Tuesday, April 8, 2008

VJ#27/IV/2008 : Gangguan Seksual



Parafilia
I. Fetishism
Fetishism melibatkan ketergantungan pada obyek yang tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Obyek yang dibutuhkan untuk memperoleh rangsangan seksual tersebut disebut fetishes,dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu, stocking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat disukai atau bahkan dibutuhkan untuk terjadinya rangsangan seksual.Ketertarikan terhadap fetishes memiliki kualitas kompulsif, yaitu involuntary dan tidak dapat ditahan.
Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya, fetishisme dimulai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa yang lebih awal. Kebanyakan fetishes menampilkan pula parafilia lainnya, seperti paedofilia, sadisme, atau masokisme (Mason, 1997)


II. Transvestic Fetishism
Merupakan gangguan saat seorang laki-laki terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya, meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan, selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi seksual yang maskulin.

III. Pedofilia dan Inses
Pedofilia), adalah orang dewasa yang memperoleh kepuasan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall (1997) menunjukkan bahwa, bertentangan dengan pernyataan DSM bahwa seluruh paedofil lebih suka anak-anak prapubertas, sebagian paedofil menyerang anak-anak yang telah melewati masa puber. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pengalaman melakukan sex dengan orang dewasa.
Inses mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah pada kakak dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inses terjadi adalah patriarkal yang tidak biasa dan tradisional, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripadam laki-laki (Alexander & Lupfer, 1997). Orang tua dalam keluargasemacam ini akan cenderung menolak dan berjarak secara emosional dengan anak mereka.


IV. Voyeurism
Adalah preferensi yang nyata untuk memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktivitas seksual dimana mereka terlibat. Sementara bagi yang lain, kegiatan ini disukai namun tidak sepenuhnya penting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger, 1997).
Orang yang mengalami gangguan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian ataupun saat membayangkan melakukannya.


V. Eksibisionisme
Merupakan preferensi mendapatkan kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genital kepada orang tidak dikenal, atau dengan membayangkan melakukan hal tersebut. Dalam sebagian besar kasus, terdapat keinginan untuk membuat terkejut atau mempermalukan orang yang melihat. Pada eksibisionis, dorongan untuk mengekspose bersifat kompulsif dan selain oleh rangsangan seksual, dipicu juga oleh kecemasan. Pada saat melakukan exposure, eksibisionis bisa tidak menyadari konsekuensi sosial dan hukum dari apa yang dilakukannya (Stevenson & Jones, 1972).
Eksibisionisme umumnya mulai muncul pada masa remaja (Murphy, 1997). Sebagian besar eksibisionis adalah laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam pendekatan kepada lawan jenis, serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal. Lebih dari separuh eksibisionis telah menikah, namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan pasangan (Mohr, Turner, & Jerry, 1964).


VI. Frotteurism
Melibatkan kegiatan menyentuh orang lain secara seksual. Biasa dilakukan di tempat-tempat ramai seperti kendaraan umum atau trotoar, seorang frotteur dapat mengusap payudara atau alat kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya sendiri kepada paha atau pantat orang tersebut.


VII. Sadisme dan Masokisme Seksual
Sadisme seksual ditandai dengan preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun mental. Berbeda dengan pada sadisme, obyek yang disakiti pada orang dengan masokisme seksual adalah diri sendiri.
Mayoritas orang dengan sadisme menjalin hubungan dengan masokis demi mendapatkan kepuasan seksual bersama. Pada hubungan tersebut, terdapat cerita atau ‘naskah’ yang telah disetujui bersama-sama. Misalnya, orang dengan sadisme berperan sebagai guru yang disiplin, sedangkan orang dengan masokisme berperan sebagai murid yang nakal dan perlu dihukum. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah pencambukan, pukulan, mempermalukan, dan lain-lain.
Pada beberapa kasus, seorang dengan sadisme dipenjarakan sebagai sex offender yang menyiksa korbannya, dan mendapatkan kepuasan seksual dari perbuatannya (Dietz, Hazelwood, & Warren, 1990). Dibandingkan dengan sex offenders lain, orang dengan sadisme seksual labih sering berkedok sebagai polisi, melakukan pembunuhan berseri, mengikat korban, serta menyembunyikan mayat (Gratzer & Bradford, 1995).


Etipologi Parafilia
§ Pandangan Psikodinamik
Menurut pandangan psikodinamik, parafilia pada dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan dan direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang dengan parafilia dilihat sebagai seseorang yang takut akan hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan yang tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang, terbelakang, dan tidak adekuat untuk hubungan sosial dan persetubuhan heteroseksual dengan orang dewasa (Lanyon, 1986).


§ Pandangan Behavioral dan Kognitif
Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus yang dianggang tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan parafilia mengalami penyiksaan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak terganggu (Mason, 1997; Murphy, 1997). Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kemampuan sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall, Serran, & Cortoni, 2000). Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya, ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia 18 tahun.
Distorsi kognitif juga memiliki peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu, berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang lain.


Terapi Parafilia
Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991):
1. Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.ikuti
2. Memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment.
3. Memberikan intervensi paradoksikal, dengan mengekspresian keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk menjalani perawatan.
4. Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan atau diakui oleh pasien (Garland & Dougher, 1991).
Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia, yaitu terapi psikoanalitis, behavioral, kognitif, serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan seksual.


§ Terapi psikoanalitik
Pandangan psikoanalisa beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum mmberi kontribusi yang besar bagi penanganan parafilia secara efektif.


§ Teknik Behavioral
Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap obyek seksual yang tidak pantas, prosdur yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik saat seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation; seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua terapi tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lai seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat bermanfaat terhadap paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes, & barlow, 1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, & Bancroft, 1970; Marshall & Barbaree, 1990).
Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills.


§ Penanganan Kognitif
Prosedur kognitif sering digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang.

§ Penanganan Biologis
Intervensi biologis yang sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine (Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang efektif untuk mengobati obsesi dan kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia.


§ Usaha Hukum
Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai pelaku kejahatan seks. Dikenal sebagai Megan’s Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk mengulangi kejahatannya.

VJ#26/IV/2008 : Anxiety Disorder


written by : Agatha Novi Ardiati & Seto Ery Pradhana


Anxiety Disorder
Secara harafiah, anxiety disorder dapat diartikan sebagai gangguan cemas, yaitu perasaan takut dan khawatir yang tidak menyenangkan. Apabila kecemasan dan ketakutan terjadi secara berlebihan dan mengganggu fungsi normal seorang manusia, hal itu disebut gangguan cemas (anxiety disorder).
Berdasarkan DSM-IV, gangguan cemas terbagi menjadi enam kategori utama, yaitu phobia, gangguan panik (panic disorder), generalized anxiety disorder (GAD), obsessive-compulsive disorder (OCD), post-traumatic stress disorder (PTSD), dan acute stress disorder.


I. Phobia
Phobia didefinisikan oleh psikopatolog sebagai penolakan yang mengganggu yang diperantarai oleh rasa takut yang tidak proporsional, dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu dan diakui oleh si penderita sebagai sesuatu yang tidak berdasar.
Secara umum phobia dibagi dua yaitu phobia spesifik dan phobia sosial.
1. Phobia Spesifik
Phobia spesifik adalah suatu ketakutan yang tidak beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik.
Ada lima jenis phobia spesifik berdasarkan sumber ketakutannya, yaitu (1) phobia terhadap binatang tertentu (kucing, anjing, ular), (2) phobia terhadap keadaan alam (debu, ketinggian, hujan, petir), (3) phobia terhadap situasi tertentu (berada di dalam elevator, pesawat), (4) phobia terhadap darah, luka dan suntikan, (5) phobia terhadap hal lain (kematian, penyakit, tercekik).
Phobia spesifik juga dipengaruhi oleh budaya seperti pa-leng (ketakutan terhadap dingin dan kehilangan panas tubuh) di Cina dan taijin kyoshu-fo (ketakutan akan mempermalukan seseorang) di Jepang.

2. Phobia Sosial
Individu dengan phobia sosial mengalami ketakutan yang menetap dan tidak rasional yang biasanya berhubungan dengan keberadaan orang lain. Individu dengan phobia ini memiliki ketakutan bahwa mereka diperhatikan oleh orang lain dan mereka akan melakukan hal yang memalukan. Akibatnya, mereka akan menghindari situasi-situasi yang menurut mereka potensial untuk terjadinya hal-hal tersebut.

ETIOLOGI
· PSIKOANALISA
Menurut Freud, phobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan. Kecemasan ini dialihkan dari impuls id yang ditakuti dan dipindahkan ke suatu objek atau situasi yang memiliki hubungan simbolik dengannya.
· BEHAVIORAL
Penjelasan utama behavioral mengenai phobia adalah avoidance conditioning. Avoidance conditioning ini diformulasikan sebagai gabungan dari classical conditioning dan operant conditioning. Individu mempelajari bahwa sesuatu hal menakutkan karena hasil pairing stimulus netral dan dan stimulus terkondisi, lalu ia mempelajari bahwa ia dapat mengurangi rasa takut dengan menghindar dari stimulus terkondisi tersebut. Respon tersebut dipertahankan karena terbukti dapat mengurangi ketakutan atau kecemasan.
· KOGNITIF
Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan phobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat phobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang.
· BIOLOGIS
Pendekatan biologis berpendapat bahwa orang yang memiliki phobia memiliki suatu malfungsi biologis yang dapat memicu terjadinya phobia tersebut setelah terjadinya kejadian yang penuh stres. Beberapa penelitian mengenai hubungan phobia dengan sistem biologis seseorang adalah penelitian mengenai sistem saraf otonom dan faktor genetik.

TERAPI
· PSIKOANALISA
Para analis mengkombinasikan berbagai teknik yang intinya bertujuan untuk mengangkat represi dan konflik-konflik lain yang ditekan ke alam bawah sadar. Dalam asosiasi bebas, analis memperhatikan hal apa saja yang dikeluarkan oleh penderita menyangkut dengan fobia yang ia miliki. Dalam analisis mimpi, analis juga berusaha untuk menemukan sumber dari penyebab phobia.
Analis ego kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat insight dan lebih berfokus kepada usaha untuk mendorong pasien menghadapi phobia.
· BEHAVIORAL
Systematic desensitization adalah terapi behavioral utama untuk digunakan pada penderita phobia. Penderita diminta untuk membayangkan serangkaian hal yang menakutkan, dan dilatih untuk relaksasi pada tiap tahapan.
Flooding adalah teknik terapeutik di mana penderita dipaparkan dengan sumber phobia dalam intensitas penuh.
Modeling juga salah satu teknik yang digunakan dalam terapi behavioral. Dalam terapi modeling, penderita diperlihatkan objek yang ditakuti tidak benar berbahaya karena terapis dan orang lain dapat berada pada situasi yang dianggap menakutkan tersebut namun tidak terancam.
· KOGNITIF
Terapi kognitif untuk phobia dipandang dengan skeptis karena penderita mengakui bahwa ketakutan yang dialaminya memang irasional, sehingga tak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah jalan pikirnya.
Lain halnya dengan penanganan phobia sosial, terapi kognitif lebih menjanjikan. Digabungkan dengan pelatihan ketrampilan sosial, penderita dilatih untuk menilai reaksi orang lain secara lebih akurat.
· BIOLOGIS
Obat-obatan yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedative, tranquilizer, atau anxiolytic. Obat-obatan yang pada awalnya dikembangkan untuk depresi (antidepresan) menjadi populer untuk penanganan gangguan cemas termasuk fobia.

