Verdi's Journals
Sunday, June 6, 2010
Friday, March 19, 2010
VJ#49/I/2010 : Verdi, Ayo Nulis!
Hi dear readers,
Hehe, dari judul nya saja sepertinya sudah tahu ya tulisan saya kali ini akan mengarah kemana.Yup, tulisan ini bermaksud untuk menyoroti diri sendiri yang saya rasakan mulai menjauhi kata "produktif" dalam menghasilkan tulisan.Apabila para pembaca blogs jeli, maka dapat dengan mudah dketahui bahwa betapa "malas" nya saya menulis di tahun 2010 ini.Last post saya saja pada bulan Januari 2010, yang berarti sudah dua bulan saya tidak menghasilkan apapun!.
Untuk kali ini saya tidak akan memberikan alasan yang selalu dijadikan kambing hitam apabila blogs saya ini mulai "gak update" yaitu karena kesibukan, karena pada dasarnya saya justru tidak sebegitu sibuknya hingga tidak mampu menelurkan tulisan-tulisan baru.Lalu kenapa donk? Karena eh karena, Saat ini saya dan beberapa rekan saya sedang "membangun" sebuat situs baru yang berisi hal-hal isinya kurang lebih sama dengan blogs yang sedang anda baca ini, yaitu tulisan seputar dunia psikologi yang dikemas secara populer.Perbedaannya adalah situs tersebut nantinya (sangat kami usahakan) dikelola secara lebih profesional sehingga dapat menjadi sebuah situs yang akan dapat lebih mudah dinikmati dan membantu para pembaca blogs sekalian, terutama anda yang mengemari tulisan psikologi populer.
Ide pembangunan situs baru ini berangkat dari pengalaman saya dalam "mengelola" blogs ini.Berawal dari sebuah hobi menulis, tidak menyangka bahwa banyak pembaca blogs yang mengunjungi Verdis Journals ini.Tidak hanya berhenti di membaca, bahkan tidak sedikit pula yang memberikan komentar membangun, bertanya, hingga meminta bantuan mencarikan jurnal-jurnal seputar tulisan saya.Secara pribadi, saya ingiiiin sekali dapat membantu para pembaca blogs sekalian, namun kenyataannya karena kemampuan diri yang terbatas pada akhirnya banyak para pembaca yang menghubungi saya tersebut mungkin merasa kecewa karena pertanyaan atau permintaan bantuannya tidak terespon dengan baik oleh saya.Oleh karena itu, dengan situs yang sedang saya bangun saat ini saya berharap kejadian seperti itu tidak terjadi lagi, karena untuk mengelola situs tersebut saya membentuk sebuah tim yang memiliki hobi serta visi dan misi yang sama dengan saya, utamanya dalam mengembangkan dan memperkenalkan ilmu psikologi secara lebih luas kepada masyarakat.
Akhir kata, mohon maaf atas penjelasan yang datang terlambat ini serta mohon dukungannya untuk situs baru saya tersebut nantinya :)
UPDATE : Visit My New Website www.dailypsychology.net...See u there!
Wassalam,
Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikolog
Hehe, dari judul nya saja sepertinya sudah tahu ya tulisan saya kali ini akan mengarah kemana.Yup, tulisan ini bermaksud untuk menyoroti diri sendiri yang saya rasakan mulai menjauhi kata "produktif" dalam menghasilkan tulisan.Apabila para pembaca blogs jeli, maka dapat dengan mudah dketahui bahwa betapa "malas" nya saya menulis di tahun 2010 ini.Last post saya saja pada bulan Januari 2010, yang berarti sudah dua bulan saya tidak menghasilkan apapun!.
Untuk kali ini saya tidak akan memberikan alasan yang selalu dijadikan kambing hitam apabila blogs saya ini mulai "gak update" yaitu karena kesibukan, karena pada dasarnya saya justru tidak sebegitu sibuknya hingga tidak mampu menelurkan tulisan-tulisan baru.Lalu kenapa donk? Karena eh karena, Saat ini saya dan beberapa rekan saya sedang "membangun" sebuat situs baru yang berisi hal-hal isinya kurang lebih sama dengan blogs yang sedang anda baca ini, yaitu tulisan seputar dunia psikologi yang dikemas secara populer.Perbedaannya adalah situs tersebut nantinya (sangat kami usahakan) dikelola secara lebih profesional sehingga dapat menjadi sebuah situs yang akan dapat lebih mudah dinikmati dan membantu para pembaca blogs sekalian, terutama anda yang mengemari tulisan psikologi populer.
Ide pembangunan situs baru ini berangkat dari pengalaman saya dalam "mengelola" blogs ini.Berawal dari sebuah hobi menulis, tidak menyangka bahwa banyak pembaca blogs yang mengunjungi Verdis Journals ini.Tidak hanya berhenti di membaca, bahkan tidak sedikit pula yang memberikan komentar membangun, bertanya, hingga meminta bantuan mencarikan jurnal-jurnal seputar tulisan saya.Secara pribadi, saya ingiiiin sekali dapat membantu para pembaca blogs sekalian, namun kenyataannya karena kemampuan diri yang terbatas pada akhirnya banyak para pembaca yang menghubungi saya tersebut mungkin merasa kecewa karena pertanyaan atau permintaan bantuannya tidak terespon dengan baik oleh saya.Oleh karena itu, dengan situs yang sedang saya bangun saat ini saya berharap kejadian seperti itu tidak terjadi lagi, karena untuk mengelola situs tersebut saya membentuk sebuah tim yang memiliki hobi serta visi dan misi yang sama dengan saya, utamanya dalam mengembangkan dan memperkenalkan ilmu psikologi secara lebih luas kepada masyarakat.
Akhir kata, mohon maaf atas penjelasan yang datang terlambat ini serta mohon dukungannya untuk situs baru saya tersebut nantinya :)
UPDATE : Visit My New Website www.dailypsychology.net...See u there!
Wassalam,
Arya Verdi Ramadhani, M.Psi, Psikolog
Tuesday, January 5, 2010
VJ#48/I/2010 : Cyberbullying? What the...?
Wanna be famous on twitter? just say something like "bb users are alay",and abrakadabra, ur name is on trending topics..such a ridicilous phenomenon..poor #rana :(
Saya menulis kalimat di atas pada status Facebook hari Senin 4 Januari 2010, pukul 23.42. Saat itu saya yang telah setengah tertidur (atau setengah sadar) sedang berusaha keras untuk membuat tubuh terlelap dengan cara yang biasa dipakai manusia “jaman sekarang” dan dengan media yang tidak kalah “jaman sekarang” nya. Yup, twitter-ing dengan memakai blackberry! .
Tidak ada yang istimewa ketika saya memulainya. Saya mendapati timeline dengan tweets yang “biasa-biasa” saja. Yah, mungkin layaknya timeline harian rekan-rekan pembaca yang juga tergabung di jagat maya berlambang burung kecil tersebut. Ada yang berisi curhat, kemarahan yang ditujukan ke orang secara anonim, atau bahkan lelucon lokal yang (kemungkinan besar) hanya dimengerti segelintir followers pemilik account. Saat mata ini sudah mulai mengalah kepada kekuatan rasa kantuk, perhatian saya tertuju kepada salah satu tweets rekan saya. Tweets yang tiba-tiba membuat saya terjaga kembali karena ingin tahu.
Secara singkat, tweets tersebut menunjukkan bahwa adanya hastag (#) baru yang, ternyata, sempat menjadi trending topics. So, what’s new? Tweeps asal Indonesia memang cukup sering sukses menempatkan hastag lokal merajai trending topics, sebut saja #indonesiaunite, #jamansd, dan banyak lagi. Namun, hashtag ini tidak lazim di mata saya, sehingga membuat saya heran mengapa bisa sukses menjadi trending topics dalam waktu relatif singkat. Hashtag itu singkat dan padat : #rana
Who’s #rana?
Rasa penasaran dengan gagah berani mengalahkan rasa kantuk sehingga membuat saya secara sadar mencari #rana melalui media “search topics”. Dengan singkat saya mengetahui bahwa Rana adalah seorang remaja yang pada hari itu melalui account-nya men-tweet dengan pesan bahwa para pengguna blackberry adalah seorang alay (istilah alay dapat anda search sendiri ya ). Entah apa maksud Rana mem-post tweet semacam itu, yang saya tahu, seperti dikomando, tiba-tiba malam itu para pengguna twitter ramai-ramai memberikan komentar, tentu tidak lupa dengan hastag #rana. Komentar yang diberikan beraneka ragam, mulai dari yang mendukung, menjadikan bercandaan ala plesetan, sampai yang mencaci maki. Walhasil, #rana sukses merajai trending topics. Bahkan kabarnya, #rana sempat pula menjadi pemberitaan di radio dan televisi. Wow!
Fenomena #rana ini membawa memori saya ke waktu belum lama ini saat seorang remaja lainnya bernama Ophi merajai trending topics dengan hashtag #ophiabubu. Sekedar menyegarkan ingatan, Ophi “terkenal” karena gaya penulisannya yang (lagi-lagi) dianggap alay. Fenomena ophi (bila boleh disebut demikian) bahkan dapat dikatakan jauh lebih dahsyat bila dibandingkan dengan fenomena #rana. Tidak hanya sebatas dibicarakan di jejaring sosial seperti facebook, twitter, blogs, atau menjadi thread khusus di kaskus, namun bahkan juga sempat menjadi artikel tersendiri dalam satu surat kabar lokal berbahasa asing yang amat terkenal untuk khusus membahas mengenai remaja perempuan tersebut!
Berangkat dari kedua “fenomena” itu saya mencoba menyusun tulisan serius tapi santai ini. Tenang saja, saya tidak akan berpanjang lebar membahas mengenai latar belakang kasus Rana maupun Ophi. Lebih penting, saya mencoba untuk sedikit membuka pemikiran pembaca semua mengenai gejala di masyarakat kita, terutama yang melek teknologi, yang sedikit demi sedikit mulai berkembang, yang saya khawatir bila tidak segera diingatkan maka akan menjadi suatu penyakit yang menggerogoti secara perlahan dan menyimpan potensi besar untuk menyebabkan sesuatu yang buruk di masa depan. Seram ya? Yah, tergantung bagaimana anda menilainya setelah membaca habis tulisan saya ini.
Apa rahasia Trending Topics?
Setelah mencari petunjuk melalui mbah Google, saya berhasil menemukan bagaimana sebuah hashtag bisa menjadi trending topics. Dalam suatu artikel yang ditulis Mada Azhari (dalam http://inventco.net/studi-kasus/trending-topics-di-twitter-mentahkan-konsep-the-tipping-point/), saya mengetahui bahwa Malcolm Gladwell, di buku larisnya yang berjudul The Tipping Point, menyebutkan bahwa semua itu dipicu oleh segelintir super influential. Lewat influencer, informasi menyebar kemudian mempengaruhi orang lain untuk meniru mereka. Tapi nampaknya tidak begitu dengan #indonesiaunite dan #jamanSD . Trend topic itu bergerak cepat, menviral bahkan dalam tempo hitungan jam. Kalau begini konsep The Tipping Point luntur nyaris tak berbekas. Untunglah suatu penelitian menjawab hal tersebut. Duncan Watts, saintis teori jejaring lulusan Columbia University yang kini bekerja di Yahoo!, melalui penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata sebuah trend dapat terjadi tanpa harus dipicu oleh segelintir influencer (orang amat berpengaruh). Tren bisa meledak, tanpa bergantung pada siapa yang memulai, namun tergantung pada kesiapan masyarakat untuk menyambutnya. Cocok dengan fenomena sosial media saat ini, artinya, “semua orang bisa memicu tren, tidak harus orang berpengaruh” katanya.
Lebih jauh, bila kita kategorikan maka yang terjadi pada #rana dan #ophiabubu adalah kategori Stream News. Semua orang menyampaikan spontan tanpa perlu ada influencer. Berita seputar seperti gempa, bom, bahkan seorang seleb yang baru mekar sekalipun seperti #mbah surip dapat cepat menjadi trending topics. Dalam kasus kedua remaja tersebut, orang-orang secara spontan memberikan komentarnya. Entah karena iseng, memang tidak suka dengan “perilaku” mereka, menumpahkan kekesalan, atau hanya sekedar konformitas alias ikut-ikutan. Tanpa rasa segan dan takut, mereka memberikan komentar-komentar sesuka mereka. Selain sebagian besar para komentator tidak mengenal secara pribadi kedua remaja tersebut, (mungkin) mereka juga berpikir “hei, semua orang melakukannya, kenapa saya tidak??”.
Khusus untuk pemberi komentar negatif, mungkin sebagian besar dari mereka memberikan komentar-komentar tersebut secara sadar, namun saya tidak yakin mereka juga sadar bahwa saat itu pula mereka telah “resmi” menjadi pelaku internet bullying atau lebih dikenal dengan istilah cyberbullying!
Cyberbullying? What the..?
Secara teoritis "Internet bullying/Cyberbullying" diartikan sebagai berikut
“..is a form of personal attack which employs threats, pressure and intimidation through the avenues of internet technology. The bullying may take place by the use of messaging sites, blogs, online forums, electronic mail and other means of cyber technology. When internet bullying takes place, its victims are harassed, intimidated and are left with damaged reputations.”
Supaya tidak bingung, kurang lebih bila dalam artian bebas saya menterjemahkan cyberbullying sebagai situasi dimana seseorang yang kuat (mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang dengan menggunakan melalui messaging sites, blogs, online forums, electronic mail, dimana sang korban tidak mampu membela diri krn lemah secara mental. Tipe bullying ini mulai menjadi fenomena baru seiring dengan berkembangnya teknologi. Manusia saat ini seperti hidup di dunia tanpa batas. Hampir semua orang terhubung dengan benda ajaib bernama “internet”. Data dan informasi dengan mudahnya tersebar sekejap mata. Dengan adanya internet, bullying semakin mudah untuk dilakukan. A single person’s small act of maligning someone can reach hundreds of people in a split-second!
Sepertinya bila melihat pengertian di atas, nampaknya kasus #rana dan #ophiabubu sudah lebih dari cukup untuk dikategorikan sebagai cyberbullying. Bagaimana tidak? Melalui media twitter, facebook, atau forum-forum diskusi, tidak sedikit para penghuni jagat maya yang memberikan komentar-komentar melecehkan, menghina, bahkan menggunakan kata-kata kasar untuk kedua anak remaja tersebut. Lalu mengapa hal tersebut sampai terjadi? Berbicara mengenai penyebab, maka ada beberapa hal yang bisa dikedepankan, misalnya karena pemberi komentar didorong oleh rasa amarah, balas dendam atau rasa frustrasi kepada sang korban atau kepada orang lain yang kemudian melimpahkan kekesalannya melalui dunia maya. Ada juga yang melakukannya untuk alasan-alasan sepele, seperti “hei,I’m doing it just for fun”, atau karena sedang merasa bosan serta mempunyai banyak waktu kosong untuk berbuat iseng, dan didukung juga oleh mudahnya pelaku untuk mengakses ”tech toys”, such as blackberry. Namun, ada juga beberapa orang pula yang melakukannya untuk mencari perhatian, dan agar sekedar dibilang “cool” atau “mengikuti trend”.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, saya cukup yakin bahwa mayoritas pemberi komentar tidak mengenal secara pribadi kedua remaja tersebut. Sehingga amat kecil kemungkinan pula bahwa kedua remaja tersebut pernah melakukan sesuatu yang menyinggung atau menyebabkan konflik secara personal kepada pada pemberi komentar. Apabila hipotesa penulis ini benar, lalu mengapa sampai kedua remaja tersebut harus dicaci maki sedemikian rupa? Mengapa mereka berdua mendapat perlakuan dipermalukan sceara besar-besaran di “muka umum”? Lalu apa pula yang memberikan hak kepada para pemberi komentar untuk “making fun of them”? .
Well, sepertinya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut saya kembalikan kepada anda. Namun sebelum anda menjawab, saya ingin sekedar berbagi informasi. Di dunia barat sana, yang notabene ilmu pengetahuan dan teknologi beberapa langkah lebih maju dibandingkan negara kita, telah secara sadar mengakui bahaya dari bullying, dalam kasus ini khususnya cyberbullying. Anda akan dengan mudah menemukan situs-situs yang khusus membahas mengenai cyberbullying, lengkap dengan cara-cara pencegahan. Bahkan mereka secara konkret telah menanamkan pendidikan mengenai bahaya bullying (baca : cyberbullying) sejak dini kepada para remaja disana, karena mereka sadar penuh bahwa generasi itulah yang akan selalu hidup berdampingan dengan teknologi, sehingga butuh kebijaksanaan dan kedewasaan untuk dapat menggunakan teknologui tersebut agar tidak menyimpang ke hal-hal yang tidak diinginkan. Bukan tanpa alasan mereka menanamkan hal tersebut semenjak dini. Beberapa kasus nyata memperlihatkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam bullying/cyberbullying memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena tidak tahan dengan cara orang-orang memperlakukan mereka (baca : menghina atau mempermalukan). Di Indonesia sendiri saya belum menemui kasus cyberbullying hingga korbannya bunuh diri (CMIIW), namun bila gejala di masyarakat yang sedang “ngetrend” ini tidak sejak sekarang dicegah, saya khawatir jatuhnya korban hanya tinggal menunggu waktu.
PS : Bila anda peduli, bantu saya menyebarkan informasi ini
Wassalam Wr. Wb,
Arya Verdi Ramadhani
Psikolog, Penggiat Anti-Bullying
Sumber :
http://inventco.net/studi-kasus/trending-topics-di-twitter-mentahkan-konsep-the-tipping-point/
http://www.stopcyberbullying.org/
http://www.internetbullying.com/
http://maryslarson.com/cyberbullying.jpg
Sunday, January 3, 2010
VJ#47/I/2010 : Ujian Nasional? Why, Oh Why..
Silang Pendapat mengenai UN akhirnya diputuskan melalui keputusan MA (14 September 2009) yang menolak Permohonan Kasasi Pemerintah tentang Ujian Nasional. Dampaknya adalah pemerintah wajib menjalankan putusan tersebut. Dalam putusan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hakim telah menyatakan :
1.Pemerintah lalai dalam memenuhi hak asasi manusia terutama hak atas pendidikan dan hak- hak anak.
2.Memerintahkan kepada pemerintah untuk memperbaiki sarana prasarana, peningkatan kualitas guru dan akses informasi ke daerah sebelum ujian nasional dilaksanakan.
3.Memerintahkan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional.
4.Meninjau ulang sistem pendidikan nasional.
Pemerintah saat ini masih mencoba melakukan upaya hukum untuk memastikan tahun depan UN tetap dapat terlaksana. Hal yang dilakukan pemerintah ini bagi sebagian masyarakat dianggap tindakan yang kurang bijaksana karena menilai pelaksanaan UN secara yuridis bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selain itu, secara pedagogis UN dianggap menghambat proses kreatif berpiikir anak untuk memperoleh penilaian secara holistic. Apa sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan sehingga UN telah bertahun ini memancing pro dan kontra?
* Mengapa Ujian Nasional Diperdebatkan? Perspektif Perlindungan Hak Anak :
Perspektif mengenai Perlindungan Hak Anak tertuang dalam Konvensi Hak-HAK Anak (KHA), yang kemudian mendasari berbagai ketentuan dalam pasal-pasal Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Persepektif tersebut didasari pada 4 prinsip :
1. Non Diskriminasi
Negara harus menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi macam apapun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dll (Pasal 2 Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) ). UN dianggap diskriminatif karena kondisi siswa dan sekolah di NKRI yang amat beragam (geografis, budaya, dan sosek), tetapi anak-anak dituntut untuk mencapai target yang sama dengan adanya standar nasional.
2. Kepentingan Terbaik Bagi Anak
Segala tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislative, dan badan yudikatif, maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 2 UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). UN dianggap hanya implementasi dari target-target politik pemerintah pusat, pemda, dan sebagainya. Kebijakan UN yang berubah-ubah setiap tahun adakah bukti bahwa UM bukan produk dari proses perencanaan yang matang.
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan Perkembangan
Kebijakan atau tindakan dari negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua tidak boleh mematikan hidup dan kehidupan seorang anak, mematikan harapan, menekan secara psikologis, membangun ketakutan, perlakuan dengan kekerasan, sehingga anak justru tidak tumbuh daya nalar kreatifitasnya. UN dianggap telah menganggu tumbuh kembang anak karena dala persiapannya di dalamnya ada proses yang penuh tekanan, menciptakan suasana khawatir dan cemas, gangguanpsikologis, serta ancaman kekerasan. Salah satu kasus nyata adalah Endang Lestari, siswi kelas III SMP Negeri 1 Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah yang nekat bunuh diri dengan cara gantung diri pada Sabtu 23 Juni 2007. Pihak keluarga menduga hal tersebut karena ia tidak lulus UN (Kompas, 25 Juni 2007). Selai itu, UN juga dianggap hanya mengukur kemampuan kognisi, sementara kemampuan afeksi dan psikomotor dikesampingkan.
4. Penghargaan Terhadap Pendapat Anak
Penghormatan terhadap hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pemgambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Prinsip-prinsip di atas juga tercantum di dalam Pasal 28 B Ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi”
* Pengalaman Ujian Nasional Negara Lain
Pandangan bahwa kualitas lingkungan belajar menentukan kualitas hasil pendidikan juga dianut oleh banyak negara lain. Undang-undang yang dinamakan No Child Left Behind (NCLB) di Amerika Serikat menganut pandangan ini. Kebijakan NCLB yang kemudian menjadi Elemntary and Secondary Education Act (ESEA) tahun 2002 mewajibkan adanya tes nasional, terhadap peserta didik di SD, SMP, dan SMA di Amerika Serikat, dengan tujuan untuk menjamin agar peserta didik mendapatkan layanan pendidikan berkualitas yang menjadi hak mereka. Hasil tes peserta ddik dijadikan salah satu dasar untuk menentukan kualitas pelayan pendidikan suatu sekolah dan bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik.
Data dari International Review of Curriculm and Assessment Frameworks Internet Archive yang disusun oleh Sharon O’Donnell dkk. (2002) menunjukan bahwa hampir semua negara Eropa, kecuali Italia dan Spanyol, tidak melakukan Ujian Negara di SD. Seperti Italia dan Spanyol, Singapura melakukan Ujian Negara di SD untuk melanjutkan ke jenjang SMP (Lower Secondary), tetapi hasil ujian tidak menyebabkan peserta didik tidak boleh melanjutkan pendidikan wajib belajarnya ke SMP. Ujian Negara yang dilakukan negara-negara Eropa, selain Hungaria dan Swiss, bukan untuk menentukan kelulusan seseorang dari satuan pendidikan SMP yang sedang diikutinya, tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang telah dimilikinya. Brdasarkan kemampuan tersebut, maka seorang peserta didik ditentukan apakah akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum ataukah sekolah jurusan. Di Jerman, misalnya, hasil penilaian guru, konselor dan orang tualah yang menentukan apakah seseorang peserta didik akan masuk ke gymnasium (untuk ke perguruan tinggi), realschule (untuk pendidikan umum) ataukah hauptschule (untuk bekerja).
Pada intinya, Ujian Negara yang dilakukan negara-negara Eropa, selain Hungaria dan Swiss, bukan untuk menentukan kelulusan seseorang dari satuan pendidikan yang sedang diikutinya, tetapi dipersyaratkan untuk mengetahui kemampuan yang dimilikinya. Berdasarkan kemampuan tersebut maka seorang peserta didik ditentukan apakah akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum ataukah sekolah kejuruan.
* Kejanggalan PP No.19 Tahun 2005
1. Pasal 63 ayat (1)
Pasal ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penilaian hasil belajar peserta didik selain kewenangan yang dimiliki oleh pendidik dan satuan pendidikan. Hal ini memperlihatkan intervensi pemerintah yang dalam terhadap ototnomi pendidik, seklaigus bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas yang memberikan kewenangan penuh kepada pendidik untuk menilai seluruh proses pembelajaran peserta didik, mulai dari awal hinggan akhir penentuan kelulusannya.
2. Pasal 72 Ayat (1) d
Menyebutkan bahwa peserta didik dinyakatan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi 4 syarat, yaitu ;
a. Telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran
b. Memperoleh nilai minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan
c. Lulus Ujian sekolah
d. Lulus ujian nasional
Syarat pertama dan kedua memang mencoba menghargai penilaian proses, namun bila dihadapkan pada syarat ketiga dan keempat maka pada akhirnya proses pembelajaran tidak lagi berarti. Sebab, dalam kenyataan banyak sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah hanya untuk mempelajari cara mensiasati soal-soal ujian semata.
* Kesimpulan dan Rekomendasi
Dengan mempertimbangkan berbagai hal yang sudah diuraikan di atas, kebijakan UN harus mendapat pertimbangan baru yang diselaraskan dengan empat kebijakan utama Depdiknas (aksesibilitas, pembinaan kualitas, peningkatan manajemen, dan akuntabilitas), antara lain :
1.Mempercepat aksesibilitas terhadap pendidikan bermutu bagi usia 7 -15 tahun
2.Pemerintah harus membantu sekolah negeri dan swasta dengan penyediaan fasilitas belajar yang memenuhi standar kompetensi pendidikan.
3.UN dikembangkan dan diarahkan sebagai salah satu alat evaluasi untuk mengumpulkan data mengenai pelayanan pendidikan berkualitas, bukan untuk menentukan kelulusan murid. Pemerintah diharapkan melaksanakan UN yang disertai dengan pengumpulan data mengenai proses pendidikan.
4.Kurikulum SMA diubah secara mendasar sebagai pendidikan persiapan peserta didik untuk ke perguruan tinggi (peserta didik diberi kesempatan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk program studi yang ingin diikutinya.)
5.Konsentrasikan seluruh sumber daya pendidikan yang ada untuk memenuhi standar nasional pendidikan di seluruh wilayah NKRI (antara lain standar isi, standar proses, standar kompetensi kelulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaanm dan juga standar penilaian pendidikan) yang dilaksanakan secara komperehensif, simultan, dan konsisten (Pasal 35 UU No 20 tahun 2003)
6.Sementara mempersiapkan standar-standar komponen pendidikan yang telah disebutkan di atas, maka fungsi evaluasi pendidikan dapat dikembalikan kepada sekolah dengan menggunakan standar lokal daerah (melalui nilai rata-rata semester, pekerjaan rumah, tugas-tugas, dan observasi)
7.Revisi PP No. 19 tahun 2005 tentang Standarisasi Nasional Pendidikan dan mengedepankan prinsip standarisasi yang lebih mempertimbangkan keragaman bangsa dan tidak diskriminatif.
8.Pemerintah memfasilitasi terbentuknya gerakan perbaikan pendidikan yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah maupun civil society, untuk meletakkan dasar-dasar bagi perubahan paradigm, kebijakan, dan anggaran pendidikan nasional Indonesia.
Sumber :
Education Forum. Menggugat Ujian Nasional ; Memperbaiki Kualitas Pendidikan. Penerbit Teraju. Jakarta: 2007.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
VJ#46/I/2010 : Happy New Year dear Readers
Hei All,,wow, tak terasa tahun yang baru telah tiba..semoga dengan datangnya awal yang baru ini, maka dapat menginspirasi kita semua untuk terus berkarya dan berkreasi dalam lingkup keahlian masing-masing dengan semangat yang baru pula.
Dalam kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih kepada para pembaca blogs saya yang telah bersedia untuk menyempatkan waktu untuk meng-add YM atau mengirimkan email kepada saya untuk sekedar bertanya atau berdiskusi. Mohon maaf apabila saya tidak dapat memberikan jawaban atau respon yang memuaskan anda semua. Saya berharap agar diskusi di antara kita dapat terus terjalin.
Sebagai awal yang baru, maka sekalian saya mau memberikan sesuatu yang "baru" untuk Verdi's Journals. Apabila selama ini tulisan saya banyak berkutat dengan ke-psikologi-an, maka mulai awal tahun ini saya akan mulai memposting di blogs tersayang ini tulisan-tulisan yang lebih luas cakupannya dan tidak terpaku pada ilmu-ilmu kaidah psikologi. Akan tetapi, saya tetap berusaha untuk menyentuh isu psikologis, meski tidak dominan, karena memang hakikatnya dari sanalah saya "berasal".
Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas kesetiaan anda membaca blogs saya. And once again, Happy New Year Everybody :)
Wassalam.Wr.Wb,
Arya Verdi Ramadhani
Tuesday, October 27, 2009
VJ#45/X/2009 : About "Alay" and Ophi A. Bubu
Dear my Blogs Reade,
udah Lama sekali saya tidak menulis di Blog ini. Terakhir saya menulis adalah di pertengahan Bulan Juni. Hm, lama sekali ya. Saya mohon maaf ya apabila tulisan saya jadi tidak terupdate lagi, namun sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca setia, dengan segala komentar, saran, masukan, pertanyaan, dan diskusinya :)
Semoga dengan semua itu saya jadi termotivasi untuk rajin menulis kembali. Semangaat..
Untuk postingan kali ini, sesuai judul, saya mau membahas mengenai fenomena bahasa "Alay" dan juga Ophi A.Bubu (ini adalah nama seorang remaja yg dijuluki, atau lebih tepat dibullying dengan labeling, "Queen of Alay oleh pnghuni jagat maya). Namun tulisan ini bukan tulisan yg saya buat sendiri, melainkan sebuah artikel yang dimuat oleh "Jakarta Post" dengan memberikan kesempatan kepada saya sebagai salah satu narasumber. terima kasih kepada sahabat saya Gariet dan Dian Kuswandini :)
Semoga artikel ini bisa memberikan pencerahan kepada kita semua bahwa jagat maya bisa menjadi "berbahaya" bila kita menggunakannya secara kurang bijaksana.
Well, happy reading and Please leave your comments :)
Artikel itu :
Messing with letters
Dian Kuswandini , The Jakarta Post , Jakarta | Wed, 10/28/2009 9:40 AM | Features
Tribute: Although several fan pages for Ophi A. Bubu still exist, others were reportedly banned by Facebook because of the vulgar messages posted attacking Ophi. facebook.com
“JuD9e mE aLL y0u wAnT, jUSt keEp tHe VeRdiCt t0 y0uRsELf.”
When you see text written in this kind of style, you think: (a) That’s cool. (b) Whoever wrote that should be shot, or have their fingers broken. (c) So what? If that’s the writer’s style ...
If your answer is (b), then you could be part of a growing club whose members use the word “alay” to refer to — or mock — anyone who types using a mix of upper and lower case letters and numbers.
The word alay has no exact meaning or obvious derivation; it seems to have come out of nowhere.
However, it refers to something “tacky” and “cheesy” (norak or kampungan, in Indonesian). Alay is used to describe, critically, how certain people dress (like fashion victims), what kind of music they listen to (usually fans of Malay-sounding bands like ST 12, Wali or Kangen Band) and how they write things (they try to make words sound “cuter”, like replacing “home” with “humzz”).
What’s more, they mix up the upper and lower case letters.
An example of this last case is young Ophi A. Bubu, who became a popular target of people irritated by her preference for playing with her letters.
Ophi who?
Ophi A. Bubu. The high school student from Banyuwangi of East Java, who says she was born in 1991, shot to fame in the virtual world for her postings on her Facebook page.
Her name is getting mentioned in blogs and forums everywhere — all of them discussing her writing. Not because her notes are so great, but because they’re in “code”. For example:
Lost in translation: Although the “alay” text generator enables visitors to the page to convert conventional text into mixed-letters writing, in a parody of language translation websites, it was designed to make fun of alay followers. alaygenerator.co.cc
cXnK qMoh tO cKiDnAAAAaaaAaAaaaa……(Translation: Sayang kamu tau sakitnya / Honey, do you know how much that hurts?)
m_tHa apOn YoH……………
(Minta ampun ya / Please forgive me)
qoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo……….
(Aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu / I keep on trying to love you)
bUD….. (But)
cIa” adJA………………… (Sia sia aja / It’s useless)
So, quite simply, Ophi has become famous for making writing even harder to read than the scrawl of any doctor.
Nevertheless, her approach to writing attracted a lot of attention, with some people reproducing her writing in forums and blogs, and others wanting to be her friends in Facebook.
All this was too much love in the eyes of those who despised her writing style and made fun of her. Her detractors took to writing nasty messages on Ophi’s page, mocking her and labeling her “the Queen of Alay”.
This kind of bullying was too much for Ophi, who had nearly 4,000 Facebook friends in the middle of the month. She deactivated her Facebook account.
Although some of her supporters defended her by setting up fan clubs in Facebook and Twitter, Ophi has never been heard from since.
The Ophi phenomenon raises questions, about writing and our response to it: Is messing with agreed writing conventions socially acceptable, or is it something utterly annoying that should be stopped?
While some of us — let’s admit it — would agree with the latter, psychologist Arya Verdi Ramadhani takes us below the surface.
“I can understand why people are so annoyed by her,” says Arya, who has followed the Ophi phenomenon during the past few months. “The thing is, Ophi doesn’t only mix letters; she also misspells many words.”
Talk of the town: Blogs and forums discuss Ophi’s style of writing, with her mixture of symbols, upper case and lower case letters, and numbers. natasyadenaya.tumblr.com
Arya believes the writing of Ophi and her ilk emerged following trends in SMS language and instant messaging (IM), where, for example, the letter “E” is replaced with “3” and “g” with “9”. Homophones also came to be used, where “gr8” means “great”, for example.
“It then continued with the trend of Friendster, a social site that truly supports people in expressing themselves,” Arya says.
The combination of these trends, he adds, brought the alay phenomenon to the scene, making it a wider issue for discussion.
“The alay phenomenon came on the scene about one or two years ago,” Arya says.
“Forgive me for saying this, but it refers to someone from a kampung [village] who’s experiencing culture shock when he or she comes to a big city like Jakarta.
“That person dresses up in what he or she thinks is ‘trendy’, while in the eyes of others [urbanites], that attire is truly in bad taste.”
On a wider scale, Arya adds, the term alay encompasses people like Ophi who think that messing with letters is a trend to follow.
A similar trend is taking place in Japan, where the term gyaru-moji is used to refer to a style of obfuscated Japanese writing popular among Japanese youth, which started to gain media attention around 2002. It is also called heta-moji — heta means poor (in handwriting). As with SMS language, a message typed in gyaru-moji usually requires more characters and effort than the same message typed in conventional Japanese.
Because of the extra effort and the perception of confidentiality, sending gyaru-moji messages to a friend is seen as a sign of informality or friendship.
In Indonesia, however, this “messing with letters” style of writing is attracting more criticism.
“Perhaps we see it as something wrong or cheesy,” says Arya. But those who adopt the writing style, he adds, “they think that mixing letters is something cool. They think that they can appear cute and unique by doing that.”
And so when it comes to teenagers such as Ophi, this style of writing signifies a search for identity.
“It’s normal that in their adolescent phase, these young people want to express themselves in various ways,” Arya explains.
“For example, from the way they speak or dress, or the way they follow the latest trends like BlackBerrys or Facebook.”
Or choosing a certain type of writing style.
But what does it say about a person?
This trend, he points out, is something very peculiar to the computer age: Even graphology — the study and analysis of handwriting in relation to human psychology — can’t really explain this phenomenon.
“Usually, we apply graphology to Latin cursive [handwriting],” Arya says. “Graphology analyzes the thickness of the letters, as well as their positions and slant.”
Theoretically, he says, someone who loves to write in large letters can be seen as someone who’s confident and extrovert. Those who write in small letters can be seen as introverted and shy.
The alay phenomenon, Arya adds, cannot be addressed in the same way.
“Besides, it’s typing, not handwriting.”
One person who chooses this style of typing is 25-year-old Fitriyu (not her real name), who says she has been messing with letters since she was in high school.
“At first, I saw my friends doing it, and I just followed them because I thought it was creative!” says the writer for a local teen magazine.
“Then SMS came along, as well as Facebook, so I got used to that [writing style] even more.”
Fitriyu plays down any notion that the writing style is annoying, saying, “I just want to make my [typed] writing look less boring. It’s kind of part of my identity, too.”
Interestingly, Fitriyu says that writing in messed-up letters can sharpen the writer’s — and reader’s — brain and creativity.
“How can you say that people who write in messed letters are stupid?” she says.
“They’re genius! Just imagine being able to type quickly that way so consistently. Isn’t that like a brain exercise?” she laughs, adding that her preference doesn’t affect her professional work as a writer.
“I know when I should use that writing style and when I should not.”
On that point, Dr. Sugiyono of the Education Ministry’s Language Center, agrees, saying you can’t judge someone without knowing the context.
“If it is for a creative reason, then go ahead,” says Sugiyono, head of the center’s Language and Literature Development division. “But if it’s for education, for example — then you know the rule: It’s not allowed.”
Neither is he bothered by any long-term effects on youth.
“I do believe that many of our high-ranking officials here in this country used to be that way too [when they were young],” Sugiyono laughs.
“It’s something that will disappear as they grow up; so don’t worry.”
Arya agrees with Sugiyono.
“Just admit it: Many of us used to be like that back in our younger days, right?” he says.
“So, please, don’t bully people like Ophi. When you’re rude to her, mock her or label her with ‘alay’, that’s bullying.”
Virtual bullying can be really psychologically harmful, Arya says, because, in the virtual world, people tend to be more expressive than they would be in person; they love to laugh at others and love to make fun of anything. And the audience is much wider.
“When it happens in the virtual word, everyone can see it because it’s a shared public space,” he says.
“In the case of Ophi, she’s been massively attacked; she just couldn’t defend herself.
“Just imagine if you were her, if you were the target of gossip among of your friends,” he adds.
“Ophi might be really stressed and might do something dangerous, like suicide. Would you be responsible for that?”
So, as Arya suggests, just keep “your annoyance” against alay people, or more precisely, those who mess with letters, to yourself or your circle of closed friends.
ps : The word alay has no exact meaning or obvious derivation; it seems to have come out of nowhere. However, it refers to something “tacky” and “cheesy” (norak or kampungan, in Indonesian).
Sumber : http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/28/messing-with-letters.html
udah Lama sekali saya tidak menulis di Blog ini. Terakhir saya menulis adalah di pertengahan Bulan Juni. Hm, lama sekali ya. Saya mohon maaf ya apabila tulisan saya jadi tidak terupdate lagi, namun sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca setia, dengan segala komentar, saran, masukan, pertanyaan, dan diskusinya :)
Semoga dengan semua itu saya jadi termotivasi untuk rajin menulis kembali. Semangaat..
Untuk postingan kali ini, sesuai judul, saya mau membahas mengenai fenomena bahasa "Alay" dan juga Ophi A.Bubu (ini adalah nama seorang remaja yg dijuluki, atau lebih tepat dibullying dengan labeling, "Queen of Alay oleh pnghuni jagat maya). Namun tulisan ini bukan tulisan yg saya buat sendiri, melainkan sebuah artikel yang dimuat oleh "Jakarta Post" dengan memberikan kesempatan kepada saya sebagai salah satu narasumber. terima kasih kepada sahabat saya Gariet dan Dian Kuswandini :)
Semoga artikel ini bisa memberikan pencerahan kepada kita semua bahwa jagat maya bisa menjadi "berbahaya" bila kita menggunakannya secara kurang bijaksana.
Well, happy reading and Please leave your comments :)
Artikel itu :
Messing with letters
Dian Kuswandini , The Jakarta Post , Jakarta | Wed, 10/28/2009 9:40 AM | Features
Tribute: Although several fan pages for Ophi A. Bubu still exist, others were reportedly banned by Facebook because of the vulgar messages posted attacking Ophi. facebook.com
“JuD9e mE aLL y0u wAnT, jUSt keEp tHe VeRdiCt t0 y0uRsELf.”
When you see text written in this kind of style, you think: (a) That’s cool. (b) Whoever wrote that should be shot, or have their fingers broken. (c) So what? If that’s the writer’s style ...
If your answer is (b), then you could be part of a growing club whose members use the word “alay” to refer to — or mock — anyone who types using a mix of upper and lower case letters and numbers.
The word alay has no exact meaning or obvious derivation; it seems to have come out of nowhere.
However, it refers to something “tacky” and “cheesy” (norak or kampungan, in Indonesian). Alay is used to describe, critically, how certain people dress (like fashion victims), what kind of music they listen to (usually fans of Malay-sounding bands like ST 12, Wali or Kangen Band) and how they write things (they try to make words sound “cuter”, like replacing “home” with “humzz”).
What’s more, they mix up the upper and lower case letters.
An example of this last case is young Ophi A. Bubu, who became a popular target of people irritated by her preference for playing with her letters.
Ophi who?
Ophi A. Bubu. The high school student from Banyuwangi of East Java, who says she was born in 1991, shot to fame in the virtual world for her postings on her Facebook page.
Her name is getting mentioned in blogs and forums everywhere — all of them discussing her writing. Not because her notes are so great, but because they’re in “code”. For example:
Lost in translation: Although the “alay” text generator enables visitors to the page to convert conventional text into mixed-letters writing, in a parody of language translation websites, it was designed to make fun of alay followers. alaygenerator.co.cc
cXnK qMoh tO cKiDnAAAAaaaAaAaaaa……(Translation: Sayang kamu tau sakitnya / Honey, do you know how much that hurts?)
m_tHa apOn YoH……………
(Minta ampun ya / Please forgive me)
qoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo……….
(Aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu / I keep on trying to love you)
bUD….. (But)
cIa” adJA………………… (Sia sia aja / It’s useless)
So, quite simply, Ophi has become famous for making writing even harder to read than the scrawl of any doctor.
Nevertheless, her approach to writing attracted a lot of attention, with some people reproducing her writing in forums and blogs, and others wanting to be her friends in Facebook.
All this was too much love in the eyes of those who despised her writing style and made fun of her. Her detractors took to writing nasty messages on Ophi’s page, mocking her and labeling her “the Queen of Alay”.
This kind of bullying was too much for Ophi, who had nearly 4,000 Facebook friends in the middle of the month. She deactivated her Facebook account.
Although some of her supporters defended her by setting up fan clubs in Facebook and Twitter, Ophi has never been heard from since.
The Ophi phenomenon raises questions, about writing and our response to it: Is messing with agreed writing conventions socially acceptable, or is it something utterly annoying that should be stopped?
While some of us — let’s admit it — would agree with the latter, psychologist Arya Verdi Ramadhani takes us below the surface.
“I can understand why people are so annoyed by her,” says Arya, who has followed the Ophi phenomenon during the past few months. “The thing is, Ophi doesn’t only mix letters; she also misspells many words.”
Talk of the town: Blogs and forums discuss Ophi’s style of writing, with her mixture of symbols, upper case and lower case letters, and numbers. natasyadenaya.tumblr.com
Arya believes the writing of Ophi and her ilk emerged following trends in SMS language and instant messaging (IM), where, for example, the letter “E” is replaced with “3” and “g” with “9”. Homophones also came to be used, where “gr8” means “great”, for example.
“It then continued with the trend of Friendster, a social site that truly supports people in expressing themselves,” Arya says.
The combination of these trends, he adds, brought the alay phenomenon to the scene, making it a wider issue for discussion.
“The alay phenomenon came on the scene about one or two years ago,” Arya says.
“Forgive me for saying this, but it refers to someone from a kampung [village] who’s experiencing culture shock when he or she comes to a big city like Jakarta.
“That person dresses up in what he or she thinks is ‘trendy’, while in the eyes of others [urbanites], that attire is truly in bad taste.”
On a wider scale, Arya adds, the term alay encompasses people like Ophi who think that messing with letters is a trend to follow.
A similar trend is taking place in Japan, where the term gyaru-moji is used to refer to a style of obfuscated Japanese writing popular among Japanese youth, which started to gain media attention around 2002. It is also called heta-moji — heta means poor (in handwriting). As with SMS language, a message typed in gyaru-moji usually requires more characters and effort than the same message typed in conventional Japanese.
Because of the extra effort and the perception of confidentiality, sending gyaru-moji messages to a friend is seen as a sign of informality or friendship.
In Indonesia, however, this “messing with letters” style of writing is attracting more criticism.
“Perhaps we see it as something wrong or cheesy,” says Arya. But those who adopt the writing style, he adds, “they think that mixing letters is something cool. They think that they can appear cute and unique by doing that.”
And so when it comes to teenagers such as Ophi, this style of writing signifies a search for identity.
“It’s normal that in their adolescent phase, these young people want to express themselves in various ways,” Arya explains.
“For example, from the way they speak or dress, or the way they follow the latest trends like BlackBerrys or Facebook.”
Or choosing a certain type of writing style.
But what does it say about a person?
This trend, he points out, is something very peculiar to the computer age: Even graphology — the study and analysis of handwriting in relation to human psychology — can’t really explain this phenomenon.
“Usually, we apply graphology to Latin cursive [handwriting],” Arya says. “Graphology analyzes the thickness of the letters, as well as their positions and slant.”
Theoretically, he says, someone who loves to write in large letters can be seen as someone who’s confident and extrovert. Those who write in small letters can be seen as introverted and shy.
The alay phenomenon, Arya adds, cannot be addressed in the same way.
“Besides, it’s typing, not handwriting.”
One person who chooses this style of typing is 25-year-old Fitriyu (not her real name), who says she has been messing with letters since she was in high school.
“At first, I saw my friends doing it, and I just followed them because I thought it was creative!” says the writer for a local teen magazine.
“Then SMS came along, as well as Facebook, so I got used to that [writing style] even more.”
Fitriyu plays down any notion that the writing style is annoying, saying, “I just want to make my [typed] writing look less boring. It’s kind of part of my identity, too.”
Interestingly, Fitriyu says that writing in messed-up letters can sharpen the writer’s — and reader’s — brain and creativity.
“How can you say that people who write in messed letters are stupid?” she says.
“They’re genius! Just imagine being able to type quickly that way so consistently. Isn’t that like a brain exercise?” she laughs, adding that her preference doesn’t affect her professional work as a writer.
“I know when I should use that writing style and when I should not.”
On that point, Dr. Sugiyono of the Education Ministry’s Language Center, agrees, saying you can’t judge someone without knowing the context.
“If it is for a creative reason, then go ahead,” says Sugiyono, head of the center’s Language and Literature Development division. “But if it’s for education, for example — then you know the rule: It’s not allowed.”
Neither is he bothered by any long-term effects on youth.
“I do believe that many of our high-ranking officials here in this country used to be that way too [when they were young],” Sugiyono laughs.
“It’s something that will disappear as they grow up; so don’t worry.”
Arya agrees with Sugiyono.
“Just admit it: Many of us used to be like that back in our younger days, right?” he says.
“So, please, don’t bully people like Ophi. When you’re rude to her, mock her or label her with ‘alay’, that’s bullying.”
Virtual bullying can be really psychologically harmful, Arya says, because, in the virtual world, people tend to be more expressive than they would be in person; they love to laugh at others and love to make fun of anything. And the audience is much wider.
“When it happens in the virtual word, everyone can see it because it’s a shared public space,” he says.
“In the case of Ophi, she’s been massively attacked; she just couldn’t defend herself.
“Just imagine if you were her, if you were the target of gossip among of your friends,” he adds.
“Ophi might be really stressed and might do something dangerous, like suicide. Would you be responsible for that?”
So, as Arya suggests, just keep “your annoyance” against alay people, or more precisely, those who mess with letters, to yourself or your circle of closed friends.
ps : The word alay has no exact meaning or obvious derivation; it seems to have come out of nowhere. However, it refers to something “tacky” and “cheesy” (norak or kampungan, in Indonesian).
Sumber : http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/28/messing-with-letters.html
Labels:
Alay,
Jakarta Post,
Ophi A. bubu
Friday, June 5, 2009
VJ#44/VI/2009 : Meraih Kebahagiaan
Meraih kebahagiaan nampaknya menjadi satu tujuan hidup bersama bagi semua manusia di dunia. Wujud dari kebahagiaan ini begitu abstrak dan relatif. Abstrak karena kita tidak bisa melihat secara kasat mata wujud dari kebahagiaan tersebut. Hal yang dapat kita lihat hanyalah efek dari kebahagiaan tersebut. Sedangkan relatif karena kebahagiaan menurut satu individu, belum tentu kebahagiaan menurut individu yang lain. Selain itu, kerelativan juga muncul dalam usaha untuk meraihnya. Untuk dapat mencapai kebahagiaan tidak akan sama per individu. Sebagai contoh, bagi sebagian individu mempunyai banyak teman bisa berarti kebahagiaan,namun tidak cukup untuk sebagian individu lainnya. Mempunyai jabatan tinggi, baik di institusi maupun di masyarakat, dapat menimbulkan kebahagiaan bagi mereka yang menikmatinya, namun bagi sebagian lain mungkin dianggap biasa saja. Semua itu dapat terjadi karena di pikiran masing-masing individu telah terbentuk “arti” dari kebahagiaan bagi diri sendiri, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, pola asuh orang tua, pendidikan, dan sebagainya.
Di tengah “rasa kebahagiaan” yang dianggap subjektif dan personal tersebut, seorang psikolog dari University of California, Sonja Lyubomirsky, mencoba memberikan tips universal dalam usaha pencapaian kebahagiaan dalam hidup, yang didapat dari hasil penelitian yang ia lakukan. Berikut tips yang ia berikan:
1. Hitunglah rasa Syukur Anda
Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan membuat “Jurnal Terima Kasih” yang di dalamnya anda dapat menulis hal-hal yang membuat anda bersyukur, dari yang paling sederhana (masih diberi kenikmatan dapat datang tepat waktu ke kantor) hingga ke hal yang luar biasa (seperti saat melihat anak anda melakukan langkah pertamanya). Lakukan ini satu kali dalam seminggu, misal pada saat Minggu Malam. Isilah jurnal ini sebanyak yang mungkin anda isi. Lalu sempatkan untuk membaca berulang-ulang jurnal tersebut. Hilangkan rasa khawatir bahwa anda akan mengisi jurnal tersebut dengan hal-hal konyol, karena tidak ada yang konyol dalam menghargai sesuatu :)
2. Berbuat baik kepada orang lain.
Berbuat baik lah dari yang kecil dan sederhana, seperti memberikan senyuman kepada rekan kerja, sampai kepada hal yang membutuhkan usaha lebih, seperti membantu rekan kerja yang kesulitan menyelesaikan laporan yang telah mendekati tenggat waktu. Bersikap baik kepada orang lain, dengan teman maupun dengan orang yang tidak anda kenal, menimbulkan suatu efek positif pada diri anda—membuat anda merasa menjadi orang yang murah hati, membangun hubungan yang positif dengan orang lain, membuat anda tersenyum, dan membuat anda berpotensi mendapatkan kebaikan dari orang lain pula. Menyenangkan bukan?
3. Ingat Hal Menyenangkan
Berikanlah perhatian kepada hal-hal menyenangkan yang terjadi di sekeliling anda setiap hari, sekecil apapun. Seperti hangatnya sinar matahari di pagi hari atau saat rekan kerja anda memberikan senyuman atau sapaan. Lalu simpanlah kejadian-kejadian tersebut di ingatan anda. Beberapa psikolog menyatakan bahwa dengan mengambil “mental photographs” dari suatu kejadian meyenangkan dapat membantu anda merasa lebih bahagia.
4. Berterimakasihlah
Jika ada seseorang yang telah membantu anda, dalam hal sekecil apapun, jangan menunda untuk memberikan apresiasi anda terhadap orang tersebut- secara detail dan, bila memungkinkan, secara personal. Ungkapkanlah dan biarkan orang tersebut tahu bahwa anda sangat menghargai bantuannya.
5. Belajar untuk Memaafkan.
Lepaskan amarah anda. Misal dengan menuliskan surat berisikan pemberian maaf kepada orang-orang yang telah menyakiti atau berbuat salah terhadap anda. Ketidakmampuan untuk memaafkan menjadikan anda sebagai orang yang pendendam, sedangkan memaafkan berarti memberikan jalan untuk melanjutkan hidup anda dan memperkuat hubungan interpersonal. Besar uang yang anda hasilkan, jabatan yang anda miliki, dan kesehatan-- secara mengejutkan-- mempunyai efek yang lebih kecil terhadap kebahagiaan dibandingkan apabila anda mampu menjalin hubungan interpersonal yang baik dan kuat dengan orang lain.
7. Jagalah tubuh anda.
Masih segar di ingatan saya dalam suatu pengajian rutin pada Jumat pagi di perusahaan tempat saya bekerja, pemberi ceramah menyebutkan “nikmat yang paling tinggi di dunia ini adalah nikmat sehat Wa’alfiat”. Tahukah anda bahwa kesehatan juga membantu kita dalam mencapai kebahagiaan? Penelitian juga membuktikan bahwa berolahraga secara teratur dapat membuat kehidupan sehari-hari anda lebih memuaskan
Tidurlah yang cukup, berolahraga, dan lakukan peregangan setiap hari sebelum beraktivitas. Selain itu, tersenyum dan tertawa juga dapat membantu meningkatkan mood anda dalam waktu singkat. Jadi jangan lagi beralasan tidak ada waktu untuk berolahraga.
8. Kembangkan Strategi Untuk Mengatasi Stres
Masing-masing orang mempunyai cara masing-masing untuk mengatasi stress yang menghampiri. Anda bisa melakukan hobi anda di akhir pekan, berkumpul bersama keluarga, atau sekedar menonton televisi di rumah. Apabila ada berada di tempat kerja, sebagian orang melepas stress dengan cara berdoa kepada Tuhan, memberikan istirahat ekstra 10 menit untuk diri sendiri, dan banyak hal lain. Apapun yang anda pilih, The trick is that you have to believe them. Ya, percaya dengan sungguh-sungguh bahwa hal yang anda lakukan tersebut dapat menghilangkan stress yang anda alami,
Tips-tips di atas tentu sudah seringkali anda dapatkan, baik diberikan oleh teman maupun anda baca melalui berbagai artikel. Lalu apa bedanya?
Memang tidak ada bedanya, dan tidak akan pernah berbeda, selama anda tetap TIDAK MENJALANKANNYA..
Jadi mari kita buat perbedaan dengan menjalankannya mulai dari sekarang :)
Sukses untuk kita semua.
(Ikutilah kuis singkat di bawah ini)
Hitunglah kebahagiaan anda!
Seberapa bahagiakah anda?
Tentu, anda kemungkinan mengetahui kebahagiaan diri sendiri, namun tes ini berusaha memberikan skor terhadap kebahagiaan tersebut. Bacalah 5 (lima) pernyataan di bawah ini, lalu gunakan skor 1-6 untuk menilai level persetujuan terhadap masing-masing pernyataan tersebut.
Keterangan Skor :
1 : Sangat Tidak Sesuai
2 : Tidak Sesuai
3 : Agak Tidak Sesuai
4 : Agak Sesuai
5 : Sesuai
6 : Sangat Sesuai
Pernyataan :
1. Secara garis besar, kehidupan saya mendekati kondisi ideal.
2. Kondisi kehidupan saya amat menyenangkan
3. Saya merasa puas dengan kehidupan saya
4. Sejauh ini, saya telah meraih hal-hal yang penting yang saya inginkan dalan hidup.
5. Jika saya dapat memulai kembali kehidupan saya dari awal, maka saya tidak mau merubah apapun
Skor total _____________
Skoring:
•26 to 30: Sangat Puas dengan kehidupan anda.
•21 to 25: Puas dengan kehidupan anda
•20 : Kondisi netral
•15 to 19: Agak tidak puas dengan kehidupan anda
•10 to 14: Tidak puas dengan kehidupan anda
•5 to 9: Sangat tidak puas dengan kehidupan anda
Sumber : ada pada penulis
Labels:
delapan langkah,
meraih bahagia
Subscribe to:
Posts (Atom)