Monday, April 13, 2009

VJ#43/IV/2009 : Volunteering

Pengertian
“Volunteers are individuals or groups who give their time, talent and abilities to a cause they believe in, without pay”
(United States Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service)

Sukarelawan (volunteer) adalah individu atau kelompok yang memberikan waktu, keahlian, dan bakat yang dimiliki pada suatu hal yang mereka yakini, tanpa mendapatkan bayaran apapun atau tanpa mengharapkan kompensasi finansial secara langsung. Menurut beberapa penelitian, orang-orang yang biasanya menjadi seorang sukarelawan adalah orang-orang yang telah separuh baya, memiliki tingkat sosial ekomoni menengah, perempuan menikah yang memiliki tingkat pendidikan di atas SMU dan mempunyai anak yang masih dalam usia sekolah (Gerard, Hettman & Jenkins, dalam Thoits & Hewitt, 2001). Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh sukarelawan (volunteering) antara lain partisipasi masyarakat dalam memberikan jasa atau bantuan kepada orang lain secara langsung, kelompok aksi masyarakat, advokasi mengenai suatu masalah, individu maupun kelompok, partisipasi pada kegiatan pemerintah, self-help, dan rentang yang luas pada kegiatan menolong informal (informal helping activities) (Thoits & Hewitt, 2001). Volunteering Australia Inc, sebuah perusahaan pusat untuk kegiatan sukarela di Australia (2005), menyebutkan bahwa dalam kegiatan sukarela aktivitas yang dilakukan bukan untuk organisasi atau proyek yang profit (menghasilkan keuntungan) yang dilakukan dengan beberapa syarat, antara lain untuk menghasilkan keuntungan bagi komunitas masyarakat dan sukarelawan yang melakukannya kegiatan sukarela tersebut, dilakukan oleh sukarelawan atas keinginan sendiri dan tanpa paksaan dari pihak manapun, dan dilakukan bukan untuk mendapatkan pembayaran secara finansial.

Goverment of Alberta (2006) menjelaskan kegiatan sukarela (volunteering) sebagai berikut :
1. Membagi keahlian dan waktu yang dimiliki kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun.
2. Menunjukkan kepedulian kita kepada suatu hal atau orang lain
3. Menunjukkan suatu tanda kedewasaan, yaitu dapat berpikir hal-hal lain selain kebutuhan atau keinginan sendiri.
4. Mengekspresikan kepercayaan dan nilai-nilai melalui jasa atau pelayanan untuk orang lain
5. Meningkatkan well-being diri sendiri melalui memberikan bantuan untuk orang lain.

Melihat penjabaran di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa suatu kegiatan dapat disebut sebagai kegiatan sukarela apabila kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi orang lain, yang dapat diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan berupa jasa atau layanan, dimana kegiatan tersebut memberikan manfaat tidak hanya pada komunitas masyarakat namun juga individu yang melakukannya. Titik tekan dari kegiatan sukarela adalah bahwa orang yang melakukannya tidak mengharapkan adanya imbalan atas perbuatan yang mereka lakukan tersebut.

Alasan Menjadi Volunteer
Alasan menjadi sukarelawan :
1. Volunteer Motivations Model
Menekankan pada motivasi individu untuk mencapai tujuan sebagai sukarelawan. Penelitian mengungkapkan bahwa masing-masing individu mempunyai motivasi yang berbeda-beda dalam memutuskan untuk menjadi sukarelawan, antara lain untuk mempelajari keahlian-keahlian baru, untuk mengembangkan diri sendiri, untuk meningkatkan harga diri, untuk mempersiapkan karir di masa depan, untuk mengekspresikan nilai-nilai personal dan komitmen terhadap masyarakat, dan untuk mengurangi konflik-ego (Omoto & Snyder, Janoski, Musick, & Wilson, dalam Thoits & Hewitt, 2001).
2. Values and Attitudes Model
Model ini menekankan pada hubungan antara menjadi sukarelawan dengan kepercayaan individu mengenai pentingnya seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang memikirkan kepentingan umum (Janoski; Sundeen, dalam Thoits & Hewitt 2001)
3. Role-identity Model
Model ini menekankan bahwa pengalaman menjadi sukarelawan di masa lalu mengantarkan pada pengembangan “volunteer role-identity”, yang pada akhirnya memotivasi seseorang untuk melakukan aktivitas sukarela di masa depan (Callero; Charng, Piliavin, & Callero, dalam Thoits & Hewitt 2001). Model lain yang berhubungan adalah Group-Identity Model, yang mengatakan bahwa individu memiliki motivasi untuk menolong orang-orang yang secara kolektif mereka anggap memiliki identitas yang sama dengan diri individu tersebut. Contohnya adalah seorang gay yang teridentifikasi dengan komunitas gay akan cenderung membantu orang-orang dengan HIV/AIDS (Simon, Sturmer, & Steffens; Stark & Deaux, dalam Thoits & Hewitt 2001)
4. The Volunteer Personality Model
Faktor kepribadian menjadi motivasi seseorang untuk menjadi sukarelawan. Penelitian yang dilakukan oleh Penner dan Finkelstein (dalam Thoits & Hewitt 2001) menunjukkan bahwa kepribadian prososial memiliki hubungan positif dengan panjang dan lamanya waktu yang diberikan untuk menjadi sukarelawan.
5. The Personal Well-Being Model
Model ini merupakan model yang paling jarang diteliti dibandingkan model lainnya dalam penelitian mengenai sukarelawan. Dalam model ini, karakter kepribadian dan kesehatan mental maupun fisik sebagai sumber yang dibutuhkan untuk dapat terlibat dalam kegiatan sukarela (menjadi sukarelawan). Hal-hal yang termasuk di dalamnya adalah kepercayaan diri, kontrol diri, harga diri, dan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah (Thoits & Hewitt 2001)

Prinsip-Prinsip dan Manfaat Volunteering (Kegiatan Sukarela)
Dalam kegiatan sukarela ada beberapa prinsip yang perlu diberikan perhatian serta manfaat-manfaat yang dapat diperoleh oleh orang-orang yang melakukannya. Adapun beberapa prinsip dalam kegiatan sukarela adalah sebagai berikut : (Govenrment of Alberta, 2006) .
1. Kegiatan tersebut memberikan keuntungan bagi komunitas masyarakat dan sukarelawan
2. Pekerja sukarela tidak mendapatkan bayaran dalam melakukan kegiatan tersebut.
3. Kegiatan sukarela dilakukan atas dasar pilihan sendiri (tanpa paksaan pihak manapun).
4. Kegiatan sukarela bukan sebuah kegiatan wajib yang dilakukan untuk mendapatkan dana pensiun ataupun tunjangan dari pemerintah
5. Kegiatan sukarela adalah sebuah kegiatan yang legal yang masyarakat dapat berpartisipasi
6. Kegiatan sukarela adalah sebuah kegiatan yang dilakukan hanya pada sektor non-profit
7. Kegiatan sukarela bukan suatu subsitusi dari suatu pekerjaan yang mendapatkan bayaran.
8. Sukarelawan tidak menggantikan posisi pekerja yang berbayar ataupun mengancam keamanan kerja dari pekerja yang berbayar
9. Kegiatan sukarela menghormati hak, kehormatan, dan budaya dari orang lain.
10. Kegiatan sukarela mengedepankan hak azasi manusia dan persamaan hak.

Sedangkan beberapa manfaat melakukan kegiatan sukarela yang dapat diraih oleh oleh-orang yang melakukannya, antara lain : (Govenrment of Alberta, 2006)
1. Mendapatkan pengalaman dalam bekerja
2. Menunjukkan keahlian-keahlian yang telah dimiliki sebelumnya sekaligus mempelajari keahlian-keahlian baru
3. Bertemu dengan orang-orang baru dan membuat suatu jaringan yang dapat membantu untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan
4. Mencoba (try out) rencana karir yang dipunya dengan bekerja sukarela di bidang yang memang menjadi minat
5. Menunjukkan dan melatih kedewasaan yang berguna saat bekerja dalam perusahaan sesungguhnya
6. Untuk mengeksrpesikan nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut
7. Membuat perasaan menjadi lebih baik
8. Merasa lebih percaya diri akan keahlian yang dimiliki
9. Mengubah hal-hal yang diminati menjadi suatu tindakan nyata
10. Membuat perubahan karir
11. Mengekspresikan diri
12. Mengeksplorasi lingkungan sekitar
13. Mengetahui atau mengenali diri sendiri

Bagi orang-orang yang melakukan kegiatan sukarela maka akan mendapatkan berbagai manfaat. Khusus mengenai remaja sukarela maka dengan melakukan kegiatan sukarela maka dapat membantu untuk memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia mereka. Beberapa tugas perkembangan yang dapat terpenuhi dengan melakukan kegiatan sukarela adalah dalam hal menseleksi dan menyiapkan pekerjaan untuk dirinya, mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep yang dibutuhkan dalam masyarakat, dan mencapai hubungan sosial yang baru dan lebih dewasa dengan teman sebaya, baik yang sejenis maupun lawan jenis.