II. Gangguan Panik
· Individu dikatakan memiliki gangguan panik apabila ia seringkali mengalami serangan panik yang tidak dapat dijelaskan. Dalam serangan panik tersebut terdapat simptom-simptom fisik berupa kesulitan bernafas, jantung berdebar, mual, dada nyeri, pusing, berkeringat, gemetar dan lain-lain.
· Serangan panik terjadi dapat terjadi sekali dalam seminggu atau lebih dan berlangsung seringkali dalam hitungan menit. Serangan panik dapat bersifat bersyarat (cued panic attack) atau tidak bersyarat (uncued panic attack). Apabila kepanikan terjadi karena situasi spesifik maka serangan panik tersebut disebut bersyarat dan sebaliknya apabila serang panik terjadi dalam keadaan yang tampaknya tenang seperti ketika sedang tidur, relaksasi, bersantai maka serangan tersebut adalah serangan panik tidak bersyarat.

ETIOLOGI
· BIOLOGIS
Sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu penyakit dapat memicu individu untuk mengalami gangguan panik. Contohnya seperti sindrom penutupan katup kiri yang menyebabkan jantung seseorang berdebar, penyakit telinga bagian dalam yang memusingkan dan menakutkan bagi beberapa orang sehingga menimbulkan gangguan panik.
Pendekatan biologi lainnya menyebutkan bahwa panik disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam sistem noradregenik.
· PSIKOLOGIS
Classical conditioning dan perbedaan antara kecemasan dan panik menjadi dasar satu teori yang diajukan baru-baru ini mengenai serangan panik itu sendiri. Kecemasan akan suatu situasi memicu sensasi-sensasi fisik yang terjadi secara internal.
TERAPI
· BIOLOGIS
Beberapa obat telah menunjukkan efektifitasannya dalam menangani gangguan panik. Obat-obatan tersebut mencakup antidepresant dan benzodiazepine. Bukti efektifitas alprazolam sangat meyakinkan karena diperoleh melalui studi berskala besar dan multinasional.
· PSIKOLOGIS
Terapi dengan memberikan pemaparan seringkali berguna untuk mengurangi agorafobia. Walaupun begitu terapi tersebut tidak selalu berhasil, oleh karena itu penanganan psikologis telah berubah arah dalam beberapa tahun terakhir ini.
Suatu terapi yang dikembangkan oleh Barlow disebut PCT (panic control teraphy) memiliki tiga komponen utama:
Latihan relaksasi
Kombinasi intervensi behavioral dari Ellis dan Beck
Bagian terbaru, pemaparan dengan tanda-tanda internal yang memicu kepanikan

III. Generalized Anxiety Disorder
· Merupakan suatu bentuk anxiety terhadap hal-hal yang ditemukan sehari-hari, dan tidak terkait dengan objek atau situasi tertentu. Individu yang mengalami gangguan ini mengalami rasa takut terhadap sesuatu, tetapi ia tidak dapat menjelaskan secara lebih spesifik apa penyebab dari ketakutannya. Sehingga, GAD yang dialami individu biasanya akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan relatif tidak bisa ‘disembuhkan’ karena ketidak-jelasan sumber anxiety tersebut.
· Gangguan GAD biasanya dimulai pada pertengahan remaja, dan disebabkan oleh adanya stressful life events yang dialami individu. Gangguan ini lebih banyak diderita oleh wanita.
· Ciri-ciri yang dimiliki oleh penderita gangguan ini juga bisa ditemukan pada penderita gangguan kecemasan lain seperti mood disorder.

SIMPTOM
1. Rasa cemas dan khawatir terus-menerus, yang timbul paling tidak selama enam bulan berturut-turut, terhadap beberapa kejadian atau kegiatan
2. Individu merasa kesulitan untuk mengendalikan kekhawatirannya
3. Rasa cemas dan khawatir biasanya diasosiasikan dengan tiga (atau lebih) dari enam simptom di bawah ini, selama minimal enam bulan berturut-turut:
- Restlessness or feeling keyed up or on edge
- Mudah lelah
- Mudah marah
- Muscle tension
- Tidur terganggu
- Sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong
4. Rasa cemas, khawatir, atau simptom fisik lainnya menyebabkan distres dan kurang berfungsinya kehidupan sosial, pekerjaan, dan hal-hal lain seputar kehidupan individu

ETIOLOGI
· PSIKOANALISA
GAD merupakan akibat dari terjadinya konflik antara ego dan dorongan id. Di satu sisi, individu memiliki dorongan-dorongan dasar (seksual atau agresi) yang menuntut untuk dipuaskan, sementara ego yang ia miliki melarangnya untuk mengekspresikan pemuasan dorongan tersebut. Karena penyebabnya merupakan sesuatu yang tidak disadari, maka kecemasan yang dirasakan individu tidak akan dapat dijelaskan apa penyebabnya.
Dengan demikian, menjadi tidak mungkin bagi individu untuk menghilangkan atau menghindari rasa cemasnya. Ia akan terus merasa cemas karena konflik tersebut akan selalu terjadi. Individu tidak akan dapat menghilangkan dorongan-dorongan yang dimiliki, karena dorongan itulah yang membuatnya tetap hidup.
· COGNITIVE-BEHAVIORAL
Kecemasan yang dialami berkaitan dengan lingkungan sekitar individu. Lingkungan yang dianggap masih berada dalam kendalinya akan mengakibatkan rasa cemas yang relatif lebih rendah, karena lingkungan yang demikian memungkinkan individu untuk memprediksi perilaku seperti apa yang harus dimunculkan. Semakin individu merasa tidak dapat mengendalikan lingkungannya, maka rasa cemas itu pun akan semakin meningkat.
Karena dapat atau tidaknya suatu lingkungan itu dikendalikan dan diprediksi apa yang akan terjadi berikutnya merupakan bentuk persepsi individu, maka sangat mungkin terjadi kekeliruan dalam mempersepsikan lingkungan tersebut. Situasi yang sebenarnya biasa terjadi dalam keseharian individu sangat mungkin dipersepsikan sebagai situasi yang berada di luar kendali atau bahkan mengancamnya. Dengan demikian, ia tidak akan dapat terlepas dari rasa cemasnya karena kekeliruan persepsinya, dan pada akhirnya individu akan terus disibukkan untuk menemukan antisipasi dari situasi yang dipersepsikan sebagai ancaman tersebut.

TERAPI
· PSIKOANALISA
Karena GAD merupakan hasil dari konflik yang ditekan (repressed), maka terapi yang dilakukan bertujuan untuk melawan penyebab utama dari konflik tersebut.
· COGNITIVE-BEHAVIORAL
Pendekatan pada terapi ini bisa bermacam-macam. Jika individu sudah dapat memberikan sedikit gambaran mengenai penyebab dari rasa cemas yang dirasakannya, terapi pun akan lebih mudah untuk diberikan, misalnya dengan systematic desensitization pada penderita yang memiliki kekhawatiran akan dikritik oleh orang lain sementara sebagian besar pekerjaannya mengharuskannya berinteraksi dengan orang lain.
Namun, karena sebagian besar penderita GAD merasa kesulitan untuk menemukan penyebab dari rasa cemasnya, terapi yang diberikan pun cenderung bersifat general, misalnya dengan intensive relaxation training, mengembangkan kemampuan spesifik, maupun blow-up technique.
Melalui intensive relaxation training, penderita dilatih untuk bersikap lebih santai ketika menghadapi situasi yang membuatnya cemas.
Jika penderita merasa tidak dapat berbuat apa-apa (helplessness) atas situasi tersebut, ia akan dilatih untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan spesifik yang pada akhirnya memang membuat penderita mampu mengatasi situasi tersebut. Latihan ini dilakukan melalui instruksi verbal, modeling, operant shaping, atau gabungan dari ketiganya.
Sedangkan melalui blow-up technique, penderita akan diminta untuk membayangkan situasi terburuk yang paling tidak diinginkannya, yang mungkin muncul berdasarkan situasi yang membuatnya merasa cemas. Setelah itu, ia akan diminta untuk menyebutkan kemungkinan lain yang juga mungkin terjadi, dan tidak seburuk apa yang dipikirkannya. Pada situasi ini, penderita akan disadarkan bahwa rasa cemasnya itu bisa diatasi, dan dengan membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi, diharapkan ia lebih mampu mengatasi jika kekhawatirannya itu memang terjadi.
· MEDICAL
Karena penderita GAD masih menunjukkan gejala kecemasan sekalipun sudah menjalani cognitive-behavioral therapy, pihak kedokteran pun mencoba menjalankan terapi tersebut dan menggabungkannya dengan penggunaan benzodiazepine seperti valium dan xanax.
Namun sangat disayangkan karena obat-obat tersebut juga memberikan efek samping yang tidak diinginkan, seperti drowsiness, hilang ingatan, dan depresi akibat adiksi terhadap obat tersebut. Sementara jika penggunaan obat dihentikan, hasil dari terapi yang sudah dijalankan, akan hilang begitu saja. Hal ini terjadi karena penderita telah mengatribusikan hasil terapi tersebut merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh pihak lain, dan bukan dirinya. Sehingga jika pihak luar tersebut tidak lagi terlibat dalam terapi, maka terapi tersebut tidak akan berhasil baginya.


IV. Obsessive-Compulsive Disorder
· OBSESI adalah pikiran, dorongan, dan gambaran yang muncul secara berulang di dalam kepala individu, di mana hal tersebut tidak rasional dan ia juga tidak dapat mengendalikannya. Obsesi yang terjadi biasanya berkaitan dengan rasa takut terkontaminasi, rasa takut mengungkapkan dorongan seksual, atau takut karena ketidak-mampuan tubuh untuk berfungsi sebagaimana mestinya.
· Sementara KOMPULSI adalah pengulangan perilaku di mana individu merasa harus melakukan hal tersebut untuk meredakan pikiran obsesifnya, namun perilaku ini tidak selalu berkaitan secara langsung untuk meredakan pikiran tersebut. Individu merasa harus memunculkan suatu perilaku lebih karena ketakutannya menghadapi konsekuensi yang mungkin terjadi jika perilaku tersebut tidak dilakukan, sehingga sekalipun ia menyadari bahwa perilaku tersebut merupakan sesuatu yang sebenarnya tidak berguna, ia tetap tidak mampu menghentikannya. Sebagai akibatnya, hubungan individu dengan orang-orang terdekatnya akan terganggu.
· Gangguan kompulsi banyak ditemukan pada individu yang merasa terasing dari pribadinya sendiri (ego dystonic). Sehingga Obsessive-Compulsive Disorder merupakan salah satu bentuk gangguan kecemasan di mana pikiran individu dipenuhi dengan ide-ide yang tidak terkontrol dan ia seperti dipaksa untuk melakukan suatu tindakan secara berulang.
· OCD lebih banyak diderita oleh wanita dan dimulai pada pertengahan usia dewasa, di mana individu mengalami stressful events seperti kehamilan, kelahiran anak, konflik perkawinan dan keluarga, atau kesulitan dalam pekerjaan.

SIMPTOM dari perilaku Kompulsi
1. Sangat mementingkan kebersihan dan keteraturan, bahkan kadang melalui ritual yang harus dilakukan setiap harinya
2. Menghindari objek-objek tertentu
3. Melakukan tindakan yang berulang, magical, dan bertujuan untuk melindungi diri
4. Checking, mengulangi suatu tindakan sampai tujuh atau delapan kali untuk memastikan bahwa perilaku tersebut memang benar-benar sudah dilakukan
5. Menunjukkan perilaku spesifik tertentu, seperti makan dengan sangat lambat

ETIOLOGI
· PSIKOANALISA
Baik obsesi maupun kompulsi merupakan hasil dari dorongan instink seksual atau agresi yang tidak dapat dikendalikan, sebagai akibat dari toilet training yang berlebihan. Simptom yang muncul pun merupakan hasil pertentangan antara id dan defense mechanism; kadangkala id berhasil mendominasi, dan kadang defense mechanism yang lebih memegang peranan.
Menurut Alfred Adler, OCD merupakan suatu bentuk incompetence, di mana pada masa kanak-kanak peran orangtua sangat mendominasi individu. Sebagai akibatnya, ia akan mengembangkan inferiority complex dan secara tidak sadar melakukan ritual-ritual tertentu agar individu lebih dapat merasa dominan terhadap sesuatu.
· COGNITIVE-BEHAVIORAL
Menurut pendekatan behavioral, perilaku kompulsi dilakukan karena kemunculan perilaku tersebut terus diikuti dengan adanya penurunan kecemasan. Dengan demikian, semakin tidak jelas kapan hal-hal penyebab kecemasan itu muncul, maka perilaku kompulsi pun akan semakin sering dimunculkan oleh individu.
Sedangkan berdasarkan pendekatan cognitive, perilaku kompulsi dapat disebabkan oleh menurunnya ingatan individu. Ketidak-mampuan untuk mengingat apa saja yang sudah dilakukannya, atau kesulitan untuk membedakan antara perilaku yang benar-benar nyata dengan perilaku yang hanya muncul di dalam pikirannya (imagery) dapat membuat individu melakukan tindakan kompulsi. Berbeda dengan individu normal yang dapat berhenti memikirkan sesuatu jika ia memang menginginkannya, individu dengan OCD tidak dapat menghentikan pikirannya sendiri dan sebagai akibatnya akan selalu merasa khawatir. Dan jika individu ini merasa lelah untuk terus memikirkan suatu hal, ia berusaha untuk menekannya (suppress) agar pikiran tersebut tidak lagi muncul di dalam kepalanya. Namun pada akhirnya, apa yang dilakukan tersebut justru membuat kecemasannya semakin meningkat.
· BIOLOGIS
Gangguan pada otak, luka pada kepala, dan tumor otak merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya OCD. PT Scan telah menunjukkan peningkatan aktivitas pada otak bagian depan, dan diduga sebagai penyebab kesulitan individu untuk menghentikan pikirannya mengenai sesuatu. Selain itu, OCD memiliki faktor genetik, sehingga biasanya muncul pada penderita yang memiliki hubungan keluarga dengan penderita OCD lainnya.

TERAPI
· PSIKOANALISA
Seperti terapi yang dilakukan pada penderita phobia dan GAD, terapi bagi penderita OCD bertujuan untuk melawan apa yang memang ditakutinya. Namun karena pikiran obsesif dan perilaku kompulsi telah melindungi ego dari konflik yang berlangsung, maka sulit untuk menemukan target dari terapi yang akan diberikan. Dengan demikian, pendekatan psikoanalisa ini pun dianggap kurang tepat untuk mengatasi penderita OCD.
· BEHAVIORAL-COGNITIVE
Melalui pendekatan Rational Emotive Behavior, penderita dilatih untuk mentolerir ketidak-pastian dan rasa cemas yang muncul akibat ketidak-mampuannya untuk memprediksi apa yang akan dihadapinya. Pendekatan ini akan menyadarkannya bahwa tidak ada hal di dunia ini yang selalu pasti dan bisa diprediksi. Selain itu, penderita akan dilatih untuk membuktikan bahwa ketakutan terhadap terjadinya sesuatu yang mengerikan.
Pendekatan behavioral yang lain dinamakan Exposure and Response Prevention (ERP), di mana penderita dibanjiri (flooding) dengan situasi yang memungkinkannya memunculkan perilaku kompulsif dan mencegahnya melakukan ritual-ritual tertentu, seperti mencuci tangan. Diasumsikan bahwa ritual semacam itu telah memberikan penguatan (reinforcing) di mana melakukan ritual tersebut akan mengurangi rasa cemas, sehingga dengan mencegah penderita melakukan ritual semacam itu diharapkan bahwa kecemasan yang dialaminya pun akan hilang.
· BIOLOGICAL
Obat-obatan yang meningkatkan serotonin, seperti SSRI dan beberapa jenis tricyclics, merupakan terapi biologis yang biasanya diberikan kepada penderita OCD. Sekalipun dapat mengatasi rasa cemas, antidepressant yang diberikan tetap menimbulkan efek samping yang tidak menguntungkan, seperti nausea, insomnia, agitation, gangguan pada fungsi seksual, dan bahkan berpengaruh pada sistem jantung dan sirkulasi darah. Sementara, penghentian penggunaan obat juga tidak dimungkinkan, karena akan mengembalikan simptom-simptom OCD yang dimiliki penderita.
Sehingga, pengobatan medis memang jarang diberikan kepada penderita OCD. Terapi ini memang menunjukkan kemajuan, namun penggunaan obat secara terus-menerus pada akhirnya akan mengancam hidup penderita.

V. Post-Traumatic Stress Disorder
· Merupakan respon ekstrem terhadap stressor tertentu, termasuk meningkatnya kecemasan, menghindari stimulus yang dapat diasosiasikan dengan trauma, dan melakukan beberapa tindakan tertentu. Respon ini muncul disebabkan oleh adanya kejadian di mana individu melihat atau mengalami secara langsung, seperti kematian, serious-injury, atau ancaman fisik terhadap dirinya sendiri atau orang lain. Kejadian ini harus menimbulkan rasa takut, horror, atau perasaan tidak mampu berbuat apa-apa.
· Sebelum dapat disebut sebagai penderita PTSD, individu yang mengalami kejadian traumatis dapat terlebih dulu dikategorikan sebagai penderita Acute Stress Disorder. Jika stressor mengganggu aktivitas individu sehari-hari selama minimal satu bulan, maka bisa dikatakan bahwa individu mengalami acute stress disorder. Dan apa yang dialami individu semacam ini adalah normal.

SIMPTOM
1. Mengalami kembali kejadian traumatis.
Individu seringkali “mengulang” kembali kejadian traumatis yang pernah dialami melalui mimpi buruknya. Hal-hal yang mengingatkan individu pada kejadian tersebut juga dapat memunculkan emosi sebagaimana yang pernah dirasakannya ketika ia mengalaminya.
2. Menghindari stimulus yang berkaitan dengan kejadian traumatis atau memunculkan numbing responsiveness.
Individu berusaha untuk tidak memikirkan trauma yang dialaminya ataupun stimulus yang mungkin berkaitan dengan trauma, dan dapat dikatakan bahwa individu mengalami amnesia atas kejadian tersebut. Selain itu, individu juga akan memunculkan respon numbing, di mana ia akan mengalami penurunan minat terhadap orang lain dan ketidak-mampuan merasakan emosi positif.
3. Simptom dari peningkatan arousal.
Individu merasa sulit untuk tidur, sulit berkonsentrasi, rasa cemas yang berlebihan (hypervigilance), dan respon exaggerated. Simptom ini biasanya ada pada penderita PTSD akibat perang.
4. Simptom-simptom lain, seperti kecemasan, depresi, rasa marah, rasa bersalah, penyalahgunaan obat, masalah perkawinan, kesehatan yang memburuk, dan kesulitan dalam bekerja. Pikiran dan rencana untuk bunuh diri juga seringkali muncul, sebagaimana seringnya individu mengalami berbagai gangguan fisik seperti low back pain, sakit kepala, dan gangguan pencernaan.
Simptom-simptom di atas merupakan akibat dari PTSD yang dialami oleh individu dewasa. Sementara PTSD pada anak-anak biasanya ditandai dengan mimpi buruk mengenai monster, mulai berpikir bahwa mereka tidak akan berumur panjang, atau kehilangan kemampuan perkembangannya. PTSD yang dialami anak-anak menjadi lebih sulit karena mereka sulit mengungkapkan perasaannya.

ETIOLOGI
· RISK FACTORS
Penderita PTSD menyadari bahwa ada resiko tidak menyenangkan yang mungkin ditemui dalam hidupnya setelah kejadian traumatis yang ia alami. Misalnya, menjadi seorang wanita (karena individu adalah seorang pria) atau terpisah dari orangtua.
Simptom dissociative juga ditemukan meningkat pada penderita PTSD, seiring dengan usahanya untuk mengeluarkan ingatan akan kejadian traumatis itu dari kepalanya.
· PSIKOLOGIS
Berdasarkan pendekatan belajar (learning theorist), PTSD muncul karena classical conditioning terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa akan mengalami ketakutan ketika melintasi daerah tertentu (CS) karena pemerkosaan dialaminya di daerah itu (UCS), dan sebagai akibatnya, ia akan menghindari daerah itu, karena penghindaran tersebut dianggap berhasil menurunkan ketakutan individu terhadap munculnya CS.
Sementara itu, pendekatan cognitive-behavioral mengungkapkan bahwa individu dapat menderita PTSD karena kehilangan kendali dan tidak dapat memprediksikan apa yang akan dialaminya.
Berbeda dengan kedua pendekatan di atas, menurut pendekatan psikodinamika, kejadian traumatis yang dialami terus muncul secara berulang dalam benak individu dan sangat menyakitkan baginya. Inilah yang membuatnya berusaha menekan (suppressed atau repressed) pengalaman tersebut.
· BIOLOGIS
Trauma yang dialami telah mengaktifkan sistem nonadregenic, meningkatkan nonepinephrine, sehingga membuat pengekspresian perasaan individu terlihat berlebihan. Selain itu, peningkatan sensitivitas nonadregenic pada penderita PTSD juga meningkat.

