Tuesday, January 5, 2010
VJ#48/I/2010 : Cyberbullying? What the...?
Wanna be famous on twitter? just say something like "bb users are alay",and abrakadabra, ur name is on trending topics..such a ridicilous phenomenon..poor #rana :(
Saya menulis kalimat di atas pada status Facebook hari Senin 4 Januari 2010, pukul 23.42. Saat itu saya yang telah setengah tertidur (atau setengah sadar) sedang berusaha keras untuk membuat tubuh terlelap dengan cara yang biasa dipakai manusia “jaman sekarang” dan dengan media yang tidak kalah “jaman sekarang” nya. Yup, twitter-ing dengan memakai blackberry! .
Tidak ada yang istimewa ketika saya memulainya. Saya mendapati timeline dengan tweets yang “biasa-biasa” saja. Yah, mungkin layaknya timeline harian rekan-rekan pembaca yang juga tergabung di jagat maya berlambang burung kecil tersebut. Ada yang berisi curhat, kemarahan yang ditujukan ke orang secara anonim, atau bahkan lelucon lokal yang (kemungkinan besar) hanya dimengerti segelintir followers pemilik account. Saat mata ini sudah mulai mengalah kepada kekuatan rasa kantuk, perhatian saya tertuju kepada salah satu tweets rekan saya. Tweets yang tiba-tiba membuat saya terjaga kembali karena ingin tahu.
Secara singkat, tweets tersebut menunjukkan bahwa adanya hastag (#) baru yang, ternyata, sempat menjadi trending topics. So, what’s new? Tweeps asal Indonesia memang cukup sering sukses menempatkan hastag lokal merajai trending topics, sebut saja #indonesiaunite, #jamansd, dan banyak lagi. Namun, hashtag ini tidak lazim di mata saya, sehingga membuat saya heran mengapa bisa sukses menjadi trending topics dalam waktu relatif singkat. Hashtag itu singkat dan padat : #rana
Who’s #rana?
Rasa penasaran dengan gagah berani mengalahkan rasa kantuk sehingga membuat saya secara sadar mencari #rana melalui media “search topics”. Dengan singkat saya mengetahui bahwa Rana adalah seorang remaja yang pada hari itu melalui account-nya men-tweet dengan pesan bahwa para pengguna blackberry adalah seorang alay (istilah alay dapat anda search sendiri ya ). Entah apa maksud Rana mem-post tweet semacam itu, yang saya tahu, seperti dikomando, tiba-tiba malam itu para pengguna twitter ramai-ramai memberikan komentar, tentu tidak lupa dengan hastag #rana. Komentar yang diberikan beraneka ragam, mulai dari yang mendukung, menjadikan bercandaan ala plesetan, sampai yang mencaci maki. Walhasil, #rana sukses merajai trending topics. Bahkan kabarnya, #rana sempat pula menjadi pemberitaan di radio dan televisi. Wow!
Fenomena #rana ini membawa memori saya ke waktu belum lama ini saat seorang remaja lainnya bernama Ophi merajai trending topics dengan hashtag #ophiabubu. Sekedar menyegarkan ingatan, Ophi “terkenal” karena gaya penulisannya yang (lagi-lagi) dianggap alay. Fenomena ophi (bila boleh disebut demikian) bahkan dapat dikatakan jauh lebih dahsyat bila dibandingkan dengan fenomena #rana. Tidak hanya sebatas dibicarakan di jejaring sosial seperti facebook, twitter, blogs, atau menjadi thread khusus di kaskus, namun bahkan juga sempat menjadi artikel tersendiri dalam satu surat kabar lokal berbahasa asing yang amat terkenal untuk khusus membahas mengenai remaja perempuan tersebut!
Berangkat dari kedua “fenomena” itu saya mencoba menyusun tulisan serius tapi santai ini. Tenang saja, saya tidak akan berpanjang lebar membahas mengenai latar belakang kasus Rana maupun Ophi. Lebih penting, saya mencoba untuk sedikit membuka pemikiran pembaca semua mengenai gejala di masyarakat kita, terutama yang melek teknologi, yang sedikit demi sedikit mulai berkembang, yang saya khawatir bila tidak segera diingatkan maka akan menjadi suatu penyakit yang menggerogoti secara perlahan dan menyimpan potensi besar untuk menyebabkan sesuatu yang buruk di masa depan. Seram ya? Yah, tergantung bagaimana anda menilainya setelah membaca habis tulisan saya ini.
Apa rahasia Trending Topics?