Sunday, April 12, 2009

VJ#42/IV/2009 : Citizenship in Democratic Society

Sudah lama saya tidak menulis di blogs ini. Karena kesibukan, dan juga karena kemalasan. Kangen. Tiba-tiba teringat sebuah essay mengenai masyarakat demokrasi, kewarganegaraan, kepemimpinan dan peran remaja pada tiga hal itu, yang sejatinya saya tujukan untuk sebuah lomba essay. Sungguh sayang apabila essay ini hanya berakhir di folder terdalam dari PC saya. Oleh karena itu, saya ingin membaginya dengan anda para pembaca blogs setia saya.
Selamat menikmati (Dialih bahasa oleh sahabat saya, Sekar Rara) :


As one of the countries supporting democracy in South East Asia, The Republic of Indonesia has indeed a lot of resources that other developed countries would need. Regarding the world trade, Indonesia is strategically located, because it is surrounded by the main two continents (e.g. Asian and Australian), as well as two oceans (e.g. Hindia and Pacific). Following China and India, Indonesia is in the third place having the largest population, which makes this country become the third largest country supporting democracy, and have the largest Moslem citizen in the world. In addition, Indonesia has proudly announced its independency for over 60 years, indicating that Indonesian citizen has had a great amount of opportunities to independently manage their country natural resources. These resources supposedly have been used to satisfy the citizens’ well-being and wealth without any interventions from other countries. However, those amazing facts have not been able to include Indonesia in one of the world most developed countries. Instead, United Nations and all developed countries put Indonesia in the category of developing countries. In other words, the term of “developing country” has been used as a more polite term to explain poor and under-developed countries. Unfortunately, the decision to view Indonesia as a developing country is surprisingly true. Recent facts have shown that the development in the field of economy, education, and technology is far behind its neighbors (e.g. Malaysia and Singapore). The irony can further be well-described by an famous idiom in Indonesia “rat that dies in the middle of rice barn”. To be precise, there are still a lot of very poor people in Indonesia that have not been able to meet their daily needs while in fact, Indonesia has many natural resources. As cited in Antara News website, Susilo Bambang Yudhoyono, the current president of Republic of Indonesia, mentioned that there were still 19.2 milion poor families or about 36.3% of the total population. Similarly, World Bank stated that there were 108 million poor families (about 49% of the total population), and this amount showed the biggest and the worst poverty that has happened in Indonesia since the last 36 years. The government‘s efforts to support economic development have also been delayed due to the increased amount of people having no job, as been stated by one of representatives of Indonesian Parliement (. In 2004, the case of jobless people reached 9.7%, and this number increased to 10.3% in 2005. Work opportunities in Indonesia also showed no positive trends in 2006, because the unemployed people were increasing to 11.1%. In total, there were more than 40 million people had no job at the end of 2006.

Several factors may contribute to the incapability of the Indonesian government to pursue similar progresses in developing the country, as what other countries would do. However, I would mostly like to point out that the primary cause of the poor development is due to the serious cases of corruption that have happened for ages, and have caused some deficits in the Revised National Budget. Additionally, corruption has become the most common thing that Indonesian people do, from those who work in formal institutions (e.g. from government elite to staffs), as well as those who have jobs in other fields (e.g. businessman). The statement was supported by Transparency International (TI) by conducting a survey regarding the measure of corruption level from September-December 2008. In particular, many businessmen in Indonesia were asked about their perceptions whether it was common or not for the government agents in the level of province to perform corruptions. The survey also measured the government’s efforts to seriously fight against corruptions. The results then showed that based on the Corruption Perception Index (IPK) measured in the survey, Indonesia was on the 126th rank from 180 countries, and scored 2.6 points (e.g. scales ranges from 1 = the most corruption cases, to 10 = the least corruption cases). Further, there was only a slight increase from last year, when Indonesia scored 2.3 points in 2007. As cited in Kompas Newspaper dated on the February 25th, 2008, Indonesian Corruption Perception Index (IPK) scored 2.72 points during the last few years in average. Other news from similar resource also cited the facts from Political and Economic Risk Consultancy (PERC) that Indonesia was always included in the top-three countries having the most corruption cases for the last 4 years (since 2004).

Therefore, due to the severe actions of corruptions, there are a lot of negative consequences do occur. The most serious problem is that there has been a significant increase in the number of poverty in the last five years. This terrible situation has further failed this government responsibilities stated in the 1945 Constitution of Indonesian Republic to be appropriately executed. Unfortunately, the crisis does not only occur in some under-developed provinces in Indonesia, but also arises in Jakarta, which becomes the capital city of Republic of Indonesia. As the most modern and the biggest city in Indonesia, there still are a lot of people living in terrible poverties. In addition, the number of poor people increased almost double fold when Indonesian global crisis occurred in 1998. Another consequence of the crisis was many children in Jakarta could not continue their studies due to financial reasons. Therefore, these children are inevitably forced to work, which includes becoming newspaper boys, beggars, or doing any other possible informal works. However, at the end of 2008, Indonesian government was still doing some attempts to deal with the children who quit school. In its cooperation with the World Bank and the Asian Development Bank, Indonesia was given US$113 million or approximately 1.4 trillion Rupiahs for funding the free school programs for these children. In particular, the programs include “Let’s go to school” (“Ayo, Sekolah! “), making school free for everyone. However, those interesting programs have failed to invite the children to study and enjoy the facilities given. The need to get a proper education is indeed lower than the need to support their life and families, so they choose to keep on working instead. As cited in www.ypha.or.id, the number of children quitting their elementary school and junior high school are still high. According to National Education Department, there were 1002 elementary school and 2172 junior high school students that were not able to higher educations in 2006/2007. Additionally, it was found that the main reason for quitting school was because they have to support their family needs. Unemployed and bankrupt parents, as well as children having low interests in education may also contribute to a high number of children giving up their school for informal street jobs.

Given the terrible facts about the problems that Indonesian citizens experience, are there any contributions from young generations to help the country achieve better condition?. Indeed, participations from young people have had play significant roles in many national events that support Indonesia development. Their roles, for example, may be obviously shown in continuous massive supports to achieve Indonesian Independency in 1945, as well as overthrowing the authority of previous president, Soeharto, in 1998. This may happen because there were some believes occuring in public that young generations were seen as the most effective agents of change, as well as the only trusted community agent supporting citizen main privileges. A lot of people indeed put much more hopes to this young generation than the local government in making Indonesia as a better place to live. However, in recent times, there has been a growing pessimism that young generations can no longer be the agents of change. The main reason is that nowadays, many young people become more materialistic and consumptive due to the capitalism attacks in 3F (Food, Fashion, and Films). This tendency was indeed confirmed by the recent surveys conducted by Surindo in 2000, which was investigating the patterns of teenage behaviors in 9 big cities in Indonesia (e.g Jakarta, Bandung, and Surabaya). The results showed that their living styles were mostly glamorous. Students from various institutions shopping in malls were the participants, and it was found that their behaviors showed more tendencies of ignoring other surroundings, chatting with the same teenagers in big cliques and smoking a lot. These facts are not surprising, considering that these behaviors have become the common teenage styles for the last few years. Additionally, as cited in another source, http://kapmi.tripod.com/artikel/dakwah_sekolah.htm, in the last 10-15 years, teenagers living in big cities in Indonesia have shown more juvenile sexual and social deviances in public. Fighting with other teenagers from different schools and any other kind of deviances exposed by the media has made public have a lot of negative perceptions about teenagers, such as, community perceives that teenagers are now not able to fight for the equity of public privileges, as well as becoming great agents of change for the country. Teenagers are now mostly viewed as young people who love to hanging out with friends in consumptive and materialistic patterns.

Furthermore, pessimistic views about young generations can never be changed or become worse if we, as one of the young people, do not create the changes. Now, it is the time for young generations to show up in the front line in supporting the development of Republic of Indonesia, so they further can give their contributions to the country. They can not only perform several acts of demonstrations on the street, but also perform more concrete actions that can directly make benefits to the community. However, to do such great attempts is not easy, considering the fact that young people are frequently having difficulties to give their constructive opinion to the government. Hence, what is the most effective way to encourage good changes in this country? One of the tangible actions is improving the quality of the education system through establishing independent education institutions. The aim is to share knowledge to students who are not able to study in formal schools, for free. According to National Education Department the number of Non-Government Organization asking permission to create the center of learning activities for students increased significantly from previous years. This learning center is a place that allows any kind of active learning processes to occur, which is managed independently by NGO as one form of community social responsibilities (e.g. from providing facilities, teachers, and ensure the continuity of learning process). It is amazing to know that in fact, the number of such learning center reached 427 in 2007, and they are located in different places in Indonesia. The most importantly, there are 6825 students studying in these independent learning centers. Therefore, as what expected by all principals in this independent institution, those students can learn about formal and moral educations, which further lead to the shaping of good individual behaviors and characters. As a consequence, the number of cases showing moral degradations (e.g. corruptions) is expected to decrease, because these children has been taught not to take something that does not belong to him or her in school. However, there is still one big challenge to run the learning centre independently, considering that government do not give much financial supports. Hence, in order to manage the learning activities to operate smoothly, the organization has to actively promote these activities so they can attract companies (e.g. sponsorships) and other people who want to personally donate.

Moreover, many young people are working in one of those independent learning centers as volunteers. Thoits and Hewiit (2001) defines volunteering as an activity in which someone can give his or her time and skills possessed in performing some tasks or works without expecting any direct financial benefits. Additionally, Volunteering Australia Inc, also states that volunteering means activities that are not performed for profitable organizations or projects. Instead, volunteering includes activities that give benefits to society and the volunteers, and those activities are performed without being forced to do so by others, as well as without any financial compensation. To give a clear explanation about volunteering, I conducted an interview to one of the teenage volunteers in 2008, investigating the reasons to volunteer. She then explained that by volunteering, she was able to practice the way she taught, because she planned to be a kindergarten teacher in the future. She also mentioned that volunteering has given her the ultimate happiness in her life; because by sharing knowledge to others, she could help a lot of poor children achieve their bright future. This could be an interesting point because despite the more patterns of hedonistic behaviors in teenager that has occurred these days, there are still teenagers doing good social activities aiming to help others. Therefore, by doing concrete actions presented above, it is promising to say that all teenagers could give tangible contributions to their country if they have strong wills to do that. One of the most plausible strategies is to show our belongingness to society, or in this case, our citizenship. This may be done by being an active member who always supports any good progresses that happen in his or her own society. As cited in http://josephsoninstitute.org/MED/MED-2sixpillars.html, it is stated that the dimensions of citizenship include sharing with others, wanting to cooperate, encouraging a better school and environment, participating in most community events, as well as physically and socially ensuring the security of one’s own surroundings. Therefore, being a volunteer in an independent learning center has clearly shown that someone or teenager who does it, has already had high sense of citizenship. If a teenager has made contributions to the country, it means that he has had his own future vision and mission about what he expects the society to become in the future. That is to say that he already has got his own strategies to voice and act his opinion without directly seeing the government elite or staff. Regarding this case, we could learn much from the current President of United Stated of America, President Barrack Obama. He could amazingly convince most American people and especially to the world, that he has the greatest vision and mission about how he would view America in the future. Obama starts his jobs as an agent of change in America by asking his citizens to altogether support his programs, as well as supporting many poor people that previously had difficulties in taking benefits from their rights as American citizen. We could also learn from Obama that age does not matter in determining someone’s credibility to be a world leader. It will be more objective to view whether someone is appropriate or not to be a leader by considering the level of one’s integrity, commitment, and how well he personally understands his own people. Therefore, many young people should be confident admitting that they have their own strengths such as competency, integrity, capability, creativity, idealism, and the most importantly, moral commitment as basic skills and knowledge required to develop their country, Republic of Indonesia.

References :

Thoits, Peggy A., & Hewitt, Lyndi N. (2001). Volunteer Work and Well-Being. Journal of Health and Social Behavior, 42, 115-131.

Volunteering Australia Inc. (2005). Definitions and Principles of Volunteering. Australia

http://www.ti.or.id/researchsurvey/90/tahun/2008/bulan/09/tanggal/23/id/3465/ http://www.antara.co.id/arc/2007/7/6/kondisi-indonesia-saat-ini-terburuk-dalam-36tahun/

www.jejak.htmlplanet.com

http://josephsoninstitute.org/MED/MED-2sixpillars.html

http://kapmi.tripod.com/artikel/dakwah_sekolah.htm

http://www.ypha.or.id/information.php?subaction=showfull&id=1182937298&archive=&start_from=&ucat=2&

Thursday, October 30, 2008

VJ#41/X?2008 : Keapatisan Politik dalam Sudut Pandang Psikologi


Pemilihan umum (baik legislatif maupun pilpres) 2009 akan diselenggarakan dalam waktu yang tidak lama lagi. Masing-masing kandidat telah mulai menunjukkan gerak-geriknya. Untuk yang individu, ada yang telah berteriak lantang tanpa ragu akan maju, sampai yang masih malu-malu tapi mau. Partai-partai juga semakin gencar menunjukkan eksistensinya. Segala ruang media dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dari yang elegan, misal lewat iklan televisi, radio, internet, dll, sampai dengan yang kampungan, misal memasang bendera partai--yang besarnya bisa mentupi gedung bertingkat-- di sembarang tempat (paling sering di atas pohon tinggi). Tak bisa dipungkiri memang, selama Negara kita masih berlandaskan demokrasi, maka selama itu pula pemilihan umum masih dibutuhkan dan menjadi tonggak utama jalannya pembaharuan dan perubahan (ke arah positif) buat Negara. Akan tetapi, menurut pengamatan penulis, nampaknya kecenderungan rakyat untuk memilih cenderung tidak antusias. Terutama di kalangan pemuda. Hal ini dibuktikan melalui suatu penelitian di 10 kota besar kota di Indonesia yang baru-baru ini penulis ikuti. Tidak antusias, membosankan, biasa aja, pesimis, dan kata-kata lain yang bernada sama keluar dari mulut pemuda untuk menjawab pendapat mengenai pemilihan umum atau politik pada umumnya.
***
Melihat perkembangan politik di Indonesia maka ada beberapa hal yang (mungkin) membuat pemuda (rakyat?) menjadi cenderung apatis dalam memandang politik ataupun pemilu. Dalam ilmu politik ada hal yang disebut dengan Keterlibatan psikologis, yaitu sebagai derajat ketertarikan atau perhatian seseorang pada politik dan kepercayaan bahwa partisipasi politiknya bermanfaat. Semakin kuat keterlibatan psikologis seseorang maka semakin cenderung ia untuk berpartisipasi dalam politik (misalnya dengan turut serta memberikan suara dalam pemilu), sedangkan non-pemilih cenderung memiliki keterlibatan psikologis yang rendah dimana investasi emosional mereka dan dukungan terhadap proses politik berada di bawah rata-rata pemilih. Dikaitkan dengan kondisi pemuda saat ini, banyaknya yang cenderung menjadi non-pemilih (golput) pada saat pemilu dapat disebabkan mereka memiliki keterlibatan psikologis yang rendah karena tidak percaya jika sumbangan suaranya akan bermanfaat bagi dirinya maupun peyelenggaraan negara. Hal ini dapat disebabkan adanya pengetahuan terdahulu (prior knowledge) bahwa keterlibatan diri dalam politik tidak akan membuat perubahan dalam kehidupannya. Dalam bahasa gaulnya “ngapain gue milih, tetap aja BBM mahal” atau “golput aja lah, politikus di mana-mana cuma bisa janji, aplikasi nya NOL”, dan sebagainya. Oleh hal-hal semacam itulah mereka menjadi terkesan tidak peduli dan apatis terhadap kehadiran pemilu. Selama para kandidat masih mengulang pola lama, yaitu hanya janji manis tanpa aplikasi, maka selama itu pula lah pemuda (rakyat) akan apatis.
***
Hal lain yang membuat partisipasi pemuda (rakyat?) yang rendah dalam kegiatan politik ini dipengaruhi oleh apa yang dinamakan dengan orientasi psikologis, yaitu keadaan nilai yang dimiliki seseorang, yang berperan dalam menentukan pola partisipasi orang tersebut dalam publik. Tentunya setiap orang memiliki sikap, belief dan nilai yang berbeda-beda. Mereka memperolehnya berdasarkan pengalaman sendiri, ataupun melalui pengamatan terhadap pengalaman orang lain (vicarious learning). Orientasi psikologis dalam politik juga merupakan faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Di dalam kehidupan bernegara, pemuda (rakyat) yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik, mempunyai kesetujuan tehadap demokrasi, memiliki nilai positif terhadap pemilu sebagai wadah memilih pemimpin, akan mempunyai mempunyai kecenderungan sikap, belief, dan nilai yang positif pula terhadap politik (dan pemilu). Sedangkan, bagi mahasiswa yang memiliki nilai dan keyakinan yang negatif mengenai politik akan memiliki tingkat partisipasi yang rendah atau bahkan keapatisan terhadap kegiatan-kegiatan politik.
***
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan psikologis seseorang dalam politik. Menurut Mangum (2003), keterlibatan psikologis memiliki tiga komponen yaitu: political engagement, efikasi politik, dan political trust. Sekarang penulis akan mencoba membahas satu per satu ketiga faktor tersebut. Pertama, political engagement, yaitu keterlibatan psikologis yang melibatkan level ketertarikan atau kepedulian voter potensial pada politik. Perilaku yang termasuk dalam faktor ini misalnya adalah mengikuti berita seputar pemerintah dan politik, tertarik pada kampanye pemilihan umum, serta peduli akan hasil pemilihan umum. Logikanya adalah banyaknya pengetahuan tentang stimulus politik akan meningkatkan ketertarikan, mengkristalisasi opini, dan mensolidkan keputusan partisipasi politik seseorang. Jadi, salah satu penyebab kenapa pemuda (rakyat) tidak tertarik untuk terlibat dalam pemilu (politik) adalah karena tidak adanya political engagement dalam diri mereka, yang artinya tidak ada ketertarikan untuk mengikuti berita mengenai kampanye Caleg/Capres serta berita lainnya seputar pemilu, bahkan tidak peduli akan hasil pemilu itu sendiri. Bagi mereka, “siapapun yang menang..., terserah!”. Hingga ada sebagian yang akhirnya bilang “milih-nggak milih, gak ngaruuuh”. Para pemuda (rakyat?) tersebut bukan saja tidak aware dengan adanya penyelenggaraan pemilu, tetapi mereka juga menganggap bahwa pemilu tidaklah memiliki arti penting bagi diri mereka. Hal ini mungkin disebabkan karena kurang optimalnya pemerintah membuat pembelajaran politik dan pengkristalisasian opini yang berkembang mengenai pentingnya keterlibatan pemuda (rakyat) dalam berpartisipasi memberikan suara pada pemilu.
***
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi partisipasi politik seseorang adalah Efikasi Politik (EP) yang, dalam pandangan tradisional, diartikan sebagai persepsi yang dimiliki seseorang tentang dirinya dan kemampuannya untuk mempengaruhi politik pada situasi tertentu). EP dibagi menjadi dua, yaitu EP eksternal dan EP internal. EP eksternal adalah keyakinan seseorang bahwa pejabat publik cukup responsif terhadap minatnya dan bahwa pemerintah serta institusi politik membantu para pejabat pemerintah untuk menjadi responsif. Sedangkan EP internal adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu memahami politik dan pemerintah serta dapat mempengaruhi politik dan pemerintah melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Terkait dengan kondisi yang ada pada pemuda (rakyat), maka ketidakpedulian pada pemilu dan hal-hal yang terkait lebih kepada karena memiliki EP eksternal dan internal yang rendah. EP eksternal yang rendah memiliki arti bahwa kemungkinan pemuda (rakyat) memiliki keyakinan rendah disebabkan oleh pejabat pemerintah dianggap tidak dapat merespon apa yang diharapkan serta merasa sia-sia untuk ikut berpartisipasi dalam perpolitikan. Sementara itu EP internal yang rendah menyebabkan enggan untuk berpartisipasi, karena mereka tidak memahami seluk-beluk pemilu serta mengganggap suara yang mereka berikan tidak akan memiliki pengaruh terhadap perubahan. ]
***
Jika ingin dikaji lebih mendalam, Efikasi Politik (EP) internal yang rendah dapat dikaitkan dengan learned helplessness. Pengertian learned helplessness menurut Seligman adalah kepercayaan yang dimiliki seseorang bahwa hasil atau keluaran dari sesuatu terlepas dari segala aksi atau kegiatan yang telah dilakukan olehnya. Learned helplessness dapat pula dipahami sebagai perubahan performa berupa kinerja yang memburuk setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang karena keyakinan bahwa hasil yang diperoleh tidak ada hubungannya (independen) dengan usaha, melainkan dipengaruhi oleh faktor eksternal (misalnya kemampuan yang dimiliki seseorang atau ketidakberuntungan). Jadi, kepercayaan akan ketiadaan kendali yang dapat dipegang oleh pemuda (rakyat) ini tidak hanya membuat mereka berpikir bahwa suara mereka pada saat pemilu tidak akan membuat perubahan pada negara, namun mereka juga akan berpikir bahwa perubahan negara tidak akan terjadi baik jika turut memberikan suara ataupun tidak. Selain itu, ada juga pemuda (rakyat) yang pernah ikut mencoblos pada saat pemilu sebelumnya namun tidak mau untuk ikut mencoblos lagi, karena mereka menganggap usaha mereka dalam memberikan suara pada pemilu gagal berulang-ulang untuk membuat perubahan pada negara. Tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak pemuda (rakyat) yang tidak mau ikut mencoblos pada saat pemilu karena mereka berpikir bahwa peran serta mereka dalam memberikan suara tidak akan berpengaruh terhadap perubahan negara.
***
Oleh karena itu, aplikasi nyata para kandidat lebih ditunggu saat ini.
Rakyat tidak butuh janji. Janji tidak bisa membuat perut kenyang.
Rakyat tidak butuh iklan dengan kuantitas tinggi di televisi. Iklan tidak bisa membuat mereka pintar.
Rakyat tidak butuh bendera yang ukurannya bahkan (kadang) lebih besar dari rumah mereka. Bendera tidak bisa membuat mereka aman dan nyaman.
Rakyat butuh aksi konkret. Sekarang!

