sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah hanya untuk mempelajari cara mensiasati soal-soal ujian semata.

* Kesimpulan dan Rekomendasi
Dengan mempertimbangkan berbagai hal yang sudah diuraikan di atas, kebijakan UN harus mendapat pertimbangan baru yang diselaraskan dengan empat kebijakan utama Depdiknas (aksesibilitas, pembinaan kualitas, peningkatan manajemen, dan akuntabilitas), antara lain :
1.Mempercepat aksesibilitas terhadap pendidikan bermutu bagi usia 7 -15 tahun
2.Pemerintah harus membantu sekolah negeri dan swasta dengan penyediaan fasilitas belajar yang memenuhi standar kompetensi pendidikan.
3.UN dikembangkan dan diarahkan sebagai salah satu alat evaluasi untuk mengumpulkan data mengenai pelayanan pendidikan berkualitas, bukan untuk menentukan kelulusan murid. Pemerintah diharapkan melaksanakan UN yang disertai dengan pengumpulan data mengenai proses pendidikan.
4.Kurikulum SMA diubah secara mendasar sebagai pendidikan persiapan peserta didik untuk ke perguruan tinggi (peserta didik diberi kesempatan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk program studi yang ingin diikutinya.)
5.Konsentrasikan seluruh sumber daya pendidikan yang ada untuk memenuhi standar nasional pendidikan di seluruh wilayah NKRI (antara lain standar isi, standar proses, standar kompetensi kelulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaanm dan juga standar penilaian pendidikan) yang dilaksanakan secara komperehensif, simultan, dan konsisten (Pasal 35 UU No 20 tahun 2003)
6.Sementara mempersiapkan standar-standar komponen pendidikan yang telah disebutkan di atas, maka fungsi evaluasi pendidikan dapat dikembalikan kepada sekolah dengan menggunakan standar lokal daerah (melalui nilai rata-rata semester, pekerjaan rumah, tugas-tugas, dan observasi)
7.Revisi PP No. 19 tahun 2005 tentang Standarisasi Nasional Pendidikan dan mengedepankan prinsip standarisasi yang lebih mempertimbangkan keragaman bangsa dan tidak diskriminatif.
8.Pemerintah memfasilitasi terbentuknya gerakan perbaikan pendidikan yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun civil society, untuk meletakkan dasar-dasar bagi perubahan paradigm, kebijakan, dan anggaran pendidikan nasional Indonesia.


Sumber :
Education Forum. Menggugat Ujian Nasional ; Memperbaiki Kualitas Pendidikan. Penerbit Teraju. Jakarta: 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

No comments: