Thursday, December 20, 2007

VJ#12/XII/2007 : Well Being Pada Lansia


Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu dengan melalui tahap-tahap perkembangan. Hurlock (1991) menyebutkan tahap perkembangan tersebut adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak, masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock (1991) ingin menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua, yaitu periode penutup dalam rentang hidup seseorang di saat seseorang telah “beranjak jauh” dari periode tertentu yang lebih menyenangkan. Pada tahap perkembangan ini, Erikson (dalam Santrock, 1997) menyebutnya dengan sebutan ”Integrity versus Despair”. Pada masa-masa ini, individu melihat kembali perjalanan hidup ke belakang, apa yang telah mereka lakukan selama perjalanan mereka tersebut. Ada yang dapat mengembangkan pandangan positif terhadap apa yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas (integrity), tetapi ada pula yang memandang kehidupan dengan lebih negatif, sehingga mereka memandang hidup mereka secara keseluruhan dengan ragu-ragu, suram, putus asa (despair).

Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya. Salah satu contohnya adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan dirinya merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu. Hal ini menyebabkan lansia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah-masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhlan perhatian lebih. Masalah-masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun

Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan psychological well-being (PWB) sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri (Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa PWB menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.

Menurut Santrock (1997), ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh para lansia untuk membantu mereka mencapai PWB, yaitu mencakup memiliki pendapatan, kesehatan yang baik, gaya hidup aktif, dan mempunyai jaringan teman dan keluarga yang baik. Mengenai gaya hidup aktif, Santrock (1997) menyebutkan bahwa lansia yang memiliki gaya hidup aktif akan memiliki PWB yang lebih baik dibandingkan dengan lansia yang hanya diam di rumah dan menyendiri. Begitu pula dengan manula yang memiliki jaringan teman dan keluarga daripada manula yang terisolasi sosial. Sedangkan Hurlock (1991) menyebutkan bahwa PWB atau kebahagiaan pada lansia tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A” Kebahagiaan, yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Apabila seorang lansia tidak dapat memenuhi “tiga A” tersebut maka akan sulit baginya untuk dapat mencapai kebahagiaan. Misalnya, ia merasa diabaikan oleh anggota keluarga atau petugas panti wredha, merasa bahwa prestasi pada masa lalu tidak memenuhi harapan dan keinginan, atau apabila mereka mengembangkan perasaan bahwa tidak ada satu orang pun yang mencintainya. Kebahagiaan tidak memiliki arti yang sama bagi mereka yang berusia lanjut. Namun, secara umum lansia yang bahagia lebih sadar dan siap untuk terikat dengan kegiatan baru dibandingkan lansia yang merasa tidak bahagia. Hal ini disebabkan apa yang dikerjakannya lebih penting bagi kebahagiaannya di masa usia lanjut dibandingkan siapa mereka. Hurlock (1991) menambahkan bahwa ada beberapa kondisi penting yang dapat membantu pencapaian PWB lansia, antara lain terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik, diterima oleh dan memperoleh respek dari kelompok sosial, menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat keluarga dan teman-teman, dan melakukan kegiatan produktif, baik kegiatan di rumah maupun kegiatan yang secara sukarela dilakukan.

Melihat uraian di atas maka terlihat bahwa untuk salah satu cara untuk mencegah atau membantu para lansia untuk keluar dari masalah-masalah yang berpotensi muncul pada tahap perkembangan mereka adalah dengan berusaha mencapai psychological well-being. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencapainya adalah dengan menjalin hubungan (jejaring) yang baik dengan orang-orang di sekitar lingkungan dan berusaha untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang ada.


Wassalam,


Arya Verdi R.

Referensi :

Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan edisi kelima : Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Ryff, C.D.(1989). Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of PWB.

Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.

Ryff, C.D. & Keyes, C.L.M. (1995). The structure of PWB revisited. Journal of

Personality and Social Psychology, 69, 719-727.

Ryff, C.D., Keyes, C.L.M., & Shmotkin, D. (2002). Optimizing Well-Being: The

Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social

Psychology, 82, 1007-1022.



6 comments:

Anonymous said...

hai...
ak tertarik dengan apa yang kamu tulis...bisa gak kamu kasih tahu dimana aku bisa nyari sumber tulisan kamu. kalo kamu ada soft copyna boleh gak kalo ak minta. Thanks banget ya...

Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikolog said...

halo zukofire287..terima kasih telah membuka blogs saya..btw, mau sumber yang mana?..mohon lebih jelas dengan meng-email saya saja di aryaverdi@yahoo.com..trims..

pitlockpoirot said...

assalamualaikum...
tulisannya pas banget, maksudnya berkaitan ma tugas saya. kebetulan ada tugas tuk bahas teori-teori perkembangan manusia, nah boleh dunk, kasih clue, apa2 aja yg mesti dibahas di teori2 perkembangan manusia?n ada berapa banyak teori ttg itu?n siapa aja pencetus teori itu?thx bgt ya...kalo ada bahannya boleh dunk kirim via email ke bintang.memong@gmail.com ^_^

Hellen Ndiki said...

haii
ni pas banget, aku lagi nyari jurnal Carol D.Ryff yang Psychological Well Being untuk bahan skripsiku.
bisa saya tahu kamu cari jurnalnya dimana atau saya bisa minta soft copynya?
thanks before ya

Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikolog said...

@hellen : hai hellen, referensi ada pada saya..contact saja email saya atau add YM saya untuk komunikasi lebi lanjut..terima kasih :)

Unknown said...

saya tertarik dengan tema2 yang berkaitan dengan lansia, dan merencanakan judul tentang itu untuk skripsi saya, boleh minta contact buat berdiskusi? jika anda berkenan,terima kasih :)