Sumber :
Departemen Litbang Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi Periode 2005-2006; Sujarwadi. BENARKAH MAHASISWA UI APATIS??

Tuesday, October 21, 2008

VJ#40/X/2008 : Depresi : definisi, dampak, dan treatment



Kehidupan manusia modern saat ini -sepertinya- tidak bisa lepas dari kondisi lingkungan yang dirasakan semakin menekan. Tekanan itu dapat datang dari segala hal, baik dari keluarga, lingkungan pertemanan, lingkungan kerja, atau bahkan karena kondisi negara. Apabila seseorang tidak dapat mengatasi tekanan-tekanan tersebut dengan baik maka berpotensi untuk menimbulkan ketegangan-ketegangan yang tertahan dalam diri, yang pada akhirnya dapat mengarah ke kondisi depresi. Kata terakhir ini tentu sudah bukan hal asing di telinga kita. Entah mengetahuinya dari media, melihat langsung di lingkungan, atau bahkan pernah mengalaminya sendiri. Apa dan bagaimana sebenarnya depresi itu, dampaknya, dan bagaimana kah penanganannya pada org/klien yg depresi??


Tulisan ini mencoba memberikan penjelasan singkat mengenai depresi tersebut.

Definisi Depresi
Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang", meliputi seluruh tubuh, suasana perasaan dan pikiran. ia juga mempengaruhi pola makan dan tidur. Gangguan ini tidak sama dengan seorang yang dalam keadaan kelelahan atau malas. Seorang yang mengalami gangguan depresi tidak dapat "menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat kembali pada keadaannya seperti semula. Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala tersebut mengakibatkan terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lainnya dari seseorang dan gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih lama. Penatalaksanaan yang sesuai dapat menolong seseorang yang mengalami depresi untuk cepat kembali seperti semula lebih baik. Definisi gangguan depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan dengan rasa sedih yang dalam dan berkepanjangan. Penderita hilang minat (interest) pada sesuatu yang sebelumnya menyenangkan baginya. Biasanya disertai dengan perubahan-perubahan lain pada dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah lelah dan berkurangnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang berkurang, harga diri dan kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu makan berkurang.

Faktor Penyebab Depresi
Untuk menemukan penyebab depresi kadang-kadang sulit sekali karena ada sejumlah penyebab dan mungkin beberapa diantaranya bekerja pada saat yang sama. Dari sekian banyak penyebab itu, antara lain adalah :

Faktor Psikososial
Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan dapat berpengarubdalam terjadinya depresi pada seseorang. Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi. Salah satu bentuk peristiwa kehidupan adalah kehilangan, yang dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu :
a. Kehilangan abstrak: kehilangan harga diri, kasih sayang, harapan atau ambisi.
b. Kehilangan sesuatu yang konkrit: rumah, mobil, protet, orang atau bahkan binatang kesayangan.
c. Kehilangan hal yang bersifat khayal (tanpa fakta) : merasa tidak disukai atau dipergunjingkan orang.
d. Kehilangan sesuatu yang belum tentu hilang: menunggu hasil tes kesehatan, menunggu hasi ujian, dan lain-lain.



Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Hawari (1999) bahwa seseorang yang kehilangan kebutuhan afeksional (kasih sayang) dapat jatuh dalam depresi, seperti kehilangan orang yang dicintai karena meninggal atau kehilangan jabatan/pekerjaan.


Reaksi Stres
Paykel dan Hollyman; Leff & Vaughn; Brown et. al (dalam Comer, 1991) menemukan bahwa dokter-dokter terkemuka mengatakan bahwa depresi itu berasal dari peristiwa-peristiwa yang penuh dengan stress. Peristiwa hidup yang penuh stress juga mengawali munculnya schizoprenia, anxiety disorder dan gangguan psikogis lainnya, tetapi orang yang depresi dilaporkan lebih mudah terpengaruh daripada orang lain. Sumber stress seperti kehilangan orang yang dicintai, perceraian, kegagalan dan tekanan pekerjaan dapat memberi sumbangan untuk munculnya depresi (Coyne et al; Eckennode Lewinsohn & Amenson; Stone & Neale dalam Rathus & Nevid, 1991). Sarason & Sarason (1993) menyatakan bahwa depresi dapat juga disebabkan karena ada faktor gen atau karena tidak berfungsinya beberapa faktor fisiologis yang mungkin diwarisi ataupun tidak.

Gejala-Gejala Depresi
Secara lengkap gambaran depresi menurut DSM IV adalah sebagai berikut :
a. Mood depresi sepanjang hari, hampir sepanjang hari, terindikasi baik melalui perasaan subjektif (perasaan sedih atau kosong) maupun melalui observasi orang lain (tampak sedih)
b. Ditandai dengan berkurangnya minat atau gairah pada segala hal, atau hampir segala hal, dalam aktivitas sepanjang hari, ataupun hampir sepanjang hari.
c. Berat badan menurun secara signifikan tanpa melakukan diet atau penaikan berat badan (perubahan lebih 5 % dari berat badan setiap bulan), atau penaikan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari.
d. Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari.
e. Agitasi dan retadasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah tidak berdaya).
f. Psikomotor menjadi lebih lambat (atas observasi orang lain)
g. Fatique atau kehilangan energi hampir setiap hari.
h. Perasaan tidak berharga atau perasan bersalah yang berlebihan dan tidak sesuai (dapat berupa delusi) hampir setiap hari.
e. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan, hampir setiap hari.
f. Pikiran berulang tentang kematian, pikiran berulang untuk bunuh diri tapa rencana yang spesifik, adanya percobaan untuk bunuh diri atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.


Treatment yang dapat digunakan


a. Relaksasi Teknik Stabilisasi (Lightstream)
Klien dilatih untuk melakukan relaksasi ketika ia sedang merasa tertekan. Ia diminta untuk menutup mata dan menarik nafas perlahan-lahan lalu melepaskannya. Kemudian, Ia diminta untuk membayangkan adanya sebuah sinar yang dapat membuat dirinya merasa nyaman.

b. Cognitive Behavior Therapy
- Mengubah pemikiran-pemikiran negatif klien yang membuatnya depresi menjadi positif
- Mengenali automatic thought
Klien diminta untuk memperhatikan apa yang ia pikirkan ketika ia mengetahui adanya rasa tertekan muncul. Pada tahap ini, klien diarahkan untuk mengenali situasi-situasi saat rasa tertekan muncul sehingga menimbulkan automatic thought pada dirinya.
- Mengonfrontasi automatic thought
Pemeriksa kemudian meminta UY untuk mengonfrontasi automatic thoughtnya tersebut, salah satunya dengan cara menanyakan “ Apakah kamu 100% yakin bahwa (automatic thought) akan terjadi?”

c. Membuat garis peristiwa hidup yang dilengkapi dengan tingkat kecemasan (range 0-100) pada setiap peristiwa bermakna yang dilaluinya. Hal ini dilakukan untuk membuat klien lebih dapat mengenali perasaan tertekannya selama ini.

d. Memberikan psikoedukasi mengenai pentingnya untuk tetap berkegiatan, seperti olahraga, bekerja, dan bersosialisasi dengan lingkungan. Hal-hal tersebut dapat membantu untuk mengurangi depresi atau kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri.


e. Pemberian psikoedukasi mengenai manfaat berbagi dan bersikap terbuka dengan orang lain. Dengan berbagi masalah maka dapat membantu klien untuk mengurangi kecemasan, membuat perasaan menjadi lebih baik, dan dapat pula membantu untuk memecahkan masalah.


Sumber :
American Psychiatric Association. (2000). Desk Reference To The Diagnostic Criteria from DSM-IV-TR. USA : American Psychiatric Publishing, Inc.

Subotnik, Rona B., Harris, Gloria G. (2005) Surviving Infidelity : Making decision, recovering from the pain (3rd edition). Canada : Adams Media
http://www.medicastore.com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=5&iddtl=260 diakses 24 September 2008
http://pdskjijaya.com/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid1 diakses 24 September 2008
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/156_07DepresiParkinson.pdf/156_07DepresiParkinson.html diakses 24 September 2008
http://www.geocities.com/andryan_pwt/depresi.html?200825 diakses 24 September 2008

Thursday, September 18, 2008

VJ#39/IX/2008 : Gagal Ginjal, Stres, dan Perawatannya


Sumber :
Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006
(dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/06010311.pdf diakses 10 Agustus 2008)


Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh. Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan ke arah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis serangan gagal ginjal, yaitu akut dan kronik. Gagal Ginjal Akut (GGA), timbulnya mendadak, bila dikelola baik akan sembuh sempurna, sedangkan gagal Ginjal Kronik (GGK), terjadinya perlahan-lahan, tidak dapat sembuh.

Penanganan serta pengobatan gagal ginjal tergantung dari penyebab terjadinya kegagalan fungsi ginjal itu sendiri. Pada intinya, tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi dan memperlambat perkembangan penyakit. Sebagai contoh, pasien mungkin perlu melakukan diet penurunan intake sodium, kalium, protein, dan cairan. Bila diketahui penyebabnya adalah dampak penyakit lain, maka dokter akan memberikan obat-obatan atau terapi misalnya pemberian obat untuk pengobatan hipertensi, anemia, atau mungkin kolesterol yang tinggi. Seseorang yang mengalami kegagalan fungsi ginjal sangat perlu dimonitor pemasukan (intake) dan pengeluaran (output) cairan, sehingga tindakan dan pengobatan yang diberikan dapat dilakukan secara baik. Dalam beberapa kasus serius, pasien akan disarankan atau diberikan tindakan pencucian darah {Haemodialisa (dialysis)}. Kemungkinan lainnya adalah dengan tindakan pencangkokan ginjal atau transplantasi ginjal.
Ginjal memegang banyak peranan penting bagi tubuh kita, selain peranan utamanya dalam produksi urin, ginjal juga berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh kita, pengaturan status asam-basa (pH darah), pembentukan sel darah merah, pengaturan tekanan darah hingga pembentukan vitami D aktif. Bila ginjal gagal melaksanakan fungsinya, maka fungsi-fungsi di atas juga akan terganggu, urin tidak dapat diproduksi dan dikeluarkan, keseimbangan cairan terganggu yang dapat menyebabkan tubuh bengkak dan sesak napas, racun-racun akan menumpuk, tekanan darah dapat tak terkendali, anemia yang akan memperberat kerja jantung hingga gangguan pembentukan tulang. Komplikasi di atas akan mempengaruhi fungsi organ lain mulai dari jantung, hati, pencernaan hingga otak yang akan meningkatkan risiko morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (kematian).


Gagal ginjal dan Stres
Keadaan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya mengakibatkan
terjadinya perubahan dalam kehidupan penderita gagal ginjal terminal yang melakukan terapi
hemodialisa (biasanya disingkat dengan pasien hemodialisa). Moos dan Schaefer serta Sarason
dan Sarason (dalam Sarafino, 1998) mengatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres. Sarafino dan Taylor (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa keadaan stres dapat menghasilkan perubahan, baik secara fisiologis maupun psikologis, yang mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Stres juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu. Hal ini jelas menunjukkan adanya keadaan stres akan memperburuk kondisi kesehatan penderita dan menurunkan kualitas hidupnya.
Moos dalam Sarafino (1998) mengemukakan beberapa strategi dalam mengatasi stres yang dapat dilakukan oleh penderita gangguan kesehatan, yaitu :
1. Mengingkari atau meminimalisasi keseriusan situasi.
2. Mempertahankan kebiasaan rutin sebisa mungkin.
3. Memperkirakan kejadian dan keadaan stres yang mungkin muncul di masa yang akan datang.
4. Mencoba memiliki pandangan baru tentang masalah kesehatan tersebut dan perawatannya dengan menemukan tujuan jangka panjang atau makna dari pengalaman tersebut.
5. Mencari informasi tentang masalah kesehatan tersebut dan prosedur perawatannya.
6. Mencari dukungan instrumental dan emosional dari keluarga, teman dan praktisi kesehatan yang terlibat dengan menunjukkan kebutuhan dan perasaan.

Agar dapat menjalankan strategi tersebut dengan baik, individu membutuhkan bantuan
dari orang lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang
dekat dengan teman dan kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka
yang sedang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki
keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne, 1994; Sheridan & Radmacher, 1992). Secara
umum dikatakan pula bahwa individu yang merasa menerima penghiburan, perhatian dan
pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih
mudah mengikuti nasehat medis (DiMatteo & DiNicola dalam Sarafino, 1998).

Perawatan dengan Konseling Paliatif
Perawatan atau konseling paliatif adalah bentuk perawatan yang bertujuan untuk berusaha meningkatkan kualitas hidup pasien saat menghadapi penyakitnya. Perawatan paliatif berfokus untuk meredakan gejala-gejala seperti rasa sakit dan kondisi seperti kesepian, yang dapat menyebabkan depresi dan mengganggu pasien untuk dapat menjalani hidup. Pengobatan ini juga berusaha memastikan bahwa keluarga dapat tetap berfungsi normal dan utuh serta memberikan dukungan kepada pasien. Adapun bentuk-bentuk perawatan paliatif yang dapat diterapkan kepada pasien antara lain sebagai berikut :
• Mengurangi rasa sakit dan gejala tidak nyaman lainnya. Hal ini dilakukan dengan berkonsultasi dengan dokter terkait.
• Memberikan psikoedukasi mengenai arti kehidupan dan memandang kematian sebagai suatu proses yang normal.
• Melakukan terapi kelompok dengan sesama penderita gagal ginjal. Tujuannya antara lain agar peserta terapi, termasuk pasien, dapat saling memberi dukungan, berbagi pengalaman, dan mendapat informasi seputar penyakit gagal ginjal dari sesama anggota kelompok
• Meningkatkan kualitas hidup dan memberikan pengaruh positif selama sakit, antara lain dengan mendorong pasien agar tetap aktif dalam berkegiatan (seperti olahraga dan bekerja) dan membuat perencanaan terperinci mengenai rencana masa depan, termasuk bidang pekerjaan yang akan didalami.
• Memberikan psikoedukasi kepada keluarga pasien mengenai pentingnya dukungan keluarga bagi pasien dalam menghadapi penyakitnya.

Tuesday, August 5, 2008

VJ#38/VIII/2008 : Disgust Test












Disgust..
Pernah mendengar kata itu?
Dalam bahasa indonesia artinya kurang lebih adalah jijik atau jorok..Disgust di sini dalam arti hal-hal yang membuat kita akan menyipitkan mata, menyeringai, atau berteriak "hiii", saat melihatnya..Mau tahu seberapa tingkat "disgust" anda terhadap barang-barang atau hal-hal di sekitar anda..??

Pliz Klik YANG SATU INI

Enjoy!

Arya Verdi R.

Saturday, July 26, 2008

VJ#37/VII/2008 : MOOD DISORDERS


courtesy of mitta and imel, KLD XII
KARAKTERISTIK UMUM GANGGUAN MOOD
Tanda dan Gejala Depresi
Depresi adalah keadaan emosional yang ditandai kesedihan yang sangat, perasaan bersalah dan tidak berharga, menarik diri dari orang lain, kehilangan minat untuk tidur, seks, serta hal-hal menyenangkan lainnya. Orang yang depresi mungkin:
- Sulit konsentrasi, bicaranya pelan, kata-kata monoton, suara pelan
- Memilih untuk sendirian dan berdiam diri; atau justru tidak bisa diam
- Sulit menemukan solusi permasalahan
Tanda dan gejala depresi mungkin bervariasi bergantung usia, anak-anak yang depresi seringkali menunjukkan keluhan somatis, seperti sakit perut atau sakit kepala, sedangkan orang dewasa yang depresi seringkali mudah lupa dan mudah terdistraksi.

Tanda dan Gejala Mania
Mania adalah keadaan emosi/ mood yang meningkat, sangat gembira tanpa alasan yang jelas, seringkali diiringi hiperaktivitas, cerewet, flight of ideas (perasaan subyektif bahwa pikiran seperti berlomba), tidak praktis, mudah terdistraksi, serta meningkatnya kepercayaan diri atau ide kebesaran. Episode mania biasanya berlangsung beberapa hari atau bulan.
Simtom mania antara lain: tiba-tiba teriak, kadang sangat humoris, sering kaget dengan benda-benda dan kejadian di sekelilingnya.

Diagnostik Formal Gangguan Mood Menurut DSM IV-TR

A. Diagnosis Depresi (Depresi Mayor/ Unipolar)
- Minimal 2 minggu kehilangan minat dan kesenangan dan mood depresif.
- Minimal muncul 4 diantara simptom additional berikut ini, yaitu: gangguan tidur dan nafsu makan, hilang energi, worthlessness, suicidal thought, dan sulit konsentrasi.
- Subclinical depression: individu yang simtomnya kurang dari 5, memiliki kesulitan dalam fungsi psikologisà mirip
- Depresi 2-3x lebih sering pada wanita daripada pria; lebih sering terjadi pada golongan ekonomi bawah; dewasa muda
- Depresi cenderung muncul berulang à 80 % penderita mengalami episode lain

B. Diagnosis Gangguan Bipolar
- Gangguan Bipolar I: episode mania/ campuran, terdapat simtom mania dan depresi. Episode mania disini minimal muncul 3 simtom additional (4 simptom jika mood hanya irrirable).
- Gangguan bipolar lebih jarang muncul daripada depresi mayor
- Rata-rata onset: umur 20an, seimbang antara pria dan wanita

Heterogenitas Kategori DSM-IV
- Banyak penderita dengan gejala heterogen, tapi dikelompokkan pada diagnosis yang sama.
- Munculnya delusi dapat membedakan penderita depresi unipolar à tidak reaktif terhadap terapi obat-obatan biasa, kecuali dikombinasikan dengan terapi psikotik.
- Sejumlah pasien depresi mengalami fitur melankolis (tidak bahagia/ senang meski terjadi peristiwa menggembirakan, bangun tidur 2 jam lebih cepat, cemas berlebihan) à reaktif terhadap terapi biologis.
- Episode manik dan depresif mungkin ditandai fitur katatonik (gangguan motorik, aktifitas tidak bertujuan).
- Gangguan bipolar dan unipolar mungkin sifatnya musiman bila pasien secara teratur mengalaminya.

Gangguan Mood Kronik
à Jangka panjang, minimal 2 tahun, belum cukup mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan.
Ada 2 jenis:
a. Gangguan cyclothymic
à Periode depresi dan hipomania berulang. Selama depresi pasien merasa inadekuat, selama hipomania self esteem meningkat. Menarik diri, tidur terlalu sering atau terlalu sebentar, sulit konsentrasi, dan jarang berbicara.

b. Gangguan dysthymic
à Depresi kronis, feeling blue, sedikit sekali merasa senang, insomnia atau justru terlalu banyak tidur, tidak efektif, letih, pesimis, sulit konsentrasi, dan berpikir jernih, menghindari bersama-sama dengan orang lain. Pasien distimia mengalami 3 atau lebih simtom additional, meliputi mood depresif tapi bukan suicidal thought. Minimal berlangsung selama 2 bulan.

Gangguan Mood dan Kreativitas
Sejumlah artis, komposer, dan penulis yang pernah mengalami gangguan mood adalah impulsif, seperti Michael Angelo, van Gogh, Schumann, dll. Mungkin keadaan manic memicu kreativitas terkait adanya peningkatan mood, energi, pikiran yang muncul tiba-tiba, dan kemampuan menghubung-hubungkan ide. Menurut Weisberg (1994), perubahan mood mempengaruhi motivasi untuk menghasilkan karya kreatif daripada proses kreatif itu sendiri

Gangguan Mood dan Depresi
- Individu yang depresi lebih sedikit menunjukkan ekspresi wajah positif dan mengalami emosi menyenangkan
- Gangguan kecemasan biasanya muncul bersamaan dengan depresi.


TEORI PSIKOLOGI TENTANG GANGGUAN MOOD
Teori Psikoanalisis Tentang Depresi
Menurut Freud (1917/ 1950) potensi depresi muncul pada awal masa kanak-kanak. Pada fase oral anak mungkin kurang/ terlalu terpenuhi kebutuhannya, sehingga ia terfiksasi pada fase ini à mengakibatkan individu dependen, low self esteem.
Hipotesanya adalah, setelah kehilangan orang yang dicintai, ia mengidentifikasi diri dengan orang tersebut seolah untuk mencegah kehilangan. Lama-lama ia malah marah pada dirinya sendiri, merasa bersalah.

Teori Kognitif Tentang Depresi
a. Teori depresi Beck (1967)
Individu menjadi depresi akibat interpretasi negatif yang bias. Pada waktu kecil/ remaja muncul skema negatif akibat kejadian-kejadian burukà ia merasa akan selalu sial/ gagal, dipadu dengan bias kognitif muncul triad negatif (pandangan sangat negatif tentang diri, dunia, masa depan)

b. Teori helplessness/ hopelessness
1. Learned helplessness: kepasifan individu dan perasaan tak berdaya mengontrol hidupnya, didapat dari pengalaman-pengalaman buruk/ trauma, mengarah pada depresi
2. Attribution and learned helplessness: pada situasi dimana individu pernah gagal, ia akan mencoba mengatribusikan penyebab kegagalan. Individu depresi bila mereka mengatribusikan kejadian negatif bersifat stabil dan global. Individu depresi biasanya menunjukkan depressive attributional styleàmengatribusikan rasa hasil negatif sebagai personal, global, penyebabnya stabil
3. Teori hopelessness
Sejumlah bentuk depresi dianggap sebagai akibat hopelessnessà merasa hasil yang diharapkan takkan pernah muncul, individu tak bisa merubah situasi. Kemungkinan muncul akibat self esteem yang rendah, kecenderungan anggapan bahwa kejadian negatif akan mengakibatkan sejumlah hal negatif

Teori Interpersonal Tentang Depresi
- Individu depresi cenderung terbatas jaringan dan dukungan sosialnyaàmengurangi kemampuan individu mengatasi kejadian negatif, rentan terhadap depresi
- Individu depresi berusaha meyakinkan diri bahwa orang lain benar peduli. Namun ketika yakin, rasa puasnya hanya sebentar. Berhubungan dengan konsep diri negatif.
- Kompetensi sosial yang rendah diperkirakan memunculkan depresi pada anak usia TK
- Interpersonal problem solving skill yang rendah dapat meningkatkan depresi pada remaja

Teori Psikologi Tentang Gangguan Bipolar
- Tekanan hidup adalah faktor penting munculnya gangguan bipolar
- Dukungan sosial dapat mempercepat penyembuhan simptom depresi, tapi tidak simtom mania
- Attributional style + sikap disfungsi + kejadian buruk ---->peningkatan simptom depresi ataupun mania pasien bipolar
- Self esteem individu mania mungkin sangat rendah

TEORI BIOLOGI TENTANG GANGGUAN MOOD
Genetic Data
Penelitian mengenai faktor genetis pada gangguan unipolar dan bipolar melibatkan keluarga dan anak kembar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10-15% keluarga dari pasien yang mengalami gangguan bipolar pernah mengalami satu episode gangguan mood (Gherson, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pada gangguan unipolar, meskipun faktor genetis mempengaruhi, namun kurang menentukan dibandingkan gangguan bipolar. Resiko akan meningkat pada keluarga pasien yang memiliki onset muda saat mengalami gangguan. Berdasarkan beberapa data diperoleh bahwa onset awal untuk depresi, munculnya delusi, dan komorbiditas dengan gangguan kecemasan dan alkoholisme meningkatkan resiko pada keluarga (Goldstein, et al., 1994; Lyons et al., 1998, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

Neurochemistry dan Mood Disorders
Dua neurotransmitter yang berperan dalam gangguan mood adalah norepinephrine dan serotonin. Norepinephrine terkait dengan gangguan bipolar dimana tingkat norephinephrine yang rendah menyebabkan depresi dan tingkat yang tinggi menyebabkan mania. Sedangkan untuk serotonin, tingkatnya yang rendah juga menyebabkan depresi. Terdapat dua kelompok obat untuk depresi, yaitu tricyclics dan monoamine oxidase (MAO) inhibitors. Tricyclics seperti imipramine (tofranil) adalah obat antidepresan yang berfungsi untuk mencegah pengambilan kembali norephinephrine dan serotonin oleh presynaptic neuron setelah sebelumnya dilepaskan, meninggalkan lebih banyak neurotransmitter pada synapse sehingga transmisi pada impuls syaraf berikutnya menjadi lebih mudah. Monoamine oxidase (MAO) inhibitors merupakan obat antidepresan yang dapat meningkatkan serotonin dan norephineprhine. Terdapat pula obat yang dapat secara efektif mengatasi gangguan unipolar, yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors, seperti Prozac. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat efek samping dari berbagai obat antidepresan tersebut sehingga peningkatan dari norephineprhine dan serotonin tidak menimbulkan komplikasi lainnya.