TERAPI
Terapi sebaiknya diberikan sesaat setelah penderita mengalami kejadian traumatis dan sebelum PTSD itu sempat terbentuk, atau pada masa individu mengalami Acute Stress Disorder.
· COGNITIVE-BEHAVIORAL
Berdasarkan pendekatan ini, individu yang telah mengalami kejadian traumatis akan diajak untuk “menciptakan kembali” kejadian tersebut.
Tahap pertama yang harus dilakukan adalah meminta individu untuk menceritakan secara detil kejadian yang telah mereka alami, mendorongnya untuk bercerita mengenai apa yang dirasakan dan dipikirkan pada saat itu, dan juga mengingatkan individu bahwa situasi itu sudah berlalu sehingga diharapkan tingkat kecemasannya pun cenderung normal.
Secara garis besar, cara yang dilakukan oleh pendekatan ini adalah dengan meng-expose kejadian traumatis yang dialami individu, mengajarkannya untuk relaksasi, dan membantunya untuk berpikir dengan cara yang berbeda tentang apa yang dialaminya.
Sebelum proses terapi dilakukan, terapis harus menyadari bahwa penderita PTSD mungkin akan memunculkan berbagai reaksi seperti hilangnya rasa percaya pada orang lain, rasa takut bahwa dunia yang ia tinggali penuh dengan bahaya, dan juga salahnya cara yang digunakan untuk mengatasi stres. Sehingga, terapis harus sangat berhati-hati ketika menghadapi penderita.
Selain dari pihak terapis, individu penderita PTSD juga akan diberikan pengetahuan mengenai simptom-simptom yang biasanya muncul, seperti sulit tidur, mudah marah, depresi, merasa terasing dari teman-teman dan keluarga, dan sebagainya.

VJ#24/IV/2008 : More about Victor Frankl

Victor Frankl adalah seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa (neuro-psikiater) keturunan Yahudi yang menemukan serta mengembangkan logoterapi. Logoterapi berasal dari kata Yunani yang “logos” berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Frankl merumuskan logoterapi dengan beberapa asumsi dasar yang saling berhubungan, yaitu :



  1. Kebebasan berkehendak (freedom of will), artinya manusia memiliki kebebasan, namun tidaklah mutlak. Kebebasan ini bukanlah “kebebasan dari” melainkan “kebebasan untuk” menentukan sikap terhadap kondisi mereka.


  2. Kehendak hidup bermakna (will to meaning), artinya dengan kebebasan yang ada padanya, manusia termotivasi untuk bekerja dan berkarya serta melakukan kegiatan penting lainnya dengan tujuan agar hidupnya menjadi berharga dan dapat dihayati secara bermakna.


  3. Makna hidup (meaning of life), artinya makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidupnya.


Dalam pandangan logoterapi, makna hidup memiliki dua tingkatan, yaitu makna hidup paripurna (the ultimate meaning) dan makna hidup pribadi (the meaning of the moment). Makna hidup paripurna merupakan makna hidup yang sifatnya mutlak dan universal dan dapat dijadikan sebagai landasan dan sumber makna hidup, seperti nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan. Sumber makna hidup paripurna inilah yang seharusnya mendasari makna hidup pribadi seseorang.)

Asas-Asas Logoterapi
Logoterapi mengemukakan asas-asas yang telah teruji kebenarannya oleh penemunya sendiri, Frankl. Ada tiga asas utama logoterapi, yaitu :



  1. Hidup itu tetap memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup.

  2. Setiap manusia memiliki kebebasan- yang hampir tak terbatas- untuk menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, khususnya pekerjaan dan karya bakti yang dilakukan, serta dalam keyakinan terhadap harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman, dan cinta kasih.

  3. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara optimal tetap tak berhasil.

Sumber-Sumber Makna Hidup
Dalam kehidupan ini terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup di dalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Ketiga nilai tersebut adalah :



  • Creative Values (nilai-nilai kreatif)
    Nilai-nilai ini tercerminkan dari kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Perlu dijelaskan bahwa bekerja dan berkarya tersebut hanya merupakan sarana, namun untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup tersebut tergantung pada pribadi yang bersangkutan dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu.

  • Experiential Values (nilai-nilai penghayatan)
    Nilai-nilai ini tercermin dari keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya.

  • Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap)
    Nilai-nilai ini tercermin dari menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, kematian, dan menjelang kematian, setelah segala upaya ikhtiar dilakukan secara maksimal. Perlu dijelaskan bahwa dalam hal ini yang diubah bukan keadaannya, melainkan sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan itu.

Selain tiga hal di atas, ada pula sumber-sumber hidup bermakna lain, yaitu :



  • Self Preoccupation (sibuk dengan diri sendiri), makna hidup dapat diperoleh dengan jaminan keuangan sehingga kebutuhan dasarnya dapat terpenuhi.

  • Individualism, makna hidup diperoleh melalui prestasi, aktivitas, dan waktu luang

  • Collectivism, makna hidup dapat diperoleh melalui tradisi kebudayaan dan norma-norma sosial.

  • Self Transcendence, makna hidup dapat diperoleh dengan menghayati nilai-nilai ide-ide, aktivitas keagamaan, dan menolong sesama.

Monday, February 25, 2008

VJ#23/II/2008 : Teori Burhuss Frederic Skinner


Burhuss Frederic Skinner lahir pada tanggal 20 Maret 1904 di sebuah kota kecil bernama Susquehanna, Pennsylvania. Ayahnya adalah seorang pengacara dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Ia merefleksikan tahun-tahun awal kehidupannya sebagai suatu masa dalam lingkungan yang stabil, di mana belajar sangat dihargai dan disiplin sangat kuat. Skinner mendapat gelar BA-nya dalam sastra bahasa inggris pada tahun 1926 dari Presbyterian-founded Humilton College. Setelah wisuda, ia menekuni dunia tulis menulis sebagai profesinya selama dua tahun. Pada tahun 1928, ia melamar masuk program pasca sarjana psikologi Universitas Harvard. Ia memperoleh MA pada tahun 1930 dan Ph.D pada tahun 1931. Pada tahun 1945, dia menjadi kepala departemen psikologi Universitas Indiana. Kemudian 3 tahun kemudian, tahun 1948, dia diundang untuk datang lagi ke Universitas Harvard. Di Universitas tersebut dia menghabiskan sisa karirnya. Skinner adalah seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan, seperti melakukan berbagai penelitian, membimbing ratusan calon doktor, dan menulis berbagai buku. Meski tidak sukses sebagai penulis buku fiksi dan puisi, ia menjadi salah satu penulis psikologi terbaik. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Walden II. Pada tanggal 18 Agustus 1980, Skinner meninggal dunia karena penyakit Leukemia


Asumsi Dasar

Skinner memiliki tiga asumsi dasar dalam membangun teorinya:

  1. Behavior is lawful (perilaku memiliki hukum tertentu)
  2. Behavior can be predicted (perilaku dapat diramalkan)
  3. Behavior can be controlled (perilaku dapat dikontrol)

Skinner juga menekankan mengenai functional analysis of behavior yaitu analisis perilaku dalam hal hubungan sebab akibat, dimana penyebabnya itu sendiri (seperti stimuli, deprivation, dsb) merupakan sesuatu yang dapat dikontrol. Hal ini dapat mengungkapkan bahwa sebagian besar perilaku dalam kejadian antesedennya berlangsung atau bertempat pada lingkungan. Kontrol atas events ini membuat kita dapat mengontrol perilaku.

Tipe Perilaku

Skinner mengajukan dua klasifikasi dasar dari perilaku: operants dan respondents. Operant adalah sesuatu yang dihasilkan, dalam arti organisme melakukan sesuatu untuk menghilangkan stimulus yang mendorong langsung. Contohnya, seekor tikus lari keluar dari labirin, atau seseorang yang keluar dari pintu. Respondent adalah sesuatu yang dimunculkan, dimana organisme menghasilkan sebuah respondent sebagai hasil langsung dari stimulus spesifik. Contohnya, seekor anjing yang mengeluarkan air liur ketika melihat dan mencium bau makanan, atau seseorang yang mengedip ketika udara ditiupkan ke matanya.

Variasi dalam Intensitas Perilaku

Adanya intensitas perilaku yang bervariasi disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan (environmental variable), misalnya pada dua orang yang mengkonsumsi makanan dengan kuantitas berbeda. Hal ini bukan berarti kedua orang tersebut memiliki dorongan makan berbeda. Untuk menganalisanya perlu dilihat variable lingkungannya, seperti jangka waktu dari makan ke makan berikutnya.

Peramalan dan Perubahan Perilaku

Menurut Skinner, cara efektif untuk meramal dan merubah perilaku adalah dengan menguatkan (to reinforce). Untuk itu, perlu diketahui hal-hal berikut:

1. Prinsip-prinsip pengkondisian dan belajar.

2. Penguatan dan pembentukan perilaku

3. Generalisasi dan diskriminasi stimulus

PRINSIP-PRINSIP PENGKONDISIAN DAN BELAJAR

Ada dua prinsip dasar dari pengkondisian, yaitu pengkondisian klasikal dan pengkondisian operant/instrumetal.

1. Pengkondisian klasikal (classical conditioning)

Prinsip ini pertama kali diusulkan oleh Ivan Pavlov yang pada dasarnya mengatakan bahwa sebuah stimulus yang memunculkan sebuah respon dipasangkan dengan stimulus lain yang pada saatnya nanti menghasilkan respon yang sama. Dengan kata lain, kita dapat menyebut bahwa operasi dan respon kedua dikondisikan untuk terjadi. Mari kita ambil contoh dengan mengobservasi anjing. Ketika ditampilkan sepotong daging, anjing mulai mengeluarkan air liur. Sekarang kita coba bunyikan bel sesaat kita tampilkan daging. Pada awalnya, anjing mengeluarkan air liur hanya saat daging ditampilkan. Namun setelah beberapa kali penampilan, anjing tersebut akan mengeluarkan air liur saat bel dibunyikan (sebelum daging ditampilkan). Agen penguat di sini adalah daging yang berfungsi sebagai penguat positif karena penampilan daging meningkatkan kesempatan respon yang diinginkan untuk muncul.

Lalu apa yang terjadi jika kita menghentikan penampilan daging dan hanya membunyikan bel? Untuk sesaat, anjing tetap akan mengeluarkan air liur terhadap bel, namun lama kelamaan akan terus berkurang hingga akhirnya berhenti mengeluarkan air liur. Proses tersebut dinamakan extinction (pemusnahan). Hal tersebut menunjukkan perlunya melanjutkan penguatan, karena tanpa penguatan (paling tidak saat-saat tertentu), perilaku yang tidak otomatis (bukan refleks) akan menghilang perlahan.

2. Pengkondisian operan/instrumental

Pengkondisian ini pertama kali diselidiki secara sistematis oleh E. L. Thorndike. Teori Skinner berusaha menegakkan tingkah laku lewat studi mengenai belajar secara operan. Suatu operan adalah memancarkan, artinya suatu organisme melakukan sesuatu tanpa perlu adanya stimulus yang mendorong. Suatu reaksi sebagai kontras dari responden, yaitu suatu tingkah laku yang dipelajari dengan teknik pengkondisian Pavlovian. Operan dapat dipelajari bebas dari kondisi-kondisi perangsang yang membangkitkan. Organisme selalu dalam proses “operating” dalam lingkungannya. Artinya organisme tersebut selalu melakukan apa yang dilakukannya. Selama “operating”, organisme tersebut akan bertemu dengan stimulus-stimulus, yang disebut reinforcing stimulus (stimulus penguat).

Stimulus-stimulus tersebut mempunyai pengaruh dalam menguatkan “operant” – tingkah laku yang muncul sebelum reinforcer. Jadi yang dimaksud dengan operant conditioning adalah sebuah tingkah laku diikuti dengan sebuah konsekuensi, dan konsekuensi-konsekuensi tersebut dapat merubah kecenderungan organisme untuk mengulang tingkah laku tersebut di masa datang.

Sebagai contoh, coba bayangkan seekor tikus di dalam kandang, yang disebut Kotak Skinner. Kandang tersebut mempunyai suatu pedal pada salah satu temboknya yang bila ditekan maka dapat melepaskan makanan ke dalamnya. Kemudian tikus tersebut berjalan mengelilingi kandang dan tanpa sengaja menekan pedal, sehingga mengakibatkan munculnya makanan. Kejadian tersebut membuat tikus selalu berusaha menekan pedal dan mengumpulkan makanan yang muncul di sudut kandang. Eksperimen pada tikus membuktikan bahwa suatu tingkah laku yang diikuti oleh stimulus penguat akan meningkatkan kemungkinan munculnya kembali tingkah laku tersebut di masa depan

PENGUATAN DAN PEMBENTUKAN PERILAKU (SHAPING)

Jika dilakukan dengan seksama, reinforcement (penguatan) dapat membuat kita membentuk perilaku dari organisme sehingga dapat memunculkan perilaku yang diinginkan (dengan proses belajar operant).Hal tersebut dapat dilihat dari eksperimen Skinner yang terkenal yaitu melatih merpati untuk mematuk selain makanan (dalam hal ini adalah disk ringan). Eksperimen ini dumulai ketika seekor merpati lapar diletakkan dalam Kotak Skinner. Disk dan kotaknya diberi kawat yang memungkinkan respon direkam dan makanan dikirim ketika merpati mematuk disknya.

Agar merpati mematuk disk untuk pertama kalinya, kita harus membentuk perilaku dengan catatan mematuk disk merah di dinding bukan merupakan perilaku normal atau repertoar dari merpati pada umumnya. Karena itu, kita mulai dengan me-reinforce perilaku yang makin lama makin mendekati perilaku mematuk disk. Pertama-tama kita latih burung makan dari hopper, kemudian kita tampilkan makanan hanya ketika burung mendekati disk (dan hopper). Setelah itu kita reinforce burung hanya ketika kepalanya berada pada posisi yang paling dekat dengan disk, lalu hanya ketika paruhnya dalam posisi terdekat dengan disk, dan seterusnya. Akhirnya, ketika merpati mematuk disk untuk pertama kalinya, kita langsung berikan makanan. Dari sana, merpati akan terus menerus mematuk dan kita juga terus memberikan makanan. Dalam waktu singkat, perilaku mematuk akan terjadi dengan cepat.

Hal di atas menunjukkan penjadwalan continuous reinforcement, yaitu penjadwalan dalam hal tiap kali respon yang benar diberi penguat. Dengan hal tersebut akan didapatkan perilaku yang diinginkan. Jika kita berhentikan pemberian penguatan (makanan) kapan saja, maka perilaku mematuk akan menurun dan lama-kelamaan menghilang. Namun kita juga dapat terus memberi makanan sebagai penguat dengan waktu yang tidak ditentukan (occasionally). Kita dapat memberi makanan dalam jadwal fixed interval, misalnya tiap 5 detik sekali. Atau kita juga dapat menggunakan variable interval, dengan memberi makanan dalam interval waktu yang acak dengan rata-rata yang tetap. Jadi kita dapat memberi penguatan pada merpati setelah 3 detik, kemudian setelah 6 detik, kemudian setelah 4 detik, dan seterusnya, dengan interval rata-rata sekitar 5 detik.

Dalam kondisi fixed maupun variable interval, merpati akan berespon mematuk secara berkelanjutan. Meskipun sebagian besar patukan tidak diberi penguat, namun secara rata-rata patukan tersebut akan terus bertahan. Dengan jadwal variable interval, respon rata-rata patukan stabil. Dengan jadwal fixed interval, patukan akan menurun perlahan mengikuti penguatan dan akan naik lagi mendekati penguatan yang akan dilakukan. Ketika kita akan menghilangkan respon yang dikondisikan oleh penguatan interval, respon tersebut akan menghilang lebih lambat daripada yang dikondisikan oleh penguatan continuous.

Kita dapat mendapatkan respon yang lebih tahan dari pemusnahan (extinction) dengan menggunakan jadwal penguatan sebagai fungsi dari perilaku organisme itu sendiri. Contohnya, dengan menggunakan fixed ratio, kita dapat menguatkan perilaku tiap 10 patukan, 20 patukan, atau berapapun angka dari merpati tersebut. Dengan jadwal variable ratio, jika kita beri penguat rata-rata tiap 5 patukan, maka kita beri penguat pada patukan ke-3, patukan ke-8, dst.

Resistensi terhadap pemusnahan paling besar di penjadwalan penguatan ratio terjadi pada variable ratio dan disusul fixed ratio. Penjadwalan interval adalah penjadwalan yang lebih buruk resistensinya terhadap pemusnahan, dengan catatan resistensi fixed interval lebih buruk daripada variable interval. Resistensi yang paling buruk terjadi pada penjadwalan berkelanjutan (continous).

Dalam kasus merpati di atas, Skinner menyebut makanan, selain air, sebagai unconditioned atau primary reinforcer (penguat utama). Namun perilaku manusia pada umumnya juga bergantung pada conditioned atau secondary reinforces (penguatan sekunder/tambahan) yang dipasangkan dengan penguat utama dan dapat pada perilaku manusia (contohnya uang).

GENERALISASI DAN DISKRIMINASI

Dua fenomena besar dari sistem Skinner merupakan penemuan penting sebagai alat pembelajaran. Fenomena yang dimaksud adalah generalization (generalisasi) dan discrimination (diskriminasi). Dengan proses generalisasi stimulus, organisme akan dapat membuat respon yang sama terhadap satu situasi ketika dia dihadapkan pada situasi yang lain namun hampir mirip dengan situasi sebelumnya. Dengan proses diskriminasi stimulus, organisme dapat membedakan mana situasi yang diberi penguat dan yang tidak, sehingga organisme akan berespon hanya pada situasi tertentu saja.

Perilaku Sosial

Dalam berbicara mengenai perilaku sosial, Skinner tidak membahas mengenai persoality traits atau karakteristik yang dimiliki seseorang. Bagi Skinner, deskripsi kepribadian direduksi dalam kelompok atau respon spesifik yang cenderung diasosiasikan dalam situasi tertentu.

Bagi Skinner, respon muncul karena adanya penguatan. Ketika dia mengeluarkan respon tertentu pada kondisi tertentu, maka ketika ada penguatan atas hal itu, dia akan cenderung mengulangi respon tersebut hingga akhirnya dia berespon pada situasi yang lebih luas. Penguatan tersebut akan berlangsung stabil dan menghasilkan perilaku yang menetap.

Perilaku Abnormal

Skinner berpendapat bahwa perilaku abnormal berkembang dengan prinsip yang sama dengan perilaku normal. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa perilaku abnormal dapat diubah menjadi perilaku normal dengan memanipulasi lingkungan. Salah satu contohnya adalah dalam kasus yang terjadi pada seorang tentara yang terluka di medan perang. Setelah menjalani perawatan di rumah sakit lalu dikirim kembali ke medan perang, ia mengalami kelumpuhan pada satu lengannya yang membuatnya ditarik dari tugas. Pemeriksaan secara fisiologis menunjukkan tidak ada masalah pada dirinya.

Skinner mengungkapkan bahwa kondisi terluka telah menjadi negative reinforcer, yaitu sebuah stimulus yang tidak disukai yang akan berusaha untuk dihindari oleh tentara tersebut. Medan perang yang telah diasosiasikan dengan luka adalah sebuah conditioned negative reinforcer, sehingga sang tentara akan berusaha juga untuk menghindarinya. Namun demikian, ketika menolak untuk dikirim berperang, maka dirinya akan menghadapi penolakan sosial, pengadilan, dan mungkin penjara atau bahkan kematian, yang kesemuanya adalah konsekuensi aversive. Hasilnya, muncul beberapa perilaku yang menghubungkan kedua conditioned negative reinforcer tadi. Perilaku tersebut akan menguat dan dipertahankan, karena pada umumnya seorang tentara tidak dikenakan tanggung jawab ketika dirinya mengalami kelumpuhan sehingga dirinya tidak akan dihukum.

Lalu bagaimana kita menyembuhkan tentara tersebut? Secara teoritis, jika da dikembalkan ke medan perang (conditioned renforcer) dengan tidak terluka lagi (unconditioned reinforcer), respon terkondisinya (kelumpuhan) akan hilang. Namun demikian, si tentara tentunya tidak akan mau kembali ke medan perang secara sukarela. Kita dapat mendorong dia untuk kembali dan berharap bahwa berada dalam situasi aversive tanpa konsekunsi aversive yang dialami sebelumnya akan menghilangkan respon dia terhadap kelumpuhan. Prosedur ini disebut dengan flooding, yang dilakukan dengan cara mendorong pasien ke dalam situasi anxiety-arousing dan menghadapinya, hingga dirinya sadar bencana yang diharapkan muncul tidak akan terjadi.

METODE PENELITIAN DAN PENEKANAN

Penelitian Skinner menyimpang dari norma penelitian psikologi kontemporer dengan beberapa cara: Pertama, Skinner terfokus pada event perilaku yang paling sederhana. Kedua, dia bersikeras bahwa kondisi eksperimen dikontrol dan respon subjek direkam secara otomatis. Dan ketiga, dia membuat studi intensif pada satu subjek individu daripada meneliti sebuah kelompok. Bagi Skinner, tujuan psikolog adalah untuk mengontrol perilaku individu. Peneliti yang bekerja dengan sejumlah besar binatang perlu memperhatikan variabel tak terkontrolnya sepanjang hal ini tersebar secara acak. Namun Skinner percaya bahwa seperti halnya variabel lain, variabel tak terkontrol juga harus dipelajari. Jika kita ingin mengontrol perilaku, kita juga harus mngetahui variabel apa sajakah yang tidak terkontrol tersebut agar dapat dikontrol juga.

EFEK OBAT DALAM TINGKAH LAKU

Metodologi Skinner dan Kotak Skinner telah dibuktikan sebagai alat untuk mempelajari efek perilaku terhadap berbagai macam agen farmatologi. Satu obat yang telah diselidiki secara ekstensif dengan metode Skinnerian adalah chlorpromazine, yaitu agent anti-kecemasan yang digunakan dalam penanganan psikosis. Dari hasil penelitian terhadap tikus didapat bahwa obat ini mengurangi rasa takut (fear), dan kemudian telah diasumsikan bahwa obat ini juga memiliki efek bila diberikan pada penderita schizophren. Obat ini juga berfungsi sebagai depresan, yang mereduksi semua bentuk respon, tidak hanya respon pada ketakutan.

INTERVENSI TINGKAH LAKU PADA PASIEN PSIKIATRIK

Pada awal 60-an, Ayllon dan Azrin (1965, 1968) mengembangkan sebuah metode yang disebut dengan token economy, yaitu sebuah teknik berdasarkan prinsip-prinsip pengkondisian operan. Token ekonomi didesain bagi pasien penyakit mental agar menghasilkan perilaku yang diinginkan. Conditioned reinforcer dalam bentuk token diberikan pada pasien yang memunculkan respon yang diinginkan seperti memakai baju sendiri, makan tanpa bantuan, atau menyelesakan tugas secara baik. Token-token ini nantinya dapat ditukar untuk mendapatkan primary reinforcer, yaitu sesuatu yang diinginkan dan dinikmati orang lain seperti: baju baru, interaksi sosial, kosmetik, menonton film, dll.

Token ekonomi telah digunakan dalam berbagai macam situasi, seperti penanganan anak autis, orang yang mengalami perkembangan tidak normal, bahkan pada orang normal sekalipun. Teknik ini telah dibuktikan sukses dalam menghasilkan bentuk perilaku yang diinginkan.

EVALUASI

Pendekatan Skinner telah diaplikasikan dalam berbagai masalah-masalah praktis, seperti dalam pendidikan, industri, profesi, dan pelatihan binatang. Asumsi Skinner tentang ”lawfulness” tidak sejalan dalam psikologi. Namun jadwal penguatan yang dia ajukan merupakan temuan penting bagi teori belajar dan peneliti kepribadian.

Karena Skinner menolak untuk menyimpulkan mekanisme atau proses yang tidak terobservasi, dia mengalami kesulitan dalam menggambarkan situasi di luar laboratorium. Para psikolog holistik merasa bahwa pendekatan Skinner mengabaikan kompleksitas perilaku makhluk hidup. Kritik lain mengatakan bahwa situasi sederhana yang diteliti Skinner tidak akan terjadi di luar laboratoriumnya. Selain itu, ada kritik yang merasa keberatan dengan hukum perilaku yang pada akhirnya tidak melihat perbedaan spesies secara terpisah.

VJ#22/II/2008 : Epilepsi dan Pengaruhnya Terhadap Kepribadian

Di dunia ini, kasus epilepsi cukup sering dijumpai. Dalam bukunya Epilepsi, Prof. Dr. dr. S.M. Lumbantobing, seorang pakar saraf negeri ini menyebutkan, prevalensi epilepsi di seluruh dunia mencapai 5-20 orang per 1000 penduduk. Sayangnya belum ada penelitian tentang berapa tepatnya prevalensi epilepsi di Indonesia. Namun diperkirakan berkisar antara 0,5-1,2%. Jadi dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, populasi penderita epilepsi mencapai 2.100.000 orang Epilepsi dihubungkan dengan kejadian seseorang tidak sadarkan diri, terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul dengan gerakan-gerakan kejang tanpa terkendali di seluruh tubuh. Secara definisi epilepsi adalah suatu keadaan dimana penyandangnya akan mengalami suatu serangan yang tiba-tiba dan berulang-ulang, yang terjadi karena adanya gangguan atau ketidaknormalan aliran (lepas muatan) listrik di otak dengan manisfestasi yang bermacam-macam. Seseorang baru dapat dikatakan sebagai penyandang epilepsi apabila seseorang tersebut telah mengalami lebih dari satu kali serangan yang muncul karena gangguan otaknya. Gangguan, atau ketidaknormalan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa faktor tersebut adalah trauma lahir dan atau cedera lahir, penyakit karena infeksi, cedera kepala, dan lain-lain. Khusus mengenai cedera kepala atau stroke dapat mengakibatkan terjadinya epilepsi karena ketika otak berusaha memperbaiki sendiri kerusakan yang terjadi justru meyebabkan koneksi saraf yang abnormal hingga mengganggu aktivitas neuron. Selain penyebab utama di atas, ada pula yang menjadi penyebab sampingan yang dapat memicu terjadinya penyebab utama, misalnya kondisi psikologis seperti stress. Faktor psikologis berperan besar dalam timbulnya serangan epilepsi. Krisis emosional yang dialami oleh individu dapat memicu datangnya serangan.

Epilepsi dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk serangan, yaitu serangan mayor dan serangan minor. Pada serangan mayor keabnormalan meliputi seluruh bagian otak. Beberapa epilepsy yang termasuk dalam serangan mayor adalah grand mal dan petit mal. Mengenai grand mal, sesuai dengan namanya, serangan ini dimulai dengan fase tonik, kemudian diikuti dengan fase klonik. Pada fase tonik, penyandang biasanya kehilangan kesadarang dengan tiba-tiba, lalu akan langsung terjatuh tanpa dapat meliindungi dirinya. Hal ini memungkinkan penyandang mendapatkan luka atau cedera yang serius. Seketika saat ia jatuh, otot-ototnya menegang yang juga berakibat pada tertahannya pernafasan sehingga mukanya tampak memucat. Setelah serangan tonik ini kemudian muncul serangan klonik. Pada fase ini terjadi pelemasan otot-otot bagian tubuh. Setelah itu, nafas mulai berangsur kembali dan timbul hentakan pada kaki dan tangan yang akan segera berakhir. Setelah itu, gerakan motorik akan menghilang, dan kemudian kesadaran akan berangsur kembali. Sedangkan pada petit mal, serangan ini ditandai dengan hilangnya kesdaran dan kemampuan untuk berespon. Penyandang akan tampak bengong atau melamun. Mata menerawang dan aktifitasnya terhenti. Serangan ini dapat diikuti oleh gerakan motorik, seperti menggerak-gerakkan kaki, memutar-mutar pensil dengan tangan tanpa sebab yang jelas, maupun tidak adanya gerakan motorik yang mengikuti.

Ada beberapa masalah umum dan dampak yang dihadapi oleh penyandang epilepsi. Dampak yang dapat didapat oleh penyandang epilepsi salah satunya berhubungan dengan tingkat IQ. Ditemukan bahwa tingkat IQ pada penderita epilepsi secara umum berada di bawah tingkat rata-rata. Bagi seorang anak, kemunculan penyakit epilepsi pada usia dini (awal) dapat menyebabkan kesulitan saat bersekolah, dan juga nilai yang rendah pada IQ verbal. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan otak. Mengenai masalah yang dihadapi penyandang epilepsi meliputi masalah hubungan interpersonal, masalah di dalam pekerjaan dan keuangan, dan masalah perawatan medis. Pada masalah hubungan interpersonal pada penyandang dengan adanya penyakit epilepsi maka dampak yang akan ditimbulkannya adalah menurunnya kepercayaan diri individu dalam lingkungan sosial dan naiknya kesulitan-kesulitan perilaku, khususnya dalam menjalin hubungan. Selain itu, resiko akibat kejang yang dialami penderita epilepsi membatasi kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Misalnya saat menyetir kendaraan. Saat kejang penderita dapat kehilangan kesadaran yang akan membahayakan jika melakukan aktivitas tertentu. Dampak lain epilepsi adalah terhadap psikologis penderitanya. Jika serangan terjadi di muka umum, penderita mungkin akan mengalami rasa malu atau rendah diri yang juga berefek pada pada teman dan keluarganya. Selain masalah kepercayaan diri, masalah perilaku agresif juga menjadi masalah dalam menjalin hubungan interpersonal. Kesulitan lain dalam hubungan interpersonal yang menjadi masalah antara lain karena cemas dalam situasi sosial, ketidakpercayaan dengan orang lain, dan terutama karena kekhasan dalam arti perilakunya yang terlihat dalam berhubungan dengan orang lain. Selain itu, epilepsi memang dapat juga terkait atau menyebabkan perubahan emosi yang kompleks yang dapat mengubah perilaku dan kepribadian, menjadi sulit mengendalikan emosi, mudah tersinggung, kehilangan kepekaan terhadap lingkungan, menjadi egosentris atau menarik diri dari lingkungan.

Dalam masalah pekerjaan dan keuangan, pada umumnya, masalah yang datang bertolak pada serangan kejang yang sering menimpa ketika mereka menjalankan pekerjaan. Sehingga karena alasan serangan inilah maka mereka sulit dalam diterima bekerja yang berujung pada kondisi keuangan yang tidak mencukupi. Sedangkan pada masalah perawatan medis, masalah ini timbul karena belum banyaknya tenaga ahli yang memiliki kemampuan yang sesuai untuk menangani masalah epilepsi, sehingga sulit bagi penyandang untuk menemukan tenaga ahli yang sesuai. Obat-obatan yang digunakan untuk menunda atau mengurangi datangnya serangan juga tidak murah, sehingga menyulitkan sebagian penyandang epilepsi.

Epilepsi di masa dewasa muda, terkait dengan masalah-masalah penyesuaian diri, penerimaan diri, dan coping terhadap bagaimana individu menghadapi keadaan dirinya. Selain itu, yang menjadi tantangan besar bagi penyandang epilepsi di masa dewasa muda ini adalah bagaimana ia terlibat dalam suatu komunitas masyarakat. Bagi penyandang epilepsi, perawatan yang dapat dilakukan disamping secara medis berupa pengobatan juga melalui sisi psikologis. Bantuan psikologis dapat diberikan berupa perhatian dan pemenuhan kebutuhan penyandang. Berbagai bantuan ini disebut dukungan sosial terhadap penyandang epilepsi. Dukungan sosial dapat berpengaruh besar dalam mengatasi masalah bagi individu penyandang epilepsi.

VJ#21/II/2008 : Teori Karen Horney


Menurut pandangan Karen Horney, manusia mengawali hidupnya dengan perasaan tidak berdaya menghadapi kekuatan dunia yang secara potensial penuh permusuhan (potentially hostile world) sehingga anak sepenuhnya bergantung pada orangtua agar dapat bertahan. Secara alami, anak mengalami kecemasan (anxiety), ketidakberdayaan (helpless) dan kerentanan (vulnerability) sehingga tanpa bimbingan dari orangtua dalam membantu anak belajar mengatasi ancaman dari luar dirinya, maka anak akan mengembangkan basic anxiety yang menjadi dasar dari tumbulnya konflik-konflik di masa mendatang.

Basic anxiety adalah konsep utama Horney, yang mengacu pada perasaan terisolasi dan tidak berdaya seorang anak dalam potentially hostile world. Secara umum, Horney menyatakan bahwa segala sesuatu yang menggangu rasa aman dalam hubungan anak dengan orangtuanya akan menghasilkan basic anxiety. Kecemasan dasar (basic anxiety) berasal dari rasa takut; suatu peningkatan yang berbahaya dari perasaan tak berteman dan tak berdaya dalam dunia penuh ancaman. Kecemasan ini membuat individu yang mengalaminya yakin bahwa dirinya harus dijaga untuk melindungi keamanannya. Kecemasan ini juga cenderung direpres, atau dikeluarkan dari kesadaran, karena menunjukkan rasa takut bisa membuka kelemahan diri, dan menunjukkan rasa marah berisiko dihukum dan kehilangan cinta dan keamanan. Individu kemudian mengalami proses melingkar, yang oleh Horney dinamakan lingkaran setan (vicious circle). Dimulai sejak lahir, individu membutuhkan kehangatan dan kasih sayang untuk dapat menghadapi tekanan lingkungan. Apabila kehangatan dan kasih sayang tidak cukup diperoleh, maka individu menjadi marah dan muncul perasaan permusuhan karena diperlakukan secara salah. Tetapi kemarahan harus direpres agar perolehan cinta dan rasa aman yang tidak cukup itu tidak hilang sama sekali. Hal ini membuat perasaan menjadi kacau, maka munculah kecemasan dasar dan kemarahan dasar, yang semakin meningkatkan kebutuhan kasih sayang dan cinta. Hal ini kemudian juga meningkatkan kemungkinan akan semakin banyaknya kebutuhan kasih sayang yang tidak terpenuhi, sehingga semakin kuat pula perasaan marah yang timbul. Yang kemudian terjadi adalah perasaan permusuhan menjadi semakin kuat, dan represi harus semakin kuat dilakukan agar perolehan kasih sayang yang hanya sedikit itu tidak hilang. Tegangan perasaan kacau, marah, dan gusar semakin kuat, yang kemudian kembali menguatkan kecemasan dan kemarahan dasar, dan akan semakin parah apabila lingkaran tersebut terus menerus terjadi. Teori Horney tentang neurosis didasarkan pada konsep gangguan psikis yang membuat orang terkunci dalam lingkaran yang membuat tingkah laku tertekan dan tidak produktif terus menerus semakin parah.

Terdapat banyak faktor dalam lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya rasa tidak aman pada seorang anak, yaitu yang disebut oleh Horney sebagai basic evil, yang meliputi dominasi langsung maupun tidak langsung, pengabaian, penolakan, kurangnya perhatian terhadap kebutuhan anak, kurangnya bimbingan, penghinaan, pujian yang berlebihan atau tidak adanya pujian sama sekali, kurangnya kehangatan, terlalu banyak atau tidak adanya tuntutan tanggung jawab, perlindungan yang berlebihan, diskriminasi, dan lain sebagainya. Rasa tidak aman (insecure) membuat anak mengembangkan berbagai strategi untuk mengatasi perasaan-perasaan isolasi dan tak berdayanya. Ia bisa menjadi bermusuhan dan ingin membalas dendam terhadap orang-orang yang menolaknya atau berbuat sewenang-wenang terhadap dirinya. Anak juga bisa menjadi sangat patuh supaya mendapatkan kembali cinta yang dirasakannya telah hilang. Strategi lain adalah anak mengembangkan gambaran diri yang tidak realistik, yang diidealisasikan, sebagai kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferioritasnya.

Menurut Horney, terdapat sepuluh strategi yang merupakan konsekuensi pencarian solusi bagi hubungan yang terganggu antara anak dan orang tua yang disebut neurotic trends atau neurotic needs, yaitu:

1. Kebutuhan neurotik akan afeksi dan pengakuan.

2. Kebutuhan neurotik akan pasangan yang dapat mengurusi dirinya.

3. Kebutuhan neurotik untuk membatasi hidupnya secara sempit.

4. Kebutuhan neurotik akan kekuasaan.

5. Kebutuhan neurotik untuk mengeksploitasi orang lain.

6. Kebutuhan neurotik akan prestise.

7. Kebutuhan neurotik untuk dikagumi.

8. Kebutuhan neurotik untuk ambisi dan berprestasi.

9. Kebutuhan neurotik akan self-sufficiency dan kemandirian serta

10. Kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketaktercelaan.

Selanjutnya, Horney mengklasifikasikan sepuluh kebutuhan tersebut menjadi tiga orientasi menghadapi dunia, yaitu:

1. moving toward people (kebutuhan nomor: 1,2,3)

2. moving against people (kebutuhan nomor: 4,5,6,7,8)

3. moving away from people (kebutuhan nomor: 9,10)

Orang-orang yang berorientasi moving toward people memiliki ciri-ciri seperti menganggap orang lain mempunyai arti yang sangat penting dalam hidupnya, mempunyai sikap tergantung pada orang lain, ingin disenangi, dicintai dan diterima, bersikap intrapunitif (suka menghukum/ menyalahkan diri sendiri) serta mengorbankan diri sendiri dan tidak individualistis. Bagi orang yang berorientasi moving against people mempunyai ciri-ciri seperti bersikap agresif, oposisional (bertentangan dengan orang lain), ingin menguasai dan menindas orang lain, tidak pernah memperlihatkan rasa takut maupun rasa belas kasihan serta menjalin hubungan dengan orang lain berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Sementara untuk orang yang memiliki orientasi moving away from people, mempunyai ciri-ciri seperti menjauh atau lari dari realitas, tidak mau mengadakan keterlibatan emosi dengan orang lain baik dengan mencintai, berkelahi atau berkompetisi dan individu ini selalu berusaha agar bisa hidup tanpa orang lain dan benar-benar tidak ingin tergantung pada orang lain. Ketiga orientasi di atas ada dalam diri tiap orang karena ketiga sikap ini ada dalam lingkungan sosial atau masyarakat dimana sikap itu berkembang. Pada orang-orang yang normal, ketiga orientasi tersebut dapat berjalan secara seimbang dan fleksibel dimana ketiga orientasi ini dapat saling mengisi satu sama lain dan dapat menjadi sesuatu yang harmonis. Sementara pada orang-orang neurotik, ketiga orientasi ini berjalan secara kaku dimana mereka hanya menggunakan salah satu orientasi sehingga tidak produktif dan menghambat orang tersebut memenuhi potensi-potensinya.

Horney tidak mengabaikan faktor intrapsikis dalam perkembangan kepribadian. Menurutnya, proses intrapsikis semula berasal dari pengalaman hubungan antar pribadi, yang sesudah menjadi bagian dari sistem keyakinan, proses intrapsikis itu mengembangkan eksistensi dirinya terpisah dari konflik interpersonal. Untuk dapat memahami konflik intrapsikis yang sarat dengan dinamika diri, Horney memaparkan empat macam konsep diri, yaitu diri rendah (despised real self), diri nyata (real self), diri ideal (ideal self), dan diri aktual (actual self). Konflik intrapsikis yang yang terpenting adalah antara gambaran diri ideal dengan diri yang dipandang rendah. Membangun diri-ideal adalah usaha untuk memecahkan konflik dengan membuat gambaran bagus mengenai diri sendiri. Diri rendah adalah kecenderungan yang kuat dan irasional untuk merusak gambaran nyata diri. Ketika individu membangun gambaran diri ideal, gambaran diri nyata dibuang jauh-jauh. Ini menimbulkan keterpisahan yang semakin jauh antara diri nyata dengan diri ideal, dan mengakibatkan pengidap neurotik membenci dan merusak diri aktualnya, karena gambaran diri aktual itu tidak bisa disejajarkan dengan kebanggaan gambaran diri ideal. Kebanggaan neurotik adalah kebanggaan yang semu, bukan didasarkan akan pandangan diri yang realistis, tetapi didasarkan pada gambaran palsu dari diri ideal. Kebanggaan neurotik didasarkan pada gambaran diri ideal dan biasanya diumumkan keras-keras dalam rangka melindungi dan mendukung pandangan kebanggaan akan diri sendiri. Orang neurotik memandang dirinya sebagai orang yang mulia, hebat dan sempurna, sehingga kalau orang lain tidak memperlakukan mereka dengan pertimbangan khusus, orang itu menjadi sedih.



Thursday, January 17, 2008

VJ#20/I/2008 : Regulasi Emosi


Pembuka

Salah satu karakteristik yang menunjukkan bahwa kita adalah manusia normal adalah adanya kemampuan untuk mengekspresikan, menerima, dan merasakan emosi. Untuk dikategorikan normal, tentu saja, emosi-emosi tersebut harus ditunjukkan dalam situasi dan kondisi yang sesuai. Apabila anda senang dan bahagia saat mendengar suatu berita buruk, atau menangis kesal dan tersedu-sedu ketika mendapat kabar bahwa anda memenangkan hadiah sebuah rumah mewah, berarti mungkin saja ada sesuatu yang abnormal pada diri anda.

Orang awam lebih mengenal "emosi" dengan kata-kata seperti marah, sedih, senang, bahagia, takut, dan lain sebagainya. Saya yakin, bila diminta untuk menyebutkan emosi-emosi lain selain yang telah saya sebutkan, maka anda dapat melakukannya dengan mudah. Namun, sebenarnya bagaimanakan emosi tersebut "terbentuk" dan faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh?.

Pada tulisan ini, saya mencoba menjelaskan mengenai apa dan bagaimana emosi tersebut terbentuk. Selain itu, saya memilih untuk memfokuskan kepada emosi "marah". Kenapa? Tidak lain, karena "marah" menjadi suatu emosi yang sulit sekali untuk dikontrol, meskipun norma, budaya, dan agama telah mengajarkan kita untuk tidak mengumbar emosi tersebut. Nyatanya, "marah" masih saja menjadi salah satu emosi "populer" di lingkungan kita.

Regulasi Emosi

Tahap-tahap proses terjadinya emosi yang melatari pengalaman dan perilaku emosional menurut Frijda (1986) adalah sebagai berikut :

1. Stimulus: stimulus diterima dan dikodekan

2. Komparator: terjadi penilaian relevansi stimulus, yang dinamakan penilaian primer dan merupakan hasil perbandingan antara peristiwa sebagaimana dipersepsi oleh individu dengan kepedulian individu.

3. Pendiagnosis: melakukan evaluasi selanjutnya dari stimulus sebagai keseluruhan dalam kaitannya dengan apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan individu, yang disebut evaluasi konteks atau penilaian sekunder.

4. Evaluator: melakukan evaluasi atas semua masukan dibandingkan dengan informasi yang telah ada sebelumnya. Perbandingan tersebut menjadi isyarat untuk terjadinya interupsi perilaku yang sedang berlangsung atau terpecahnyaperhatian individu dari perilaku tersebut, yang disebut juga control precedence.

5. Perubahan Kesiapan Aksi: merupakan ciri utama dari control precedence, yang dapat terjadi suatu rencana tindakan atau terjadi modus aktivasi tertentu.

6. Timbulnya Perubahan Faali: masukan dari tahap perubahan kesiapan aksi menimbulkan perubahan faal dan seleksi aksi yang dapat dilakukan, yang ditentukan oleh modus aktivasi dan regulasi.