Setelah mencari petunjuk melalui mbah Google, saya berhasil menemukan bagaimana sebuah hashtag bisa menjadi trending topics. Dalam suatu artikel yang ditulis Mada Azhari (dalam http://inventco.net/studi-kasus/trending-topics-di-twitter-mentahkan-konsep-the-tipping-point/), saya mengetahui bahwa Malcolm Gladwell, di buku larisnya yang berjudul The Tipping Point, menyebutkan bahwa semua itu dipicu oleh segelintir super influential. Lewat influencer, informasi menyebar kemudian mempengaruhi orang lain untuk meniru mereka. Tapi nampaknya tidak begitu dengan #indonesiaunite dan #jamanSD . Trend topic itu bergerak cepat, menviral bahkan dalam tempo hitungan jam. Kalau begini konsep The Tipping Point luntur nyaris tak berbekas. Untunglah suatu penelitian menjawab hal tersebut. Duncan Watts, saintis teori jejaring lulusan Columbia University yang kini bekerja di Yahoo!, melalui penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata sebuah trend dapat terjadi tanpa harus dipicu oleh segelintir influencer (orang amat berpengaruh). Tren bisa meledak, tanpa bergantung pada siapa yang memulai, namun tergantung pada kesiapan masyarakat untuk menyambutnya. Cocok dengan fenomena sosial media saat ini, artinya, “semua orang bisa memicu tren, tidak harus orang berpengaruh” katanya.
Lebih jauh, bila kita kategorikan maka yang terjadi pada #rana dan #ophiabubu adalah kategori Stream News. Semua orang menyampaikan spontan tanpa perlu ada influencer. Berita seputar seperti gempa, bom, bahkan seorang seleb yang baru mekar sekalipun seperti #mbah surip dapat cepat menjadi trending topics. Dalam kasus kedua remaja tersebut, orang-orang secara spontan memberikan komentarnya. Entah karena iseng, memang tidak suka dengan “perilaku” mereka, menumpahkan kekesalan, atau hanya sekedar konformitas alias ikut-ikutan. Tanpa rasa segan dan takut, mereka memberikan komentar-komentar sesuka mereka. Selain sebagian besar para komentator tidak mengenal secara pribadi kedua remaja tersebut, (mungkin) mereka juga berpikir “hei, semua orang melakukannya, kenapa saya tidak??”.
Khusus untuk pemberi komentar negatif, mungkin sebagian besar dari mereka memberikan komentar-komentar tersebut secara sadar, namun saya tidak yakin mereka juga sadar bahwa saat itu pula mereka telah “resmi” menjadi pelaku internet bullying atau lebih dikenal dengan istilah cyberbullying!
Cyberbullying? What the..?
Secara teoritis "Internet bullying/Cyberbullying" diartikan sebagai berikut
“..is a form of personal attack which employs threats, pressure and intimidation through the avenues of internet technology. The bullying may take place by the use of messaging sites, blogs, online forums, electronic mail and other means of cyber technology. When internet bullying takes place, its victims are harassed, intimidated and are left with damaged reputations.”
Supaya tidak bingung, kurang lebih bila dalam artian bebas saya menterjemahkan cyberbullying sebagai situasi dimana seseorang yang kuat (mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang dengan menggunakan melalui messaging sites, blogs, online forums, electronic mail, dimana sang korban tidak mampu membela diri krn lemah secara mental. Tipe bullying ini mulai menjadi fenomena baru seiring dengan berkembangnya teknologi. Manusia saat ini seperti hidup di dunia tanpa batas. Hampir semua orang terhubung dengan benda ajaib bernama “internet”. Data dan informasi dengan mudahnya tersebar sekejap mata. Dengan adanya internet, bullying semakin mudah untuk dilakukan. A single person’s small act of maligning someone can reach hundreds of people in a split-second!
Sepertinya bila melihat pengertian di atas, nampaknya kasus #rana dan #ophiabubu sudah lebih dari cukup untuk dikategorikan sebagai cyberbullying. Bagaimana tidak? Melalui media twitter, facebook, atau forum-forum diskusi, tidak sedikit para penghuni jagat maya yang memberikan komentar-komentar melecehkan, menghina, bahkan menggunakan kata-kata kasar untuk kedua anak remaja tersebut. Lalu mengapa hal tersebut sampai terjadi? Berbicara mengenai penyebab, maka ada beberapa hal yang bisa dikedepankan, misalnya karena pemberi komentar didorong oleh rasa amarah, balas dendam atau rasa frustrasi kepada sang korban atau kepada orang lain yang kemudian melimpahkan kekesalannya melalui dunia maya. Ada juga yang melakukannya untuk alasan-alasan sepele, seperti “hei,I’m doing it just for fun”, atau karena sedang merasa bosan serta mempunyai banyak waktu kosong untuk berbuat iseng, dan didukung juga oleh mudahnya pelaku untuk mengakses ”tech toys”, such as blackberry. Namun, ada juga beberapa orang pula yang melakukannya untuk mencari perhatian, dan agar sekedar dibilang “cool” atau “mengikuti trend”.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, saya cukup yakin bahwa mayoritas pemberi komentar tidak mengenal secara pribadi kedua remaja tersebut. Sehingga amat kecil kemungkinan pula bahwa kedua remaja tersebut pernah melakukan sesuatu yang menyinggung atau menyebabkan konflik secara personal kepada pada pemberi komentar. Apabila hipotesa penulis ini benar, lalu mengapa sampai kedua remaja tersebut harus dicaci maki sedemikian rupa? Mengapa mereka berdua mendapat perlakuan dipermalukan sceara besar-besaran di “muka umum”? Lalu apa pula yang memberikan hak kepada para pemberi komentar untuk “making fun of them”? .
Well, sepertinya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut saya kembalikan kepada anda. Namun sebelum anda menjawab, saya ingin sekedar berbagi informasi. Di dunia barat sana, yang notabene ilmu pengetahuan dan teknologi beberapa langkah lebih maju dibandingkan negara kita, telah secara sadar mengakui bahaya dari bullying, dalam kasus ini khususnya cyberbullying. Anda akan dengan mudah menemukan situs-situs yang khusus membahas mengenai cyberbullying, lengkap dengan cara-cara pencegahan. Bahkan mereka secara konkret telah menanamkan pendidikan mengenai bahaya bullying (baca : cyberbullying) sejak dini kepada para remaja disana, karena mereka sadar penuh bahwa generasi itulah yang akan selalu hidup berdampingan dengan teknologi, sehingga butuh kebijaksanaan dan kedewasaan untuk dapat menggunakan teknologui tersebut agar tidak menyimpang ke hal-hal yang tidak diinginkan. Bukan tanpa alasan mereka menanamkan hal tersebut semenjak dini. Beberapa kasus nyata memperlihatkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam bullying/cyberbullying memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena tidak tahan dengan cara orang-orang memperlakukan mereka (baca : menghina atau mempermalukan). Di Indonesia sendiri saya belum menemui kasus cyberbullying hingga korbannya bunuh diri (CMIIW), namun bila gejala di masyarakat yang sedang “ngetrend” ini tidak sejak sekarang dicegah, saya khawatir jatuhnya korban hanya tinggal menunggu waktu.
PS : Bila anda peduli, bantu saya menyebarkan informasi ini
Wassalam Wr. Wb,
Arya Verdi Ramadhani
Psikolog, Penggiat Anti-Bullying
Sumber :
http://inventco.net/studi-kasus/trending-topics-di-twitter-mentahkan-konsep-the-tipping-point/
http://www.stopcyberbullying.org/
http://www.internetbullying.com/
http://maryslarson.com/cyberbullying.jpg
Sunday, January 3, 2010
VJ#47/I/2010 : Ujian Nasional? Why, Oh Why..
Silang Pendapat mengenai UN akhirnya diputuskan melalui keputusan MA (14 September 2009) yang menolak Permohonan Kasasi Pemerintah tentang Ujian Nasional. Dampaknya adalah pemerintah wajib menjalankan putusan tersebut. Dalam putusan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim telah menyatakan :
1.Pemerintah lalai dalam memenuhi hak asasi manusia terutama hak atas pendidikan dan hak- hak anak.
2.Memerintahkan kepada pemerintah untuk memperbaiki sarana prasarana, peningkatan kualitas guru dan akses informasi ke daerah sebelum ujian nasional dilaksanakan.
3.Memerintahkan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional.
4.Meninjau ulang sistem pendidikan nasional.
Pemerintah saat ini masih mencoba melakukan upaya hukum untuk memastikan tahun depan UN tetap dapat terlaksana. Hal yang dilakukan pemerintah ini bagi sebagian masyarakat dianggap tindakan yang kurang bijaksana karena menilai pelaksanaan UN secara yuridis bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain itu, secara pedagogis UN dianggap menghambat proses kreatif berpiikir anak untuk memperoleh penilaian secara holistic. Apa sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan sehingga UN telah bertahun ini memancing pro dan kontra?
* Mengapa Ujian Nasional Diperdebatkan? Perspektif Perlindungan Hak Anak :
Perspektif mengenai Perlindungan Hak Anak tertuang dalam Konvensi Hak-HAK Anak (KHA), yang kemudian mendasari berbagai ketentuan dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Persepektif tersebut didasari pada 4 prinsip :
1. Non Diskriminasi
Negara harus menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dll (Pasal 2 Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) ). UN dianggap diskriminatif karena kondisi siswa dan sekolah di NKRI yang amat beragam (geografis, budaya, dan sosek), tetapi anak-anak dituntut untuk mencapai target yang sama dengan adanya standar nasional.
2. Kepentingan Terbaik Bagi Anak
Segala tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislative, dan badan yudikatif, maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 2 UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). UN dianggap hanya implementasi dari target-target politik pemerintah pusat, pemda, dan sebagainya. Kebijakan UN yang berubah-ubah setiap tahun adakah bukti bahwa UM bukan produk dari proses perencanaan yang matang.
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan Perkembangan
Kebijakan atau tindakan dari negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua tidak boleh mematikan hidup dan kehidupan seorang anak, mematikan harapan, menekan secara psikologis, membangun ketakutan, perlakuan dengan kekerasan, sehingga anak justru tidak tumbuh daya nalar kreatifitasnya. UN dianggap telah menganggu tumbuh kembang anak karena dala persiapannya di dalamnya ada proses yang penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan cemas, gangguanpsikologis, serta ancaman kekerasan. Salah satu kasus nyata adalah Endang Lestari, siswi kelas III SMP Negeri 1 Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah yang nekat bunuh diri dengan cara gantung diri pada Sabtu 23 Juni 2007. Pihak keluarga menduga hal tersebut karena ia tidak lulus UN (Kompas, 25 Juni 2007). Selai itu, UN juga dianggap hanya mengukur kemampuan kognisi, sementara kemampuan afeksi dan psikomotor dikesampingkan.
4. Penghargaan Terhadap Pendapat Anak
Penghormatan terhadap hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pemgambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Prinsip-prinsip di atas juga tercantum di dalam Pasal 28 B Ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi”
* Pengalaman Ujian Nasional Negara Lain
Pandangan bahwa kualitas lingkungan belajar menentukan kualitas hasil pendidikan juga dianut oleh banyak negara lain. Undang-undang yang dinamakan No Child Left Behind (NCLB) di Amerika Serikat menganut pandangan ini. Kebijakan NCLB yang kemudian menjadi Elemntary and Secondary Education Act (ESEA) tahun 2002 mewajibkan adanya tes nasional, terhadap peserta didik di SD, SMP, dan SMA di Amerika Serikat, dengan tujuan untuk menjamin agar peserta didik mendapatkan layanan pendidikan berkualitas yang menjadi hak mereka. Hasil tes peserta ddik dijadikan salah satu dasar untuk menentukan kualitas pelayan pendidikan suatu sekolah dan bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik.
Data dari International Review of Curriculm and Assessment Frameworks Internet Archive yang disusun oleh Sharon O’Donnell dkk. (2002) menunjukan bahwa hampir semua negara Eropa, kecuali Italia dan Spanyol, tidak melakukan Ujian Negara di SD. Seperti Italia dan Spanyol, Singapura melakukan Ujian Negara di SD untuk melanjutkan ke jenjang SMP (Lower Secondary), tetapi hasil ujian tidak menyebabkan peserta didik tidak boleh melanjutkan pendidikan wajib belajarnya ke SMP. Ujian Negara yang dilakukan negara-negara Eropa, selain Hungaria dan Swiss, bukan untuk menentukan kelulusan seseorang dari satuan pendidikan SMP yang sedang diikutinya, tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang telah dimilikinya. Brdasarkan kemampuan tersebut, maka seorang peserta didik ditentukan apakah akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum ataukah sekolah jurusan. Di Jerman, misalnya, hasil penilaian guru, konselor dan orang tualah yang menentukan apakah seseorang peserta didik akan masuk ke gymnasium (untuk ke perguruan tinggi), realschule (untuk pendidikan umum) ataukah hauptschule (untuk bekerja).
Pada intinya, Ujian Negara yang dilakukan negara-negara Eropa, selain Hungaria dan Swiss, bukan untuk menentukan kelulusan seseorang dari satuan pendidikan yang sedang diikutinya, tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan kemampuan tersebut maka seorang peserta didik ditentukan apakah akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum ataukah sekolah kejuruan.
* Kejanggalan PP No.19 Tahun 2005
1. Pasal 63 ayat (1)
Pasal ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik selain kewenangan yang dimiliki oleh pendidik dan satuan pendidikan. Hal ini memperlihatkan intervensi pemerintah yang dalam terhadap ototnomi pendidik, seklaigus bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas yang memberikan kewenangan penuh kepada pendidik untuk menilai seluruh proses pembelajaran peserta didik, mulai dari awal hinggan akhir penentuan kelulusannya.