Sistem Neuroendokrin
Area limbik di otak berhubungan dengan emosi dan mempengaruhi hipotalamus. Hipotalamus kemudian mengontrol kelenjar endokrin dan tingkat hormon yang dihasilkannya. Hormon yang dihasilkan hipotalamus juga mempengaruhi kelenjar pituitary. Relevansinya terkait dengan simtom vegetatif pada gangguan depresi, seperti gangguan tidur dan rangsangan selera. Berbagai temuan mendukung hal tersebut, bahwa orang yang depresi memiliki tingkat dari cortisol (hormon adrenocortical) yang tinggi, hal itu disebabkan produksi yang berlebih dari pelepasan hormon rotropin oleh hipotalamus (Garbutt, et al., 1994 dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Produksi yang berlebih dari cortisol pada orang yang depresi juga menyebabkan semakin banyaknya kelenjar adrenal (Rubun et al., 1995, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Banyaknya cortisol tersebut juga berhubungan dengan kerusakan pada hipoccampus dan penelitian juga telah membuktikan bahwa pada orang depresi menunjukkan hipoccampal yang tidak normal. Penelitian mengenai Cushing’s Syndrome juga dikaitkan dengan tingginya tingkat cortisol pada gangguan depresi.

An Integrated Theory of Bipolar Disorder
Gangguan bipolar merefleksikan adanya gangguan pada sistem motivasional yang disebut dengan behavioral activation system atau BAS. BAS memfasilitasi kemampuan manusia unuk mendekati atau memperoleh reward dari lingkungannya dan ini telah dikaitkan dengan positive emotional states, karakteristik kepribadian seperti ekstrovert, peningkatan energi, dan berkurangnya kebutuhan untuk tidur. Secara biologis, BAS diyakini terkait dengan jalur syaraf dalam otak yang melibatkan dopamine neurotransmitter dan juga terkait dengan perilaku untuk memperoleh reward. Peristiwa kehidupan yang melibatkan pencapaian tujuan atau reward diprediksi meningkatkan simtom mania. Sedangkan peristiwa positif lainnya tidak terkait dengan perubahan pada simtom mania, dan pencapaian tujuan tidak terkait dengan perubahan dalam simtom depresi. Dengan demikian, BAS dan manifestasi perilakunya, yaitu pencapaian tujuan diasosiasikan dengan simtom mania dari gangguan bipolar.

BERBAGAI TERAPI UNTUK GANGGUAN MOOD
Terapi-terapi Psikologis untuk Depresi
Terapi Psikodinamik
Disebabkan depresi dianggap berasal dari perasaan akan kehilangan yang kemudian direpres dan juga kemarahan yang secara tidak disadari diarahkan ke diri sendiri, maka terapi psikoanalis mencoba untuk membantu pasiennya memperoleh insight mengenai konflik yang direpres dan mendorong pelepasan kemarahan yang selama ini diarahkan ke dalam dirinya. Tujuan dari terapi psikoanalis adalah untuk membuka motivasi tersembunyi tentang depresi pasien. Pasien seringkali menyalahkan dirinya sendiri atas kurangnya kasih sayang yang diberikan orang tua dan kemudian me-repres keyakinan tersebut. Terapis harus membimbing pasiennya untuk mengkonfrontasi kenyataan dan membantu pasien untuk menyadari rasa bersalah yang tidak berdasar tersebut. Selain itu juga membebaskan pasien dari lingkungan masa kecilnya yang penuh dengan tekanan. Tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari terapi psikodinamik ini.
Terdapat pula terapi interpersonal (IPT) dari Klerman dan Weissman’s yang dapat mengatasi gangguan depresi dengan menekankan pada peningkatan kemampuan interpersonal atau sosial, serta interaksi dengan orang lain. Terapi tersebut lebih kepada terapi kelompok yang menekankan pada pemahaman yang baik mengenai masalah interpersonal yang mendorong depresi. Pasien dibebaskan untuk mendiskusikan berbagai masalah interpersonal saat ini dan bukan masa lampau.

Terapi Cognitive-Behavioral
Depresi terjadi karena skema yang negatif dan kesalahan dalam proses berpikir. Terapis mencoba mempersuasi pasien depresi untuk mengubah pandangan tentang dirinya sendiri dan peristiwa. Terapis juga meminta pasien untuk memperhatikan pernyataan pribadinya dan mengidentifikasi semua pola pikirnya yang menyebabkan depresi agar dapat membuat asumsi yang lebih positif serta realistis. Dapat pula dikembangkan metode Ellis’s rational emotive dan analisis Beck. Melalui metode tersebut, pasien dapat diminta untuk melakukan hal positif ketika mengalami depresi atau terapis memberikan aktivitas pada pasien yang berkaitan dengan pengalaman akan kesuksesan dan membuat pasien berpikir positif mengenai dirinya sendiri. Dengan demikian pendekatannya adalah melakukan perubahan struktur kognitif dengan cara mempersuasi pasien memperoleh perbedaan dalam berpikir.

· The NIMH Treatment of Depression Collaborative Research Program
National Institute of Mental Health (NIMH) melakukan penelitian mengenai terapi kognitif Beck (CT) yang kemudian dibandingkan dengan terapi interpersonal (IPT) dan farmakoterapi, yaitu penggunaan Tofranil (Elkin et al., 1985, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pemilihan terapi berdasarkan pada fokus yang sama pada penanganan depresi dan memiliki instruksi yang eksplisit dan terstandardisasi. Hasil menunjukkan bahwa pasien dengan IPT dan CT menyatakan kepuasannya karena melalui terapi tersebut mereka dapat mengembangkan kemampuannya untuk berhubungan dengan orang lain dan menyadari sumber depresi yang dimilikinya dibandingkan dengan pasien dengan farmakoterapi (Blatt, et al., 2000, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

· Mindfulness-Based Cognitive Therapy
Difokuskan pada pencegahan timbulnya kembali gangguan yang biasanya mengikuti keberhasilan treatment pada depresi (Segal et al., 1996; Segal et al., 2001; Teasdale et al., 1995, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Gangguan dapat timbul kembali dari pengulangan asosiasi antara mood yang depresi dan pola pikir yang salah selama episode depresi mayor. Berdasarkan hal tersebut, maka jika individu yang mulai membaik merasakan kesedihan kembali, maka mereka akan kembali berpikir dengan cara yang sama dengan pikiran yang digunakan ketika mereka mengalami depresi. Tujuan terapi ini adalah untuk mengajarkan individu agar menyadari bahwa ketika mereka mengalami depresi, maka mereka harus melihatnya sebagai peristiwa mental yang tidak sesuai dengan kenyataan sehingga mereka tidak kembali membentuk pola berpikir yang salah.

Social-skill Training
Difokuskan pada peningkatan interaksi sosial, karena salah satu karakteristik dari depresi adalah kurangnya pengalaman yang memuaskan dengan orang lain.

Behavioral Activation Therapy
Fokusnya adalah keterlibatan pasien pada perilaku tertentu dan aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan penguatan yang positif dan akan membantu untuk mengatasi depresi. Hal tersebut disebabkan secara umum, perilaku yang terlihat dari pasien depresi adalah tidak adanya aktivitas, menarik diri dari berbagai aktivitas atau tidak bersemangat untuk beraktivitas. Selain perubahan pada pola pikir pasien, keterlibatan pasien dalam berbagai kegiatan positif juga menjadi hal yang penting.

Terapi-terapi Psikologis untuk Gangguan Bipolar
Intervensi cognitive-behavioral dapat dilakukan dengan target pada pemikiran dan perilaku interpersonal yang buruk pada saat mood mudah berpindah sehingga lebih efektif. Selain itu, pemberian pengetahuan mengenai gangguan bipolar dan treatment-nya juga dapat meningkatkan ketaatan penyembuhan dengan menggunakan lithium, dimana membantu mengurangi mood yang mudah berpindah dan membuat kehidupan pasien lebih stabil (Craighead et al., 1998; Peet & Harvey, 1991; Vant Gent, 2000, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Masalah yang timbul adalah pasien cenderung kehilangan insight tentang perilaku mereka yang tidak sesuai dan cenderung merusak. Hal itu membuat intervensi juga perlu dilakukan pada keluarga dengan mengajarkan mereka tentang gangguan dan bagaimana harus memperlakukan pasien serta menciptakan suasana yang mendukung kesembuhan pasien. Dapat pula dilakukan family-focused treatment (FFT), yaitu pemberian pengetahuan pada keluarga mengenai gangguan, meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan melatih kemampuan untuk menyelesaikan masalah (Miklowitz, 2001; Miklowitz & Goldstein, 1997, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Kombinasi antara terapi obat dan terapi ini lebih efektif dibandingkan menggunakan terapi obat saja.

Terapi-terapi Biologis untuk Gangguan Mood
Electroconvulsive therapy (ECT)
Meskipun masih kontrovesial, ECT yang dikemukakan oleh Cerletti dan Bini dianggap merupakan pengobatan yang paling optimal untuk depresi yang parah. Elektroda dengan kekuatan antara 70-130 volt diletakkan pada setiap sisi kepala memungkinkan untuk melewati kedua hemisfer otak, metode ini adalah bilateral ECT. Namun, saat ini lebih sering diletakkan pada satu hemisfer saja (kiri) untuk mengurangi efek samping pada kognisi, seperti hilangnya memori. Dulu, pasien melalui ECT dalam keadaan sadar sehingga terkadang dapat menimbulkan tulang patah. Saat ini, pasien diberikan bius singkat dan suntikan relaksasi otot sebelum dilakukan ECT. Mekanisme kerja dari ECT tidak diketahui. Secara umum, ECT mengurangi aktivitas metabolisme dan sirkulasi darah ke otak. Biasanya dilakukan setelah terapi lainnya mengalami kegagalan.