Regulasi terjadi karena ada norma-norma yang sudah diinternalisasi individu, dan norma-norma lain yang ada pada saat itu.

Frijda (1986) mengatakan bahwa pengalaman emosi dapat disadari melalui dua cara, yaitu :

1. Reflektif (Penilaian Sekunder)

Pengalaman reflektif adalah hasil intropeksi dari suatu yang telah berlangsung, dimana yang menjadi pusat perhatian aedalah kesadaran itu sendiri dan obyek pengalaman direduksi menjadi penginderaan.

2. Irreflektif (Penilaian Primer)

Dalam pengalaman irreflektif yang menjadi fokus adalah kegiatan kesadaran yang terarah pada obyek. Misalnya pada situasi yang menimbulkan emosi takut, subyek memandang situasi secara langsung atau intuitif sebagai sesuatu yang mengancam kesejahteraan dirinya tanpa melakukan penalaran sistematik.

Dapat dikatakan bahwa pengalaman reflektif lebih disadari oleh subyek dibandingkan dengan pengalaman irreflektif.

Selanjutnya Frijda (1986) mengatakan bahwa terdapat tiga jenis komponen penilaian situasi yang berkaitan dengan jenis-jenis pengalaman emosi, yaitu :

1. Komponen Inti

Merupakan komponen yang dapat menjelaskan apakah situasi merupakan situasi emosional atau tidak, yang menyangkut relevansi emosional dan menjadi bagian pengalaman emosi itu sendiri.

2. Komponen Konteks

Komponen ini memberi ciri pada struktur arti situasi yang menentukan sifat emosi, yaitu emosi apa yang akan muncul dan seberapa kuat intensitasnya. Selain itu, komponen ini juga menyangkut apa yang menurut subyek dapat ia lakukan atau tidak dapat dilakukan terhadap situasi.

3. Komponen Obyek

Komponen ini berkaitan dengan sifat obyek yang menimbulkan emosi. Contoh komponen obyek yang diberikan oleh Frijda (1986) antara lain adalah :

a. ego sebagai obyek

Misalnya dalam emosi malu, yaitu subyek menilai dirinya sendiri dan bagaimana orang lain memandang dirinya.

b. obyek fate vs subject fate

Yang dinilai adalah apakah emosi tersebut mempengaruhi kesejahteraan diri sendiri atau kesejahteraan orang lain

MARAH

Marah, menurut Izard dalam Plutchik (1994), termasuk ke dalam 8 emosi dasar, yaitu takut marah, bahagia, menarik (interest), jijik, terkejut (surprise), malu, terhina (contempt), distress, dan guilt. Selain itu Plutchik (1994) juga menyatakan bahwa yang termasuk 8 emosi dasar, marah, takut, sedih, bahagia, jijik, antisipasi (anticipation), dan terkejut (surprise). Sedangkan menurut Epstein dalam Plutchik (1994), terdapat 5 emosi dasar, takut, marah, sedih, bahagia, dan cinta. Melalui penjelasan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa marah merupakan salah satu dari beberapa emosi dasar.

Marah menimbulkan dorongan untuk menyerang menurut Lazarus & Lazarus (1984). Emosi marah ini dapat ditimbulkan karena adanya penghinaan terhadap diri sendiri serta hal-hal yang dimiliki oleh diri. Namun, keadaan yang dianggap sebagai penghinaan tidak selalu merupakan kejadian yang dialami sendiri oleh individu.

Persepsi terhadap suatu keadaan sebagai penghinaan atau bukan tergantung pada beberapa hal, yaitu orang lain yang terlibat dalam peristiwa tersebut dan perasaan aman akan identitas diri. (Lazarus & Lazarus, 1994). Realisasi emosi marah ke dalam bentuk perilaku dapat dipengaruhi oleh adanya pandangan mengenai keadaan diri dan lingkungan sosialnya. Hal tersebut berkaitan dengan standar sosial yang telah diinternalisasikannya.

Ekman dan Friesen (1975) menjelaskan berbagai hal yang dapat merangsang timbulnya emosi marah, diantaranya gangguan terhadap aktivitas atau pencapaian tujuan. Selain itu, marah juga dapat ditimbulkan oleh ancaman fisik dan tingkah laku atau perkataan orang lain yang menyakiti secara psikologis. Emosi marah berkaitan dengan kegagalan seseorang untuk memenuhi harapan yang kita inginkan dan kemarahan orang lain ditujukan kepada kita.

Emosi marah, menurut Frijda, Kuipers, dkk (1989) merupakan suatu emosi yang didominasi kesiapan untuk beraksi. Dari penelitian yang mereka lakukan, disimpulkan bahwa ada dua unsur dalam emosi marah, yaitu unsur bergerak melawan atau moving against (kecenderungan untuk antagonis seperti menyerang atau beroposisi) dan boiling inwardly (mendidih di dalam).

Pengaruh Peran Gender (Gender-Role) Terhadap Regulasi Emosi Marah

Peran gender adalah tingkah laku, minat, sikap, kemampuan, dan sifat yang dalam kebudayaan tertentu dianggap sesuai dengan jenis kelamin seseorang (Papalia, Olds, & Feldman). Dalam masyarakat, perempuan mendapat peran yang bersifat ekspresif, yaitu peran yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan hubungan dengan orang lain (Wrightsman, dalam Indryastuti, 1998). Menurut Gershung (dalam Indryastuti, 1998), perempuan dianggap memiliki sifat-sifat feminin, yang sebagian di antaranya adalah inkompeten, submisif, tergantung, dan ragu-ragu/malu-malu.

Dalam pembuatan Bem Sex-Role Inventory (dalam Baron & Byrne, 2000), partisipan penelitian menyebutkan lebih dari 400 sifat yang menurut mereka sesuai (socially desirable) masing-masing bagi perempuan dan laki-laki. Di antara 20 karakter perempuan tersebut terdapat karakter-karakter seperti “tidak menggunakan kata-kata kasar”, “berbicara dengan halus”, “lembut”, “simpatik”, dan “penuh pengertian”.

Dengan karakter demikian yang dianggap sesuai bagi perempuan di masyarakat, sangat mungkin bahwa perempuan mengalami kesulitan dalam mengekspresikan kemarahannya. Menurut Lerner (dalam Indryastuti, 1998), kebanyakan perempuan takut mengekspresikan kemarahan mereka secara efektif dan langsung. Ekspresi kemarahan yang terbuka dan langsung membuat seorang perempuan terlihat bertingkah laku tidak pantas bagi perempuan terhormat, tidak feminin, tidak keibuan, dan tidak menarik secara seksual (Tavris, dalam Indryastuti, 1998).

Dengan demikian, regulasi emosi marah yang terjadi pada seorang perempuan hanya akan terjadi sampai tahap generator kesiapan aksi. Jika kemarahan tersebut diregulasi sampai pada tingkah laku overt, amat mungkin tingkah laku tersebut telah dikurangi atau dipalsukan.

Pengalaman emosi (kasus teman wanita penulis) :

Pengalaman emosi marah, saya alami kira-kira pada saat ujian tengah semester kedua. Kejadiannya; ada dua orang sahabat saya sedang main ke rumah dan memang hari sudah malam. Kedatangan mereka membuat saya senang karena menjadi hiburan setelah penat belajar untuk ujian. Bingung memilih tempat ngobrol karena di bawah masih ada orang tua tetapi karena pertimbangan tidak ada tempat yang private lagi, maka saya tetap mengajak keduanya ke kamar saya. Sempat terpikir apakah sopan mengajak mereka masuk ke kamar karena salah satu teman saya yang datang adalah laki-laki, maka pintu kamar pun tidak ditutup.

Namun, malam itu kakak tertua saya yang telah menikah sedang mengalami maasalah dan menginap sementara di rumah kami. Dengan emosi dan perasaan yang mungkin sedang kalut, ia mudah sekali marah. Ketika sedang asyiknya mengobrol di kamar, teman saya yang laki-laki permisi keluar sebentar untuk menelepon. Tiba- tiba kakak saya memanggil saya keluar, dan mengatakan bahwa ia telah menegur teman laki-laki saya agar tidak masuk ke dalam kamar saya. Saya mungkin setuju dengannya, tetapi yang sangat saya sayangkan adalah ia menegur teman laki-laki saya dengan nada yang tidak sopan dan sepertinya menyinggung perasaan teman saya.

Merasa kesal, saya langsung menanyakan hal tersebut baik-baik kepadanya, tetapi ia membalasnya dengan nada marah dan langsung menghampiri saya. Saya tidak marah ia memperingatkan seperti itu, tetapi kenapa ia tidak bicara dahulu dengan saya. Mungkin dalam pengaruh stress menghadapi UTS, emosi marah saya juga ikut terpancing, sehingga pintu kamar pun saya pukul sebagai tindakan protes. Selanjutnya, kami pun saling berteriak menyalahkan, tidak berlangsung lama saya pun akhirnya menangis sejadi-jadinya. Teman-teman saya yang pada saat itu masih ada langsung menghampiri dan menenangkan saya. Perasaan yang ada dalam hati saya adalah marah, lega, sedih, sekaligus yang terutama malu.

Analisis Kasus

Pada ilustrasi kasus di atas, subyek yang mengalami emosi marah adalah wanita, dapat dilihat bahwa pada diri subyek telah terjadi regulasi emosi, yaitu :

Stimulus: Sang kakak menegur teman subyek dengan cara yang kurang baik.

Komparator: Subyek menilai situasi tresebut tidak sepantasnya dilakukan oleh sang

kakak, dan karena subyek merasa sngat tidak enak dengan temannya

tersebut.

Pendiagnosis : Pada tahap ini, subyek melakukan evaluasi terhadap stimulus, dalam

kaitannya dengan apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilakukan

oleh subyek.

Evaluator: melakukan evaluasi atas semua masukan dibandingkan dengan informasi yang telah ada sebelumnya, yang kemudian memunculkan emosi marah pada diri subyek

Perubahan Kesiapan Aksi: mendorong subyek untuk berteriak, mengeluarkan air mata,

dan memukul pintu.

Timbulnya Perubahan Faali : -

Dari uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa regulasi emosi marah yang terjadi pada diri subyek hanya terjadi sampai tahap generator kesiapan aksi. Jika kemarahan tersebut diregulasi sampai pada tingkah laku overt, amat mungkin tingkah laku tersebut telah dikurangi atau dipalsukan. Hal tersebut terjadi karena menurut Lerner (dalam Indryastuti, 1998), kebanyakan perempuan takut mengekspresikan kemarahan mereka secara efektif dan langsung. Ekspresi kemarahan yang terbuka dan langsung membuat seorang perempuan terlihat bertingkah laku tidak pantas bagi perempuan terhormat, tidak feminin, tidak keibuan, dan tidak menarik secara seksual (Tavris, dalam Indryastuti, 1998). Dalam kasus ini, mungkin subyek merasa takut dipandang buruk oleh teman-temannya apabila ia mengekpresikan emosi marahnya secara berlebihan.