2. Pasal 72 Ayat (1) d
Menyebutkan bahwa peserta didik dinyakatan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi 4 syarat, yaitu ;
a. Telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran
b. Memperoleh nilai minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan
c. Lulus Ujian sekolah
d. Lulus ujian nasional
Syarat pertama dan kedua memang mencoba menghargai penilaian proses, namun bila dihadapkan pada syarat ketiga dan keempat maka pada akhirnya proses pembelajaran tidak lagi berarti. Sebab, dalam kenyataan banyak sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah hanya untuk mempelajari cara mensiasati soal-soal ujian semata.
* Kesimpulan dan Rekomendasi
Dengan mempertimbangkan berbagai hal yang sudah diuraikan di atas, kebijakan UN harus mendapat pertimbangan baru yang diselaraskan dengan empat kebijakan utama Depdiknas (aksesibilitas, pembinaan kualitas, peningkatan manajemen, dan akuntabilitas), antara lain :
1.Mempercepat aksesibilitas terhadap pendidikan bermutu bagi usia 7 -15 tahun
2.Pemerintah harus membantu sekolah negeri dan swasta dengan penyediaan fasilitas belajar yang memenuhi standar kompetensi pendidikan.
3.UN dikembangkan dan diarahkan sebagai salah satu alat evaluasi untuk mengumpulkan data mengenai pelayanan pendidikan berkualitas, bukan untuk menentukan kelulusan murid. Pemerintah diharapkan melaksanakan UN yang disertai dengan pengumpulan data mengenai proses pendidikan.
4.Kurikulum SMA diubah secara mendasar sebagai pendidikan persiapan peserta didik untuk ke perguruan tinggi (peserta didik diberi kesempatan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk program studi yang ingin diikutinya.)
5.Konsentrasikan seluruh sumber daya pendidikan yang ada untuk memenuhi standar nasional pendidikan di seluruh wilayah NKRI (antara lain standar isi, standar proses, standar kompetensi kelulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaanm dan juga standar penilaian pendidikan) yang dilaksanakan secara komperehensif, simultan, dan konsisten (Pasal 35 UU No 20 tahun 2003)
6.Sementara mempersiapkan standar-standar komponen pendidikan yang telah disebutkan di atas, maka fungsi evaluasi pendidikan dapat dikembalikan kepada sekolah dengan menggunakan standar lokal daerah (melalui nilai rata-rata semester, pekerjaan rumah, tugas-tugas, dan observasi)
7.Revisi PP No. 19 tahun 2005 tentang Standarisasi Nasional Pendidikan dan mengedepankan prinsip standarisasi yang lebih mempertimbangkan keragaman bangsa dan tidak diskriminatif.
8.Pemerintah memfasilitasi terbentuknya gerakan perbaikan pendidikan yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun civil society, untuk meletakkan dasar-dasar bagi perubahan paradigm, kebijakan, dan anggaran pendidikan nasional Indonesia.
Sumber :
Education Forum. Menggugat Ujian Nasional ; Memperbaiki Kualitas Pendidikan. Penerbit Teraju. Jakarta: 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
VJ#46/I/2010 : Happy New Year dear Readers
Hei All,,wow, tak terasa tahun yang baru telah tiba..semoga dengan datangnya awal yang baru ini, maka dapat menginspirasi kita semua untuk terus berkarya dan berkreasi dalam lingkup keahlian masing-masing dengan semangat yang baru pula.
Dalam kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih kepada para pembaca blogs saya yang telah bersedia untuk menyempatkan waktu untuk meng-add YM atau mengirimkan email kepada saya untuk sekedar bertanya atau berdiskusi. Mohon maaf apabila saya tidak dapat memberikan jawaban atau respon yang memuaskan anda semua. Saya berharap agar diskusi di antara kita dapat terus terjalin.
Sebagai awal yang baru, maka sekalian saya mau memberikan sesuatu yang "baru" untuk Verdi's Journals. Apabila selama ini tulisan saya banyak berkutat dengan ke-psikologi-an, maka mulai awal tahun ini saya akan mulai memposting di blogs tersayang ini tulisan-tulisan yang lebih luas cakupannya dan tidak terpaku pada ilmu-ilmu kaidah psikologi. Akan tetapi, saya tetap berusaha untuk menyentuh isu psikologis, meski tidak dominan, karena memang hakikatnya dari sanalah saya "berasal".
Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas kesetiaan anda membaca blogs saya. And once again, Happy New Year Everybody :)
Wassalam.Wr.Wb,
Arya Verdi Ramadhani
Subscribe to:
Posts (Atom)