Drug therapy
Umumnya, obat-obatan lebih sering digunakan untuk mengatasi gangguan mood. Namun tidak dapat diterapkan pada setiap pasien dan efek samping yang ditimbulkan biasanya serius.
· Terapi Obat untuk Gangguan Depresi
Obat-obat utama untuk depresi adalah
1. Tricyclics, seperti imipramine (Tofranil), dan amitriptyline (Elavil).
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), seperti fluoxetine (Prozac) dan sertraline (Zoloft).
3. Monoamine oxidase (MAO) inhibitors, seperti tranylcypromine (Parnate).
Dari ketiga jenis obat tersebut, MAO inhibitors memiliki efek samping yang paling besar sehingga yang paling banyak digunakan adalah dua jenis obat yang lainnya. Penggunaan obat antidepresan ini biasanya juga dikombinasikan dengan penggunaan terapi lainnya. Obat antidepresan biasanya digunakan untuk depresi yang parah, namun meskipun penggunaannya mengurangi episode depresi, secara umum kekambuhan dapat muncul setelah penggunaan obat dihentikan (Reimherr et al., 2001, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

· Terapi Obat untuk Gangguan Bipolar
Berkaitan dengan gangguan bipolar, terapi menggunakan lithium karena dapat mengatasi episode mania dan depresi secara efektif. Dilakukan dengan mengontrol dosis dari lithium carbonate, yang lebih efektif digunakan pada gangguan bipolar dibandingkan unipolar. Lithium memberikan pengaruhnya secara bertahap, biasanya terapi diawali dengan penggunaan lithium dan antipsikotik seperti Hafdol untuk memberikan efek penenang dengan cepat. Pasien harus melakukan tes darah secara teratur untuk memastikan tingkat penggunaan lithium tidak terlalu tinggi sehingga menjadi racun bagi tubuh. Penggunan lithium juga harus secara teratur karena kekambuhan gangguan masih dapat terjadi.

DEPRESI PADA ANAK-ANAK DAN REMAJA
Simtom dan Prevalensi
Anak-anak dan remaja menunjukkan kemiripan dengan orang dewasa dalam hal mood yang depresif, tidak mampu untuk merasakan kesenangan, kelelahan, sulit konsentrasi, dan ide bunuh diri. Perbedaannya pada tingkat usaha untuk bunuh diri dan rasa bersalah yang lebih tinggi pada anak dan remaja, sering bangun lebih awal di pagi hari, kehilangan selera dan berat badan, dan depresi di pagi hari pada orang dewasa. Terkadang depresi disebut sebagai masked depression, yaitu menampilkan perilaku agresif dan menyimpang, yang biasanya pada orang dewasa tidak dilihat sebagai refleksi dari depresi. Masalah dalam melakukan diagnosis depresi pada anak-anak adalah seringkali merupakan komorbiditas dengan gangguan lain, misalnya kecemasan. Lebih dari 70% dari anak-anak yang depresi juga memiliki gangguan kecemasan atau simtom kecemasan yang signifikan (Anderson et al., 1987: Brady & Kendall, 1992; Kovacs, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Telah ditemukan bahwa anak-anak yang lebih muda dengan gangguan depresi dan gangguan lainnya mengalami pengalaman depresi yang parah dan membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhan (Keller et al., 1988; Kovacs et al., 1984, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).
Secara umum, depresi muncul kurang dari 1% pada anak-anak prasekolah (Kashani & Carlson, 1987; Kashani, Hoalcomb, & Orvaschel, 1986, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) dan 2–3% pada anak usia sekolah (Cohen et al., 1993; Costello et al., 1988, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Pada remaja, rata-rata penderita depresi sama dengan orang dewasa, dengan rata-rata yang biasanya tinggi (7-13%) pada anak perempuan (Angold & Rutter, 1992; Kashani et al., 1987, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

Etiologi
Depresi pada anak-anak dan remaja juga dapat disebabkan oleh faktor genetik atau disebabkan oleh keluarga dan hubungan dengan orang lain sebagai sumber stress yang kemudian berinteraksi dengan penyebab biologis tersebut. Mempunyai ibu yang depresi meningkatkan resiko depresi pada anak dan remaja, namun tidak diketahui mengenai pengaruh dari ayah (Kaslow, Deering, & Racusin, 1994, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Orang tua serta anak yang depresi akan berinteraksi secara negatif, seperti kurangnya kasih sayang dan saling menyakiti.

Treatment
Anak-anak dan remaja dengan depresi mayor juga kurang memiliki keterampilan sosial, terkait hubungannya dengan saudara dan teman. Berbagai terapi orang dewasa juga dapat digunakan pada anak-anak dan remaja. Namun perhatian utama mengenai terapi yang baik adalah yang melibatkan keluarga dan sekolah (Hammen, 1997; Stark er al., 1996, 1998, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004).

BUNUH DIRI
Pasien dengan gangguan mood seringkali memunculkan pemikiran atau usaha bunuh diri. Diperkirakan sekitar 15% orang yang didiagnosa gangguan depresi mayor melakukan usaha bunuh diri (Maris et al., 1992, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Berikut ini adalah rangkuman mengenai bunuh diri menurut Fremouw et al. (1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004):


Berbagai Sudut Pandang Mengenai Bunuh Diri
Sudut Pandang Psikologis
Freud memandang bunuh diri menampilkan agresi yang diarahkan ke dalam diri seseorang akibat kehilangan seseorang yang dicintai dan dibenci. Semakin kuat perasaan tersebut, maka seseorang akan semakin mungkin melakukan bunuh diri.


Sudut Pandang Sosiologis
Emile Durkheim (1897, 1951, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) menggolongkan 3 kategori bunuh diri, yaitu: 1) Egoistis, yaitu bunuh diri yang terjadi pada mereka yang tidak terintegrasi kuat pada berbagai kelompok sosial, kurang memperoleh dukungan sosial, 2) Altruistik, yaitu bunuh diri yang dilakukan karena integrasi yang berlebihan terhadap suatu kelompok dan bunuh diri merupakan upaya untuk menumbuhkan integrasi kelompok, dan 3) Anomik, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang integrasinya dengan masyarakat terganggu, sehingga tidak mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat.

Sudut Pandang Biologis
Usaha untuk bunuh diri dapat disebabkan oleh kurangnya serotonin pada pasien depresi.

Pendekatan Shneidman Mengenai Bunuh Diri
Shneidman telah membuat daftar mengenai 10 karakteristik umum dari bunuh diri, namun tidak semua ditemukan dalam setiap kasus dan semua kasus. Pandangannya mengenai bunuh diri berdasarkan bahwa seseorang secara sadar berusaha untuk menemukan solusi dari masalahnya yang telah menyebabkan penderitaan. Semua harapan dan tindakan konstruktif telah menghilang. Menurutnya, seseorang yang merencanakan bunuh diri biasanya mengkomunikasikan niatnya tersebut, terkadang menangis untuk meminta bantuan, terkadang menarik diri dari orang lain.


Berikut ini adalah 10 karakteristik dari bunuh diri menurut Shneidman:
Fungsi umum dari bunuh diri adalah untuk mencari solusi.
Tujuan umum dari bunuh diri adalah penghentian kesadaran.
Stimulus umum dalam bunuh diri adalah penderitaan psikologis yang tidak tertahankan.
Stressor umum dalam bunuh diri adalah frustrasi kebutuhan psikologis.
Emosi umum dalam bunuh diri berkaitan dengan hopelessness-helplessness.
Cognitive state umum dalam bunuh diri adalah ambivalen.
Perceptual state umum dalam bunuh diri adalah sempit.
Tindakan umum dari bunuh diri adalah egression.
Tindakan interpersonal umum dalam bunuh diri adalah komunikasi mengenai intensi.
Konsistensi umum mengenai bunuh diri adalah dengan pola coping seumur hidup.

Prediksi Mengenai Bunuh Diri Melalui Tes Psikologis
Beberapa penelitian menemukan bahwa rasa putus asa merupakan prediktor yang kuat dari bunuh diri (Beck, 1986b; Beck, et al., 1985, 1990, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004) bahkan lebih kuat dari depresi (Beck, Kovacs, & Weissman, 1975, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Penelitian juga menunjukkan bahwa seseorang dengan ketidakpuasan yang tinggi dengan kehidupannya cenderung memiliki usaha untuk bunuh diri. Penelitian lainnya menemukan bahwa individu yang bunuh diri lebih kaku dalam mendekati masalah yang dialaminya dan kurang memiliki pemikiran yang fleksibel (Levenson, 1972, dalam Davison, Neale, & Kring, 2004). Penelitian yang melibatkan orang yang tidak pernah berusaha untuk bunuh diri, orang yang usaha bunuh dirinya tidak menyebabkan cedera yang serius dikaitkan dengan low-lethal, dan orang yang usaha bunuh dirinya mendekati kematian dikaitkan dengan high-lethal, menemukan bahwa orang depresi yang pernah melakukan usaha bunuh diri khususnya terkait dengan high-lethal, lebih memiliki keterbatasan dalam membuat rencana, menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dibandingkan dengan dua orang lainnya.

Pencegahan Bunuh Diri
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah bunuh diri adalah dengan memberikan treatment yang tepat pada mereka yang mengalami gangguan mental, meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan mengontrol emosi. Selain itu, terapis juga dapat menciptakan hubungan empati atau terapeutik yang melibatkan kepercayaan dan harapan. Adanya fasilitas pusat atau komunitas pencegahan bunuh diri juga dapat membantu, karena biasanya seseorang yang ingin bunuh diri memberikan peringatan atau meminta bantuan sebelum menjalankan usahanya.